XXV. And ever
“Bener gak usah ke salon?” tanya Off, kembali meminta konfirmasi dari laki-laki mungil yang masih sibuk bolak-balik mencari jepit rambut yang biasa ia pakai.
“Nggak usah ih, nanti Om Ju makin ganteng Adek gak mau ada yang lirik.” sahut si mungil mantap. Gun memekik girang saat menemukan benda yang ia cari, kemudian menghampiri Off yang masih betah duduk di atas sofa dengan tangan bertumpu di dagu.
“Diam ya, sebenarnya Adek penyihir.” Gun berucap sembari menaikan poni Off dan menjepitnya dengan jepitan agar diam di tempat. “Adek mau bikin Om Ju jadi lebih muda malam ini.” Ujarnya lagi lantas memainkan jemarinya.
“Wah iya?” balas Off tak ayal mengulas senyum, “boleh dibikin jadi delapan belas tahun nggak?”
Gun memukul paha yang lebih tua, “ngelunjak ya.” sahutnya menatap Off sengit.
“Loh? Kok marah? Saya salah apa?”
“Mana bisa Adek bikin jadi sepuluh tahun lebih muda. Yah, paling banter lima lah.”
Off mengangguk paham, seolah Gun memang benar bisa membuatnya kembali menjadi muda, “dua empat oke juga, saya paling ganteng di usia segitu.”
Gun berhenti menata rambut Off lantas duduk menatap yang lebih tua, “gak usah deh, Om Ju tata sendiri rambutnya. Adek mau ganti baju.”
Laki-laki jangkung itu menyeringai geli, tidak habis pikir kenapa si mungil bisa cemburu atas hal yang belum terjadi. Tidak beralasan, kalau Off boleh bilang, berhubung yang berhasil memenuhi rongga di hati sang tuan hanya Gun seorang. “Bercanda sayang, jangan ngambek dong.”
Gun mendengus kesal, “pokoknya Om Ju nanti jangan jauh-jauh dari Adek, harus sama Adek terus. Kalau mau ambil makan atau minum juga harus ajak Adek.” Ujar si mungil kembali menaruh tangannya di kepala Off. Sementara yang diajak berbicara menggumam tiap akhir kalimat, menandakan kalau ia setuju atas semua permintaan si mungil.
“Kalau ke toilet? Harus ajak Adek juga?” tanya Off iseng, yang malah mendapat pukulan di bahu sebagai jawaban. Selang beberapa menit, Gun turun dan menjauhkan diri dari Off dua langkah ke belakang. menatap hasil karya serta wajah kekasihnya yang balik menatap si mungil bingung.
“Ganteng, gak?” tanya Off, meminta penilaian.
Gun menangkat bahu seraya menunjukan cengiran khasnya, “memang selalu ganteng kok.”
“Bajunya di taruh dimana ya?” tanya Gun lagi mencoba mengingat-ingat.
“Di kamar, kamu mau ganti duluan?” Off balik bertanya. Gun menggeleng pelan, punggung si mungil menghilang dan kembali membawa setelan outift dan menyerahkannya pada yang lebih tua.
“Om Ju ganti di kamar mandi, Adek ganti di kamar aja.” titah Gun yang langsung diamini oleh Off.
Keduanya menghilang untuk berganti baju, saat Gun tengah memakai outer terakhir, sang tuan mendengar suara Off memanggil namanya pelan.
“Kenapa?” Gun membuka pintu kamar dan melihat Off kesulitan dengan scarf di tangan.
“Saya gak kelihatan, tolongin dong?” pinta Off.
“Adek butuh kursi kecil deh,” ujar Gun kemudian menyuruh Off duduk di atas sofa agar ia mudah memakaikan scarf di leher yang lebih tua.
Off mengulas senyum, “biar bisa pakein saya dasi tiap hari, ya?”
Gun bergumam pelan, “tapi Om Ju juga jarang pakai dasi kalau ke kantor,”
“Susah dek kalau pakai cermin tuh.”
Gun memutar bola matanya malas, “itu mah Om Ju yang malas aja,” sahut si mungil seraya melangkah mundur.
“Aduh,” Off setengah memekik, membuat si mungil terperanjat.
“Apa? Kenapa Om Ju? Sakit?” si mungil menilik laki-laki jangkung terebut khawatir.
“Kamu cantik banget dek,”
Gun membulatkan mata tidak percaya lantas memukul pundak Off bertubi-tubi, “bikin kaget aja, ih!”
“Aduh! Saya serius, tahu. Adek, udah!” tangan Off berhasil menangkap lengan si mungil, menahannya agar tidak kembali melayangkan pukulan.
“Jangan aneh-aneh makanya,” Gun cemberut.
“Tapi Adek beneran cantik.” Tukas Off, kali ini menatap netra si mungil sungguh-sungguh.
Gun mengerjap, lantas mengulas senyum tipis, “makasih, Om Ju juga ganteng.”
Off bangkit dari posisi duduk, “mau berangkat sekarang?” tawar laki-laki jangkung tersebut. Gun mengangguk pelan,
“Lezzgo prom night!”
Off tidak ingat kapan terakhir kali ia menghadiri pesta prom, saat ia sekolah menengah tentu saja. Tapi sang tuan sama sekali tidak bisa kembali mengingat kepingan memori perihal pesta masa sekolah yang dulu paling diagung-agungkan. Off juga tidak yakin apakah dulu ia memiliki prom date saat datang ke pesta prom.
Sepertinya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan acara gala bersama kolega, atau yang sering diadakan oleh perusahaan keluarganya tiap tahun. Hanya saja, ini versi paling sederhana, tidak ada saingan bisnis yang hadir, tidak perlu mengulas senyum dihadapan orang-orang tidak dikenal demi nama baik perusahaan. Alih-alih penerus perusahaan, ruangan ini dipenuhi remaja yang siap menduduki babak baru dalam hidup mereka. Hal tersebut berhasil membuat Off dapat sedikit mengendurkan bahunya.
Sepasang kekasih itu berjalan melalui pintu masuk area ballroom yang disewa pihak sekolah, digiring oleh salah satu panitia untuk berpose di area photobooth yang sudah disediakan. kemudian berjalan melewati kumpulan orang-orang untuk dihadapkan pada lantai dansa yang setengah lowong. Di sudut sebelah kiri terdapat panggung kecil, tempat alat musik dan beberapa sistem suara lengkap dengan pemainnya yang melantunkan lagu agar acara tidak begitu bosan. Sementara di sebelah kanan, terdapat meja penuh makanan dan minuman yang sudah disajikan.
Gun mengeratkan pegangan di lengan Off, membuat yang lebih tua menoleh. Dilihatnya si mungil merasa gugup yang amat sangat sementara matanya sibuk mencari-cari seseorang.
“Gun!” yang dipanggil mencari sumber suara dan menemukan Kit melambai-lambai tidak sabaran.
“Halo Gun, halo om,” Kit menyapa sopan saat mereka berdua berhasil menghampiri Kit, yang kemudian dibalas dengan anggukan oleh Off.
“Mana Nyuwi?” todong Gun tanpa basa-basi.
Kit menunjuk dengan dagunya pada area makanan, “biasa temen lo.”
Gun terkekeh, “bener-bener gak bisa lihat makanan ya.” Wajahnya manis sekali saat ia memerhatikan New dari jauh, “eh, lo ke sini naik motor?”
Kit menggeleng, “gue bawa mobil dong, udah dapat izin Ayah.”
“Terus Nyuwi?”
“Lo harus tahu, gue jalan ke Ujung Berung buat jemput dia karna dia gak mau datang sendiri-sendiri.”
Gun tak ayal tergelak, perjalanan dari rumah Kit ke rumah New memang tidak terlalu jauh. Tapi macet serta lampu merah yang harus dilewati cukup membuat jengkel, ditambah dengan fakta kit membawa mobil membuat sang tuan terkekeh karna tahu pasti temannya merasa kesal.
“Eh, Gun udah datang!” New menghampiri mereka dengan dua potong kue di tangan, “halo Om, hehe” New menyapa Off, setengah kaget dengan presensi yang lebih tua meski ia sudah bisa menebak.
“Om Ju mau minum gak?” tawar Gun, menarik lengan yang lebih tua berjalan ke area minum yang dijajakan.
Off mengambil gelas yang disuguhkan si mungil lantas menyesapnya, sedetik kemudian sang tuan mengeluarkan ekspresi aneh sambil mengecap berkali-kali. “Minuman apa ini?”
Gun menahan tawa, “aneh ya?” tanya si mungil yang dijawab dengan anggukkan.
“Paling cola dicampur sama gak tahu apaan.”
“Beer?”
Gun mengangkat bahu, “kayaknya, pantianya emang suka iseng.”
“Astaga jadi gini ya prom anak jaman sekarang.” komentar Off membuat si mungil kembali tergelak.
“Makan kue aja nih, ada magdaleine, oh cheesecake. Keren juga nih panitia.” Puji Gun menatap makanan ringan yang disajikan.
“Rundown acaranya apa aja sih?” tahu-tahu Kit sudah ikut berdiri di dekat mereka lagi.
“Abis ini kayak award gitu, yah palingan gue gak dapet lah.” New menanggapi pertanyaan Kit dengan santai.
“Ciw, ciw, lo menang award gak?” panggil Kit meminta atensi Gun yang sibuk memberikan kue pada Off.
“Gue mah memenangkan hati Om Ju aja gak sih?” jawab Gun asal.
Off Jumpol tersedak ludahnya sendiri lalu terbatuk-batuk, membuat ketiga anak berusia delapan belas sukses tertawa. “Tega kamu dek,”
“Lagian Om Ju daritadi diam melulu, sakit gigi ya?”
“Kalem Om, sama kita-kita doang ini,” sahut New meyakinkan Off kalau tidak apa-apa mengutarakan pikirannya.
“Yoi, santai aja Om, Gun temannya dikit padahal dia populer.”
“Oh ya? Populer banget?” Off balik bertanya, tertarik dengan fakta yang diutarakan Kit.
New mengangguk, “dia terkenal sebagai kakak gemes di kalangan adek kelas.”
Off bergumam panjang, menilik kekasihnya yang sudah cemberut, “Kakak gemas ya? Kakak suka ajarin adek kelasnya gak?”
“Apasih, jangan percaya Kit sama New,” wajah Gun merona, jelas-jelas malu.
“Om harus tahu, saya pernah dicari sama adek kelas karna dikira pacaran sama Ciw, gara-gara dia sun saya pas kita lagi di kantin.”
“Ih! Nyuwi!”
“Wah bikin salah paham satu sekolah aja nih Gun emang,” tambah Kit, lantas cekikikan karna Gun malah bersembunyi di balik punggung Off menahan rasa malu.
Off mengusap punggung telapak si mungil, gesture agar Gun merasa lebih baik meski kedua temannya meledek habis-habisan. Sebuah gesture yang tidak luput dari penglihatan Kit dan New, karena setelahnya, mereka berdua malah sibuk senyum-senyum sendiri.
Malam mulai larut, setelah satu persatu nama siswa yang memenangkan award dipanggil. Tiba-tiba saja lantai dansa berubah menggila. Di awali dengan pergantian musik dengan beat yang lebih cepat. Baik Off dan Gun memilih memerhatikan dari sisi ruangan, melihat kehebohan teman-teman Gun yang sukses membuat si mungil tergelak. Setelah menit-menit penuh keos bergulir, salah satu panitia jengah dan naik ke atas panggung untuk mengganti lagu ke yang lebih bersahabat di telinga.
Kit dan New kembali menghampiri tempat Gun berdiri seraya intro musik mengalun pelan di penjuru ruangan. “Nari sana,” titah New pada Gun.
“Gak ah,” si mungil menggeleng pelan, lantas menautkan tangannya di lengan Off, tidak ingin pergi jauh-jauh dari yang lebih tua.
We could leave the Christmas lights up 'til January.
And this is our place, we make the rules.
New berjalan mengitari mereka, berdiri tepat di samping Off yang masih betah memerhatikan anak-anak remaja pelan-pelan ingkah dari lantai dansa menyisakan beberapa pasangan juga prom king dan queen yang sudah diumumkan sebelumnya.
And there's a dazzling haze, a mysterious way about you dear
Have I known you 20 seconds or 20 years?
New memberi kode pada Kit, yang diterima cepat tanggap. Dan saat lagu yang mengalun sampai ke bagian chorus, keduanya kompak mendorong Off dan Gun ke lantai dansa.
Gun setengah memekik, sementara Off terlampau kaget bahkan untuk mengeluarkan protes. Butuh sepuluh detik agar Off paham maksud tingkah Kit dan New, sementara Gun sibuk mencak-mencak tanpa suara.
Off terkikik dan menarik ujung lengan outer yang dikenakan si mungil. Gun terkesiap lantas atensinya beralih pada Off sepenuhnya. “Will you dance with me, my prince?” tanya Off mengulurkan sebelah tangan yang bebas.
Gun tercengang, tapi toh menyambut uluran tangan Off meski wajahnya pelan-pelan memanas. “Adek malu,” cicit Gun.
Off mengulas senyum, ia menarik dagu sang tuan agar pandangan mereka bertemu. “Jangan lihat yang lain, fokus ke saya aja.” pinta Off yang dijawab dengan anggukkan kaku dari Gun.
Can I go where you go?
Can we always be this close forever and ever?
Tangan Gun menggantung di leher Off sementara milik Off bertengger di pinggang si mungil. Keduanya berayun mengikuti irama musik tanpa mengalihkan pandangan dari satu sama lain. Pelan-pelan, Gun bisa merasakan kalau di lantai dansa ini hanya ada mereka berdua, bahunya rileks dan gerakan mereka lebih santai dari sebelumnya. Rungu sang tuan hanya bisa mendengar debaran jantung miliknya yang tidak beraturan, yang rasanya seperti mau meledak dalam waktu dekat. Membiarkan jutaan confetti memenuhi ruang di hati, tanda bahwa momen ini adalah momen yang paling membahagiakan bagi si mungil.
Gun menaruh kepala di dada Off, ia merasa pipinya pegal karena tidak bisa berhenti tersenyum sementara tangannya sudah beralih menyampir di bahu Off.
“Sayang? mau udahan aja?” tanya Off setengah khawatir. Si mungil menggeleng pelan, masih betah berdansa dengan sang kekasih meski pergerakan mereka amat minim.
“Makasih ya Om Ju udah mau datang ke prom sama adek,” ujar Gun pada fabrik kemeja yang dikenakan Off, “Adek sayang sama Om Ju, tungguin Adek ya.”
Off mendekap Gun seolah masih ada jarak di antara tubuh keduanya, mengecup surai yang lebih muda lantas berbisik, “saya nggak kemana-mana,
I love you, my little prince.”
Darling, you're my, my, my, my
Lover
Keduanya berhenti, lagu telah berganti menghentikan pergerakan kaki mereka. Gun mendongak, membuat netranya menyapa milik Off lantas si mungil mengulas senyum paling indah, paling cantik sampai ke mata, sampai menimbulkan ceruk di pipi yang merona.
“Om Ju mau keluar aja nggak?” tawar Gun, entah kenapa firasatnya berkata bahwa lebih baik mereka pergi cepat-cepat dari sini. Atau ini hanya alasan agar si mungil bisa berduaan saja dengan sang kekasih, Gun sendiri tidak begitu paham.
Off mengangkat alis, “mau kemana?”
“Rumah?” mata Gun berkilat-kilat, binar yang selalu muncul kini penuh dengan adorasi dan sayang yang amat kentara menatap Off lekat.
“Oke, kita ke rumah.” Off menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Sebenarnya tidak begitu peduli kemana tujuan mereka, yang paling penting bagi sang tuan adalah ia bisa tetap bisa bersama dengan si mungil tanpa ada distraksi.
Dan rumah adalah tempat terbaik untuk menjadi tujuan mereka saat ini. Tempat paling nyaman yang selalu berhasil membuat keduanya merasa aman. Tempat sepasang kekasih tersebut berbagi peluk karna tahu bahwa makna rumah sebenarnya bagi mereka berdua adalah eksistensi satu sama lain dalam hidup masing-masing.
Sepasang kekasih itu melangkah keluar dengan tangan saling bertaut, sama-sama menggenggam satu sama lain, mengisi sela-sela jemari seolah mengejek seluruh dunia bahwa mereka berdua kini komplet, utuh, dan siap menghadapi apapun yang akan terjadi di masa mendatang. Begitu saja, dua orang asing yang semula hilang dan kehilangan, kini kembali dipertemukan pada rumah.
.
Home
/hōm/
: is a safe haven and a comfort zone. A place to live with our families and pets and enjoy with friends. A place where we can truly just be ourselves.
.
ㅡ 🌙