sakuaka: fireworks

-

Taman Sumida, Tokyo.

Musim panas, 20 juli 2020; tahun ini Akaashi berangkat lagi.

Si pemuda memoles cakap wajahnya, tak sembunyi di balik bingkai kacamata seperti biasa. Satu gores hitam di garis matanya dan sececah merah di pipi dan bibir, buat kepercayaan dirinya meruak. Yukata biru prusia merekat di tubuhnya familiar, tak sesak juga tak terasa longgar walau berusia tiga tahun. Obi hitam pekat melingkarinya rapat-rapat, buat perbatasan antara pinggang dan pinggulnya terlihat jelas. Kekasih yang seharusnya bersamanya akan tau dimana untuk mengistirahatkan tangannya.

Iya, Seharusnya.

Tahun ini, lagi-lagi, pinggangnya dingin tanpa teman; Akaashi Keiji sendiri lagi tanpa Sakusa Kiyoomi.

Tiga tahun bayang nyata lelaki tinggi dengan rambut ikal kesukaannya tak dijumpai mata. Rupanya cuma berbentuk kumpulan piksel di layar ponsel, tampilkan kesibukannya gapai mimpi di Sydney, Australia. Jarak tetap membentang besar, samudra dan sembilan jam yang pisahkan ke duanya tak menyempit sama sekali.

Akaashi pilih menjauh dari hingar-bingar ramai. Tawa puas pengunjung akan kebersamaan dengan yang dikasihi kini samar didengar, tak lagi mengancam kepasrahan Akaashi akan kekosongan yang menganga di sampingnya.

Pemuda dengan rambut selegam arang itu menghempaskan diri di bangku kosong dekat tepi sungai. Sejauh mata memandang cuma temukan beberapa tikar yang digelar dengan penghuni di atasnya.

“Akaashiㅡ”

Serebrum di kepalanya buktikan kegunaannya; kepalanya tak bosan memutar memori tiga tahun lalu. 2017, yang juga tahun kelulusan Sekolah Menengah Akhirnya.

“Sydneyㅡ Sydney berkilo-kilo jauhnya, Kak.” responnya terlalu datar, bagai ditembak tepat di rusuk dada yang rasa sakitnya tak terasa di detik itu karena lambat diproses otaknya.

“Ya,” Sakusa genggam erat kedua tangannya, “mau sampai sini? gak mau perjuangkan hubungan ini?”

“Mana bisa,” matanya pedih berkaca-kaca, jadi wali perih di hati, “aku sayangㅡ mana bisa?”

Sakusa mengangguk, kecupi buku jari kekasihnya. “Ya, tau. Aku tau betul, Akaashi.” “Aku sama sayangnya, aku tak mau lepas kamu.”

Awal Juli 2017, ciuman perpisahan tak bisa dihindari. Sakusa hilang ditelan pintu departure Bandara Narita, bawa kabur janjinya untuk bergandengan tangan lagi di Taman Sumida, kembang api meletup-letup di atas kepala mereka yang saling mengantuk untuk menyapa ranum satu sama lain.

Akaashi menghela nafas keras, berharap air mata yang siap menyungai ikut menguap, tak jadi turun basahi kedua pipinya.

Harapan tinggal sebuah harapan; Akaashi menangis lagi.

Di tengah hiruk-pikuk antusias penantian bunga api di langit, Akaashi menangis.

Rindu, Akaashi begitu rindu.

Pertukaran kabar di tengah kesibukan tak lagi berguna tutupi lubang besar di sanubari.

Mana tau ia tak akan puas dengan berbaris-baris percakapan di aplikasi media sosialnya? Mana tau suara Sakusa yang terdengar begitu dekat lewat earphonenya tetap terasa bermil-mil jauhnya?

Yang dibutuhkannya bukan Sakusa di layar ponsel dinginnya, tapi Sakusa yang hangat di indra perasa, Sakusa yang dengan mudahnya lingkari tubuhnya di dalam peluknya.

“Benar, kamu disini.”

Sorak sorai pengunjung makin mendengung di pendengaran, tapi Akaashi tak melewatkan baris kalimat tersebut.

Akaashi mengedip, bukti kepalanya sedang berputar mencari. Suara yang baru saja masuk ke dalam gendang telinganya dialihkan ke otaknya untuk diproses, untuk dikenali.

Udara di sekitarnya terasa menyusut, yang awalnya cuma mengitari dirinya seorang kini dibagi berdua. Obi di tubuhnya terasa mencekik, menyesakkan Akaashi sampai ke paru-parunya.

Matanya melebar, ingin dengan benar melihat apa yang kini menjulang di depannya, halangi pemandangan sungai hitam di depannya.

Gelap, pandangannya mengabur karena minim cahaya. Tiga tahun, waktu yang cukup lama untuk melupakan apa yang tak bisa dilupakan.

Tapi, mana bisa? Mana bisa Akaashi tak melihat dengan jelas? Mana bisa Akaashi melupa?

“Ibu bilang kamu keluar rumah, rapi pakai Yukata. Aku ingat, ini Juli, jadi aku pikir, oh, kamu ke festival ini lagi.”

Akaashi menegak, hendak buat tingginya setara dengan pemuda yang satu. Tapi percuma, walau dimakan waktu, Sakusa tetap buatnya mengadahkan kepala.

Bibirnya tak mainkan perannya. Akaashi tak sanggup bicara. Berbanding-balik dengan matanya yang bertindak semaunya.

Air yang sudah menyungai sejak tadi kini terjun leluasa, tapaki bebas pipi Akaashi.

Sakusa disana, di depannya, berdiri tegak dengan kemeja hitam panjang selimuti tubuhnya. Kainnya begitu asing di mata, tapi untaian rambut jelaga ikalnya masih sama.

Bibirnya tertarik kecil tanda menang. Kelihatan tau benar bahwa kedatangannya mengejutkan si pujaan hati.

Tangan Sakusa menggores halus di pipi, hentikan aliran sungai di wajah Akaashi dengan jempolnya.

Suara bunga api mulai melejit di belakang, lurus-lurus gapai langit untuk kemudian buyar, pecah menjadi kepingan berbagai warna, ciptakan bunga yang membara, cantik memanja mata.

Tapi, mata Akaashi tak bergeming, tak peduli dengan keindahan langit malam yang dihiasi bermacam-macam rona.

Retinanya basah, buatnya jadi layar sempurna untuk pantulan proyektor kembang api di langit dan juga Sakusa di depannya.

Sakusa dan juga kembang api.

Tubuhnya digapai, dilingkari bukan hanya dengan kain yukatanya tapi juga lengan yang didambanya.

Kembang api di langit masih meletup-letup, tercerai-berai di langit untuk warnai malam musim panas.

Kembang api yang penuhi rongga dada Akaashi terasa sama, meledak-ledak memompa jantungnya, lebur dengan aliran darahnya, menyebar panas sampai ke ujung jemarinya yang kuat-kuat mencekal di pundak kekasih yang dirindunya.

“Aku pulang.”

-