Memendam rasa

Kata orang, cinta pertama itu memiliki peranan yang besar di kehidupanmu. Mereka mengajarimu banyak hal dalam kehidupan, entah itu suka ataupun duka. Pun jika -maaf- tak ditakdirkan bersama, dia bisa mengajarimu tentang ikhlas dan merelakan. Wonjin mengetuk-ngetuk ujung penanya di meja belajar. Alunan lagu Strawberries and Cigarettes yang dibawakan oleh Troye Sivan mengalun pelan di kamarnya yang temaram. Menopang dagunya, Wonjin melanjutkan tugasnya dengan tenang, walau angannya tengah berkecamuk karena terlalu lama memikirkan sosok cinta pertamanya.

Sebut saja dia pecundang, karena berhasil memendam rasa sukanya selama hampir 5 tahun. Wonjin kira, seiring berjalannya waktu rasa itu akan hilang. Namun sayang, kini rasa suka itu berubah menjadi rasa cinta yang teramat dalam. Wonjin menghela nafas pelan, tersenyum kecut karena kebodohannya dulu. Membereskan kertas serta buku-buku tebalnya, Wonjin berniat untuk mengakhiri malam ini dengan tidur di kasur kesayangannya. Wonjin menjatuhkan badannya pelan, menelungkupkan wajahnya di bantal sembari menutup matanya perlahan.

Ya, setidaknya tidur bisa menjadi obat untuk patah hatinya. Iya, kan?

“Wonjin.”

Wonjin membuka matanya pelan, menyesuaikan paparan cahaya yang berebut masuk ke dalam retinanya ketika mendengar namanya dipanggil dari luar, tentu dengan diikuti suara ketukan pintu yang tergesa.

“Wonjin, bangun. Jungmo ada di bawah.”

Wonjin terdiam, ia tidak salah dengar, kan?

“Hah?”

“Jangan kebanyakan ngelamun makanya, cepat ke bawah. Jungmo bilang dia ingin menyampaikan sesuatu.”

Wonjin kembali terdiam setelah mendengar langkah ibunya yang menjauh. Otaknya sibuk mengolah informasi yang baru dia dapat.

“Hah.. Jungmo siapa- HAH KOO JUNGMO?”

Wonjin bergegas keluar dari kamarnya dan berlarian di tangga hingga akhirnya dia terjatuh tepat di anak tangga terakhir.

“WONJIN, JANGAN LARI-LARI DI RUMAH.”

Jungmo yang melihat sahabatnya nyungsep itu tertawa kecil dan membantu Wonjin untuk bangun.

“Ngapain sih lari-lari?”

Jungmo menjitak dahi Wonjin pelan, membuat sang empu mengaduh kesakitan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, pikir Wonjin.

“Ya habis, kakak ngapain minggu gini ke rumah? Segabut itu kah?”

Wonjin nyolot, memberi tatapan tajam pada Jungmo sebagai tanda tidak terima karena tidurnya terganggu. Ya, walau sebenarnya dalam hati dia senang karena Jungmo mampir ke rumahnya. Dasar tsundere.

“Temenin aku beli kado buat Minhee, mau kan? Sekalian jalan-jalan deh aku yang traktir.”

Wonjin menaikkan satu alisnya, Minhee? Adik tingkatnya?

“Kamu kok kenal Minhee?”

“Ya.. aku kenal dari acara dies natalis kemarin sih. Waktu itu ketemu di backstage, dan aku rasa aku mulai naruh rasa ke Minhee. Bantu aku ya Jin?”

Wonjin, entahlah. Hatinya sedikit hancur saat mendengar penuturan Jungmo. Namun, dengan bodohnya ia hanya mengangguk dan tersenyum kaku setelahnya.

Tanpa mengetahui hari itu adalah awal dari patah hati sekaligus penyesalan terbesarnya dimulai.

-

Wonjin membuka matanya yang terasa berat. Memandangi langit langit kamarnya dengan tatapan sendu. Ah, sepertinya dia menangis saat tertidur tadi. Wonjin melirik jam digital yang bertengger manis di meja belajarnya.

“Oh, udah jam 8 pagi.”

Wonjin menutup wajahnya dengan telapak tangan untuk sesaat, lalu memaksa tubuhnya untuk bangkit dari zona nyamannya.

Ini hari pernikahan Jungmo dan Minhee, Wonjin tahu hal itu. Kisah Jungmo dan Minhee berakhir indah dengan ajakan Jungmo untuk mengikat janji suci pada Minhee. Wonjin turut bahagia mendengar hal itu, ya, dia bahagia karena Jungmo bahagia.

Setelah selesai dengan urusan tampilannya, Wonjin mengambil kunci mobil dan dompet beserta gawainya dan bergegas untuk menghadiri acara sakral milik sahabatnya.

-

Pernikahan Jungmo dan Minhee berjalan lancar dan euforia yang diciptakan oleh keduanya membuat para tamu undangan turut larut dalam suka cita.

Wonjin tengah meminum segelas air ketika Jungmo merangkul pundaknya. Wonjin tersentak dan menolehkan kepalanya, lalu tersenyum kecil begitu mengetahui pelakunya.

“Hei pasangan baru, kau terlihat bahagia.”

Basa basi, Wonjin benci sekali mengakui hal ini.

“Tentu, aku dan Minhee sudah resmi menjadi suami-istri setelah seribu purnama kami lewati untuk mendapat restu, haha.”

Jungmo tertawa kecil dan menatap Wonjin dalam-dalam. Wonjin gugup kala Jungmo menatapnya seperti itu.

“Dan terima kasih juga untukmu karena mau menemaniku di segala waktu. Bahkan kau rela bolos meeting perusahaan hanya demi memenuhi undanganku dan Minhee. Terima kasih ya?”

Wonjin hanya mengangguk pelan. Sungguh ia sendiri lupa bahwa hari ini dia harus menemani ayahnya untuk meeting penting dengan beberapa kolega bisnisnya.

“Satu lagi, aku belum pernah mengatakan ini kepadamu. Terima kasih ya karena sudah menjadi cinta pertamaku. Aku tahu aku bodoh baru menyatakannya sekarang, dan kau boleh marah padaku setelah ini.”

Wonjin termangu, lidahnya terasa kelu.

“Aku pernah menaruh rasa padamu, Wonjin. Sejak awal pertemuan kita dulu, aku sudah memendam rasa padamu. Namun, aku takut kau akan menjauh atau lebih buruknya kau akan pergi meninggalkanku jika aku mengatakan ini. Maaf karena baru memberitahumu sekarang, tapi aku harap kau bisa menemukan sosok yang lebih baik dari aku ya, janji?”

Jungmo mengulurkan jari kelingkingnya pada Wonjin yang terdiam.

“Wonjin?”

“Ah.. iya? Anu, Jungmo.. maaf aku baru mengatakan ini, tapi terima kasih juga karena telah menjadi orang pertama yang aku sayangi dalam konteks romantis. Berbahagialah dengan Minhee, jangan membuat adik manisku menangis ya? Dan untuk yang terakhir, aku tidak janji tapi doakan aku ya?”

Manik Jungmo membola ketika mengetahui sahabatnya ini juga menyimpan rasa padanya. Astaga, dia merasa jahat pada Wonjin.

“Wonjin.. maaf.”

Wonjin menggeleng pelan.

“Tidak apa, jangan menangis di hari pernikahanmu jelek. Aku pamit dulu ya? Ada telefon dari papa.”

Jungmo mengangguk dan membiarkan sahabatnya melangkah menjauh sembari menempelkan gawainya di telinga. Ah, Jungmo tahu Wonjin berbohong, dia tahu Wonjin tengah menahan isakan tangisnya karena bahu pemuda itu tampak bergetar walau samar.

“Berbahagialah, Wonjin.”

-

“Halo, ada apa Wonjin?”

“Kak Serim, mau menemaniku sebentar? Di cafe depan kantor kakak ya.”

“Jangan kemana-mana, aku segera menyusulmu. Tunggu aku ya, jangan kelamaan nangisnya.”

-