Jadian.

-

“Wah, gak karuannya sampe ke rambut gitu ya?”

Yang dimaksud Geto adalah rambut Gojo yang berantakan. Kelihatan seperti habis kebut-kebutan motor gak pake helm, tapi sebenarnya gara-gara Gojo berkali-kali berguling di atas ranjangnya, jatuh sekali dan meneruskan berguling di atas lantai.

Gak jelas, memang, tapi kenyataannya ditembak Suguru Geto seberbahaya itu efeknya.

Gojo yang jedag-jedug di hati dan pusing kepala karena memproses kenyataan kesal lihat Geto datang dengan santai, masih ganteng (kapan gak ganteng?) ditambah mukanya yang sumringah dan kesannya mengejek.

“Lo bacot,” tangan Geto ditarik masuk ke kamar kosnya, pintu ditutup brutal, “mau nonjok lo, serius.”

“Pake bibir?”

Gojo menatap heran pacar berumur tiga belas menitnya. Kenapa setelah status berubah anaknya jadi sok begini?

“Dih, jadi centil banget lo? Kemana Geto gue yang berbudi luhur dan paham sopan santun?”

Lelaki yang dikuncir asal-asalan tertawa menyebalkan, “Oh, Geto gue?”

Poni panjang sebelah Geto ditarik sampai Geto menunduk, tawanya makin besar, buat Gojo makin menjadi-jadi menarik rambut pacarnya itu.

“Sumpah lo jadi resek begini? Pulang aja gih?”

“Jangan lah, belum dapet ciumnya?”

Gojo menghela nafas, berusaha gak luntur cool-nya, padahal jantung udah loncat sana-sini.

Ya udah lah? Memang dia juga mau. Walau tadinya dia cuma ngarep dipeluk atau apalah buat meresmikan kenaikan status, Geto malah nawarin ciuman. Gak waras kalau dia gak mau.

Gojo mendehem, “ya udah, nih cepet ambil.”

Geto ketawa lagi. Gojo yang hampir protes langsung bungkam karena Geto menarik halus tangannya. Gojo kini berdiri memojok Geto yang menyandar di jaket dan tas kuliahnya yang digantung di belakang pintu.

Dirasa rambutnya disisir, Gojo memejam mata, tiba-tiba merasa perawan di bibir padahal dia udah punya berbagai macam pengalaman yang berhubungan dengan bibirnya.

Gojo menunggu Geto datang. Kepalanya penuh bayangan Geto di kesehariannya, yang entah sejak kapan ia perhatikan, terutama bibirnya yang memang tempting; Geto yang bicara, yang ketawa, yang menghisap rokok.

Tapi Geto gak kunjung datang.

Yang berambut abu mengintip dan menemukan Geto begitu dekat dengan wajahnya tapi ngerasa terlalu jauh dari bibirnya.

Maunya Geto menempel sekarang juga, tapi Geto malah mengulum senyum.

“Nungguin ya?”

'Anjing.'

“Geto, lo— bener-bener deh—” “Gak usah jadi lah—”

“Iya, iya ini mau.”

Geto mengecup tiba-tiba Gojo. Bibir saling tabrak cuma sekejap dan langsung hilang. Cup nyaring di telinga karena kosan emang udah sepi malam begini.

Udah, Gojo udah dicium. Geto udah ambil cium dari Gojo. Udah, gitu aja?

Gojo menghela nafas, menarik hidung Geto yang masih betah menatap matanya, senyum lebar di bibir.

“Seneng? Ha?”

“Lo seneng gak?”

“Gak, masa gitu doang?”

“Banyak nuntut juga ya.”

“Lo pulang sana.” Gojo melepas tangan Geto yang melingkar di pinggangnya, mendorong-dorong Geto ke pintunya.

Mungkin Geto juga udah gak tahan, udah cukup mengisengi Gojo karena ia dengan serius mencengkram rahang Gojo. Bibir dan bibir berjarak selembar kertas.

Geto melahap bibirnya tanpa canda, menekan dagu Gojo agar tak mengatup, membuatnya dengan mudah memasangkan celah mulutnya dengan bibir bawah Gojo.

Gojo kewalahan. Geto memperlakukan bibirnya seperti puding; dijilatnya, dihirupnya dan dihisapnya masuk ke dalam mulutnya untuk digigitnya.

Jujur Gojo gak masalah, puas malah. Maka Gojo mengalungkan tangan di kedua bahu pacarnya, meremasnya dengan jari saat Geto menarik terbuka bibirnya untuk mengajak keluar lidahnya. Lenguhan dari Gojo buat Geto menggigit entah apa. Gojo mau marah, tapi malah mengerang saat Geto yang lebih pendek darinya menekan kepala Gojo mendekat untuk tak pergi jauh-jauh.

“Maaf.” Geto mengecup ujung bibirnya, kemudian lanjut menghabisi bibir pemuda yang satu.

Begitu, sampai kaki keduanya kelelahan berdiri, sampai Gojo menarik Geto untuk duduk di ujung ranjangnya, sampai Gojo menduduki pangkuan Geto.

Berantem lagi, pakai bibir.

Gak semaleman karena si tamu harus pulang. Ada kelas pagi yang menunggu besoknya.