Iwaizumi Hajime: Boop-boop


sekali, satu teman kamu terbengong dengar sebuah cerita di tengah padatnya break kelas.

“iya, iwaizumi itu, yang mana lagi?” tanggap kamu lihat temanmu dengan dramatiknya melebarkan bibirnya, “gue beneran pacaran sama dia. kenapa, sih?”

“gue masih inget banget pas ketemu dia di rumah lo,” temanmu menggeleng, “gue gak paham. oke dia ganteng, tapi dia jutek, galak lagi. yakin tahan?”

dengan enteng dan senyum di puncak kasmaran kamu mengangkat bahu. berusaha tahan diri untuk gak beberkan apa-apa poin plus iwaizumi sampai mengiyakan ajakan pacaran lelaki yang berusia satu tahun di atas kamu itu.

ya tapi, penilaian temanmu soal iwaizumi memang gak salah.

iwaizumi benar jutek. mukanya bukan tipe pemuda ramah, tapi entah kenapa mukanya bisa cerah sapa kedua orang tuamu kalau bertamu sambil bawa masakan buatan keluarganya. mukanya langsung berbeda 180 derajat pas lihat kamu tiduran di kamar dan bruk bantal melayang tepat di mukamu.

iwazumi juga galak. pernah suatu hari sang mahasiswa tingkat akhir itu tidur di tengah kertas-kertas tugas yang menumpuk. kamu yang kebetulan mampir diminta mama Iwaizumi untuk bangunkan anak sulungnya untuk makan dan ya— kamu habis dibentaknya.

kalau diingat lagi, kamu juga akan tanya diri sendiri lagi; kenapa kemarin bisa mau diajak pacaran sama iwaizumi hajime?

iwaizumi jutek yang lempar bantal ke mukamu itu diam pasrah saat kamu kejar dan tarik-tarik rambutnya. mukanya datar serius lihat kamu.

“celana lo pendek banget, tau gak? lain kali, kunci pintunya kalau baju lo begitu.”

iwaizumi yang kelepasan marah-marah dan hampir bikin kamu nangis, dengan muka jelek dan rambut kusut pegang kepala kamu. tangannya menyusur halus sepanjang rambutmu.

sorry, kelepasan,” suaranya serak sebab kurang tidur, “gue beneran ngantuk dan gak maksud— oke, besok gue jemput ya? pulangnya borong es krim di toko bude.”

sang pacar memang galak, memang jutek, tapi afeksinya gak kalah besar. jarinya gak kalah lembut walau punya lidah yang kadang menghunus. alisnya memang sering tajam menukik, tapi matanya tak mau kabur tatap kamu.

seperti sekarang. mulutnya sibuk makan, tapi kamu merasa iwaizumi berkali-kali curi pandang ke arahmu. kamu yang memang dasarnya iseng pura-pura gak sadar ditatap seksama begitu.

“kamu kenapa senyum-senyum begitu?” tegur iwaizumi sambil mengunyah lebih keras kentang di mulutnya, “kentangnya nanti habis sama aku.”

hari ini libur di hari minggu. kamu dan iwaizumi sudah dua jam di kamar si pemuda ditemani playstation hasil rental. beronde-ronde street fighter kalian mainkan sejak jam 11 siang. akibat perut lapar dan mama iwaizumi yang pergi arisan tanpa tinggalkan makanan buat kalian pesan burger king untuk isi tenaga sebelum cari game yang lain.

“kamu makan aja,” tanganmu beralih ke gumpalan bungkus berisi burger, “kamu mau? coba yang beef deh, kamu yang chicken 'kan tadi?”

ada satu lagi fakta soal iwaizumi yang buat kamu kaget setengah mati saat pertama kali kamu tahu.

iwaizumi, yang galak dan jutek itu, ternyata canggung terima afeksi fisik dari kamu.

si lelaki memang pernah gandeng tanganmu, pernah menyuapi es krim rasa matcha yang kamu gak suka, pernah gelung rambutmu di antara jarinya.

tapi, semuanya dilakukan sambil membuang muka; matamu dan iwaizumi tak bertemu saat iwaizumi memulai gerak kecil penuh perhatiannya.

dan saat ini, matamu menatap antisipasi iwaizumi tepat di mata. tangan mengudara dekati bibir iwaizumi dengan burger daging.

iwaizumi melirik sebentar ke arahmu dan maju terlalu banyak—

burgernya memang masuk ke mulutnya, tapi hidung iwaizumi kini kotor oleh campuran saus dan mayonaise.

“duh, kamu—”

“oh—” kamu tertawa kecil dengan tangan repot cari tisu, “salah kamu sendiri loh? sebentar.”

jarimu dengan telaten dan dibalut tisu mengelap ujung tumpul hidung si pemuda yang sekarang malah ambil ponsel sok sibuk padahal cuma berputar-putar di homescreen.

kamu tersenyum, tahu betul pacarmu canggung dan malu.

malu. ya tuhan. satu kata yang gak kamu sangka suatu hari bakal disandingkan sama tetangga kamu yang sifatnya jauh dari kata malu.

“belum?”

menahan tawa, kamu melepas tisu. pucuk hidung pacarmu sudah bersih, tapi entah angin darimana, kamu merasa belum puas. kamu masih mau buat sang pacar lebih malu lagi. mau buatnya salah tingkah.

kini telunjuk kamu mencolek-colek acak di hidung iwaizumi.

“belum, sedikit lagi.” ucapmu sok serius.

boop

boop

boop

kamu duduk makin mendekat, jarimu makin mudah menggoda di hidungnya.

iwaizumi menghela nafas. alisnya menukik sebelah dengan mata menyipit terang-terangan melihatmu.

“kamu ngapain?”

“iseng.” jawabmu enteng.

sampai hidung kamu dijepit untuk ditarik ke kiri dan ke kanan.

kamu berusaha memundurkan badan, “ih, iwa—”

“kamu duluan iseng, aku cuma isengin balik.”

“tapi aku gak tarik hidung kamu.” hidungmu ditarik begitu, kamu membalas perlakuan sang pacar dengan menarik lebih keras hidung pacarmu.

“sama aja, kamu iseng.”

“aku cuma colek hidung kamu,” kamu melepas cubitan di hidung iwaizumi untuk mencoleknya lagi, “begini.”

“oh,” jepitan di hidungmu melonggar dan iwaizumi ikut mencolek pucuk hidung kamu, “begini?”

kamu mengedip saat iwaizumi malah terus-terusan mencolek hidungmu.

“begini?” “colek begini?” “nih.” “begini bener?” ejek iwaizumi mencolek-colek hidungmu.

gantian, kini kamu yang menghela nafas.

sayang, jebakan kamu malah berbalik memburu kamu.

awalnya, kamu berniat buat iwaizumi salah tingkah. nyatanya sekarang kamu malah bingung mau apa saat jari iwaizumi mencolek banyak di hidungmu.

panas di pipimu makin terasa saat muka iwaizumi kelihatan puas lihat reaksimu.

“udah— iwa— udah!”

sekali jepit di hidung lagi, iwaizumi yang tubuhnya agak menyerong ke depan kini duduk santai punggungi kayu ranjang lagi.

“makanya, jangan iseng lagi.”

matamu memutar kesal, pandangi iwaizumi yang memegang ponsel dan meraup burgernya—

—loh, itu kan burger daging kamu?

kamu yang hampir protes langsung mengurungkan niat. matamu menyipit dan menemukan ujung telinga pacarmu memerah.

oh, jadi gak gagal—

iwaizumi berdehem dan melirik kamu, “mau main game apalagi?”

.

fin

.