Querencia, 25]

“No Disappointments”

“Sometimes when you get disappointments, it makes you stronger”
Tag(s) // Gunshot, Suicide, Blood, Mention of; Homicide, Violence


30 menit setelah Yeonjun pergi

Kedua mata sang alpha mengerjap mencoba mengumpulkan nyawanya yang baru saja terbawa kembali ke alam sadar. Menggeliat, badannya terasa sedikit kaku, hawa dingin menerpa tubuhnya yang tak memakai selimut. Soobin memutar tubuhnya, mencoba meraih tubuh sang mate yang terlelap di sampingnya.

Namun saat Soobin berbalik, tak ada sosok siapa pun disana, hanya ada ranjang kosong dengan bantal yang tertata rapi.

Tiba-tiba ponsel di nakas tepat di sebelah kanannya berdering. Soobin menolehkan kepalanya melihat ke arah nakas, mengambil ponsel tersebut dan melihat caller ID di layar. Jinoo, itu Ayah Yeonjun.

Segera diangkatlah telepon tersebut beberapa saat setelah Soobin berdeham menetralkan suaranya. “Halo?” jawabnya.

“Soobin, maaf, apakah saya mengganggu tidur kamu?”

Sang alpha itu menggeleng walaupun tak dapat terlihat oleh sang penelepon di seberang sana. “Nggak, Pak. Saya sudah bangun. Ada apa, ya?” tanyanya dengan suara sedikit serak bangun tidur.

“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu. Apakah Yeonjun ada di situ?”

Soobin seketika melirik ke sebelahnya yang kosong. “Nggak, Pak. Sepertinya Yeonjun sedang di luar. Dia lebih dulu bangun dari saya,” ucapnya berasumsi.

“Ah, baguslah. Jadi begini, selain meninggalkan beberapa aset saya untuk Yeonjun, saya juga menyerahkan beberapa aset milik saya untuk kamu dan orang tuamu.”

“Buat saya?” tanya sang alpha terheran, ia bangkit dari posisi terlentang di atas kasur empuk tersebut dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. “Tapi, kenapa?”

“Karena kamu akan bersama Yeonjun kelak, maka dari itu saya serahkan aset milik saya pada kamu. Salah satunya ada bisnis kecil milik saya. Mungkin nanti Kai akan kesana untuk membicarakannya lebih jelas dengan kamu. Tidak ada penolakan, saya sudah membuat semuanya dan mengajukannya untuk balik nama. Saya titip milik orang tua kamu juga agar segera kamu wakilkan untuk ditandatangani.”

Soobin bingung, tapi dengan alasan bahwa Soobin akan bersama Yeonjun kelak, mungkin secara tidak langsung ayah dari sang mate memintanya untuk menjaga dan meneruskannya sebagai perwakilan dari Yeonjun.

“Baik, terima kasih banyak, Pak. Saya janji akan membahagiakan Yeonjun.”

“Sudah seharusnya, kan?” Terdengar suara kekehan dari seberang sana. “Kalau begitu, saya cukupkan sampai sini dulu.”

Setelah itu, telepon pun terputus. Soobin menyimpan ponsel tersebut kembali ke atas nakas sambil merenung, masih sedikit bingung dengan keputusan Jinoo yang memberikan aset-bahkan sebuah bisnis miliknya-pada Soobin dengan semudah itu.

Namun ketukan di pintu membuatnya tersadar dari lamunan.

“Tuan, sudah pagi. Kami sudah siapkan sarapan untuk Tuan berdua.”

Soobin berdiri dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar, membukanya untuk menyapa sang pelayan sambil tersenyum kecil.

“Terima kasih,” ucap Soobin kepada sang pelayan. “Ngomong-ngomong, Yeonjun dimana, ya?”

Sang pelayan terlihat bingung. “Oh, saya kira Tuan Yeonjun masih tidur, Tuan,” jawabnya dengan heran.

Suara derap langkah terdengar keras dan terburu-buru menuju ke dekat Soobin dan sang pelayan saat ini. Itu sang penjaga rumah, wajahnya terlihat panik.

“Tuan, maaf,” ucap sang penjaga sembari terengah. “Mobil yang Tuan dan Tuan Yeonjun gunakan tidak ada di pekarangan, Tuan.”

Soobin mengernyit lebih dalam. Mulai merasa ada yang tidak benar, ia mengelilingi seluruh penjuru rumah, mencari sang mate.

“Yeonjun!”

Sang alpha berjalan dengan langkah lebar dan cepat, memanggil nama Yeonjun berulang kali ke setiap ruangan yang ia singgahi, ke taman belakang, ke pekarangan depan, ke sekitar rumah tersebut.

Lalu ia menyadari sesuatu. Sepatu. Sepatu yang dkenakan Yeonjun tidak ada di tempat sebelumnya. Ia segera berlari ke kamar, mencari jika ada pakaian yang hilang, juga kunci mobil yang sebelumya berada di atas nakas sisi lain dari ranjang.

Benar. Jaket milik Yeonjun hilang beserta kunci mobilnya. Dapat dipastikan sang omega pergi, memakai mobil yang mereka gunakan kemari.

Berpikir keras, kemana kemungkinan sang omega pergi memakai mobil itu. Dan percakapan mereka kemarin terbersit di ingatannya.

Apa mungkin, Yeonjun kembali ke rumah orang tuanya?

Mengingat bagaimana reaksi Yeonjun kemarin saat ia ceritakan tentang apa yang sudah dilakukan sang ibu tiri, membuat Soobin yakin kalau sang mate akan kembali ke rumah itu, entah meminta penjelasan atau apa.

Sang alpha segera berjalan masuk ke kamar, memakai baju dan mengambil kunci mobil yang lain, bersiap menyusul Yeonjun di sana.

“Saya kembali ke rumah, tolong kabari Ayah Yeonjun dan asistennya.”

Setelah mengucapkan hal tersebut pada sang pelayan dan penjaga, ia segera berlari menuju mobil, membawa kendaraan beroda empat itu keluar pekarangan.

Perjalanan terasa begitu lama, namun juga begitu cepat dengan Soobin yang mengendarai mobil seperti kesetanan, terus menancapkan pedal gas tak peduli dengan jalanan yang cukup ramai.

Hingga akhirnya sampailah ia di depan gerbang rumah orang tua Yeonjun. Sang penjaga rumah mengernyit bingung serta kaget, berjalan cepat menghampiri mobilnya.

“Tuan Soobin? Kenapa Anda-”

“Yeonjun kesini?”

Ucapan sang penjaga segera dipotong olehnya yang terlihat panik. Dan kepanikannya terjawab dengan anggukan kepala dari pria paruh baya itu.

“Iya, beberapa saat lalu Tuan Yeonjun datang kemari. Mobilnya kami masukkan ke dalam rumah.”

“Pak, tolong buka gerbangnya,” ucap Soobin dengan cepat. Sang penjaga pun mengangguk, langsung berlari memencet tombol untuk membuka otomatis gerbang rumah tersebut.

Sesaat setelah pekarangan rumah itu terlihat, dapat Soobin kenali bahwa dua mobil yang terparkir di sana adalah milik Jinoo dan juga mobil yang kemarin ia gunakan bersama Yeonjun.

Memarkirkan mobilnya dengan asal, Soobin segera keluar dari mobilnya, berlari dengan tergesa-gesa masuk ke dalam rumah megah milik keluarga Choi yang terpandang itu.

Rumah tersebut masih cukup sepi, hanya ada beberapa pelayan yang sedang membersihkan ruangan yang luas itu. Soobin mengendus, melirik ke arah kanan dan kiri.

“Yeonjun,” ucap Soobin lirih sembari menolehkan kepala, tercium feromon sang omega dari sebelah kiri. Feromon seorang alpha juga tercium cukup kuat, bersatu dengan feromon kemarahan dan ketakutan. Feromon itu akhirnya membawanya ke salah satu ruangan yang tertutup pintu kayu, tercium begitu kuat dari dalam sana.

Dengan tangan sedikit berkeringat, Soobin membuka pintu tersebut, dan orang yang ia cari sedari tadi sedang berada di sana, berdiri dengan takut tepat di hadapan pintu, bersandar pada tembok. Selain sang omega, terdapat sang ibu tiri yang juga berdiri tepat di depannya membelakanginya, dan juga Jinoo yang memegang map dengan wajah yang terlihat murka.

“Kak- Soobin?”

Ucapan lirih bercampur kaget itu keluar dari bibir pucat Yeonjun, matanya sedikit membulat, tak menyangka sang alpha akan mengetahui keberadaannya dan datang menyusulnya.

Soobin dengan cepat berjalan mendekat menuju sang mate, menangkup wajah mungilnya dengan raut khawatir dan ketakutan.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Soobin yang tentu saja sudah jelas jawabannya, bahwa Yeonjun tidak baik-baik saja, terlihat dari wajahnya yang sedikit berdarah akibat kuku yang tadi menancap di pipinya. Ditambah lagi ruangan yang dipenuhi dengan feromon khas alpha yang mendominasi, sudah pasti membuat Yeonjun pening luar biasa.

“Mengganggu reuni keluarga saja. Kami sedang mengobrol-”

“Berhenti bicara omong kosong, Haera!” potong Jinoo dengan menatap istrinya tajam. “Lepaskan Yeonjun, biarkan dia sendiri, atau aku akan lapor tentang pembunuhan itu.” Jinoo berkata cukup keras sembari mengarahkan map coklat yang ia pegang. “Semua bukti pembunuhanmu, termasuk pembunuhan terhadap Yena, ada di dalam sini.”

Namun Haera lagi-lagi tertawa, begitu mengerikan di mata siapa pun yang melihat dan mendengarnya. “Bukti? Kamu mau menghancurkan karirmu sendiri, Jinoo? Kamu pikir aku melakukan semua itu hanya untukku seorang? Sadarlah! Aku lakukan itu semua demi kamu, demi anakmu yang seorang omega tak berguna ini!”

“Aku tak peduli dengan karirku! Aku hanya peduli pada Yeonjun, aku tak mau hidupnya terus menderita sepertiku! Aku ingin dia hidup bahagia!”

“Hidup menderita sepertimu? Hidup bahagia? Kamu sebegitu menderitanya menikah denganku, Jinoo? Apakah aku tidak pernah membuatmu bahagia? Sebegitu cintanya kamu pada omega rendahan yang sudah mati itu? Apa yang kurang dariku?! APA?!”

Tangan sang ayah merogoh ke belakang tubuhnya, dan dengan tiba-tiba mengarahkan pistol ke arah wanita alpha itu. Jinoo menangis pelan dengan rahang mengeras menandakan muak, disaat Haera hanya menampilkan ekspresi kesal, mendengus meremehkan saat ujung pistol itu mengarah tepat ke wajahnya.

“Yena- Dia bukan orang jahat, Haera. Aku kecewa, kenapa kamu harus membunuhnya? Kenapa harus begitu jahat padanya? Semua salahku, bukan salah Yena. Ia hanya korban, ia tak pernah mencoba menggodaku bahkan mendekatiku sekali pun.”

Air mata Jinoo mengalir, menatap dengan penuh amarah dan kecewa pada sang istri yang terpaksa ia nikahi itu.

“Aku kecewa, kamu telah merusak hidupku dengan menyetujui perjodohan kita kala itu. Aku tak bisa menolak, Haera, kamu tahu itu. Dan kamu dengan mudahnya menyetujui perjodohan kita, mengatakan bahwa kamu menyukaiku, tanpa memikirkan perasaanku.”

Wanita alpha itu tetap diam, menatap sang suami tanpa ekspresi yang berubah. Hatinya beku, obsesi pada Jinoo membutakan rasa di hatinya.

“Dan aku kecewa ... karena telah menyiksa anakku sendiri, karena telah membiarkanmu menyiksa anakku, darah dagingku!” Pegangan Jinoo pada pistol di tangan kanannya mengerat seiring bertambah tinggi nada bicaranya.

“Ayah....”

Suara lirih Yeonjun terdengar oleh Jinoo, membuatnya tersenyum pedih. “Haera, apa salah Yeonjun padamu? Semua itu salahku. Jika kamu mau menyakiti seseorang, seharusnya kamu lakukan padaku. Kenapa harus Yeonjun yang menerima akibat dari kesalahanku, Haera? Dia tak tahu apa-apa, kenapa kamu harus lampiaskan kemarahanmu pada Yeonjun? Kamu bisa menyiksaku, tendang dan tampar aku sebagaimana kamu menyakiti Yeonjun selama ini, aku akan terima. Tapi jangan pada Yeonjun. Aku menyayanginya, aku tak mau anakku bersama mate-ku terluka. Aku ingin dia bahagia.”

Yeonjun menangis mendengar tutur kata sang ayah yang terdengar begitu tulus. Tak pernah, sekali pun ia tak pernah melihat sang ayah begitu rapuh dan lemah seperti saat ini. Mengucapkan kata sayang, menunjukkan cinta yang besar padanya juga ibu kandungnya yang telah tiada.

Haera hanya terdiam, tak mencoba menjawab perkataan Jinoo sedikit pun. Lalu ia tersenyum meremehkan, mendengus kembali seperti mengejek.

“Tembak aku kalo berani. Kenapa masih diem aja? Kamu mau aku musnah? Kamu kecewa dan muak sama aku, kan? Kalo gitu, tembak aku biar aku mati, Jinoo!”

Jinoo hanya menangis, lalu mendengus, terlihat lelah. Namun detik berikutnya, bukannya menembak sang istri, Jinoo justru menatap Soobin, tersenyum teduh sembari menatap sekilas anaknya yang terlihat lemah dan ketakutan.

“Soobin,” ucapnya menggantung. “Tolong jaga Yeonjun, apapun yang terjadi,” katanya dengan jelas namun nadanya tenang. Air mata masih mengalir di kedua pipi pria paruh baya itu, terlihat lelah dan tenang secara bersamaan.

Setelah mengatakan hal tersebut, Jinoo menatap Haera, dan mengarahkan pistol ke kepalanya sendiri.

“AYAH!!”

Dan selanjutnya, suara tembakan terdengar, bersamaan dengan teriakan Yeonjun beserta tubuh yang terjatuh ke atas lantai.

Soobin langsung menahan tubuh Yeonjun yang hendak menahan dan menghampiri ayahnya, berteriak histeris melihat darah mengalir dari kepala sang ayah yang sudah terbujur kaku di lantai tepat di hadapannya.

Kedua bola mata Haera membelalak sempurna, terkejut dengan apa yang baru saja dilihatnya. Tidak, ia tidak pernah berpikir Jinoo akan melakukan bunuh diri hanya karena ini. Ia telah membuat hidup Jinoo nyaman, telah membuat karir Jinoo cemerlang. Tubuhnya bergetar melihat sang suami yang memutuskan untuk bunuh diri di hadapannya, karena muak terhadapnya.

Terduduk dengan kedua lutut bertumpu, Haera menyentuh wajah Jinoo yang sudah berdarah. Ia mengusap pipi sang suami dengan lembut, lalu menangis tanpa suara. Tubuhnya bergetar, tak seperti tadi yang berdiri tegap dan angkuh. Pertahanannya runtuh, melihat orang yang selama ini dia jaga untuk selalu bersamanya justru memilih untuk meninggalkannya karena sudah muak terhadapnya.

Semua terjadi begitu cepat. Bagaimana peluru dari pistol itu menembak tepat ke kepala sang ayah, darah yang mengalir banyak di dekat tampatnya berpijak. Semua suara tak terdengar, semua terasa berputar. Hanya ada suara teriakannya yang samar di telinga, juga penglihatannya yang buram karena air mata yang tak henti mengalir begitu derasnya.

Sejahat apapun sang ayah padanya, tak akan pernah membuatnya membenci sang ayah sebegitunya. Jinoo tetaplah satu-satunya sosok ayah yang ia punya, yang menunjukkan bahwa sayangnya tak harus selalu dengan perkataan, tak harus dengan cara yang biasa dilakukan keluarga lain di luar sana.

Yeonjun baru sadar, bahwa ayahnya adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, dan ia tak ingin kehilangannya. Baru saja, Yeonjun merasa bahwa ia sepenuhnya memiliki seorang ayah, sosok yang ia harap selalu ada dan melindunginya dari kejamnya dunia.

Kini, ia telah tiada.

Ayahnya telah tiada, meninggalkannya.

Ayahnya, justru menyusul sang ibu ke dunia yang tak terjangkau olehnya.

Beberapa saat kemudian, semua menjadi buram, gelap datang perlahan, hingga akhirnya Yeonjun tak merasakan apa pun lagi.



AKU UPDATE OMGOMGOMG AKHIRNYA!! Hello, aku kembali setelah banyak rehat dan ini-itu juga sempet log out dari kehidupan nulis kemarin selama seminggu hehe. Semoga kalian semua baik-baik aja, ya! Aku akan mulai ngegarap serius Querencia karena udah tinggal berapa part lagi. Hayo, siapa yg nyangka papa Jinoo mati? Hahahaha.

• komentar, kritik, saran dan pertanyaan bisa ke sini ya: https://secreto.site/20749976

Please leave a good trace, guys. Thank you :)