4 Almost

1.3 Words

“Kayanya mereka udah pergi,” Ucap Chris dengan tatapan senang di matanya. “Lo butuh tumpangan mungkin.”

“Jungwoo gak bakal ninggalin gue,” Kata Minho, berusaha melihat ke arah kerumunan dengan kaki berjingkat melewati puncak kerumunan. “Mereka mungkin main hockey meja.”

Minho berjalan ke samping, menembus kerumunan, sementara Chris mengikuti di belakang sambil menyeruput kaleng soda yang di belinya di mesin minuman. Ia sempat menawari Minho namun sepertinya bahkan ia tidak memikirkan apakah bisa memasukan sesuatu dalam mulutnya atau tidak saat ini.

Tak ada jejak Jungwoo dan Hyunjin di hockey meja.

“Barangkali mereka sedang bermain Pinball,” Terka Chris. Jelas sedang meledek Minho.

Wajahnya memerah, Jungwoo dimana sih?

Chris mengulurkan kaleng sodanya. “Yakin gak mau minum?”

Minho menatap dari kaleng ke Chris. Cuma karena darahnya tiba-tiba menghangat lantaran terpikir bahwa ia akan meletakan mulutnya di tempat yang telah tersentuh mulut Chris bukan berarti harus memberitahunya secara gamblang.

Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Layar telponnya mati dan tak mau dihidupkan. padahal Minho yakin terakhir kali ia menggunakan ponselnya untuk mengirim pesan dengan Chris batrainya masih banyak. ditekannya tombol on berulang kali, tapi percuma saja.

Chris kembali membuka suara, “Tawaran gue masih berlaku.”

Sepertinya Minho berpikir akan lebih aman kalau ia meminta tumpangan dari orang asing. ia masih terguncang akibat kejadian di Archangel tadi. Kejadian itu adalah yang paling menakutkan yang pernah dialaminya. Sepertinya ia adalah satu-satunya orang yang menyadari kejadian itu. Bahkan Chris yang duduk persis di sebelahnya tidak menyadarinya.

Minho menepuk dahinya. “Mobilnya. Siapa tau Jungwoo nunggu gue di parkiran.”

Tiga puluh menit kemudian ia menyisir seluruh parkiran, tapi tidak ada dilihatnya mobil Jungwoo disana. Bagaimana bisa Jungwoo pergi begitu saja. Tapi mungkin saja ada kejadian darurat, dan Jungwoo sempat mengabarinya tetapi tentu Minho tidak bisa memeriksa pesan yang masuk ke ponselnya. Minho berusaha mengendalikan emosi, tapi bohong kalau tidak ada sedikit gumpalan kemarahan yang ada karena menemukan Jungwoo yang pergi meninggalkannya.

“Ada pilihan lain?” Tanya Chris kemudian.

Minho mengigit bibir, memikirkan pilihan yang lain. Tapi ia tak punya pilihan. Sayangnya ia tak yakin apakah siap menerima tawaran Chris atau tidak. Pada hari-hari biasa saja sosok itu bahkan memancarkan aura berbahaya, apalagi sekarang. Malam ini adalah perpaduan bahaya, ancaman dan misteri yang bercampur menjadi satu.

Menghela napas dan berdoa dalam hati, Minho berharap kalau ia tidak berbuat kesalahan.

“Langsung anter gue kerumah.”

“Ya, kalo itu yang lo mau.”

Begitu sampai di rumah Minho, Chris menepikan motornya ke jalan masuk, mematikan mesin, lalu turun. Minho melepaskan helm, menyeimbangkan di kursi depan dengan hati-hati, lalu siap membuka mulut untuk mengucapkan kalimat Terimakasih atas tumpangannya, sampe ketemu besok senin

Tapi kata-kata itu menguap begitu saja saat Chris menyebrangi jalan masuk dan menuju anak tangga.

Ia tidak bisa menahan dugaan tentang apa yang dilakukannya. mengantarkan sampai ke pintu? Sangat tidak mungkin.

Minho menaiki anak tangga di belakangnya dan menjumpainya di pintu. dengan pikiran terbagi antara kebingungan dan kekahwatiran yang hebat, ia mengawasi Chris mengeluarkan serangkaian kunci yang dikenalnya dan memasukannya ke lubang kunci.

“Kok? Itukan kunci gue. Kenapa bisa sama lo? Balikin gak,” Kata Minho, jengkel karena tak mengetahui bagaimana bisa kuncinya bisa berpindah tangan seperti itu.

“tadi jatoh pas di arkade, pas lo mau ngehubungin Jungwoo.”

“Gue gak peduli dimana gue ngejatohin kuncinya. kembaliin.”

Chris mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan kalau dia tak bersalah lalu mundur dari pintu. Dia menyandarkan sebelah bahunya ke dinding dan memperhatikan Minho yang melangkah ke pintu. ia berusaha membuka kunci pintunya. Macet

“Lo ngapain sih, sengaja bikin susah apa gimana?” Minho berusaha menggoyangkan kunci, ia mundur selangkah. “Silahkan, coba aja. kuncinya macet.”

seiring bunyi klik yang keras, dia memutar kunci dengan tangan tetap pada pegangan pintu, Chris menaikan alis matanya seolah mengatakan silahkan masuk

“Yaudah sekarang pergi deh, lo ga boleh masuk. gue dirumah sendirian.”

“Semaleman?”

“Bukan urusan lu kan?”

“Gak ada niatan buat ngundang gue masuk?” Dia bertanya.

Minho mengerjap.

Chris melanjutkan, “Udah larut.” Matanya menatap Minho, memancarkan kilau membangkang. “Lu pasti laper.”

“Enggak. Ya. Maksud gue, ya, Tapi—”

Mendadak dia masuk.

setelah makan malam, Chris membawa piring-piring ke bak cucian. “Gue yang nyuci, biar lu yang ngeringin.” dia melemparkan serbet ke arah Minho sambil bercanda.

“Gue beneran pengen nanya,” Kata Minho. “Lu itu beneran ngebuntutin gue pas di perpustakaan...”

Ucapannya terhenti. Chris menyandarkan badannya dengan santai ke meja dapur. rambut hitamnya menjulur dari balik topi bisbolnya. seulas senyum dapat dilihatnya. dan disaat pikiran Minho terhanyut, ada sebuah pikiran baru yang muncul begitu saja.

Dia ingin menciumannya sekarang.

Chris mengangkat alis. “Apa?”

“Emm—enggak. Enggak jadi. Lo nyuci, gue yang ngeringin.”

tak butuh waktu lama untuk membereskan peralatan makan yang kotor. setelah selesai, mereka mendapati diri sama-sama berimpitan di dekat bak cuci. Chris bergerak mengambil serbet dari Minho, dan tubuh mereka bersentukan. Tak ada yang bergerak. Masing-masing bertahan pada sebuah gerakan rapuh yang menyatukan mereka.

Minho mundur lebih dulu.

“Takut?” Gumamnya.

“Enggak.”

“Bohong.”

Degup jatung Minho bertambah dua kali lipat. “Gue gak takut sama lu.”

“yakin?”

Minho berbicara tanpa berpikir. “Mungkin gue cuman takut kalo—” ia memaki dirinya sendiri karena memulai kalimat seperti itu. Sekarang, apa yang harus dikatakan? Minho benar-benar hampir mengakui kalau segala seuatu pada diri Chris membuatnya takut. Tentu kalimat itu akan memberinya kesempatan untuk lebih terpancing. “Mungkin gue cuman takut...”

“Bakalan suka sama gue?”

“Ya.” Jawab Minho kelewat lega karena tidak harus menyelesaikan kalimatnya sendiri, namun setelah itu ia sadar bahwa apa yang barusan ia ucapkan lebih parah lagi. “Maksud gue, Enggak! bukan itu yang mau gue bilang!”

Chris tertawa halus.

“Sebenernya, kaya sebagian dari diri gue ngerasa gak nyaman kalo ada di deket lo Chris.” Minho berusaha melanjutkan.

“Tapi?”

Ia mencengkeram meja di belakangnya untuk menguatkan diri. “Tapi pada saat yang sama, gue ngerasain ada ketertarikan yang sialnya beneran bikin gue takut sama lo.”

Chris kini menyunggingkan cengiran.

“Tuhkan, lo tuh terlalu angkuh.” Ucap Minho, menggunakan tangannya untuk mendorong Chris selangkah.

Chris menangkap tangan Minho dan meletakkannya di dada lalu menurunkan lengan baju hingga ke pergelangan tangan sehingga tangannya tertutup, dan melakukannya pada lengan baju Minho yang lain dengan cepat. memegang ujung lengan bajunya, sehingga tangan Minho terkunci. ia ingin membuka mulutnya untuk protes, namun tertahan.

Chris menarik Minho ke arahnya, dan tak berhenti sampai ia persis di depannya. tiba-tiba ia menggendong Minho ke atas meja. Wajahnya jadi sama tinggi dengan wajah Chris. Ia menatap Minho dengan senyum nakal yang mengundang. Saat itulah Minho menyadari gambaran yang selalu ia sangkal yang terus menari-nari di sudut fantasinya selama beberapa hari ini.

“Lepas topinya.” Kata Minho sekali lagi tanpa berpikir apa-apa.

Chris memutar topi yang dikenakannya, sehingga lidah topinya berada di belakang.

Minho bergeser ke ujung meja, kakinya berayun di salah satu sisi tubuh Chris. sesuatu dalam dirinya menyuruhnya untuk berhenti—tapi kusingkirkan suara-suara itu jauh-jauh ke ujung pikirannya.

Dia merentangkan salah satu tangannya di atas meja, persis di samping pinggul Minho. Sembari memiringkan kepalanya ke satu sisi, ia mendekat. Aroma tubuhnya seperti dari kedalaman bumi yang gelap.

Minho menghela napas dua kali, tidak. Ini tidak benar. Tidak dengan Chris. Dia benar-benar menakutkan, tetapi dalam arti baik. tapi tentu juga dalam arti buruk.

“Chris lo harus pergi,” Ujar Minho pelan. “lo beneran harus pergi.”

“Ke sini?” Mulutnya berada di bahu Minho. “Atau ke sini?” Sekarang Mulutnya berada di lehernya.

Otak Minho tak bisa sudah benar-benar tidak bisa memproses satu pikiran logis. Ia dapat merasakan sensai gelitik di sekujur tubuhnya saat merasakan sensasi basah di bagian lehernya. “Chris, gue gak mau pake turtle neck

“Kita bisa ngatasinnya.” Balas Chris sambil memegang pinggang Minho, namun ia menarik kepalanya dan memindahkannya tepat di hadapan wajah Minho. mereka saling beradu napas satu sama lain.

Hanya satu gerakan lagi, satu gerakan sebelum mendadak ponsel Minho berbunyi. Ia melompat kaget dan mengeluarkannya dari saku.

“Hai sayang,” Sapa ibu Minho ceria.

“Ma bisa telfon aku nanti?”

“Iya boleh. tapi kenapa?”

Minho menutup panggilannya. “Lo harus pergi,” Katanya kepada Chris. “Sekarang.”

Dia membalikan posisi topinya lagi. yang hanya bisa dilihat mulutnya di bawah topi itu, yang melengkung membentuk senyum nakal.

“Semoga mimpi indah.”

“Tentu. Ya gak masalah.” Dia bilang apa?

“Tentang ajakan besok malam...”

“Bakal gue pikirin,” Kata Minho susah payah.

Chris menyelipkan secarik kertas ke dalam saku. sentuhannya menimbulkan sensasi panas hingga ke kaki Minho. “Ini alamatnya, gue tunggu. Dateng sendirian.”

Minho merasakan pipinya benar-benar panas dan sepertinya sudah semerah tomat saat ia mendengar pintu depan yang tertutup. Hampir aja pikirnya sambil mengelus bagian dadanya yang sudah tidak karuan.