Blueishby (@Chanthusiast_)

➼ Suasana di ruangan bernuansa vintage tersebut berbanding terbalik dengan keadaan mereka. Warna-warna alami yang disuguhkan dengan tujuan memanjakan mata seaakan tak berpengaruh untuk keempat pemuda yang usianya hampir menginjak dewasa. Bahkan empat cangkir kopi dengan hiasan foam putih serta sepiring kukis coklat hanya jadi panjangan di atas meja rakit berbahan rotan.

“Intinya lo harus hemat.” Ucap si rambut coklat, Umin. Langsung tarik cangkir kopinya yang airnya sudah mendingin untuk diminum.

Sementara Sam lagi-lagi sibuk memilin sweater berbahan rajut guna meminimalisir pikiran-pikiran yang membuat kepalanya berat. Fares bukannya tidak punya hati untuk menenangkan sam, namun nyatanya apa yang disampaikan umin sepenuhnya benar.

“Dicoba dulu,” lanjut lixie, “daripada lo dikejer rei terus? Aduh, makanya gaya hidup lo jangan hedon banget.”

“Ya, tapi dia bilang bakal kasih gue semuanya?”

“Konsepnya bukan gitu juga.” Bagaimana caranya umin menjelaskan hal ini, “gini, kalian kan belum sampai tahap menikah. Jadi uang rei sepenuhnya bukan hak lo.”

“Lagian lo suka banget sih mancing si rei? Udah tau anaknya susah kontrol emosi.”

Fares terkikik geli saat itu juga, “sam kan cuma mau uangnya.” Langsung dihadiahi satu tamparan cantik dari tangan mulus sam. Si pelaku malah tetap ketawa tanpa rasa bersalah, lixie dan umin cuma bisa geleng kepala.

Dari dulu sampai sekarang, tiada hari tanpa beradu mulut.

“Makanya sam. Kalo mau hubungan adem aja, ya jangan buat ulah.”

“Lagian siapa sih yang ga marah pas ketahuan pacarnya jalan sama cowo lain?”

Sedari tadi sam merasa tersudut hingga cibiran tanpa suara keluar dari belah bibir tebalnya, “kalian pikir gue lakuin itu tanpa alasan? Yang mulai duluan rei kali. Makanya jangan macem-macem sama gue.” Bibirnya yang semula mengeluarkan cibiran lanjut membentuk kerucut menandakan kalau dirinya kesal.

Poni berwarna pirang yang terlihat cantik menjuntai melewati mata, namun dengan sigap umin langsung menyampirkan kumpulan helai lembut tersebut ke samping telinga sam.

Yang tentu saja mengundang tatapan penasaran dari fares dan lixie. Mengingat bagaimana hubungan mereka dulu yang sudah kandas padahal belum sempat berlayar.

“Gue ada di sini kalau lo butuh tempat untuk istirahat.”

“Terus gue sama lixie dianggap apa? Lampu jalan yang dilewatin doang?”

Memang yang namanya fares, tidak bisa sedikit saja membiarkan orang lain terhanyut dalam momen manis. Jiwa keirian yang tingginya hampir menyentuh langit menyebabkan lelaki tupai yang jenius itu selalu geli melihat sesuatu yang manis di depannya.

Dengan hembusan napas yang lebih terdengar seperti jengkel, umin pun menjauhkan tangannya setelah meninggalkan satu usapan di pucuk rambut sam. Tindakan kecil umin mampu buat pipi sam bersemu layaknya buah persik. Astaga, sam sadarlah!

Ia dan umin merupakan teman lama, tidak boleh melibatkan perasaan.

“Jadi gimana?” Tanya lixie, “gue khawatir lo dikejar si rei.”

“Kalau pun dia dikejar, rei ga peduli uangnya, lix. Pasti dia mau sam balik.”

Kini sam dihadangkan dengan pilihan yang sulit. Salahnya sendiri selalu menggantungkan hidup ketika ia masih menjalin hubungan dengan rei. Sekarang semua sudah pupus, lalu bagaimana sam bertahan hidup?

Ia butuh uang di atas segalanya. Uang, uang, dan uangㅡ bagaimana sam mendapatkan benda tipis tersebut dalam jumlah yang banyak?

“Gue ada kenalan, mungkin lo bisa coba kesana. Tapi dia selektif banget, lo harus pinter-pinter.”

Ketiga pemuda tersebut menajamkan pendengarannya dekat ke lixie. Sementara lelaki mungil itu sibuk berbalas pesan dengan seseorang.

“Memangnya kerja apa?”

“Jadi guru les.”

Apa?

Sam tidak salah dengar kan? Bagaimana bisa lixie menyuruhnya untuk menjadi guru les sementara ia sendiri tidak tau keahliannya terletak dimana.

Bukan kah ini sedikit beresiko? Namun sam tergiur dengan iming-iming uang yang nominalnya tidak sedikit. Meski begitu tanggung jawabnya jadi sangat besar, ini anak manusia yang bergantung padanyaㅡ bukan binatang.

“Guru les tari, tidak sulit kan?”

“Tapi lix, gue kan udah lama ga nari?”

“Pasti lo bisa,” ucap fares, “kok lo jadi minder gini? Biasanya semangat lo naik drastis kalo udah denger kata uang.”

“Tapi dia mau yang lulusan universitas terbaik.”

Senyum sam yang awalnya mengembang bak orang yang baru memenangkan lotre perlahan meluntur seperti disiram air. Apa katanya lagi? Lulusan universitas terbaik?

Bahkan sam sendiri tidak kuliah.

Bagaimana?

Habislah.

“Jangan khawatir, gue bisa ngatasin hal itu.” Sambar lixie kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas. Sudut bibirnya membentuk ukiran kecil menghasilkan satu kerutan halus di dahi sam, ia terlihat mencurigakan.

Disini sam berdiri, dengan pakaian semi formal serta polesan tipis sebagai pemanis wajahnya yang sudah manis. Mau apa pun yang diletakkan di tubuh sam memang hasilnya akan sangat apik, bahkan dengan setelan seadanya.

Jemarinya meremat kecil berkas yang lixie barusan beri pagi ini, entah apa isinyaㅡ lix bilang untuk percaya saja padanya. Baiklah, sam hanya perlu mempersiapkan mental.

Sebelum memencet bel, ia berkaca dulu pada pantulan keramik hitam yang tertempel disana. Mengkoreksi penampilannya, pastiin tidak ada yang kurang. Rambut panjang yang diikat setengah dengan poni tanggung dirapikan sedikit.

“Ayo sam.”

Tombol kecil tersebut disentuh sekali oleh sam. Ia menunggu dengan mengetuk ujung kakinya lebih ke gugup. Bibir bawah sedari tadi dikulum buat netralisir jantung yang rasanya seperti ingin keluar lewat kerongkongan.

Entahlah, insting hyunjin berkata lain. Namun lixie tetap mengatakan untuk tenang dan percaya saja.

Baiklah.

Tak lama kemudian pagar hitam tersebut terbuka, dari dalam seorang wanita dengan pakaian maid keluar menyambut hyunjin dengan senyuman terbaiknya.

“Sam hwang, ya?”

“Iya.” Sam menyodorkan tangannya, “salam kenal.” Ia pun ikut menghadirkan senyum terbaik yang biasa ditunjukkan untuk orang-orang.

“Silahkan masuk tuan sam. Sepatu harap dilepas dan diganti dengan sendal ini ya.”

Sam lagi-lagi mengangguk. Matanya menatap agung desain rumah yang tidak terlalu besar namun sangat elegan ini. Pasti yang punya mengeluarkan uang yang tidak sedikit membangun fondasi demi fondasi indah ini.

Senyum sam terukir kecil, di angannya terbayang uang-uang yang menari mengelilingi dirinya yang terbaring bahagia. Indahnya hidup.

“Anda bisa ke sana, tuan sam. Kalau begitu saya undur diri dahulu.” Ucap maid tersebut, hyunjin balas dengan angguk kecil.

Disini ia diarahkan. Tempat yang agaknya merupakan ruang tamu dengan bingkai kaca yang teramat besar menampilkan pemandangan langsung ke arah taman serta kolam renang. Kelereng sam menangkap satu figur kokoh dengan balutan kemeja hitam tengah berdiri sambil memegang satu buku tebal, terlihat sedang membaca.

Tarik napas, buang, tarik napas, buang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

Dengan langkah pasti sam menghampiri sosok lelaki dengan punggung lebar itu. “Permisi, selamat pagi.” Sapanya sesopan mungkin.

Pria dengan rambut coklat yang ditata rapi kebelakang tersebut menoleh sedikit. Menanggalkan kacamata bacanya untuk dilipat kemudian diletakkan di atas meja kaca. Ada jeda sebentar sebelum senyum pria itu terukir.

“Sam hwang?”

“Iya,” sam menawarkan jabatan tangan dan disambut dengan baik oleh pria tersebut. “Salam kenal.”

“Saya Chan Bang.” Balasnya dengan tenang namun tetap tegas.

Kenapa ia mendadak gugup hingga telapak tangannya berkeringat. Pembawaan pria dengan hidung bangir itu sedikit membuat sam jatuh hati. Tenang danㅡ ekhem, tampan.

Baiklah, opsi terakhir tidak ada sangkut pautnya. Namun kalau sam boleh jujur, pria ini sangat tampan. Bukan dari segi wajahnya, sam pun tak tau. Tapi sesuatu dari pria ini sangat menarik.

“Silahkan duduk, sam. Mari berbincang sedikit.”

“Saya direkomedasikan oleh salah seorang teman. Eumㅡ katanya anda butuh seorang guru les, ya?”

“Iya benar. Anak saya sudah lama ingin belajar tari, terutama dance pop begitu. Entahlah, saya selalu sibuk di rumah sakit, jadi kurang memahami jalan pikirnya.”

“Ah, begitu.” ㅡia merupakan seorang dokter. Begitu yang sam simpulkan sejauh ini. Dilihat dengan buku yang barusan ia baca juga merupakan tentang anatomi manusia yang diyakini tebalnya seribu halaman.

“Kalau begitu, boleh saya lihat?” Ucap chan, mata lirik map yang sam bawa dan langsung diserahkan. Sementara si manis gugup setengah mati namun masih berusaha untuk menyembunyikan.

“Kalau begitu, boleh kah saya berkenalan dengan anak anda?”

“Hm?”

“Berkenalan dengan anak anda.” Sam mengulangi kalimatnya. Chan terlalu serius melihat kertas yang lixie bekalkan. Bahkan sam sendiri tidak tau apa isinya, semoga itu hal yang baik.

“Saya salut denganmu, sam. Kamu sangat mendalami apa yang kamu suka.” Chan meletakkan kertas-kertas itu, “mulai hari ini kamu sudah boleh bekerja. Gaji awal akan saya transfer hari ini juga, silahkan beri nomor rekeningmu, okay?”

Akhirnya gaji pertama yang nominalnya sangat besar! Haha, sam rasanya ingin memeluk lixie karena telah merekomendasikannya kepada salah satu orang terkaya di negara ini,“baiklah, tuan Chan. Terima kasih banyak.”

“Tidak, sam. Saya yang berterimakasih. Mari saya ajak ke kamar ayen.”

Chan menawarkan tangannya membuat sam sedikit tertegun sebelum pada akhirnya menyambut. Keduanya berjalan beriringan menuju lantai kedua, melangkah perlahan di atas anak tangga yang berlapis kaca satu demi satu.

“Maafkan saya, sam. Sebenarnya ijazah dan yang lainnya harusnya tidak perlu karena saya merupakan tipikal orang yang lebih mengandalkan skill. Kamu tau? Biasanya ijazah dan lainnya itu bisa dimanipulasi.”

“A- ah, iya anda benar..”

“Namun satu orang lagi tidak setuju dengan pendapatku.”

Dan yang sam lupa, pasti ia sudah menikah (tentu) Mendadak kaki terasa lemas, padahal apa yang sam harapkan sih? Masih banyak kok lelaki tampan di luar sana.

Argh! Kenapa ia malah memiliki tipe seperti chan? Orang pertama yang baru ditemuinya pagi ini. Semoga tuhan menyisakan satu seperti chan.

Cklek.

“Dia di dalam.”

Tunggu.

Tunggu sebentar.

Kenapa ada dua chan?

“Chan, siapa dia?” Ujar lelaki yang memiliki rambut pirang serta headphone hitam yang menggantung di lehernya. Penampilannya sedikit sembrono dibanding chanㅡ kaos hitam dan celana kain diatas lutut. Kulit mereka sama pucatnya dan wajah itu, persis!

Ada apa ini? Rasanya sam seperti dibawa ke dunia lain yang sangat aneh. Ia pun kembali menoleh ke belakang dimana chan masih disana, tersenyum kepadanya.

“Dia chrisㅡ Chris bang, kembaranku.”

“Anda kembar?” Tanya sam, spontan.

Sementara mata tangkap sosok lain juga yang diyakini sebagai ayen, karena wajahnya berbeda sendiri. Hyunjin kira yang ia akan ajar merupakan seorang anak-anak berumur delapan tahun, namun jika dilihat dan dikiraㅡ ayen merupakan anak berumur empat belas tahun dan dianugerahi tubuh tinggi, juga tampan! Semua yang ada di rumah ini mempunyai visual yang memabukkan.

Mungkin wajah hyunjin masih kentara akan rasa kaget sehingga membuat chan satu lagiㅡ chris (begitulah sam menyebutnya) melangkahkan kaki ke hadapannya. Lidah pria itu menjilat bibir bawahnya yang tampak kering dan mengikis jarak antara wajahnya dan sam.

“Manis. Namanya sam, kan?”

“Iya, ini yang jeongin rekomendasikan lewat lixie.”

Sudut bibir chris tertarik membentuk senyum yang menyebalkan yang sayangnya tampan. Sangat kontras dengan chan yang dominan menenangkan. Sam sedikit kesal dengan senyuman yang dibuat oleh chris ini.

“Buat dirimu nyaman, sam.” Sebelah tangan diambil kemudian punggung tangan tersebut dikecup pelan, “anggap saja rumah sendiri.”

Apa semua orang di rumah ini mempunyai bakat untuk memporak-porandakan hati orang lain? Perlakuannya terlalu manis!

“Um, i- iya tuan chris, terimakasih.”

“Baiklah, kalau begitu kami harus pergi. Saya harus ke rumah sakit dan chris akan pergi ke studio. Kalau kamu butuh sesuatu, ada maid di bawah siap melayani. Ayen, baik-baik ya dengan guru baru?”

Intonasi rendah tersebut sangat nyaman untuk di dengar. Sam sangat menyukainya, namun tidak dengan chris.

“Bro! Kakak cuma sebentar di studio, nanti malam sudah pulang. Nanti kita lanjut lagi bermain game nya, okay?”

Namun tampaknya ayen lebih dekat ke chris dibanding chan. Sekali lagi, apa karena pembawaan chan yang tenang namun tetap tegas? Mungkin karena chan mempunyai figur sebagai ayah.

Keduanya pergi meninggalkan hyunjin dan ayen berdua di kamar. “Studionya di sebelah, kan?”

Ayen mengangguk kecil sebelum berdiri. Bahkan tinggi anak ini hampir menyaingi sam di umurnya yang masih belasan. Pasti kedua kakak kembar itu mengasupi dirinya dengan baik.

“Jadi kamu anaknya chan?”

“Sebenarnya aku bukan anak mereka berdua.” Jawab ayen seadanya. Kini malah hyunjin yang tertegun.

“Maksudmu?”

“Aku bukan anak mereka berdua, kak. Mereka hanya merawatku. Aku tidak punya orang tua sejak bayi.”

“Tapi chan tadi bilang kamu anaknya,” sam mengulum bibirnya sedikit, “baiklah maafkan aku.”

“No problem. Aku harap kak sam ga menyesal jadi guru aku.”

Okay, anak ini sedikit membuat sam berpikir janggal, “kenapa harus menyesal?”

“Mereka, kak Chan dan Chris sering membicarakanmu. Sudah lumayan lama.”

Chris memberhentikan mobil pajero hitamnya di halaman rumah sakit megah warisan orang tua mereka. Chan bersiap-siap untuk turun dan mengambil jas yang tersampir di jok belakang.

“Lo pulang sendiri, kan?”

“Iya, ada mobil di sini.”

“Chan.” Panggil si rambut pirang, “lo yakin dengan semua ini?”

Yang mempunyai gelar sebagai dokter menahan kenop pintu yang ingin dibuka, “aku yakin, chris.”

“Aku yakin pembunuh orang tua ayen ada sangkut pautnya dengan keluarga sam.”

Chan menampilkan senyum manisnya yang tampak sangat menyeramkan di mata chris, “kita bisa mendapatkannya lewat sam.”

Helaan napas yang menunjukkan ia pasrah keluar dari mulut chris. “Okay, gue percaya lo.”

“Semua demi ayen.”

Chan dan Chris sangat menanti apa yang akan terjadi berikutnya.