Satu – Alasan

Pintu besi dari rooftop yang sudah terlihat usang dan berkarat itu mengeluarkan bunyi yang cukup keras ketika Minho membuka pintunya. Dapat dilihatnya pemandangan yang sekiranya ia sempat temui nyaris lebih dari seminggu yang lalu—sosok laki-laki berkulit putih pucat yang tengah membaringkan tubuhnya di atas sebuah bangku beton dengan kedua tangannya yang digunakan sebagai bantalan.

Minho mengalihkan pandangannya sekilas pada tas karton yang ada di genggamannya, lalu memantapkan diri untuk berjalan mendekat ke arah bangku beton itu berada.

Ketika dirasa bahwa terik matahari yang menyoroti Chan menghilang, laki-laki itu langsung membuka kelopak matanya dan menatap langsung pada mata Minho yang juga langsung menatap balik.

Ia mengulurkan tas kartonnya tepat di atas tubuh Chan yang posisinya tidur terlentang.

“Ini kak jaketnya.”

dengan santainya Minho langsung meletakan tas berisi jaket milik Chan di atas perut laki-laki itu. sukses membuat sosok yang masih betah dengan posisi tidurannya, seketika bangkit dan memberikan gerakan untuk menyuruh Minho agar duduk di sebelahnya.

Untuk sesaat tentu hal itu membuat Minho mengernyit bingung, tetapi ia tetap menggerakan badannya untuk duduk di bangku beton sebelah Chan.

dapat dilihatnya Chan yang kini kembali memandangnya dalam diam, terlihat tidak berniat untuk memulai pembicaraan duluan. semakin membuat Minho mengernyit kebingungan.

“kak kenapa ngeliatin gue gitu deh?”

Chan masih terlihat enggan untuk membuka suaranya, sampai ia mengalihkan pandangannya menghadap ke depan melihat pemandangan langit-langit dari ketinggian bangunan sepuluh lantai.

“Jadi lo enggak masalah kalo misalnya bakal diliat deket sama orang kriminal macem gue? orang yang dulunya pernah jadi pengedar, pecandu bahkan bikin nyawa orang ilang?”

Minho mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba untuk mencerna pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan Chan. lalu ia tersadar dengan isi pesan yang sebelumnya ia baca.

membuatnya langsung mendengus kasar.

“Gue enggak masalah sama sekali. kan gue udah bilang sebelumnya, gue itu nyaris sama kaya lo kak. Dalam konteks dipandang sebagai anak yang gak baiknya.” Minho menjeda kalimatnya sejenak, memandang laki-laki yang duduk di sampingnya dengan tatapan menimbang-nimbang. “Bahkan harusnya gue yang nanya, apa lo enggak apa-apa kalo abis ini makin di omongin anak-anak di lingkungan sekolah karena keliatan deket sama gue?”

Chan yang berusaha memfokuskan diri untuk memandang awan yang ada di hadapannya langsung mengalihkan kembali pandangannya kepada Minho. sebelah alisnya terangkat, tanda jika ia penasaran. tetapi tidak terlihat bahwa ia akan melontarkan pertanyaan yang bahkan sudah Minho duga diluar kepala.

maka ia kembali melanjutkan.

“Kak, bahkan walaupun kemaren gue sempet minta lo buat rahasiain kejadian minggu lalu. Sebenernya bukan rahasia umum lagi, apalagi di angkatan gue kalo mereka tau gue ini bisa di bilang laki-laki bayaran.”

dapat Chan lihat bagaimana Minho yang menaikan sudut bibirnya, pandangannya terlihat seperti dirinya tengah meremehkan diri sendiri. sebelum ia mengalihkan pandangannya untuk menunduk memperhatikan bagian kakinya yang terbalut sepatu putih usang.

Minho melanjutkan. “Kerjaan sampingan gue lebih jelasnya, suka nemenin om-om di tempat club malam kaya waktu itu. Tapi konteksnya, gue cuman sebates nemein mereka minum sama ya nerima sedikit perlakukan yang masih bisa gue terima. Cuman kalo lo bisa denger desas-desus gue di antara anak-anak angkatan, yah mereka bilangnya gue udah gak perawan bisa dibilang. Padahal kenyataannya enggak gitu.”

“Kenapa lo ngelakuin itu?” Chan agak merutuki dirinya dalam hati ketika pertanyaan itu langsung keluar dari mulutnya.

Pundak mungil Minho yang di balut seragam sekolah kebesaran itu dapat dilihatnya mengedik ke atas.

“Ibu gue minta tolong dan gue gak punya posisi dimana bisa nolak untuk ngelakuin hal itu. Karena kalo gue tolak, bahkan kayanya gue gak bakalan bisa hidup sampe detik ini.”

Chan memperhatikan bagaimana tangan Minho yang terlihat memiliki beberapa luka yang bahkan terakhir kali ia lihat tidak ada disana. Ia dengan sengaja mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Minho dan mengenggamnya.

Minho yang merasakan tangannya tiba-tiba digenggam dengan lembut tentu langsung berjengit kaget, tetapi ia tidak melakukan hal lebih selain memandang Chan yang memperhatikan tautan tangan mereka.

“Ini apa karena Ibu lo juga? Apa karena lo kemaren keliatan bikin pelanggan ibu lo kesel karena gue nolongin elo dari situasi kemaren?” Tanya Chan lagi sambil mulai mengelus tangan Minho yang ia genggam dengan ibu jarinya. “pasti apa yang dilakuin orang itu, bukan termasuk hal yang bisa lo terima kan?”

Minho yang mendengar pertanyaannya langsung memilih bungkam, terasa enggan untuk mengatakan beberapa pertanyaan itu. entah mengapa tiba-tiba saja ada gumpalan besar yang berkumpul di dalam tenggorokannya.

setelah beberapa menit tidak ada jawaban, Chan menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan. Kembali menatap ke arah Minho yang kini memandang ke arah tautan tangan mereka berdua.

“Minho.” yang namanya dipanggil hanya menganggukan kepalanya sekali, memberikan tanda bahwa ia mendengarkan tanpa harus balik menatap lawan bicaranya.

“Gue gak masalah kalo misalnya abis ini makin dijadiin bahan omongan karena deket sama lo, jadi lo mau enggak buat deket dan jadi temen gue?”