Tentang Si Bungsu.

Banyak yang mengenal sosok bungsu dari keluarga Tanuwijaya. Pribadinya yang ramah dan ceria membuatnya kerap kali membuat ibu-ibu di kompleknya merasa gemas ingin meminangnya sebagai menantu. Yang tentu saja ditolak secara halus oleh bundanya. Ia berkata bahwa si bungsunya ini masih butuh banyak pengalaman romansa sebelum dipinang menjadi mantu idaman kelak. Sedangkan, yang dibicarakan hanya merengut sebal dengan ucapan ibunya itu.

Terbiasa hidup berdua selama puluhan tahun membuat kedua insan itu terbilang cukup dekat secara batin. Walau terkadang ia merengek ingin bertemu kakaknya yang memutuskan untuk hidup mandiri sejak mereka berada di strata menengah atas. Tak jarang si bungsu; ah, mari kita panggil dia dengan sebutan Ale, menitipkan salam untuk kakaknya itu lewat bundanya. Alasannya? Ia terlalu takut untuk menghubungi kakaknya sendiri karena beberapa hal, yang bisa disebut sebagai trauma.

Mungkin sebagian dari orang yang mengenalnya tidak pernah tahu tentang apa yang terjadi 7 tahun lalu, tepat di hari ulang tahun kakaknya, Lintang. Kejadian tak terduga yang berhasil membuat hidupnya dihantui oleh rasa bersalah, meski sang bunda kerap menentang tiap kali Ale selalu memposisikan dirinya sebagai orang yang sudah menghancurkan keluarganya. Hidup dalam bayang-bayang pikiran buruknya dalam kurun waktu yang cukup lama membuat Ale tumbuh menjadi sosok yang takut akan kesalahan dan membuatnya menjadi sosok yang pendiam, serta perfeksionis selama masa menengah atas.

Hal ini terbukti dari perkembangan nilainya yang nyaris sempurna, walau tak di semua bidang studi. Ale sendiri sudah berkali-kali menjuarai beberapa olimpiade yang menjadi kebanggaan tersendiri untuknya. Selain itu, karena adanya perubahan sifatnya ini, dia cenderung lebih sering untuk diam daripada harus bercerita pada teman atau sahabatnya tentang apa yang memenuhi kepalanya. Ia takut jika teman-temannya akan menganggapnya sebagai pelaku utama dari peristiwa kematian ayahnya beberapa tahun lalu. Jujur, Ale sendiri masih merekam jelas perkataan orang disekitarnya kala itu.

“Dia yang bikin ayah ngga ada.”

“Kenapa bukan dia saja yang meninggal, kasihan kakaknya.”

“Dia memang lucu, tapi sayang sikapnya terlalu egois.”

Dan masih banyak lagi. Yang Ale lakukan saat itu, hanyalah mengurung dirinya di kamar, hampir seharian penuh dia terdiam dan enggan untuk sekedar makan. Ia tahu, ia memang egois, tapi apa yang mereka harapkan dari bocah berumur 6 tahun yang meminta mainan pada ayahnya? Tidak ada bukan? Sejak saat itu pula, Ale tidak berani untuk sekedar menatap ataupun berbicara dengan Lintang. Mungkin, mereka hanya akan berbincang jika bundanya bertanya.

Ya, setidaknya menurut Ale ini adalah karmanya. Begitu kan?

Ale memijat pelipisnya pelan, ia baru saja menyelesaikan jurnalnya pukul 3 pagi. Sedangkan, kelasnya akan dimulai jam 7 pagi. Ia pun menghela nafas kasar dan segera menelungkupkan dirinya dalam balutan selimut untuk tidur walau hanya beberapa jam. Baru saja ia memejamkan mata, gawainya berdering keras, menandakan ada satu panggilan masuk disana. Ale mengernyitkan dahinya, pasalnya bunda bilang jika ia akan menginap di rumah Surabaya selama satu minggu bersama tantenya karena urusan bisnis dan meninggalkannya seorang diri di Yogyakarta.

Ale meraih gawai di nakasnya, dan mengangkat telefon itu tanpa melihat nama pemanggilnya.

“Kenapa bun? Ale baru mau tidur.”

Hening berlangsung cukup lama, membuat Ale terheran.

“Ale, aku bukan bunda.”

Ale terdiam, ia melihat nama pemanggil yang terpampang di layar gawainya. Ya, itu adalah kakaknya, Lintang.

“Um.. maaf aku kira tadi bunda. Kakak kenapa nelfon aku jam segini? Kok belum tidur juga.. eh atau kakak mau nyari bunda?”

Ale mendengar kekehan di sebrang sambungan telefonnya.

“Aku sengaja nelfon kamu jam segini soalnya tadi bunda bilang kamu ga ngangkat telefonnya dari sore. Coba kamu lihat log panggilan kamu, kasihan tuh bunda khawatir.”

Ale mendelik ketika mendengar ucapan kakaknya, dan benar saja ada hampir 30 missed call dari sang bunda. Ale menepuk dahinya pelan, pantas saja tadi ia merasa tak tenang ketika mengerjakan jurnal, ternyata benar hpnya sedang dalam mode silent dan ia sibuk bertarung dengan keyboard dan layar laptopnya.

“Oh.. tadi, um.. aku lagi ngerjain jurnal.. hpnya aku silent, jadi ngga tau... maaf?”

“Haha, nggak papa. Tadi aku juga udah bilang bunda kalau mungkin kamunya lagi sibuk sama tugas. Tipikal kamu kan?”

Ale terdiam. Memang, ia cenderung terfokus pada satu hal yang menurutnya lebih penting saat itu, sehingga tak jarang ia mendapat ocehan dari bundanya dan beberapa teman kampusnya karena tak pernah mengangkat telefon.

“Iya.. hehe.. Kakak belum ngantuk? Ini hampir subuh.”

“Aku juga baru selesai ngerjain tugas, dan kebetulan besok aku kosong gaada kelas. Harusnya kamu tuh yang tidur, ada kelas kan pagi ini?”

“Iya.. aku duluan gaapa kak?”

“Gapapa kok, tidur yang nyenyak ya.”

Dan sambungan telefon itu terputus, meninggalkan Ale yang kini terdiam, namun ia mengukir seulas senyum tipis di wajahnya. Ya, setidaknya malam ini ia bisa tidur dengan perasaan gembira.

-

Banyak orang yang beranggapan bahwa sosok Lintang cenderung lebih kalem dan bijaksana daripada Ale yang selalu membicarakan banyak hal setiap kali mereka bertemu. Tak jarang juga, hal itu membuat Ale menjadi agak canggung jika berpergian dengan kakaknya. Alasannya sederhana, ia takut kalau-kalau Lintang akan merasa risih dengan kehadirannya. Walau Lintang sudah menjelaskan alasannya menjauh dari Ale dulu, Ale masih merasa sedikit bersalah karenanya.

Namun, entah apa yang membuatnya kini terdiam dengan mulut terbuka di tengah malam. Ia mengerjapkan matanya ketika melihat sebuah kue dan lilin, serta sosok bunda dan Lintang ada di depan pintu kamarnya.

“Loh, siapa yang ulang tahun?”

Ale bertanya dengan raut wajah yang terbilang konyol; mulutnya terbuka lebar, alisnya menukik tajam sembari menunjuk kue yang dibawa oleh dua orang paling berharga dalam hidupnya itu.

Bunda hanya tertawa, sedangkan Lintang sudah merotasikan matanya malas. Adiknya ini memang pelupa, bahkan hari ulang tahunnya saja lupa.

“Ambil hp kamu gih, coba lihat sekarang tanggal berapa?”

Ale mengangguk dengan terbata-bata. Ia mengambil gawainya di nakas dan menyalakannya.

“8 Juli 2020, lalu?”

Ale memiringkan kepalanya, bingung dengan keheningan yang menyelimuti kamarnya. Lintang menghela nafas pelan sembari menyunggingkan seulas senyum. Ia pun mendekati sang adik dan mencubit pipinya.

“Ini hari ulang tahunmu, bodoh.”

“A-Adwuh swakit Kak Kwala!”

Lintang melepas cubitannya dan tertawa lepas, begitupula sang bunda, dan menyisakan Ale yang merengut sebal. Lintang menyuruh Ale untuk segera mengucapkan harapannya sebelum melakukan prosesi tiup lilin. Setelah lilin itu padam, Lintang dan bundanya mengucapkan ucapan selamat padanya.

“Happy birthday Ale jelek, wishnya rahasia, tapi semoga apa yang kamu semogakan terkabul ya adik manis!”

“Selamat ulang tahun anak bunda yang paling manja, eh atau malah yang paling cengeng? Doa bunda buat kamu udah bunda ucapin disetiap solatnya bunda. Cari pacar ya biar ga jomblo lagi.”

Ale merengut kembali tak kala mendengar ucapan sang bunda. Lalu mengangguk sebagai jawabannya.

“Bunda tinggal ya? Nanti pagi kita ngobrol lagi, Lintang temenin adek kamu ya.”

“Siap bun!”

“IH BUNDA AKU BUKAN BAYI LAGIII.”

“Kamu tetep jadi bayinya bunda sama Kak Lintang, Ale. Hehe, selamat tidur jagoannya bunda.”

“Selamat tidur bunda!”

Ale dan Lintang menyahut secara bersamaan dan melambaikan tangannya pada sang bunda yang sudah menghilang dibalik pintu kamar Ale.

“Jadi, ada yang mau kamu sampein ke kakak?”

Ale mengangguk singkat, dan mengambil iPadnya. Membuka sesuatu yang tampak seperti notepad rahasia yang berada dalam suatu website.

“Buka ini, kakak baca aja. Sandinya 08072001. Selamat malam!”

Lintang mengangkat alisnya heran, dan memilih untuk membiarkan adiknya tertidur. Ia membuka web yang Ale katakan dan memasukkan sandinya.

[ https://www.protectedtext.com/nsflcontent ]

Lintang melirik sekilas kearah Ale yang kini sudah terlelap dengan senyuman di wajahnya. Ia mengusak pelan surai kecoklatan milik Ale sembari tersenyum tipis.

“Dasar jelek.”