The beginning: Mates to Eternity

Getou Suguru x Gojo Satoru

Content Warning: omegaverse, m-preg theme


Di umur ke-26 tahun, dengan jubah mandi di tubuh dan sisa-sisa air hangat yang menjentik di tubuh, Getou tiba-tiba menumpu lututnya di lantai dengan kotak belundru biru pekat di telapak tangannya.

Gojo mengedip, perhatikan Getou yang menatapnya serius. Pupil matanya bergetar diterpa lampu kamar yang kuning redup.

Sebagian kecil—kecil sekali, Gojo bisa meraba apa yang sedang dilakukan oleh Getou saat ini, tetapi ia meragu. Tak menyangkanya sama sekali karena beberapa menit lalu mereka masih berdebat soal siapa yang tidur di sebelah kanan tempat tidur.

Kalau dipikir, semuanya akan menjadi jelas mengapa Getou mengantarnya ke salah satu kamar pintu hotel milik kakeknya daripada apartemennya. Alasan adanya kelopak bunga mawar di kamar mandi yang belum sempat ditanyakan pun kini terjawab.

“Satoru,” sebut Getou setelah menarik nafas keras, tangannya bergetar di udara namun berusaha tetap tegap, dengan yakin tawarkan apa yang ada di tangannya.

“Satoru,” sebutnya sekali lagi, “Gimana ini?”

Sekali lagi hembusan nafas, “Aku tau gak bakal ada yang berubah setelah ide aku ini.”

“Mau ada status resmi atau enggak, aku tetap milik kamu.”

“Terserah kamu mau ejek aku karena kesannya besar kepala, tapi aku tau kamu juga milik aku.”

“We are in this together, am i right?“

Getou yang tak melanjutkan kalimatnya buat Gojo mengangguk, merasa harus meyakinkan Getou dengan pertanyaannya.

“Gak ada yang bakal bener-bener berubah. Kita masih maraton film-film yang bukan horor.”

“Aku yang masih gak bisa naik skateboard dan kamu yang cuma bisa buat roti bakar dan sereal.”

“Kita yang masih cari jajanan malam dan kamu yang janji nge-gym besoknya tapi ketiduran sampai siang.”

Gojo ingin menjewer telinga lelaki di depannya, tapi tangannya sibuk menempel kaku di pangkuannya.

“Tapi Satoru, aku lebih milih pacaran sama kamu dengan cincin melingkar di jari manis tangan kanan kamu.”

“Aku mau orang-orang lihat yang digenggam sama aku bukan cuma tangan kamu, tapi kamu.”

Memang Getou yang habis bersuara, namun Gojo ikut merasa kering di lidahnya. Salivanya yang sedikit turun lewati tenggorokannya dan menyirami bunga di dadanya. Kebun bunga disana bermekaran, penuhi dada, buat Gojo kesulitan bernafas.

“Kamu mau, Satoru?”

Getou membuka kotak beludrunya, menyajikannya pada Gojo di depannya.

“Nikah? Sama aku?”

Sepasang cincin. Desainnya sederhana dan tipis. Berlian kecil sebening biru mata Gojo melekat disana, tak menonjol dari permukaan lingkarannya.

Sepasang cincin. Bukti sepasangnya perasaan. Tanda dari sebuah kesetiaan yang dipegang berdua, komitmen besar yang akan dijalani bersama, sebuah janji untuk masa depan yang belum bisa diraba bagaimana jadinya.

Gojo tanpa ragu meraihnya, tanpa ragu terima tawaran masa depan yang disajikan Getou.

Kedua belah tangannya menangkup tangan Getou yang masih tegap di udara.

“Mau, Suguru.”

“Aku mau, nikah sama kamu.”

Dua-tiga detik keheningan dan keduanya tertawa. Terasa kering dan kaku, berbanding dengan dua pasang mata yang basah dengan air mata bahagia.

Masih dengan tangan yang saling menggenggam, Getou memajukan tubuhnya, menggapai Gojo yang duduk di atas kasur untuk kecupan-kecupan di pipinya, deraskan riam di mata yang biru.

“Kenapa kamu ngelamar aku pakai jubah mandi begini?”

Getou tertawa, masih dengan bibir yang sibuk gelitiki Gojo di pipinya, dahinya, rahangnya, sampai mengusal di rambutnya.

“Biar bisa langsung ke perayaan di ranjang.”

Getou benar besar kepala, hampir tak punya ragu dengan keputusan sang calon suami yang bisa saja menolaknya.

Gojo mengibaskan jemarinya, “pakaikan dulu cincinnya terus kita lanjut ke acara selanjutnya.”

Malam itu, pertama kalinya terdengar dentingan cincin yang beradu di antara jemari yang menggenggam di tengah pergerumulan mereka.

-

Awal mula Gojo menyadari keinginan dari naluri terdalamnya, entah omeganya atau memang dirinya sendiri yang berbicara, ia terheran-heran tak percaya.

Waktu itu hari Minggu, tepat di hari belanja untuk persediaan makanan dan toiletries. Inspeksi mingguan di hotel kakeknya, tempat Getou bekerja menjadi Hotel Manager Assistant, sudah dilakukan Sabtu kemarin dan Getou bisa mendapatkan liburnya. Gojo, yang seorang Hotel Advisor, baru akan berangkat besok lusa menemui kliennya di luar kota.

Getou belok ke sebuah toko sepatu. Aku mau beli sandal, pengganti yang hilang kemarin katanya. Gojo di belakangnya mengikuti, sesekali berhenti saat melihat alas kaki yang menarik untuknya, sekalian membantu Getou dengan pilihannya.

Disana, Gojo tak sengaja terikat perhatiannya dengan sepatu berukuran kecil yang sedang diskon setengah harga. Tipikal sepatu untuk anak kecil dengan desain yang sederhana; tanpa tali melainkan perekat. Terlihat mudah dipakaikan atau dilepas dari kaki. Warnanya kuning mustard dengan sol yang empuk.

Gojo membawa sepatu itu ke tangannya, mengukurnya yang bahkan tak sampai sebesar telapak tangannya. Tiba-tiba membayangkan makhluk sekecil apa yang muat dengan sepatu sekecil ini?

“Hei,” tepukan di pundaknya mengejutkan, “kamu aku panggil daritadi gak nengok.”

“Oh, maaf—” nafas Gojo tercekat, di depannya Getou yang biasanya, tapi kini ia menggendong sesuatu yang tak biasa, “Suguru—”

“Sato, anak ini kayaknya kepisah dari orang tuanya.”

Digendongan Getou kini ada sejenis makhluk kecil yang dipikirkannya sejak tadi. Datang tiba-tiba bagaikan jawaban yang ditanyakan oleh kepalanya.

Anak laki-laki di depannya berkulit pucat. Rambutnya tipis, rapi tersampir sampai keningnya. Pipinya dan hidungnya berwarna kembar; kemerahan karena menangis, walau sudah berhenti. Tubuhnya benar-benar kecil dibanding lengan Getou yang besar.

Rasa-rasanya anak tadi cocok dengan sepatu yang masih digenggam tangannya.

Salah satu tangan Getou menepuk-nepuk punggung anak kecil tersebut. Tubuhnya naik-turun, berusaha menenangkan.

“Kita ke bagian kasir, ya? Ada tempat duduk. Aku mau bilang staff disana buat bikin pengumuman.”

Tak banyak bicara, Gojo mengangguk dan sekali lagi mengikuti Getou di belakangnya.

Getou terlalu fokus berbicara dengan staff disana dan tanpa bertanya menyerahkan anak kecil itu ke pelukan Gojo. Duduk disana katanya di jeda pembicaraannya dengan staff.

Diberi tanggung jawab baru, ia tak tahu harus apa. Gojo tak pernah familiar dengan anak kecil. Tangannya kaku menggendong si anak kecil yang dikira-kiranya bahkan belum berumur 4 tahun. Si kecil tak berbicara, mengoceh di tengah isakan kecil.

Gojo memutar kepala, bingung harus apa selain menggendong si anak kecil dengan kaku. Kepalanya mengingat Getou yang mengayun kecil tubuhnya, mengingat telapak tangan suaminya yang mengusap punggung anak kecil ini. Gojo menirunya, berusaha sebaik mungkin.

Mata bulat dengan retina coklat kayu menatap ke atas, tepat bertemu dengan mata biru Gojo.

Gojo mengedip karena samar merasakan dadanya di ketuk keras. Merasa retakan di jantungnya turun ke perutnya untuk kemudian teraduk. Anehnya ia tak merasa mual. Perasaan yang ia rasakan tak sepenuhnya tak menyenangkan.

Anak kecil itu menyamankan diri, menyenderkan penuh tubuhnya pada dada Gojo yang sedang berantakan. Tubuhnya bereaksi dan Gojo refleks menenggelamkan anak yang bahkan ia tak tahu namanya ke dalam tubuhnya.

“Satoru, orang tuanya udah datang.” Tanpa menunggu komentar Gojo, makhluk kecil itu dilepaskan begitu saja dari tubuhnya, diangkat oleh Getou.

Getou menjulang di depannya, mengusap kepala anak kecil yang kembali digendongannya. Gojo tiba-tiba tak bisa mendengar, kemungkinan besar Getou menirukan suara anak kecil.

“Bilang dadah dulu?”

Tapi Gojo tak bisa peduli.

Yang direkam matanya hanya Getou yang terkekeh di depannya sambil menggendong si anak kecil. Tangan besarnya bermain dengan tangan yang jauh lebih kecil. Menggoyangkannya.

Dadah katanya.

Perutnya makin mengaduk. Tanda gigitan yang menjadi bukti pernikahannya dengan sang alpha di belakang lehernya tiba-tiba terasa menjengit kulitnya.

Getou membawa anak kecil itu pergi. Sepasang pria dan wanita yang masih muda menunggu disana, memeluk anaknya yang dikira hilang.

Selesai dengan urusannya, Getou berjalan kembali, hampiri Gojo dengan tangan kosong.

“Ayo cari sandal lagi.”

Getou tersenyum lebar ke arahnya, tapi sebelah sepatu yang masih berada di genggaman Gojo terasa berat di tangannya.