KuroTsuki: Seesaw Kuroo Tetsurou x Tsukishima Kei

Trigger Warning: Mild Implicit Sexual Scene, Implied Bullying and Violence, Cheating but not really.


Menurutnya, nama Tsukishima Kei tak pernah merujuk dengan kata 'cantik'.

Si rambut blonde tak pernah menghabiskan waktu lama di depan cermin kamarnya untuk menatap diri. Tubuh kurus tinggi dan kulit pucatnya tak pernah menarik perhatiannya. Bajunya dipakai asal tanpa mempedulikan warnanya. Rambutnya juga tak sulit diatur, cukup disisir ke satu arah dan ia siap untuk keluar rumah.

Begitu; Tsukishima tak peduli dengan penampilan dirinya sendiri.

Sampai suatu hari kakak kelas SMA-nya dengan sok akrab mengajaknya keluar di jam istirahat. Tsukishima yang risih diperhatikan teman-temannya yang lain karena si kakak kelas itu lumayan populer tak mau banyak bertanya. Ia menurut saja. Walau dalam hati cemas. Kakinya mengikuti langkah si kakak kelas, tapi kepalanya sibuk mereka-reka.

Apa ia pernah tanpa sengaja menyinggung kakak kelasnya karena tampang judesnya ini? Apa mungkin Tsukishima pernah disapa tapi tak membalasnya karena telinga yang tersumpal headphone?

Kukunya menekan kulitnya lihat langkahnya kini menuju belakang gedung sekolah. Sepi. Ia bahkan tak pernah menginjakkan kakinya ke area ini selama setengah tahun bersekolah disini.

Ah, apa ia akan dibuat babak belur disini? Apa background story yang dialami tokoh utama komik yang pernah dibacanya akan terjadi di kehidupannya? Apa cuma enam bulan saja ia menikmati kehidupan SMA-nya yang nyaman?

Matanya menatap punggung kakak kelas di depannya.

Jentik basah diujung rambut legamnya membuat Tsukishima berasumsi si kakak kelasnya ini baru saja selesai dengan pelajaran olahraganya. Agak aneh. Keringat tak tercium sama sekali. Sengat matahari yang tercampur wangi sabun cuci tangan di kamar mandi pria malah mengudara.

Tubuh yang lebih tua lurus tegap dengan pundak yang meregang kain baju olahraganya. Tubuhnya terlihat keras. Dilihat sekilas saja sudah jelas Tsukishima kalah soal kekuatan. Tinggi tubuhnya tak membantu sama sekali.

Matanya membulat besar saat lelaki di depannya tiba-tiba berhenti untuk berbalik.

Pandangan Tsukishima di balik cermin matanya ditantang oleh mata yang coklat cerah, sewarna dengan daun ginkgo yang gugur di bawah sepatunya.

'Oh, sekarang musim gugur, ya?'

“I like you.”

'Tapi, kenapa Kuroo Tetsurou melihatnya seakan musim semi telah tiba?'

Begitu; Akhirnya Tsukishima Kei peduli dengan pantulannya di cermin.

“You are so pretty.”

Suara lelaki itu terdengar sangat percaya diri. Seakan sedang membaca teori tak terbantahkan bahwa bumi itu bulat. Ditambah Kuroo mengatakannya setidaknya dua kali sehari, bagaimana Tsukishima tak merasa penasaran apa yang dilihat Kuroo pada wajahnya?

Hari ini dua minggu dan Tsukishima belum memberikan jawabannya. Hari ini, Kuroo dengan berani menyentuh pipinya dengan ibu jarinya.

“You have tiny freckles here,” Kuroo tersenyum, jadikan krim melon di pinggir bibir Tsukishima jadi jalur permisi untuk memegang tulang pipinya, “cantik.”

Tsukishima memandang wajahnya 5 menit lebih lama setelah mencuci wajahnya di malam hari. Ia mendekatkan dirinya pada refleksi di cermin, menelusuri apa-apa yang sekiranya buat Kuroo bilang bahwa ia cantik.

Pemuda itu diam duduki wastafel kamar mandinya. Merasa kesal tiap detik berlalu.

Apa yang cantik? Mananya yang cantik?

Akhirnya, Tsukishima dibuat penasaran dengan jawabannya. Makin hari, Tsukishima memandang lebih lama dirinya di depan cermin. Tsukishima Kei mulai menghabiskan banyak waktu untuk memilih bajunya. Ia juga mencoba beberapa kali mengganti gaya rambutnya walau tak berhasil. Lambat laun, raknya makin dipenuhi oleh produk kecantikan. Tujuannya untuk memuaskan dirinya. Untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa apa yang Kuroo katakan benar.

Tsukishima Kei cantik.

Jerawat kecil yang ada di bawah dagunya menghilang dan Kuroo Tetsurou mengelusnya tepat disana, dengan takjub berkata _’perasaan aku aja atau kamu makin cantik? Jerawat kamu yang ada disini hilang.’

Kalimat sederhana Kuroo terasa menyenangkan di telinganya. Kepercayaan diri yang tadinya tak pernah menampakkan diri tiba-tiba membanjiri dadanya dengan riuh. Tsukishima tercengang, pandangi Kuroo di depannya.

Begitu sadar, Kuroo sudah menerobos spasi pribadinya. Menatapnya yang tadi terbengong karena terpaku pada getar di dada.

Kemudian hatinya berdegup kencang dipandangi lebih dekat oleh si kakak kelas yang pahanya menempel dengan miliknya. Kuroo bertanya dengan enteng namun tiga tingkat lebih serius daripada berkali-kali ajakannya yang lalu,

”Mau jadi pacarku?”

Dan kali ini jawaban Tsukishima yang terasa menyenangkan di telinga Kuroo.

-

“Kamu gak ada niat jadi model, Kei?” adalah hal kedua yang diutarakannya pada sang kekasih setelah pertama kalinya mereka menanjak langkah selanjutnya yang lebih dewasa dalam hubungan mereka.

Hal pertama adalah, “sakit gak Kei?” yang dijawab pukulan tak pelan di paha yang telanjang.

Tsukishima tertawa dengan suara serak, “ide asal darimana itu?”

Kuroo tergagap bingung mulai darimana. Inginnya banyak-banyak berteori. Tubuhnya saat itu gatal ingin duduk di meja belajarnya menyusun essay sebanyak minimal 13.000 kata dan menjabarkan apa-apa saja yang menjadi landasan dari gagasannya tadi.

Tubuh Tsukishima Kei begitu… cantik. Sebuah asumsi pasaran yang mudah ditebak hanya dengan melihat wajahnya yang cantik. Tapi, Setelah melihat Tsukishima yang polos tanpa busana di atas kasurnya, Kuroo berpikir bahwa kekasihnya itu benar-benar tak terkira menawannya.

Ditengah serbuannya menerjang tubuh bagian bawah Tsukishima tadi ia berpikir tentang lukisan. Kuroo bukan anak yang paham seni, asal tahu saja. Tapi, tiba-tiba saja ia mengerti perasaan Jack Dawson yang ingin mengabadikan keindahan Rose Dewitt Bukater dengan pensilnya. Kekasihnya yang berpeluh dengan mulut terbuka buat jantungnya berdebum-debum, menggelitik tangannya untuk melakukan sesuatu, tapi Kuroo tak begitu gila untuk lari mencari pensil dan kertas hanya untuk melukis kekasihnya dan meninggalkan kenikmatan dunia di tengah kakinya. Toh, ia tak bisa menggambar.

Selain lukisan, keinginan untuk memfoto juga terlintas di kepalanya. Kuroo tak mengerti bagaimana fotografi bekerja dan apakah pantas untuk menjepret Tsukishima yang bibirnya merah karena digigiti, tapi wajah cantik Tsukishima yang merona rasanya pantas didokumentasikan. Walau soal ini mudah dilakukan karena Kuroo bisa langsung saja mengambil ponselnya dan memotret, niatnya diurungkan saat kaki jenjang nan indah Tsukishima mendekap punggungnya. Permintaan bisu untuk Kuroo masuk lebih dalam. Akhirnya ia melupakannya, ingatnya hanya kaki bersih yang diciuminya.

Dan ya—itu lah kenapa akhirnya pertanyaan minat untuk menjadi model terlontar begitu saja dari mulutnya.

“Kamu cantik.” akhirnya menjadi jawaban setelah memutar kepala. Sang kekasih hanya mengangguk. Pikirnya mungkin Tsukishima tak terlalu menanggapi serius morning talk-nya setelah malam yang melelahkan.

Tapi, ternyata Tsukishima membalas jawabannya,

“Nanti, mungkin. Kalau aku butuh uang.”

Kuroo menyipitkan matanya. Bukannya bagaimana, tapi mendengar Tsukishima membutuhkan uang dan harus bekerja untuk mendapatkannya terdengar aneh saat ini. Setaunya, walaupun belum pernah benar-benar berkunjung ke rumah sang kekasih, Kuroo tau bahwa Tsukishima adalah salah satu orang terpilih; ia terlahir di keluarga yang cukup berada. Ya mungkin maksudnya adalah apabila pekerjaan di masa depannya tak berjalan begitu mulus. Tapi keluarganya tak mungkin membiarkan anaknya kesulitan, kan?

Kuroo tak berpikir lebih jauh karena Tsukishima tiba-tiba menciumi punggungnya dan ia melupakannya begitu saja.

Sampai akhirnya Kuroo tahu maksud Tsukishima di hari itu. Butuh dua tahun untuk mengetahuinya.

Malam itu gerimis, Kuroo sedang menyusun rancangan belajar untuk murid-muridnya minggu depan. Sudah setahun sejak Kuroo menjadi guru kimia di Sekolah Menengah Akhir yang dulu menjadi tempatnya belajar. Targetnya menjadi dosen dibanding menjadi guru, tapi Kuroo memerlukan biaya tambahan selain pemberian orang tuanya untuk melanjutkan ke jenjang S2. Ia juga butuh rekomendasi untuk mengajar di yayasan mengajar yang lebih tinggi.

Ponselnya berdering jam sepuluh malam. Kuroo langsung terbirit keluar karena pesan singkat yang memberitahu bahwa kekasihnya berada di depan rumah.

Tsukishima berdiri di depan pagarnya, tudung abunya menghitam karena rintik hujan.

“Hei,” Kuroo mengedip bingung lihat Tsukishima menatapnya dengan wajah yang merah. Bukan merah bersemu yang biasa jadi favoritnya. Dari matanya mengalir air yang lebih deras dari rintik hujan yang mematuk kepala, “ada apa?”

“Mereka mengusirku.”

Tsukishima hanya berkalimat satu kali, tapi ribuan penjelasan mengetuk kepala Kuroo.

Apa ini alasan mengapa Kuroo tak pernah diperbolehkan untuk mendatanginya rumahnya?

Sekali, Kuroo pernah memberikan kejutan dengan menunggu di depan rumahnya jam 1 malam karena Tsukishima yang menolak berbicara dengannya. Biasa, pertengkaran kecil. Tapi pertengkaran itu hampir berubah menjadi besar. Tsukishima, dengan tangan gemetar dan suara berbisik menyuruhnya pulang, menyuruhnya untuk tidak menyalakan mesin motor di depan rumahnya. Tsukishima mau memaafkannya setelah ia berjanji untuk tidak datang ke rumahnya atas izinnya.

Tiap kali Kuroo punya waktu menjemputnya di kampus untuk mengantarnya pulang, Kuroo selalu dibuat berhenti di depan konbini dekat rumahnya. Inginnya bertanya, tapi Tsukishima terlihat tak mau banyak bicara. Kuroo benci mendorong Tsukishima melakukan yang tak mau dilakukannya, makanya Kuroo memilih diam dan menikmati es krim dengan Tsukishima di sampingnya.

Kini Kuroo paham. Selama ini Tsukishima menyembunyikan dirinya dari keluarganya. Malam ini mungkin akhirnya ia mengaku dan Tsukishima kehilangan keluarganya.

Kuroo mengecupnya di kelopak mata. Ia menawarkan rumahnya, menawarkan hangat yang diberikan oleh ibu dan saudara-saudaranya yang mengerti siapa Kuroo Tetsurou dan mengetahui hubungannya dengan Tsukishima. Sang kekasih menolak, tak mau merepotkan tapi mengiyakan ajakan menginapnya.

Malam itu Tsukishima yang tak banyak bicara terasa makin bungkam. Kuroo yang biasa cairkan suasana di antara berdua juga ikut diam.

Ingin sekali bertanya apa yang sebenarnya terjadi, apa yang membuat Tsukishima yang terbiasa bersembunyi kini keluar menampakkan diri, tapi Kuroo merasa malam itu kekasihnya tak mau banyak ditanya. Bukan pertanyaan yang dibutuhkan oleh kekasihnya malam itu.

Merasa tak mampu melakukan apa-apa, ia hanya membalas pelukan Tsukishima yang erat melingkari tubuhnya, menjadi pegangan saat lelaki yang didekapnya mencari nyaman di tubuhnya.

Setelah semalam menginap, Kuroo mengantar Tsukishima ke rumah barunya; kamar sewa yang ukurannya benar-benar kecil. Kasurnya di lantai dan hanya cukup untuk satu orang. Hasil dari menabung, katanya.

Tenggorokannya tercekat melihat lelaki yang dicintanya merapikan barang yang keluar hanya dari satu ransel. Matanya pandang Tsukishima yang punggungnya terlihat kecil dan turun.

Tsukishima mengusirnya karena Kuroo punya kelas yang harus diajarnya siang hari. Ia Berjanji akan kembali nanti malam dan menginap. Besok Sabtu dan sekolah libur, alasannya. Tak ada kasur tersedia untukmu, alasan Tsukishima.

Si tuan 'kamar' menyandarkan tubuh kurusnya di pintu, perhatikannya yang memakai jaket di pintu masuk.

Ia tahu bahwa Tsukishima yang secara fisik terlihat lebih baik di depannya tidak boleh kembali disenggol, tapi Kuroo merasa harus mengatakan sesuatu, ingin mengatakan sesuatu. Tegang semalaman tak berikan kesempatan untuk dirinya berbicara.

Ia berbisik di telinga sang kekasih. Halus, tapi ia berusaha meyakinkan dengan tegas, dengan percaya diri.

Tsukishima menangis keras mendengarnya, tangannya memeluk Kuroo dekat.

“Aku akan menjadi keluargamu, Kei.”

-

“Menurut kamu gimana?”

Musim semi 2014, Fukuoka. Dua bulan setelah Kuroo dan Tsukishima memutuskan pindah dari Miyagi untuk tinggal bersama. Tidak ada lagi Tsukishima yang tinggal di kamar sewa yang disulap menjadi tempat pacaran karena hampir dikunjungi setiap hari oleh Kuroo.

Penyebab pindahnya adalah Kuroo yang diterima oleh Universitas Fukuoka untuk melanjutkan gelar magister Pendidikan Kimia setelah menabung dua setengah tahun. Ia juga mendapat pekerjaan baru di sekolah swasta, yang berarti bayarannya lebih besar.

Alasan membawa Tsukishima adalah jarak tempuh yang lumayan buat pegal. Kuroo terbiasa menempel lengket dengan sang kekasih. 1,506 km terdengar keterlaluan.

Awalnya Kuroo takut mengajak Tsukishima tinggal bersama. Ia tak dapat menjanjikan sebuah apartemen besar, hanya sebuah tempat tinggal yang hangat di musim dingin dan tak terlalu panas di musim panas.

Selain itu ada komitmen yang tertera jelas saat tinggal bersama, frekuensi bertemu lebih sering yang mengakibatkan kurangnya ruang pribadi dan pertimbangan-pertimbangan berat lainnya.

Sisi lain dirinya tahu bahwa tak mungkin Tsukishima menolaknya, tapi sisi pesimisnya lebih banyak berteriak. Tsukishima lebih sering mencari ketenangan dan kesendirian yang mana berbanding terbalik dengannya. Walau ia tak pernah sama sekali mempermasalahkan keberadaan Kuroo bahkan di hari-hari buruknya, tetap saja, tinggal bersama bisa terdengar lebih merepotkan daripada yang sebenarnya.

Lagi, mengajak pasangan untuk tinggal bersama adalah langkah baru dan besar dalam sebuah hubungan. Kuroo siap, entah Tsukishima.

Kenyataan berkata lain; delapan tahun berpacaran dan baru kali ini Kuroo salah menebak Tsukishima.

“Boleh,” jawab Tsukishima enteng, menghadapi Kuroo yang belakang kepalanya timbul keringat, “asalkan tempat tidurnya memojok ke dinding dan aku tidur di bagian dalam.”

Lelaki yang lebih tua begitu ingat sensasi lunturnya cemas yang digantikan kebahagiaan.

Kuroo duduk di atas wastafel, mengadahkan wajah. Pisau cukur yang digenggam Tsukishima berada di belakang dagunya, menggesek rontok bulu-bulu disana.

“Kamu harus ambil,” jawab Kuroo, “kayanya kamu harus lebih serius soal modelling, Kei. Kamu berbakat, aku yakin kamu bisa berkecimpung lebih jauh.”

“Tapi modelling gak bertahan lama,” alis lelaki di depannya mengkerut-kerut, berusaha fokus dengan bagian mana dari wajah Kuroo yang belum tercukur tapi juga berusaha agar tak sakit kepala dengan topik berat begini di pagi hari, “mukaku mengkerut, selesai.”

“Jangan pesimis begitu, setua apapun umur kamu, kamu tetap cantik.”

Tsukishima mencibir.

“Nanti kamu bisa balik lagi jadi ahli diet, kan? Pengalaman 1 tahun 7 bulan itu lumayan,” “Atau gimana kalau buka restoran? menunya makanan sehat semua. Nanti aku bantu.”

Sudah hampir setahun sejak Tsukishima mulai menggeluti dunia modelling, menjadikan hal tersebut sebagai kerja sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai Ahli Diet di perusahaan kebugaran yang cukup bergengsi.

Terhitung dua bulan ini, Tsukishima telah melepas pekerjaannya sebagai Ahli Diet. Hal ini karena perhitungannya soal menerima agensi utama dari sub-agency tempatnya bernaung saat ini.

Awalnya Tsukishima ditawarkan oleh teman dari temannya yang seorang model recruiter . Tsukishima yang melakukan member broadcast untuk sesi konsultasi diet dianggap menarik.

Kuroo yang mendengar itu mana mungkin diam saja? Ia ribut mendorong sang kekasih untuk menerima tawaran audisi dan interview dan ya— Tsukishima diterima begitu saja. Alasannya karena kaki jenjang yang indah, wajah datar dingin dan rambut terang yang terlihat hangat.

Tsukishima menyukai pekerjaan sampingannya lebih dari yang ia duga. Wajahnya dipoles cantik, baju-baju modis dan aksesori cantik yang bisa dicoba secara cuma-cuma dan Tsukishima hanya perlu berdiri di depan kamera dengan pose yang minim.

Si pemuda berumur 24 mendapatkan kepercayaan dirinya dan ia sangat menyukainya.

Tsukishima yang di awal masih kaku untuk bersikap di depan kamera makin lama makin mendapatkan dirinya. Ia kini tahu dimana harus menempatkan tangan dan kakinya, tahu bagaimana membuat kakinya terlihat lebih jenjang lagi, tahu cara memasang ekspresi wajah yang membuat penikmat majalah dan page website tak berpaling darinya.

Pernah suatu ketika Tsukishima yang baru pulang dari pemotretan diterjang begitu saja oleh sang kekasih. Diciumi punggung tangannya kemudian pipinya dan ia diangkat bagai putri kerajaan dan dilempar halus ke singgasananya; ranjangnya.

Tsukishima yang mengerang karena diciumi kedua belah kakinya teringat kalau majalah Vogue dirilis hari itu. Dimana ia memakai suit sebagai atasan tapi dengan maxi skirt tipis menjadi bawahannya.

Ia juga ingat foto dimana ia melebarkan kakinya lolos perilisan.

Ya, contoh nyata orang-orang yang tak berpaling dari hasil pemotretannya adalah Kuroo tetsurou ini.

Setelah mencuci mukanya, kini Kuroo bersih. Tak ada lagi rambut yang akan menggelitik Tsukishima di tengah ciuman mesra seperti pagi tadi.

Ya, Tsukishima menghentikan morning smooches session merea karena tak tahan geli dan menarik Kuroo untuk dicukur dagunya.

“You think so?” dagu Kuroo dikeringkannya lembut dengan handuk, “Gak cemburu?”

Kuroo mengeryit, “soal?”

“Aku yang join agensi besar gini, aku bakal makin sering dimuat di majalah atau website terkenal.”

Kuroo memasang wajah sok dewasa, tak terima dituduh begitu, “Gak lah! Aku justru seneng karena pacarku sukses. Coba bayangin kamu ada di billboard besar gitu—”

“Walaupun aku pake baju seksi?”

Sikap dewasa lelaki berambut legam luntur, bibirnya menipis.

Tsukishima tertawa, memeluk kekasihnya yang bersandar di wastafel.

Kuroo ikut tertawa setelah berpikir, tangan telanjangnya memeluk balik kekasih.

“Gak apa-apa kayanya kalau lihat, kan tetap aku aja yang bisa begini tiap pagi sama kamu? No one can get The Tsukishima Kei in their arms, almost naked.

Mendengar lelaki yang mendekapnya berkata-kata dengan percaya diri, entah kenapa buat Tsukishima mengecup bibirnya bulat-bulat. Hatinya penuh. Kuroo Tetsurou selalu berhasil membuatnya merasa bagaikan orang yang paling berharga sedunia; sebuah perasaan yang paling dibutuhkan olehnya mengingat banyak hal yang terjadi sejak ia resmi lulus dari perguruan tingginya.

“How about breakfast with The Tsukishima Kei on the plate?”

“Sure. Only if i get to taste healthy juice right from the source.”

Cubit di pinggang buat Kuroo mengaduh.

“Will you let me?”

Tsukishima dengan bibir yang digigit mengangguk.

“You better eat me good, Sir.”

-