Living Up the Name: Kitten

-

Bukan hal baru untuk Mingyu, yang rajin memonitori kolom komentar setiap kali konten baru terbit di channel youtube mereka, menemukan komentar dengan 'Wonwoo' dan 'kucing' di kalimat yang sama.

Hal-hal kecil yang dilakukan lelaki berambut legam itu dibanding-bandingkan dengan kelakuan kucing pada umumnya. Gerak terkecil Wonwoo sampai yang berada di ujung dan hampir keluar dari frame tak luput dari kemampuan observasi fans yang gak bisa diragukan lagi. Wonwoo yang duduk dengan kaki menekuk ke belakang, wajahnya yang mengerut saat tertawa, mata yang menyipit sampai hilang, bahkan bersin; semuanya dicocok-cocokkan dengan kucing. Cat behaviour, kata fansnya.

Komentar yang bermacam-macam bentuknya itu membuat bibir Mingyu menipis, perasaan campur aduk dan kepala penuh wajah pacarnya itu. Sedikit kesal karena fansnya terlihat tahu banyak soal Wonwoo dan kecenderungan sifatnya yang mirip kucing.

Jempolnya gatal, sisi posesifnya ingin ikut mengomentari, menekan tombol thumbs up dan thumbs down secara bersamaan; setuju tapi juga menolak setuju dengan teori cocoklogi fans soal pacarnya yang katanya mirip kucing.

Karena seharusnya cuma dia yang tahu betul soal Wonwoo dan peringainya yang mengingatkannya dengan bola bulu itu.

Dari observasi fisik, Wonwoo memang punya fitur yang seharusnya cuma dimiliki kucing. Soal ini bukan cuma Mingyu yang peka.

Satu, sepasang mata pacarnya yang berbentuk setengah bulan. Menukik panjang dan tajam di bagian ekor. Sekilas mirip dengan rubah, tapi matanya yang tenggelam saat menguap atau tertawa sangat kitten-ish. Bulu matanya tak begitu lentik, buat bola matanya punya akses luas menatap intens apa yang ada di depannya.

Cantik, jelas. Pertama kali ditatap sepasang mata seelok itu Mingyu tersandung kakinya sendiri. Fitur di wajahnya yang satu ini beri kesan kuat dan dingin, buat Wonwoo terlihat susah didekati.

Tetapi ini poinnya; Wonwoo mengingatkannya pada kucing di kali pertama bertemu yang belum jinak, tak sembarang manusia bisa mendekatinya. Orang di sekitarnya butuh pemanasan, butuh waktu sampai Wonwoo lengket dan mau diajak bergurau atau mungkin menyandarkan kepalanya ke pundak orang lain.

'Si kucing harus memastikan si manusia itu aman, bukan lagi ancaman.'

(Pertama kali pundak Mingyu disandari, ia sampai menahan nafasnya terlalu lama dan akhirnya terbatuk karena lupa paru-parunya butuh oksigen.)

Dua, hidungnya.

Bukan bentuk hidungnya yang mirip kucing. Aneh untuk menyamakan hidung manusia dengan hidung hewan berbulu itu. Beda dengan kucing, hidung pacarnya menonjol runcing, punya potensial untuk menusuknya kalau lelaki yang lebih tua itu sedang asik menciumi dan mengendusi lehernya.

Masalahnya ada di kerutan hidungnya saat Wonwoo tertawa.

Kalau hatinya terbuat dari balon dan jantungnya berfungsi sebagai pompa, Mingyu pasti sudah meledak tiap kali lihat pacarnya tertawa, kerutan hidungnya muncul tanpa dosa. Ditambah lagi matanya yang ikut menyipit karena menahan agar tawanya tidak terlalu keras.

Mingyu akan menarik nafas, tangan mengepal menahan diri untuk tidak merusak proses syuting dengan mencium Wonwoo sampai kehabisan nafas di depan teman-teman dan para staff. Mingyu akan mencubiti pahanya sendiri agar fokus dengan lelucon Seungkwan di depannya, walau kepalanya berisik mencari ide harus mencium kucingnya dengan gaya apa nanti malam.

(Wonwoo yang bingung akan diciumi dan digigiti semalaman wajahnya oleh Mingyu setelah schedule beres. Banyak erangan karena Wonwoo kesal; seharusnya memakai skincarenya sebelum tidur, malah mendapati bite mark di pipinya.)

Bagian tiga, duh, bibirnya.

Ini bagian favorit Mingyu lagi.

Bibir kesayangannya itu mungil dan tipis, sedikit gemuk di bagian tengah bibir bawahnya. Di tiap ujung bibirnya akan terbit lengkungan tipis saat mengulas senyum. Garis tepi bibirnya tegas, berbentuk gunung yang mancung di bagian atas, seakan menantang yang melihat untuk singgah sebentar disana. Mingyu jadi tamu satu-satunya disana.

Warnanya cantik; pinkish dari lahir, tapi si pemilik kedua belah buah plum itu tanpa sadar suka menyiksa Mingyu. Selain rutin dengan lipcare yang berujung bibir sehat dan kenyal, si pacar punya kebiasaan menjilat bibirnya sendiri. Motifnya gak jelas, tapi akibatnya pasti; Wonwoo akan dibantu Mingyu untuk menjilati bibirnya atau kalau waktunya sedang ekstrem, menggigitnya.

(Wonwoo akan protes tanpa menghentikan Mingyu. “Kenapa tiba-tiba gigit aku, sih?”. Liat pacarnya agak manyun, Mingyu malah makin menggebu-gebu, gak tahan dan menunduk mencium lagi si kucing yang marah. “Salah kamu, pokoknya.”)

Saat sadar kekesalannya (kecemburuan) pada fans tak berarti, pundak Mingyu yang tadinya naik, melonggar. Setelah dipikir-pikir, pada akhirnya, ialah yang bisa menyalurkan kegemasannya langsung pada si kucing sumber masalahnya, si pacarnya itu.

Cuma Mingyu yang bisa ikut masuk ke dalam selimut saat Wonwoo lagi dalam masahibernasi di musim dingin; mendengarkan musik seharian sambil membaca e-book di ponselnya, dikubur selimut tebalnya.

Paha Mingyu biasadijadikan pangkuan kepala sesama rapper di grupnya itu saat asik beramai-ramai menonton film yang tak lagi tayang di bioskop. Pipinya akan menggesek-gesek Mingyu, mencari posisi yang tidak akan menimbulkan sakit leher.

Wonwoo hanya akan mendengung afirmatif saat Mingyu yang menggesekkan jarinya di bagian rahangnya saat Wonwoo mulai mengantuk di tengah break pemotretan. Lelaki yang lebih tua terlihat menikmati kulit jarinya yang padat dan terkesan keras menyentuhnya.

Mingyu tersenyum menyebalkan, merasa menang dari semua orang.

Mingyu 1 – semua-orang-yang-bukan-pacar-Wonwoo 0.

Lagipula, lagipula, ada satu hal lagi, hal terpenting, yang cuma Mingyu seorang di dunia ini yang tahu.

Kapan dan dimana sifat kekucingan Wonwoo menjadi-jadi— berada di puncak-puncaknya.

Mau tebak-tebakan?

Yang jelas, ini bukan konsumsi umum; bukan hal yang akan Wonwoo perlihatkan saat di depan kamera atau di depan teman-temannya.

-

“Halo? Gimana, dapet?”

Biasanya Mingyu tidak akan mengangkat telepon. Mematikan ponsel atau mengaktifkan mode silent sudah seperti aturan tak terucap di antara mereka di saat-saat begini.

Jangan salahkan Mingyu, tapi ini benar-benar penting; Minghao sudah berbaik hati mau menggantikannya mengikuti lelang online kamera idamannya yang sialnya jadwalnya bertabrakan dengan janji dadakannya dengan sang pacar. Ia hanya tinggal duduk dan menunggu konfirmasi dapat atau tidak.

Walaupun pacarnya sekarang bersimpuh di lantai— di tengah kakinya, ia tidak bisa tidak mengangkat teleponnya.

Wonwoo sedikit melotot, kenapa diangkat?

Mingyu tersenyum penuh merasa bersalah. Jarang-jarang Wonwoo semangat begini dan Mingyu malah merusaknya. Tangannya menangkup sebelah pipi Wonwoo dan mengelusnya, sebentar, penting.

Minghao di seberang teleponnya meminta maaf karena gagal, tapi juga menawarkan kamera lain yang punya spesifikasi yang sama dan— ini itu ini itu.

Suara Minghao di seberang hampir tak terdengar lagi.

Fokus Mingyu agak terganggu lihat pacarnya menyandarkan pipinya ke pahanya yang terbalut celana jeans. Pipinya bergeser, menggesek-gesek, mata sayunya tatap balik Mingyu tapi ia bersumpah lihat Wonwoo sesekali melirik apa yang ada di tengah kakinya.

Mingyu menarik nafas. Kesabarannya bagai layang-layang yang dikendalikannya di tengah gulungan angin; bisa putus kapan saja.

Yang lebih tua kelihatan lunak diapit pahanya. Sangat bukan Wonwoo yang agresif di atas panggung, memukul rata bagian rapnya tanpa masalah. Wonwoo di tengah kakinya terlihat penurut— pasrah, malah. Rasa-rasanya ia akan menerima apapun yang diberikan oleh Mingyu.

Tapi karena Mingyu tak kunjung memberi apa yang dinanti, Wonwoo berinisiatif sendiri, menolak menjadi kucing penurut untuk Mingyu. Wonwoo menusuk kulit jeans Mingyu dengan hidungnya untuk kemudian menggigit lumayan keras disana— di paha Mingyu. Giginya menarik kain di kaki Mingyu, tapi kulit pahanya pun kena imbas gigitan.

Layang-layang yang susah dikendalikan Mingyu akhirnya putus.

“Tutup dulu, nanti lagi—” potong Mingyu entah pada kalimat Minghao bagian mana.

“Hah? Terus gimana? Yang ini agak mahal—”

“Beli aja.”

Mingyu tak peduli lagi soal tabungannya, ada kucing manja yang tersenyum kecil saat Mingyu melempar ponselnya entah kemana.

“Jadi gitu mainnya?”

“Main apa?”

“Kak—”

“Habis kamu—” satu kecupan menempel di paha Mingyu, “—bisa-bisanya ninggalin aku begini.”

Mingyu berusaha terlihat cool di saat nafasnya sudah keras-keras lewati hidungnya karena gak sabar.

“Begini gimana?” Goda Mingyu, jempolnya yang betah di pipi lelaki yang satu turun dan sampai di bibir yang agak mencebik.

Tanpa jeda Wonwoo menjepit jempol dengan bibirnya. Gak keras, tapi cukup jadi spoiler gimana rasanya nanti diapit oleh Wonwoo di mulut. Terasa kering di bibir, Wonwoo memberikan jilatan kecil dengan ujung lidahnya. Pemanasan, sebelum merasakan Mingyu dengan seluruh permukaan indra perasanya.

Mingyu menggeram, jempolnya maju menekan lidah sang pacar, menekan-nekannya, sampai lenguhan terseret keluar dari tenggorokan Wonwoo. Mingyu tak peduli jempolnya kini dibanjiri saliva sang pacar. Sudah biasa. Wonwoo selalu terlalu basah di bagian mulutnya, buat apapun aktivitas yang berhubungan dengan mulutnya akan menjadi berantakan. Make out di belakang panggung selalu berakhir dengan bagian kerah baju keduanya menggelap basah.

Ini bukan protes. Mingyu malah terlalu menyukainya. Tau apalagi yang bisa dibuat basah oleh mulut kecil pacarnya?

Setelah mengitari permukaan giginya, jempol di mulutnya menghilang. Juntaian kental saliva dibiarkan begitu saja menetes. Wonwoo dibawa mendekat, tangan Mingyu di belakang lehernya, menuntun Wonwoo ke bagian pusat tubuh Mingyu. Hidung runcingnya menusuk Mingyu di tengah, masih dengan lidah yang keluar melewati bibirnya karena pergerakan tiba-tiba.

“Ya udah, mulai.”

Wonwoo memang mau, tapi— “kaki aku pegal, Gyu.”

Mingyu memutar bola matanya, “kok?”

“Lutut aku—” Wonwoo mengecup bukit di depan bibirnya, “—maaf.”

Mingyu tanpa banyak protes membantu pacarnya bangkit, mengangkat Wonwoo di pinggangnya dan dibawa mundur ke ranjangnya.

Keresahan pasti tercetak jelas di wajahnya karena Wonwoo tertawa kecil. Punggungnya mundur sampai kepalanya menabrak halus kepala ranjang.

“Lucu? hah?” Mingyu menghela nafasnya tak habis pikir, “kamu 'tuh gak biasa di lantai kayak tadi ngasih blowjob,” dumel Mingyu, kakinya memerangkap tubuh bagian atas Wonwoo. Tangannya bergerak tak sabaran membuka kausnya, “emang harus aku yang ngasih.”

“Lagian tumben, kenapa 'sih?” lanjut Mingyu.

Keheranan Mingyu sebenarnya beralasan. Wonwoo bukannya gak antusias soal aktivitas ranjang. Salah besar. Pada dasarnya mereka berdua sama aja, tetapi Wonwoo lebih suka action daripada bicara dengan mulutnya.

Biasanya saat mau, Wonwoo akan tidur lebih mendempet dan pelan-pelan menekan pinggulnya dengan selangkangan Mingyu. Kecupan selamat malam yang biasa dicetak di leher akan bertengger lebih lama (tidak di muka, keduanya selalu sudah terpoles skincare sebelum tidur. Ya, idol life). Tangan Wonwoo akan tiba-tiba menggerayangi dadanya manja, mengerik dengan kukunya yang pendek.

Tapi tadi sore, selesai recording untuk Ellenshow, dengan keringat yang masih hangat dan baju yang merekat tak nyaman di kulit, Wonwoo tiba-tiba menarik tangannya ke belakang pintu saat member lain belum sampai di ruang ganti. Staff pergi entah kemana.

“Malam ini ada acara?”

Mingyu hampir bilang iya, ingat jadwal lelang yang harus diikutinya dan niatnya memakai semalaman komputer di ruang tengah.

Tapi lihat Wonwoo yang kelihatan menggebu-gebu dengan pertanyaannya, Mingyu akhirnya menggeleng. Pikirnya pacarnya mau quality time. Misalnya naik ke atap apartemen buat ngobrol berduaan setelah beli jajanan sampai pagi atau streaming Netflix semalaman pakai akunnya karena Wonwoo malas beli.

Apa aja, yang pasti Mingyu gak beranggapan ini:

“Hm,” Wonwoo mengangguk, terlihat agak puas. Bibirnya mengulum sebelum meremas pinggang Mingyu, “aku mau kamu—”

“Mau— apa?”

“Want to suck you off.”

Mingyu mengedip, tak percaya dengan telinganya sendiri, “h-hah?”

Derap kaki ramai milik teman-temannya buat Wonwoo menepuk pundaknya, “nanti malam, ya?”

Dan meninggalkan Mingyu kebingungan, masih gak percaya. Sampai riasannya dihapus dan baju performance-nya lepas pun Mingyu masih meragu.

Sampai Wonwoo menyela ajakan group dinner Seungcheol dengan “gue sama Mingyu gak ikut, mau langsung balik aja ke dorm.”

Ya, Wonwoo serius ternyata. Mingyu yang masih waras harus menghentikan Wonwoo yang hampir menelanjanginya di pintu masuk apartemen dan menariknya ke kamar.

“Kamu—”

“Aku?”

Wonwoo menggigit bibirnya, menatap Mingyu yang matanya jauh di atas. Tangannya naik ke paha Mingyu yang menjeratnya, meremas Mingyu disana. Setelah bekas gigitan, Mingyu yakin pahanya akan memerah karena jari-jarinya.

“Seksi— Mingyu, hari ini kamu— seksi? Ganteng? Ya kamu emang ganteng tapi gak tahu kenapa hari ini...” pacar di bawahnya menggaruki pahanya, gugup, “apa karena rambut kamu? gak tau— tadi habis monitoring dan liat kamu pas intro aku panas sendiri? You have a nice hip and thighs and legs and you know ityou are a walking sex and you know it— terus—”

Wonwoo membasahi bibirnya, menarik nafas untuk melanjutkan, “terus aku ngebayangin kalau kamu— punya aku? Cuma aku yang bisa lihat kamu dari bawah sini— aku di bawah kamu— in your mercy—”

“Kamu ngebayangin hal begitu di lokasi syuting,” Mingyu melontarkan pernyataan, bukan pertanyaan, “ada temen-temen kita, staff—”

“I—iya,” Wonwoo memerah padam, tak menyangkal, “aku kepikiran tarik kamu ke toilet buat— buat a quick blow job atau jari kamu di dalam aku—”

“Fuck kitten,” Mingyu kasar-kasar menghela nafas, tangannya ribut membuka sabuk longgar di pinggangnya dan menurunkan resletingnya, “gila kamu— gila.”

Wonwoo menaikkan kepalanya, langsung menggigit tak sabar kejantanan Mingyu yang masih dibalut kain terakhir. Jarinya erat di kaki Mingyu, seolah berpegangan, walau kendali dirinya sudah lama terlepas dari tubuhnya sejak masuk ke apartemen dan dengan ceroboh mencium pacarnya.

“Lepas dulu— Mingyu, buka semuanya—”

“Sabar, sayang.” padahal sama saja, Mingyu juga gak sabar memenuhi kerongkongan kesayangannya.

Celana turun sampai ke lutut, penis Mingyu yang memukul halus dagu Wonwoo tidak dibiarkan merasakan dingin karena langsung masuk ke dalam mulut panas yang menunggunya.

“Hmm.” desau Mingyu puas, jemarinya menyisir rambut lelaki yang pipinya bulat sebelah karena bentuk penisnya. Satu lagi kebiasaan Wonwoo yang menarik keluar reaksi ganda darinya; gemas, tapi ingin juga menyumpal penuh mulut kesayangannya dengan benda yang kelihatan begitu disukainya.

Wonwoo menghirupnya dalam-dalam. Matanya memejam-terbuka-memejam, bagai menikmati culinary terenak sedunia. Bisa jadi memang iya; memang Mingyu nikmat di lidahnya atau nafsunya mencabuti akalnya sehingga apapun bagian Mingyu akan diterima sesuka hati olehnya. Wonwoo tidak pernah menyangka akan begitu menyukai sebuah tonggak di dalam mulutnya dan masih saja kehausan bahkan saat tonggak itu memenuhi mulutnya.

Mingyu benar-benar merubah segalanya.

Setelah jilatan pada ujung kepala dan kecupan-kecupan yang sampai pangkalnya, lelaki yang lebih tua melepas bibirnya. Sekujur penis Mingyu sudah basah semua. As expected from Wonwoo and his mouth. Kepalanya terbanting ke belakang setelah lehernya naik sedaritadi menggapai Mingyu.

“Ke-kesini,” pinta Wonwoo di tengah nafasnya, “fuck my mouth, terserah, aku capek kalau harus kayak tadi.”

Wonwoo memang lebih suka diberi daripada harus berusaha mengambil apa yang dimaunya. Maunya dimanja pacarnya, tak mau menggerakkan jarinya. Maunya hanya tertidur di atas ranjang, terima apapun yang mau pacarnya berikan. Maunya dengan membuka mulut dan kakinya, geloranya terpenuhi.

Pillow princess— atau Wonwoo lebih cocok dijuluki pillow kitten.

Mingyu terkekeh, “kayak kamu bisa aja, you can barely take me whole, kitten.”

Lelaki di bawahnya mengeryit, “aku bisa—”

“Lihat aja,” matanya yang basah diusap, akibat memaksa masuk semua Mingyu ke tenggorokkannya, “kamu kesulitan, sayang. Aku gak mau.”

“I want you,” pinggang Mingyu ditarik turun, “want you deep—”

“You are supposed to take what i give,” Mingyu tak menurut, memilih menggenggam penisnya, menggesekannya pada pipi pacarnya dan turun ke mulutnya, membasahinya dengan precum dan salivanya sendiri, “kalau aku gak mau, berarti enggak.”

“Mingyu—”

“Lagian,” Mingyu beranjak mundur, tak lagi menaungi Wonwoo tepat di mukanya, “I will give you deep, kitten. But not in your mouth.”

Sweatpants Wonwoo dilonggarkan, tungkai kaki yang telanjang diciumi Mingyu, terus digigiti sampai kaki Wonwoo bengkok di atas pundak Mingyu yang bibirnya terus naik ke pahanya. Rambut Mingyu diremas kucingnya saat si penjelajah dengan sengaja menggigit Wonwoo dengan taringnya, menyeretnya, membuat jalan sampai ke pinggangnya yang telanjang karena bajunya yang tersingkap.

“Mi-Mingyu—”

“Hmm,” kecup, kecup, kecup, “kenapa, sayang?”

Kepala Mingyu ditarik ke atas saat pusarnya digigit dan disapu dengan lidahnya.

“Ma-mau cium.”

“Ini aku lagi cium kamu, sayang.”

“Bukan- hmmh—” tubuh Wonwoo berjengit saat Mingyu lolos masuk ke dalam kaos besarnya dan mengigit putingnya keras, “mulut aku.”

Cup, “Mulut atas apa bawah?”

Kurang ajar. Mingyu dan mulutnya yang kurang ajar buat Wonwoo tanpa sadar menyipitkan kedua kakinya yang masih memeluk Mingyu.

Dengar Mingyu melayangkan kepalanya ke ingatan sebulan lalu saat keduanya bereksperimen (ide Mingyu, walau akhirnya diiyakan oleh Wonwoo setelah seharian dibujuk) untuk menjawab pertanyaan berapa kali Wonwoo akan keluar cuma dengan mulut dan lidah Mingyu?

Jawaban: 4 kali, dengan orgasme kering di kali ketiga.

Yang membuat rahang Mingyu sakit dan harus libur les vokal besoknya.

Bukannya waktu itu pertama kalinya, tetapi ass play mereka tak pernah seintens itu, tak pernah buat Wonwoo buta sedetik saat orgasme terakhirnya terpental keluar dari tubuhnya, buat kakinya gemetar dan Mingyu harus menenangkannya yang overwhelmed.

“Sayang,” Mingyu memanggilnya mengejek, bibirnya kini naik mengecup dagunya, “you love the idea, hm? You want me to eat you out now?”

Mau.

Begitu maunya Wonwoo, tapi malam ini Wonwoo ingin digapai sedalam mungkin, ingin merasakan Mingyu di perut bawahnya dan lidah Mingyu tak akan menggapainya sampai puas.

Wonwoo menjilat sisi bibir lelaki di atasnya sebagai jawaban, menagih apa yang sebenarnya dituntutnya tadi, yang bukan soal pantatnya.

Yang satu memenuhi maunya dengan senyuman menjengkelkan, menciumi Wonwoo dengan antusias yang sama sampai katup bibir sama-sama terbuka, bermaksud menghabisi satu sama lain. Mingyu mengais dalam-dalam mulutnya, menggali pusat mata air liur yang jadi langganan pribadinya. Pijatan banyak di lidah Wonwoo dan ia akan banjir di dalam mulutnya, tak bosan-bosan dihirup Mingyu.

“Mmh— Mmihg—”

Jeratan jemari di rambut Mingyu mengerat lamat, malah menjentik hasratnya untuk meminum Wonwoo lebih rakus lagi, mengigit bibir pacarnya untuk tetap terbuka.

Sampai satu cubitan tanda permintaan darurat untuk berhenti di perut si pemburu membuat Wonwoo terbebas. Mingyu turun dan terkekeh, mengecup rahang korban santapan di bawahnya.

“J-jorok Mingyu.” protes Wonwoo yang hampir habis nafasnya, aliran saliva membentang dari sisi bibirnya.

“Kan gak jadi makan pantatnya,” satu kecupan mendarat di dagu Wonwoo, menghentikan laju air liurnya, “so i went for the mouth?”

Wonwoo menggeram kesal, hendak mengambil bantal untuk menutupi wajahnya sampai Mingyu menghentikannya.

“Belum apa-apa kamu mau ngumpet,” tangan Mingyu menangkup kejantanan Wonwoo yang masih tersimpan di celana dalamnya. Mingyu mengusapnya di antara jari-jarinya, buat Wonwoo mendesah, merapatkan pahanya. Bagian sana sejak tadi tak dapat perhatian, “bagian ini belum, sayang.”

Setelah seluruh kain dari tubuh mereka terkumpul jadi satu di lantai, Mingyu menaungi pacarnya kembali yang terbaring pasrah siap untuk dijelajahi lagi, menunggu Mingyu mengabulkan permintaannya yang lain, sampai dalam.

Mulutnya memang tak banyak terbuka, tak banyak merengek meminta ini-itu dari Mingyu, tapi Wonwoo benar-benar terlihat menginginkannya; apapun bagian Mingyu yang ingin diberikannya. Matanya menatap antisipatif dengan bolanya yang bergerak kesana-kemari mengitari tubuh Mingyu yang transparan tanpa sehelai benangpun yang menutupinya.

Mingyu tau ia atraktif, sang pacar juga tak pelit mengingatkannya dengan pujian, tetapi Wonwoo harus tau pemandangan yang dilihatnya menyaingi bahkan matahari yang terbenam di pinggir pantai; Wonwoo mempesona, ciptaan Tuhan yang bisa Mingyu puja-puja sampai kakinya, terutama saat berada di bawahnya dengan nafas yang satu-satu.

Kulit suci Wonwoo memerah karena malu juga lelah akibat stimulasi tanpa henti dari Mingyu pada hawa nafsunya. Dadanya yang dititiki gigitan Mingyu naik turun dengan cepat mengais udara yang panas di sekitar mereka. Rambutnya lembab, merambah pasrah ke bantal di belakang kepalanya. Matanya berkabut, dibutakan keinginannya untuk dibolak-balikkan kewarasannya oleh Mingyu, untuk digerogoti sampai ke dalamnya.

Gila, betapa Wonwoo menatapnya dengan percikan api membentuk bintang di matanya dengan lidah yang sesekali membasahi bibirnya yang merekah dan memang sudah basah; Wonwoo menunggu, mendambanya.

Tapi bukan Mingyu kalau ia langsung memberikannya begitu saja.

Mingyu mengocok botol pelumas di tangannya, tanpa sadar ikut menjilat bibirnya, “kamu mau prepare sendiri?”

Wonwoo menggeleng, kakinya terbuka mengundang lelaki yang lebih muda.

“Kamu. Kamu aja.”

“You act like princess.”

Gumaman kecil jadi balasan, Mingyu memaksa Wonwoo mengulanginya.

“Y-your princess.”

“Fuck, right,” Mingyu menghela nafas keras, menyesal kenapa penisnya tidak masuk dari tadi ke dalam tubuh Wonwoo supaya ia bisa menghajarnya masuk lebih dalam sebagai balasan karena berbicara konyol seperti itu dan berhasil menyiram bensin pada kobaran api di perutnya, “a fucking princess who loves to take me in while lying down, without moving a hand.”

Mingyu hampir meledak, hampir merobek celana dalam Wonwoo yang sedang ditariknya saat pacarnya itu mengangguk lemah, mata setengah bulannya balik menatapnya.

Jari basah sempurna, pelumas yang tinggal setengah, Mingyu yang di tengah kaki Wonwoo.

Here you go, sayang.”

Jari Mingyu memang bukan standar wet dream material dengan tulang panjang atau bagaimana, tapi Wonwoo selalu terbaring sangat puas setelahnya.

Jari Mingyu yang dibilang orang sturdy; kokoh dan gemuk di lekukan yang pas. Kukunya yang rutin dipotong membuka Wonwoo dengan mudah tanpa khawatir menyakiti, ditambah dengan bakat menjarinya, mengeruk Wonwoo, seakan jari Mingyu memang dibuat untuk menjari. Wonwoo yang suatu hari dijari Mingyu di toilet acara akhir tahun pernah bersumpah bisa saja basah seperti perempuan.

“Deeper— y-ya— Minm— Gyu—”

Banyaknya pengalaman, Mingyu tak lama sampai menambah jari ketiga, buat lelaki di bawah ampunannya makin resah, mengayuh kakinya di atas ranjang.

“You okay?”

“Y-ya, mmh- lagi?”

“Satu jari lagi?”

“Hmm.”

“Tiga aja ya? Four is too much, i want it tight.”

Wonwoo mengangguk, pinggangnya ikut bergerak mengejar jari Mingyu yang menjarinya halus.

Lelaki di atasnya terkekeh, mencium pipi pujaannya berkali-kali, “thought you don't want to move, princess?”

Helaan nafas, “w-want you-” kecupan di dagu Mingyu, “ayo Mingyu— kurang, mau kamu—”

“Apanya?”

“Ka-kamu— Mingyu, mau kamu.”

“Tell me, princess. What do you want?” rambut yang menempel di dahi sang putri disisirnya bersamaan dengan peluhnya dan Mingyu tak meragu mengecupnya tepat dimana harusnya tersemat sebuah mahkota di kepala pacarnya, “You know i will give everything for you.”

Wonwoo begitu butuh, begitu lemah kelaparan karena hawa nafsu yang tak kunjung dipenuhi. Panggilan princess yang diam-diam disukainya membangunkan remang di kulitnya.

Dan Mingyu lupa memperhatikan reaksi pacarnya; saat ia tak sengaja mengeraskan jarinya dan mengusik sebuah titik di dalam sana, Wonwoo mengerang keras di telinganya, tanda sampai pada orgasme pertamanya.

“Fuck, Princess. Really?” Mingyu seketika melepas jarinya saat lengan Wonwoo naik ke pundaknya, “just from my fingers? I don't even put much effort on it.”

Dengan kaki yang gemetar karena orgasme pertama, Wonwoo menempeli Mingyu, menjadikan Mingyu sebagai pegangannya— yang membuatnya tetap berpijak di bumi, “M-mingyu—” erangnya.

“Ssh, Gak apa-apa,” dengan perhatian Mingyu mengelus penis Wonwoo yang masih sensitif, menjempoli ujungnya yang dilumeri cairannya sendiri, “kita lanjut pas kamu udah siap lagi.”

Gelengan diterima Mingyu di lehernya. Nafas Wonwoo yang berat tepat di telinganya anehnya buatnya bangga; bisa-bisanya buat Wonwoo begini hanya dengan jarinya.

“Kosong— Mingyu, kosong—”

Mingyu menggigit bibirnya, bisa saja merobek dirinya sendiri. Pacarnya yang manja di masa sensitif begini selalu melanturkan hal yang begitu kotor, meninju tinggi nafsu Mingyu yang berusaha ditekannya.

“Kosong?”

“Kosong,” kata Wonwoo pasti, “mau kamu— dipenuhi kamu, Mingyu,” pegangan lengan Wonwoo di pundaknya mengerat, “want your cock, Mingyu— want you d-deep, want to feel y-you so deep inside me.”

“You will be the death of me,” Mingyu membaringkan Wonwoo lurus di tengah rumpunan bantal dan selimut yang kusut, tak biarkan Wonwoo menempeli tubuhnya lagi, “your wish will be granted, princess.”

“Hurry,” Wonwoo mengundang pangerannya ke tengah kakinya yang makin meluas, “Mingyu—”

“Kamu gak mau nungging? It will make my cock reach deeper—”

Wonwoo menggeleng, “t-try reaching me deeper like this— i d-don't know, Mingyu— do something.”

“Ngapain juga aku nanya,” Mingyu menggelengkan kepalanya tak heran, “manja.”

Mingyu melumuri pedangnya dengan pelumas sebanyak mungkin, karena rumah pedangnya begitu menyukainya yang basah. Bunyi telapak tangan dan penis Mingyu yang beradu buat lelaki di bawahnya makin risau, walau kaki lagi-lagi makin melebar.

Ujung penis Mingyu mengetuk-ngetuk halus pintu yang akan dimasukinya, memutari pinggirannya untuk memastikan pacarnya rileks di bawah sana.

“Ready, kitten?”

Tak mempercayai suaranya akan bagaimana, Wonwoo mengangguk antusias.

Laju Mingyu ke dalam yang berhasil melewati perlawanan Wonwoo menghasilkan desahan kembar dari kedua pemuda di mabuk animo; ingin dipenuhi dan memenuhi, ingin dijejaki dan menjejaki sedalam-dalamnya. Inginnya malam itu kenyang sampai bekas malam itu teringat di tubuh masing-masing berhari-hari.

Mingyu tak asal-asalan menabrak masuk ke dalam. Prioritasnya menggali dengan penisnya, menghancurkan dinding yang menahan untuk penisnya masuk lebih dalam, yang penting Wonwoo merasakan dirinya sampai ke bawah perutnya. Dilakukannya tak begitu keras, cukup sampai buat Wonwoo nikmat. Tulang selangkangannya menabrak bokong sang kekasih yang ototnya berkali-kali berjengit karena Mingyu begitu tepat dengan sasarannya.

“Mmmim— Ming— Gyu— ah, hmm

“Enak?”

“Iya— iya—”

“Am I reaching you deep?”

Anggukan tak beraturan, “s-so deep— God— ah, ah, hm”

Kepuasan terlukis nyata di wajah si kucing di bawah. Matanya terpejam begitu menikmati, tapi sesekali terbuka penasaran, menonton bagaimana Mingyu menembus dirinya, bagaimana tubuhnya terbuka sukarela bahkan menelan rakus penis Mingyu. Bibirnya bebas terbuka, menyanyikan desauan yang cuma bisa didengar di video porno, memuji betapa dalamnya Mingyu menggapainya, betapa Mingyu yang besar merenggang tubuhnya dengan nikmat, bagaimana ia begitu menyukai penis Mingyu.

Mingyu tertawa, menyisir rambutnya yang basah dengan keringat ke belakang, “you love it that much?”

“Want me to reach you deep even more? My balls deep inside you?”

“Open up more kitten— yes, like that— let me in, kitten.”

Wonwoo yang dimanja begitu dalam mengerang puas, hampir menjerit tinggi, jarinya meremas punggung dan paha lelaki yang bergerak maju mundur lebih keras di atasnya.

Mingyu merintih; dijepit terlalu ketat di dalam sana, juga akibat kuku Wonwoo yang makin menekan dalam. Yakinnya bekas cakaran dimana-mana akan menyambutnya di pagi hari.

Benar-benar terlihat seperti habis bergerumul dengan kucing.

Ahn— hmmh Mingyu— keluar— hng— mau keluar—”

“Aku juga— fuck, i will let it out inside, yeah?

“Ya— iya— di dalem Gyu— ahh—

whiny

kosong

mingyu in control wonwoo like it. Kucing seharusnya

Tapi juga beneran bersikap bagai kucing

jadikan ending: Kapan dan dimana sifat kekucingan Wonwoo menjadi-jadi— berada di puncak-puncaknya.