write.as

Seumur hidup, Jihoon tidak pernah terbata-bata atau merasa gugup dalam mengungkapkan apa yang ada di benaknya. Ia mungkin tidak banyak bicara dan cenderung pasif di kelas, tapi ia selalu mahir dalam berorasi.

Terutama jika subjek yang dibicarakan adalah seni. Jihoon selalu menyukai karya yang ia buat, walaupun passion-nya dalam bidang seni murni sudah memudar, selalu terdapat rasa afeksi dan kilas balik memori yang muncul saat ia membicarakan karya-karyanya.

Tetapi, tatapan pria itu mengganggu.

Sejak ia masuk (dengan suara pintu yang menjeblak dan mengalihkan atensi seisi ruangan padanya), pandangan pria itu tidak berhenti mengikutinya. Entah maksudnya apa. Yang pasti, Jihoon merasa tidak nyaman. Seperti dikuliti, ia bergidik.

Lebih parahnya lagi, wajah Kak Minhyun langsung mencerah, dan ia diperkenalkan di hadapan Daniel Kang seperti seekor domba malang yang siap disembelih. Sekali lirik, ia dapat melihat Woojin meringis.

Sekarang, tenggorokannya kering. Ia sudah mengulang kalimatnya dua kali, dan sedari tadi ia seolah berperang dengan otak dan mulutnya, karena kalimat yang keluar selalu tidak sempurna. Dari sudut matanya ia dapat melihat Daniel Kang mengerutkan kening.

Jihoon memejamkan mata, menghembuskan napas, dan mulai kembali. Kali ini, rasanya ia ingin menepuk pundaknya sendiri karena berhasil menjelaskan hasil karyanya tanpa tersendat.

Suara tepuk tangan pelan terdengar setelah ia menyelesaikan kalimatnya. Kak Minhyun tersenyum bangga.

Namun, pria itu tidak mengatakan apapun. Pandangannya beralih dari Jihoon (akhirnya), ke hasil karyanya. Sebuah lukisan lanskap surealis yang proses pengerjaannya memakan hampir setengah semester, dari konsep hingga eksekusi. Lukisan itu gigantis, membuat sang pelukisnya sendiri tenggelam jika ia berdiri di dekatnya.

Rasanya puluhan tahun sudah berlalu sampai akhirnya pria itu membuka mulut.

“Kapan kamu membuat karya ini?”

Ah.

Jihoon menjawab dengan cepat, “Dua semester lalu.”

Pandangan pria itu menelusuri beberapa lukisannya yang lain, tergeletak di belakang. Selama beberapa menit, Daniel menunjuk acak lukisan-lukisan tersebut dan menanyakan hal yang sama.

Jihoon menjawab semuanya dengan lancar, walau tanda tanya besar muncul di benaknya. Ia menunggu (agak tidak sabar), saat pria itu terdiam dan berpikir (entah untuk kesekian kalinya).

Alih-alih memberi komentar, Daniel malah beranjak berdiri, dan menatap lurus ke Minhyun.

Is this the best you’ve got?

Nada suaranya datar.

Terkejut, Minhyun berusaha menjawab, “Kami—“

There is nothing worthwile to see. If you’ll excuse me, saya ada acara lain.” potong Daniel. Pria itu mengambil tasnya, dan berjalan keluar ruangan tanpa membuat kontak mata dengan siapapun.

Pintu studio ditutup, meninggalkan keheningan yang canggung.

Jihoon ditinggal mematung di posisinya.