the feeling: narasi bagian 3

“the star and sunflower”

-

tetes air yang jatuh sentuh lantai kamar mandi jadi pengiring suara jangkrik yang bernyanyi riang di luar, yang terdengar tak bising di telinga, melainkan jadi penenang bagi jiwa yang seharian meraba suka, mengigit kesenangan dari dadanya agar tak membuncah meledak disana.

hari ini begitu banyak kejutan; ia yang dibangunkan terlalu pagi dan dibawa suaminya ke bandara. pulang ke tokyo, katanya. memang, tokyo, tapi bukannya mendarat di narita, mereka mendarat di bandara chōfu. kemudian pertemuan tiba-tiba dengan kita dan aran, lalu ladang bunga matahari dan sekarang rumah kecil sederhana yang kata suaminya adalah rumah mereka.

“maaf, ya belum ada apa-apa disini.” kata wakatoshi sebagai teguran, mengambil keiji dari lamunannya tatapi langit dan ladang bunga matahari di bawah bukit, buatnya bagai laut yang berwarna kuning.

“gak apa-apa,” senyum keiji, matanya ikuti sang suami yang duduk di sampingnya, “asal ada kamar mandi dan kasur buat tidur.”

dibalas anggukan, “kita nawarin buat nginep, tapi aku mau cepat-cepat tunjukkin kamu rumah ini.”

keiji mendengung, tanda setuju. matanya menelisik kamar itu, satu-satunya ruangan yang berlampu, walaupun berbentuk portable.

rumah yang harus menanjak sedikit ini tidak bisa dikatakan mewah. dari pintu masuk, ruang tamu dan dapur ada di dalam satu ruang, lalu ada kamar mandi yang menjorok ke sisi samping kiri rumah, satu kamar kosong di depan kamar mandi, terakhir, di sebelah kanan dapur terdapat satu kamar dengan tempat tidur yang kini mereka tempati.

“kamu lagi mikir apa tadi?”

keiji berkedip, “tadi... apa?”

“pas aku di kamar mandi?”

keiji mengulum bibir bawahnya, bukan lagi pandang wakatoshi, tapi lagi-lagi pemandangan di luar yang agak gelap, cuma beberapa lampu usang yang redup di ladang buat bunga-bunga samar terlihat.

“gak ada apa-apa... cuma hari ini aku senengㅡ terlalu seneng, malah.” tawanya kecil, “do i deserve this much love?”

pinggang yang terasa mungil di lengan besar itu ditarik mendekat, wakatoshi pandangi matanya lekat, “jangan ngomong begitu, of course you do.”

jari wakatoshi di pangkuannya digenggam bagai tali, untuk kekuatannya, untuk tumpuannya agar tidak tenggelam lagi pada kubangan penyesalan.

“aku tau apa yang sekarang kamu pikirin,” tangan wakatoshi menyapu pada pipi suaminya, “udah, ya? udah lalu.”

keiji mengangguk, menuruti kehendak suaminya. ia pun sama, tidak mau berlarut lagi, tidak mau penyesalan yang lama itu kembali lagi gerogoti perasaannya, tidak mau kepalanya memudar warna dan buat perutnya teraduk.

sekarang, jiwa dan raganya disini, perasaannya ada disini, duduk manis di ranjang baru yang masih wangi kayu kenari, di rumah yang wangi catnya masih menguar.

sekarang, ia ada disini, bersama suaminya.

pipinya dikecup, “jangan melamun lagi.”

keiji memalu, bibirnya mengembang.

mungkin, mungkin saja wakatoshi punya sihir sendiri. keiji susah payah bawa dirinya ke tepi, bawa dirinya untuk tidak hanyut pada perairan yang bernama penyesalan lalu, tapi, wakatoshi, hanya dengan satu sentuhannya, bisa dengan mudah terbangkannya, buatnya melupa, buatnya tak ingat apa air keruh di bawah kakinya.

“maaf, enggak lagi.”

wakatoshi tersenyum seperti keiji, bagai memantulkan diri pada cermin. senyum yang sama, pancaran retina yang sama, perasaan yang sama, di atas pijakan yang sama, di atas ranjang kecil yang sama, di rumah mereka.

wakatoshi yang pertama, untuk kemudian diikuti keiji, memajukan tubuhnya untuk menjumpai bibir keduanya.

yang lebih tua menjejaki bibirnya begitu lembut, begitu berhati-hati, tapi masih dengan pribadinya yang ambisius, inginnya tak meninggalkan satu titikpun pada bibir keiji tanpa sapuan bibirnya.

yang lebih muda begitu menurut akan tuntunan wakatoshi, menjejaki jejak yang telah lebih dulu ditelusuri oleh suaminya.

tetapi, keiji juga punya ingin sendiri, punya dahaga sendiri; dahaga yang sama seperti wakatoshi, tapi wakatoshi ragu untuk melangkah duluan.

kali ini giliran keiji memainkan perannya.

keiji memanjat pada ranjang, masih dengan bibir yang melekat pada wakatoshi, menduduki pangkuan sang suami.

wakatoshi bergerak, genggam pinggang akaashi yang kini lebih tinggi dari pandangan lurusnya.

“kamu yakin?”

anggukan terburu-buru akhirnya menyulut wakatoshi.

bukan lagi hanya bertemu untuk menyapu, kali ini dua adam itu memamah satu sama lain, lidah ikut andil dalam perseteruan. keiji menggenggam dua sisi rahang wakatoshi bagai gelas yang ingin diminum habis isinya, wakatoshi menghirup keiji bagai lebah pada bunga matahari di akhir musim panas, rakus menjilat sarinya.

keiji melepas sweater kuning dari tubuhnya, dibantu wakatoshi yang melepas celana kulot dari kakinya, masih mencium pada lehernya.

“k-kak, lubrikan?”

wakatoshi mengedip, “aku gak bawa... gimana?”

keiji menggigit bibirnya, menjelajahi kamar yang redup dengan matanya, mencari sesuatu, sesuatu untuk menggantinya dengan yang lain.

yang di atas menatap lelaki di bawahnya, yang sibuk menciumi tubuhnya.

“kakak buka baju aja... i will do something.”

“s- apa?”

keiji menjilati jarinya sendiri, mata menyinggung pada wakatoshi yang tangannya berhenti pada kancing celananya karena terkejut dengan pemandangan di depannya.

“ya tuhanㅡ” wakatoshi menggeram, “ㅡkeiji.”

mata yang berambut sepekat malam melayu, pipi memerah saat dua jarinya yang bersimbah air liur menelisik ke belakang tubuhnya, mencatuk pada bagian yang paling mendamba jamah.

kening pada kepala wakatoshi, keiji jatuh tak berdaya dengan ulahnya sendiri. entah sudah berapa lama titik nikmat di dalam tak disapa. wakatoshi hanya bisa mengagum, mengecupi dada keiji di depannya.

“hmmhㅡ kakㅡ “

“aku aja, ya? kalau kamu gak kuatㅡ”

keiji menggeleng tak mau, buktikan kecakapannya sendiri untuk siapkan dirinya. tangannya lebih gusar mengaduk, buat kerut di belakang merenggang, siapkan untuk apa yang akan datang.

lima menit berlalu dengan empat jari. peluh makin deras berjatuhan. dengan kaki yang hampir menyerah, keiji mengerang.

“a-ayo, kakㅡ”

wakatoshi yang kembali dari jajahannya pada perut keiji mengangguk, membantu jari sang kekasih keluar dari singgahannya untuk kemudian mengganti dengan miliknya, ingin memastikan kembali karena takut menyakiti kesayangannya.

keiji memukul lemah pundaknya kala ia terlalu lama bertamu di bawah. akhirnya wakatoshi setuju, ia pun tidak bisa menahan gejolak di dasar perutnya.

yang lebih tua menggeser celana dalamnya, menampakkan pada keiji kejantanannya.

keiji terkesiap, meremat agresif pada rambut halus di tengkuk suaminya dan tanpa sadar menggigit pada kulit kepala lelaki yang satu.

batinnya begitu mengidam, begitu berpijar sampai ke ulu hati.

ingin dimanja begitu hebat, ingin merasakan tiap cinta sampai ke nadinya.

ingin wakatoshi menyiramnya dengan benih kasihnya untuk diserap sampai bagian kulitnya yang paling dalam.

ikuti langkah keiji, wakatoshi mengusap penisnya dengan ludahnya sendiri, matanya menyipit khawatir, tapi gairahnya berhasil kalahkan rasa bersalahnya.

ini bukan hanya maunya, tapi juga suaminya.

wakatoshi mendorong ke dalam, keiji menarik nafasnya sekali dengan keras, menggores kukunya pada punggungnyaㅡ

ㅡkeiji di pangkuannya bergetar hebat, menggagu parau di telinga wakatoshi.

ejakulasi pertama keiji.

wakatoshi tertegun, liat penis di depan matanya yang kini basah dengan putih.

“fuck, keijiㅡ keiji, sweetheartㅡ” “kamuㅡ”

“ma- maaf,” keiji menceguk di atasnya, masih dengan pipi merah yang makin memadam, tatapan yang bagai hilang akal, pinggul menggesek pada pangkuan wakatoshi, “m- maaf kak,”

wakatoshi menghela nafas, berusaha melempar akal gilanya untuk menerjang suaminya yang terlihat naim dan tak berdaya di bawahnya. kepalanya begitu pusing dengan birahinya, tetapi ia biarkan naluri penyerang dalam dirinya ditelan mentah-mentah.

yang lebih muda, dengan mata basah karena post orgasmenya, ditidurkan selembut kapas, dibuat senyaman mungkin pada bantalnya dan kemudian dicium kembali pada bunga di wajahnya.

keiji yang makin tenang kembali pada kesadarannya, ingin sekali lagi direnggut rasionalitasnya.

“k-kak, ayoㅡ”

wakatoshi tidak menolak. ajakan untuk ke surga yang telah dipijaki kekasih hati terlebih dulu begitu menggoda untuk disinggahi.

penis yang bersurai kokoa kembali menyapa keiji. si pendatang menghadiahi cumbuan lagi, ingin keiji tenang karena kesensitifannya yang sampai ujung kaki.

“keijiㅡ maaf, aku langsung aja, ya?”

anggukan lemah dan wakatoshi memaju mundurkan tubuhnya, menyeret penisnya untuk menapaki tiap titik nikmat di dalam tubuh keiji, menjadi konduktor semalam untuk memandu keiji bernyayi sepuas hati, suarakan kepuasannya.

hnnmgㅡ kak- kak toshi, ya tuhanㅡ”

nyanyian keiji begitu nyarik, begitu mendayu merdu di telinga sang suami, jangkrik yang mula berisik di luar jendela terdengar tak berarti, senyap memalu karena vokal keiji yang lebih indah di telinga.

bukan hanya alunan dari tenggorokan, wajah keiji yang padam tersipu dan sarat akan kepuasan begitu menawan, buat api dalam wakatoshi tersulut. ingin sekali menangi hati keiji, puaskan bunga hatinya sampai ke ujung jarinya. ingin sekali keiji meneriakkan namanya keras, panggil namanya sebagai yang dicinta dengan bibirnya yang cantik, yang kini deras dengan air liurnya sendiri.

“cantik, cantik sekali, keiji.”

wakatoshi membentur di dalam, telak. tungkai keiji melebar, bagai penyaji yang menyerahkan diri pada si penyantap.

“kak toshiㅡ kaㅡ hngㅡ”

sang suami masih konstan bergerak di atasnya, dengan tidak sabar ingin menggapai puncaknya. matanya lurus pandangi lekat yang terbaring di bawahnya. bahkan setelah selama ini keiji telah didapatkannya, wakatoshi masih memandangnya begitu memuja, seakan masih belum puas juga sampai keiji benar-benar bersatu menjadi bagian dirinya.

wakatoshi bagai bintang yang bersinar di atas langit, tapi masih mendamba untuk hinggap di bumi dan bertamu di ladang bunga matahari, meminta untuk berbagi kehidupan yang sama dengan si bunga yang cantik memanja mata.

tapi, keiji juga sama.

keiji juga ingin sekali terbang ke atas, mencabut dirinya sampai akar untuk mendatangi bintang yang bersinar di lautan gelap malam, berharap bisa menjadi matahari sungguhan.

tapi, tuhan tidak tidur. tuhan mempertemukan si bintang dan bunga matahari dengan perasaan yang sama.

keiji menjilat pada dagu sang suami, mencumbunya dengan frustasi. punggungnya setengah naik, mendekati wakatoshi di atasnya.

jemari kanan keiji diremas, cincin tanda janji sehidup semati berdenting, kulit yang dikecupi dan akhirnya wakatoshi melepas di dalam keiji, ikut bawa keiji mengawang di angin malam musim panas yang hangat.

-