the feeling: narasi bagian 2

“pulang”

-

keiji, yang masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, menunggu tepat di entrance apartemennya.

ia duduk menyandar pada dinding, tangan masih mengepal di ponselnya.

takut, takut.

bagaimana kalau tiba-tiba wakatoshi berubah pikiran dan gak jadi pulang?

bagaimana kalau wakatoshi membaca lagi pesannya tadi dan berpikir semuanya belum cukup?

bagaimana kalau wakatoshi berpikir apabila ia kembali lagi, itu berarti ia harus berurusan dengan keiji yang ternyata egois dan kekanakan.

bagaimana kalauㅡ

kunci apartemennya berbunyi, tanda seseorang menekan digit password pada pintu.

keiji tidak membiarkan yang di luar menekan enam digit lama-lama, karena ia sudah lebih dulu menerjang pintu dan membukanya.

disitu wakatoshi, berdiri masih menghadap deretan angka untuk ditekan, yang kini menoleh pandang keiji di depan pintu.

keiji memandang wakatoshi, masih dengan kemeja kantornya yang kancingnya dilepas tiga.

keiji tercekat. rasanya oksigen yang melayang bebas di udara tak cukup untuk paru-parunya, tak cukup untuk sistem respirasinya, tak cukup untuk kerja otaknya dan perintah tubuhnya untuk bergerak dan melakukan apa yang pertama kali ingin dilakukannya saat yang paling didambanya tepat berada di depannya.

keiji terdiam. pandangi wakatoshi yang melangkah satu-satu dekatinya, yang tangannya kini bertengger pada kulit pipinya.

keiji menangis dan baru menyadarinya saat kedua tangan besar wakatoshi mengusap renik pada aliran air yang berantakan menjejak pada wajahnya.

keiji dicium sehalus kupu-kupu pada keningnya, cukup lama, buat kulit disana memanas. buat kepalanya akhirnya dipicu bangkit memproses apa yang terjadi, buat matanya balik memandang mata wakatoshi yang tepat di depannya, mata suaminya yang memerah dan pandangnya begitu mengangan.

keiji masih ragu bergerak, tapi begitu ingin yang di depannya tahu bahwa dirinya sama mengangan, sama rindunya, sama tersiksanya kala hari-harinya yang biasa berdua menjadi sendiri.

keiji menggesek pipinya yang masih ditangkup telapak besar kesayangannya, merasakan tiap pori dan garis-garis halus nan keras disana, buat pundak keiji menurun karena kelegaan luar biasa. ketenangan yang berpendar hebat di dadanya karena akhirnya bisa merasakan suhu hangat yang jadi kesukaannya.

nyata. yang di depannya benar nyata. yang di depannya benar wakatoshi yang sesungguhnya.

keiji akhirnya bergerak mengalung di leher besar sang suami, mencium apapun yang dicapai di wajahnya.

keiji menangis makin tersedu kala yang lebih tinggi ikut bergetar pundaknya, mengecup sayang di telinga sebelum berbisik dengan parau,

“aku pulang.”