Osaaka: Blinding Light

Warning: nsfw, explicit sexual scene.


Air hujan mengetuk keras-keras kulit besi. Beramai-ramai berusaha tembus bongkahan padat mobil untuk menyelinap masuk mengganggu penumpangnya. Nihil. Walau berisik, kedua insan di dalam tak peduli. Sibuk dengan suara berisik yang berasal jauh di dalam.

Ya, asalnya dari jantung yang bergemuruh di balik tulang-belulang dada, memekakkan telinga.

Ditambah gesek kain yang entah kenapa terasa lebih berisik daripada seharusnya.

Akaashi beranjak menciumnya beberapa detik lalu setelah bertanya dengan halus, can i kiss you?.

Jarinya erat menjadikan seat supir sebagai pegangan. Takut tubuhnya berakhir menimpa Osamu dibawahnya—

—atau bisa jadi sebagai pegangan karena penantian ekspektasi bahwa Osamu pandai menggunakan bibirnya untuk mencium dan memanfaatkan lidahnya untuk menjilat.

Osamu dengan nekat membawa Akaashi dipangkuannya tanpa bertanya. Tangan kanan dengan kemeja kusut yang tergelungnya menurunkan tuas dan dengan ajaib satu kursi kini menangguh dua lelaki dewasa di atasnya.

“What are we going to do?” tanya Akaashi ditengah lidah dan bibir yang bersua.

“Kamu mau apa?” tanya Osamu, bibirnya mengecup rahang lelaki di atasnya, beri spasi untuk Akaashi berpikir, “you started this.”

“We can bring your car to the basement?” usul Akaashi dengan matanya yang terlihat kabur, lehernya makin tinggi memudahkan Osamu mengendusinya, “l-let's go inside, to my room.”

Osamu yang biasa mungkin akan mengiyakan, akan kembalikan Akaashi ke kursi penumpang. Miya yang lebih muda akan dengan sabar menjaga tangannya jauh dari Akaashi saat telusuri bertingkat-tingkat lantai apartemen dengan lift. Ia akan mencoba menyapu kabut di kepalanya sebelum sampai di kamar Akaashi, saat privasi tinggal milik berdua, untuk kemudian menelanjangi apa yang ada di tubuh atasannya itu dan menciumi apa yang ada dibaliknya.

Tapi ini Osamu yang berbeda. Ini Osamu yang mengenal Akaashi belum genap dua minggu lamanya. Miya yang lebih muda menjadi tak punya banyak sabar di dalam dirinya. Akalnya hilang kala berurusan dengan Akaashi.

Hubungan intim di dalam mobil tak pernah jadi hobinya, tak pernah terlintas di kepalanya. Dengan Akaashi di atas tubuhnya, mengerang rendah saat Osamu tak sengaja menggesek pusat tubuhnya yang tegang ke pahanya buat prinsip Osamu buyar dimakan nafsu. Moral dan etikanya sebagai seorang penduduk lenyap tak tersisa.

“Disini aja.” Ujarnya, “aku gak mau kehilangan waktu untuk naik ke kamar kamu padahal aku bisa menghabiskannya dengan menelanjangimu.”

Tubuh Akaashi yang tak tenang di atas pahanya menjawab pertanyaan Osamu.

Osamu tertawa kecil, jarinya naik di bibir Akaashi, “i don't have lube with me, do you mind to— you know— make it wet.”

Tanpa basa-basi, Akaashi dengan mata tertutup melahap dua jari di depannya. Lidahnya yang menyapu Osamu dengan baik buatnya mempertanyakan keahlian Akaashi.

Selama tangan kanannya sibuk di dalam mulut Akaashi, tangan kirinya membantu Akaashi melepas celana kainnya.

Lelaki yang ternyata 2 tahun lebih tua dari Osamu itu dengan lentur melipat tubuhnya sedemikian rupa untuk runtuhkan celananya yang mengganggu.

Sama seperti wajahnya, Akaashi punya kaki yang indah. Cahaya lampu mobil yang berkeliaran di sekitar mereka memudahkan Osamu melihat lebih baik. Maunya nyalakan lampu, ingin lihat tubuh yang lembut di bawah telapaknya, penasaran dengan bagaimana wajah Akaashi saat diuleni nikmat di bagian dalamnya tapi Osamu tak mau hentikan momen ini untuk pergi ke kantor polisi.

Jari dilepas, Osamu langsung menyelip ke ceruk di belakang tubuh Akaashi. Yang berambut hitam mendesah tepat di telinganya. Cuit Akaashi terdengar begitu manja dan basah. Terdengar sangat berdosa dibanding suara tegasnya saat mengoreksi lembaran laporan temannya tadi siang.

Osamu menggeram saat kupingnya tak sengaja tergigit.

“Maaf, aku— can we— just—” atasannya terdengar berantakan di atasnya, pinggulnya kesana kemari mengejar Osamu, “Osamu, aku mohon—”

“Ya, Akaashi— fuck— sebentar.”

Susah payah, Osamu membuka laci dashboard-nya, mengusak isinya cari pengaman.

“Kamu kenapa punya kondom disitu?”

“Atsumu, dia iseng kasih tadi dan aku bingung taro dimana.”

Akaashi terkekeh, “he basically knows what we are going to do then... oh my god—”

Osamu mencium telak dibibir Akaashi, “dia cuma iseng,” kejantanannya yang telah dibungkus digeseknya di antara dua belah bokong Akaashi, “ready?”

Pundaknya dicengkram erat dan Osamu menggerus Akaashi ke dalam.

Akaashi mencengkramnya ketat-ketat buat Osamu kewalahan menjorok ke dalam. Yang dimasuki resah di atasnya, terlihat takut untuk melahap semua Osamu tapi juga jelas terlihat lapar.

“Hmmh— Mi-miya—”

Meminimalisir goyangnya mobil, Osamu tak begitu banyak bergerak, tak biarkan Akaashi juga mencari puas di atas penisnya.

Osamu mengeruk pelan namun dalam. Geraknya tak buas, tak juga lembut. Yang berambut abu menghunus begitu dalam untuk kemudian bergerak di udara, tak sentuh kursinya. Tangannya tegas menopang berat tubuhnya dan Akaashi di atasnya, menekan Akaashi di dinding-dinding sensitifnya.

“Ya Tuhan— Mi-Miya— lebih— tolong—”

“No can do, Akaashi. Bear with it now.”

Akaashi yang tak terima pelan-pelan membalas tumbukan Osamu dibawahnya. Osamu mengerang, terasa dijemput orgasmenya oleh gerak Akaashi.

“A-akaashi—”

Come,” jawab Akaashi dengan mulutnya yang terbuka, keningnya basah dengan keringat yang mengilat, “come with me.”

Akaashi begitu cantik dengan Osamu yang mengacaukan tubuhnya. Buat jantungnya berdebar keras lihat pinggulnya yang lapar mencari nikmat dari kejantanan di tengah kakinya.

Mana mungkin Osamu menolak ajakannya?

. fin .