ushiaka: dua ushijima, pengantin baru.

-

untuk sekejap, keiji lupa bagaimana rupa tubuhnya saat ini. kain memalukan yang sempat jadi sumber keresahannya hilang begitu saja dari pikirannya.

sampai wakatoshi menatapnya tanpa kedip, sampai omelannya yang biasanya ditanggapi tawa kecil tidak didengarkan.

keiji menatap ke bawah, menatap dirinya. night gown dengan kain renda terawang ditambah penutup dada berwarna putih membalut apik tubuh bagian atasnya, membebaskan kulitnya yang tanpa gores jadi tontonan. terusan merah muda berbahan satin tutupi tubuhnya dari pinggang sampai di tengah pahanya, berikan akses sepuasnya pada kakinya yang jenjang.

wajar. wajar sekali kalau suaminya menatapnya dengan sangsi, dengan begitu tak percaya. keiji selalu dikenal sebagai pemuda yang lebih dewasa dari umurnya. sikap santun dan sopan tak pernah lupa diterapkannya sehari-hari. si kesayangan dosen, senior yang disegani di kampusnya.

tapi, keiji yang baru hari ini menyandang marga ushijima berdiri di depan sang suami. kaki nyaris telanjang dengan thigh belt renda dan tubuh atasnya yang mudah diterawang dari bajunya.

“kak,” cicit keiji, pandang wakatoshi di mata, tangan resah dengan handuk di tangan, “m-maaf ini isengㅡ aku ganti, sebentarㅡ”

“cantik.”

langkahnya mematung, keiji pandang wakatoshi, tak percayai pendengarannya, “y- ya?”

“k-kamu cantik, pakai ini.” tangannya naik, usap hati-hati kain di tangannya, tak mau menyentuh kulit keiji sama sekali, “ide siapa? kayanya bukan kamu?”

“ts-tsukkishima... ini ide dia.”

wakatoshi mengangguk, mata serius memandang pada kain di tangannya.

ah. ia mengerti bahwa wakatoshi tak mengerti maksud dari pakaian keiji, atau tak mau banyak berspekulasi tinggi atau sebenarnya mengerti tapi tak mau ambil langkah duluan.

maka, keiji langsung saja, dengan sebelumnya menyumpah dalam hati.

“untuk kamu.”

”...ya?”

“pakaian ini... untuk kakak.”

“untuk... aku?”

“ya.. malam ini... malam pertama.”

wakatoshi mengedip, matanya naik lihat keiji di mata.

“malam pertama. malam iniㅡ malam pertama kita.”

keiji mengangguk, “ya, malam pertama.”

keiji melihat wakatoshi dengan pelan menghela nafasnya. keras pada pundaknya kian turun seiring dengan ketegangannya.

keiji didekati, nafas perlahan dibagi berdua.

“boleh?”

keiji mengangguk, tak mau mengandalkan suaranya yang terasa tertinggal di ujung lidahnya.

mengantongi izin, wakatoshi benar-benar maju, meraup nafas keiji berikut bibirnya. memagut bibir merengkah kesayangannya penuh hati, penuh teliti. tiap inci bibir keiji dicubitnya kecil-kecil dengan bibirnya.

empat belas bulan dengan status intim, ciuman bukan perkara asing bagi mereka. ciuman dengan masing-masing cerita manis sudah biasa dibagi; pertama kali mereka yang di sudut gang pusat keramaian, cumbuan mesra di mobil yang diparkir di depan rumahnya, atau di ruang tengah saat kunjungan di akhir minggu.

runtutan keping masa-masa pacaran yang terputar di kepala terpaksa terhenti kala pinggangnya direngkuh, wakatoshi membisik, “sebentar,” dan keiji kini di langit, kaki menapaki angin.

keiji tak diberi waktu untuk sekedar terkesiap karena mulutnya diraih lagi, leher wakatoshi tinggi-tinggi gapai bibir keiji yang setingkat lebih tinggi, lengan masih erat memangku keiji.

dua tungkai yang dipangku naik jejaki pinggul yang dipeluk, sepenuhnya andalkan keputusan kusir. keiji menjadi penunggang baik yang tidak peduli mau dibawa kemana. si penunggang akan puas dibawa mengudara gapai kenikmatan surgawi atau diantar kembali ke bumi, telusuri kesenangan yang lebih duniawi.

wakatoshi memilih yang kedua, keiji dituntun menyebuk di antara kain ranjang, wangi kelopak mawar menyerbak tusuk penciuman.

bibir kian mekar, keiji dilepas oleh wakatoshi.

wakatoshi di atasnya, menutup akses cahaya dari lampu langit-langit, buatnya begitu terang di matanya yang sedari tadi menggelap.

tubuhnya diraba, naik sampai ke pipinya.

“keiji?”

“ya?”

“we are going to do this,”

mengangguk, “ya.”

“i-is it okay if i'm the one who do the- the-”

“p-penetration?”

wakatoshi mengangguk cepat.

keiji mengiyakan, mengusak pipinya yang masih ditangkup tangan besar suaminya, meyakinkan bahwa ia nyaman dengan mau sang suami.

keduanya mau, keduanya yakin, akhirnya tangan wakatoshi turun lagi. sentuhannya masuk pada kain satin, kemudian naik lagi, meraba halus pada bagian kelangkang. jarinya memijit pada celana dalam yang berbahan sama, buat kaki keiji menghimpit tangannya.

dengan gemetar, tangan keiji naik, melepas pita pada bathrobe suaminya. tangannya melebar, memeta pada punggungnya yang lembab karena peluh dan air bekas mandi tadi.

pipi keiji dijumpai, wakatoshi berbisik, “pretty, you look so pretty.”

kalimat itu benar artinya, tapi juga sebagai distraksi; celana dalamnya diloloskan dari tubuhnya.

pendingin ruangan berhembus, sadarkan keiji dari keadaannya sekarang yang nyaris polos, meninggalkan kado dari tsukkishima yang melorot di tubuhnya karena kancing yang dilepas semua oleh si suami.

wakatoshi bangun, melepaskan diri dari rengkuhan keiji yang menjadikannya sebagai selimut untuk tutupi tubuhnya.

lubrikan di tangan, wakatoshi masih tegak, menarik kasar plastik botolnya berikut tutupnya. tangannya dilumuri basah oleh gel, wangi wicked aqua menyerbak berganduh dengan dua tubuh yang wangi gairah.

mata lelaki berumur dua puluh dua itu menajam, mencalang pada apa yang ada di antara kaki kekasih hatinya; abaimana yang sama, lekuk yang sama. hanya ukuran dan keadaan kulit yang berbedaㅡ keiji begitu bersih, tanpa sehelai rambut halangi pandangan dari titik yang akan dicatuk oleh kejantanannya. tanpa sadar, ia memoles bibirnya sendiri dengan lidah.

dilihat begitu seksama di bagian paling intimnya, di bagian yang tak pernah sekalipun terpapar cahaya untuk dilihat orang lain, tubuh keiji menguncup malu, menyembunyikan diri dari lanskap pandang lelaki di atasnya.

lutut keiji digenggam, ditarik untuk membuka, menyuguhi dirinya untuk dipandangi wakatoshi.

“jangan malu... kamu bahkan cantik disini,” katanya menenangkan, “aku mulai ya?”

pinggiran anal keiji dipijat oleh jari-jari wakatoshi, kemudian salah satunya diloloskan masuk, mendorong pada dinding kulit yang rapat.

jari-jari kasar suaminya bekerja melonggarkan di bawah. lorong di dalamnya dipijat, digesek dengan bantuan gel yang licin. satu jari bertambah sampai tiga, kaki keiji menekuk-nekuk, bagai tangkai ilalang yang patah melayu ditengah.

keiji perhatikan apa yang terjadi di antara kakinya, perhatikan tangan wakatoshi yang maju-mundur tak ragu sama sekali. jari yang sampai pergelangan tangannya basah.

yang menyandar pada bantal menggeleng, menolak pikirannya berpendar kemana-mana; tangan wakatoshi yang biasanya terbalut jam tangan hadiah pertamanya, tangan yang sibuk putar kemudi dan mengganti persneling, tangan kuat yang dengan mudah mengangkat barang berat di rumahnya saat pindahan dua hari lalu, tangan yang dengan lincah membolak-balik pada bukunya.

penis keiji basah sekali, lumuri batangnya sampai ke bawah.

“keiji? keiji?”

“y-ya? ya, kak?”

“dengar,” wakatoshi melepas jari dari tubuh keiji, tinggalkan anal yang sudah merenggang, mengedip karena yang tadinya terisi kini kosong, “keiji? a- aku agak besar, jadiㅡ jadi kasih tau aku kalau kamu gak bisa, ya? jangan paksain diri, mengerti?”

yang diperingati menegun, air salivanya kesat di tenggorokan. wakatoshi menciumi rahangnya sambil menurunkan celananya, tunjukkan bahwa peringatannya bukan main-main.

wakatoshi... benar besar, selaras dengan bagian tubuhnya yang lain. keiji pernah sesekali mengintip tontonan porno di malam-malam gerahnya, dimana lelahnya mengalir pada hasrat pelepasan dan wakatoshi yang mengukungnya saat ini begitu mirip dengan aktor dibalik layar kecil ponselnya, begitu mirip dengan khayalannya, dengan bayangan ideal laki-laki yang ia ingin untuk membolak-balikkan akal sehatnya.

tangan keiji tidak sesuai dengan kecemasannya soal apa akan muat di dalam tubuhnya; tangannya menjangkau perut wakatoshi, menelusuri happy trail. benar, happy trail. nama yang begitu cocok untuk bagian wakatoshi yang satu ini, karena rambut halus itu benar menjadi jalan untuk kebahagiaan keiji malam ini.

kelima jari keiji membungkus penis suaminya, ketidakberhasilannya menggenggam penuh pilar itu dengan satu tangan buat kulitnya meremang.

“ke-keiji, biar akuㅡ”

“lubrikannya.”

wakatoshi mengedip, kemudian dengan buru-buru mengambil lubrikan di samping tubuh keiji. mengerti, wakatoshi menuang gelnya pada penisnya sendiri, biarkan suaminya yang meratakannya pada seluruh kulitnya disana.

rasa penasaran keiji dipuaskan saat itu. tangannya dengan telaten jelajahi tiap sudut kulit ditangannya. dari bagiannya yang kesat sentuh porinya, uratnya yang gelap lingkari kulitnya, sampai pucuknya yang menggembung. keiji dengan iseng memutari pusatnya.

wakatoshi menggeram, melepas dengan lembut tangan keiji. wakatoshi turun lagi, kukung suaminya lagi.

“siap?”

mata wakatoshi berkilat-berkilat, sifat ambisius yang diselimuti pribadi lembutnya pancari mata keiji.

“iya, kak.”

wakatoshi melumuri lagi anal keiji dengan lubrikan, kemudian menggeseki pintunya dengan kepala penisnya.

wakatoshi menyeret masuk, keiji menggerogoti punggungnya dengan kukunya, lampiaskan kewalahannya.

“kakㅡ ya tuhaㅡn, ya tuhanㅡ”

yang lebih tua menahan diri, diam dengan setengah dari dirinya ditelan suaminya. wakatoshi menciumi leher keiji yang menjenjang keatas, yang tinggi-tinggi meraih nafas.

kecup, kecup, kecup; wakatoshi selami kain terawang yang kini sudah turun di perut keiji. wakatoshi mencumbu keiji di tubuhnya, menenanginya dengan kecupannya yang panjang-panjang, yang basah karena lidahnya ikut menjejak.

puting kemerahan keiji tak luput dari incaran. dibaluri dengan saliva disana, untuk kemudian dihisap kembali. wakatoshi menyengat keiji disana, mendistrak fokusnya dari analnya yang disumpal makin dalam, dalam, dalam, sampai wakatoshi habis dilahapnya.

“kamu hebat, keiji,” bisik wakatoshi ditengah desahnya, “you are doing great.”

lagi, lubrikan kembali dituang langsung dimana tubuh mereka bertemu.

“aku bergerak ya?”

keiji mengangguk dengan cemas tapi dengan keinginan yang sama.

wakatoshi memulai perjalanannya menelisik bagian tubuh yang tak pernah terjamah itu, bagian tubuh keiji yang paling berbeda, yang paling jauh dari sopan santun yang dijunjungnya.

pintu keiji sambut sang penyusup yang giat mencari harta di dalam. pintunya terbuka-tertutup dengan antusias, menyesuaikan diri dengan bentuk si penyusup yang menggali ke dalam, ingin membuat spasi untuk dirumahi.

si tuan rumah mendesah hebat, kadang tersedak dengan saliva sendiri. matanya berputar ke belakang, buat penglihatannya ikut membuta bagai akalnya.

“ahㅡ hmmnㅡ nngㅡ ahㅡ”

nikmat, nikmat, nikmat. hanya itu yang dipersembahkan si penyusup pada si tuan rumah. begitu nikmat sampai keiji mendenguk, tak dapat menampung gelembung kenikmatan yang makin membesar di dasar perutnya.

kak toshi, kak toshi, kak toshi, panggilnya bagai mantra, seakan panggilan tersebut bisa menyelamatkannya dari aliran deras menuju surga.

yang dipanggil mana mau selamatkannya? sebaliknya, wakatoshi mempercepat geraknya, menabrakan kulit mereka lebih kasar, tak sabar ingin tenggelamkan dirinya dengan keiji ke dasar sampai kaki mereka menapaki putih yang lebih pekat dari awan di langit.

“keijiㅡ keijiㅡ akuㅡ” wakatoshi menderum, “ㅡdi dalam?”

keiji tidak dengar. pertanyaan wakatoshi bagai angin lalu yang berhembus di telinga, tak dipedulikan.

wakatoshi mengerang keras lihat keiji yang tak lagi fokus pada dirinya. keiji yang dulu begitu jauh dari jangkauan, begitu jauh dari realitanya, begitu jauh bahkan hanya untuk dibayangkan, kini berada di bawahnya dengan kaki terbuka, cantik penuh amoralitas.

keiji yang cantik, yang bibir merekahnya terbuka, yang rambutnya lembab basah di keningnya, yang kulit hampir telanjangnya melebur sama warna dengan sprai merah muda.

keiji yang cantik, yang tak sabar tapaki surga, yang tak sabar disandingi keelokannya dengan jajaran dewi disana.

dorongan terakhir dan wakatoshi keluar. menyirami lorong keiji dengan putih.

siraman panas di dalamnya buat keiji gemetar, ujung jari menekuk; keiji ikut melepas, saat itu juga membentur pusat kenikmatan bersama sang suami.

keiji menangis, masih dengan tubuh yang gemetar karena post orgasme. kaki bergerak resah di atas ranjang. pelepasannya begitu hebat, begitu deras, begitu mencekik perutnya.

wakatoshi yang tubuhnya bereaksi sama mencoba memeluk suami dibawahnya, menciumi dagunya dengan lembut. tangannya dengan perhatian turun menenangi di tungkainya.

“sudah, keijiㅡ,” wakatoshi membisik di telinganya, menciuminya halus bagai kupu-kupu, “you did great.”

-