moon and universe

all written by Sel

Suara teriakan Chimon membuat Gun berhenti melihat layar ponsel. Alih-alih balik berteriak menyuarakan atensi, Gun mengunci ponsel dan menaruhnya asal di atas tempat tidur. Lantas laki-laki mungil itu membuka pintu dan mulai turun menapaki satu persatu anak tangga menuju lantai dasar. Ada Chimon tengah mengambil sepiring nasi juga Mama yang tengah menata lauk di atas meja makan. Gun menghela napas, ternyata sudah waktunya makan malam.

Dibawa tungkainya menuju sink, mencuci tangan dengan sabun selama dua puluh detik lantas Gun bergabung dengan Chimon.

“Gimana kak? Udah ada kabar belum dari Off?” adalah pertanyaan pertama yang keluar dari ranum sang bunda. Gun ingin sekali tidak menjawab pertanyaan perihal pernikahan namun dalam hati ia tahu kalau ibunya memang khawatir.

“Off belum bilang apa-apa, ma.” Jawab si mungil, “kayaknya emang lagi sibuk akhir-akhir ini,”

“Kamu masih mau nyari tempat lain, kak? Gak mau di tempat yang kemarin?”

Gun memajukan bibirnya, terlihat berpikir tapi memang dengan rentang waktu yang tidak banyak, agaknya ia memaksakan kehendak kalau untuk mencari tempat lain yang sesuai keinginan. Toh, ballroom kecil hotel sekelas Mercure tidak sekecil yang ia kira, malah dapat menjadi alasan untuknya mengurangi jumlah tamu undangan. Jauh di dalam hati sang tuan, sebenarnya ia amat tidak apa-apa apabila melangsungkan pernikahan di ballroom itu. Hanya saja, ia memikirkan tentang Off, reputasi kekasihnya, perihal keluarga besar juga beberapa hal lain yang menjadi faktor eksternal.

“Aku sebenarnya gak apa-apa sih mah, toh ballroom-nya juga enggak kecil-kecil banget. Tapi,” Gun menggantungkan kalimatnya, menatap Mama yang menampilkan ekspresi tanya. Gun meragu, haruskah ia mengatakan apa-apa yang ada dalam kepala pada sang bunda atau lebih baik disimpan sendiri.

“Ngomong, kak,” itu suara Chimon, rela berhenti menyuap demi memanggil sang kakak dari kepalanya sendiri.

Gun berdecih, “tapi takutnya kurang mewah gitu kelihatannya sama kolega dan keluarganya Off,” sahut Gun akhirnya menyelesaikan kalimat.

“Kak, yang nikah kan kamu, kenapa mikirin orang lain?” pelan-pelan sang bunda memberikan pandangan pada anak sulungnya. “yang harusnya kamu pikirin tuh ya diri kamu sama pendapatnya Off kayak gimana, setuju atau enggak, toh acaranya juga acara kalian berdua kan? Mama, ayah, sama Chimon bagian bantu doang di sini.”

Gun bergumam panjang, tapi pelan-pelan kalimat yang diutarakan sang bunda meresap dalam kepala. “yaudah, nanti Gun pastiin ke Off lagi deh, Ma. Harus cepet juga karena mau cetak undangan kan.” Ada jeda sebentar lantas Gun berjengit, “aduh, Gun lupa mau telepon Papa, yaaah.”

“kenapa emang kak? papanya Off sakit lagi?”

Gun menggeleng, “terakhir Off bilang kalau Papa nawarin acaranya di tempat temennya Ma, tapi ya itu, di Pontianak...” Cicit Gun, kentara sekali ia tidak menyetujui ide ini.

Sang bunda mengangguk, “pikirin baik-baik dulu ya kak,” ujar wanita paruh baya tersebut mengingatkan anak sulungnya, “kalau catering yang kemarin cocok enggak, kak?”

Gun merengut, “Gun kurang sreg ma, kayaknya kalau jadi di ballroom mau pakai yang dari hotel aja deh.” Sahut Gun lantas mulai makan, “atau kalau mama ada rekomendasi lain boleh kasih tahu Gun.”

Mama Gun mengangguk paham, “besok Mama arisan di tempat tante Dewi sekalian tanya-tanya deh,”

Gun mengacungkan jempol, tanda bahwa ia mengerti sembari lanjut mengunyah makanan. “Eh? Mama belom bilang ke teman-teman arisan kalau aku mau nikah kan?”

“Udah sih,” sahut sang bunda, Gun menunjukkan raut wajah tidak suka namun belum dapat ia mengeluarkan protes Mama kembali berujar, “ya kan Mama cari info dari teman-teman mama, kak.”

Gun tersentak, “oh iya juga ya,”

“Lagian, gak apa-apa dong kasih tahu rencana kita? Mana tahu didoain supaya lancar sama mereka.” Mamanya kembali menambahkan.

Sementara laki-laki mungil itu cemberut, “enggak tahu deh, takutnya diomongin. Gun gak suka.”

“Nggak perlu dengarin omongan orang kak,” Chimon menyahut, “kebiasaan lo tuh banyak mikir deh padahal kepalanya kecil.”

“Ish Chimon!” Gun sudah siap memukul bahu adik laki-lakinya tapi urung karena Mama berdecak.

“Jadi, kapan kamu mau cuti dari Gente?” lagi-lagi, sang bunda bertanya. Gun melongo lantas melirik Chimon yang pura-pura tidak mendengar, malah sibuk makan.

“Ini pasti disuruh Chimon ya!” tuduh Gun tepat sasaran.

“Enggak nyuruh ya! Cuma minta tolong mama buat bilangin elo doang.” Sahut Chimon tidak terima.

“Ya sama aja lah?” Gun mencak-mencak, sudah sedekat ini kepalan tangannya dengan puncak kepala Chimon.

“Chimon tuh khawatir kak, nanti kamu kecapekan terus sakit kan gak enak juga di kamunya.” Mama bersuara, lagi-lagi menghentikan pertikaian kakak beradik yang bar-bar ini.

“Tuh dengar.” Sahut Chimon menambahkan, tapi lebih terdengar seperti nada penuh kemenangan karena sepenuhnya tahu kalau ia benar.

“Iya ma, nanti Gun pikirin dulu deh. Sekarang kan udah deket opening store baru jadi banyak yang perlu disiapin.” Anak sulungnya lagi-lagi cemberut.

“Bukan Mama ngelarang loh ya, wanti-wanti aja.”

“Iya mamaaaa, Gun ngerti kok.”

“Pinter anak mama,”

Gun menunjukkan deretan gigi depannya sementara Chimon memutar bola mata malas. Tahu kalau ini hanya akal-akalan sang kakak semata, tapi setidaknya, perihal ini sudah dibawa ke pengawasan sang bunda. Jadi ia tidak perlu khawatir kalau Gun akan memaksakan diri.

Chimon menarik sejumput surai Gun lantas beringsut pergi untuk mencuci piring bekasnya sementara Gun berjengit dan teriak tidak terima karena rambutnya sudah dijambak secara semena-mena oleh sang adik.

“Chimon nyebelin!”

ㅡ 🌙

Agaknya sudah lama sekali Win tidak mengunjungi kantornya. Ruangan berukuran dua puluh empat persegi itu terasa lenggang untuk ditempati seorang diri. Meski pada dasarnya Off hanya menggunakan ruangan ini ketika harus menandatangani berkas saja, sebagian besar waktunya dihabiskan berada di luar ruangan entah untuk bertemu kolega maupun menghadiri rapat.

Sofa kulit panjang berwarna coklat tua itu akhirnya memiliki guna saat netra sang tuan menatap adik sepupunya duduk setengah canggung menunggu kehadiran pemilik ruangan. Off menutup pintu besar di balik punggung lantas memberikan cengiran pada adik sepupunya.

“Sumpah,” Win menghela napas lega, setelah sebelumnya menatap awas kea rah pintu yang dibuka Off. “aku kira sekertaris koko atau siapapun, aku panik,”

Off makin melebarkan cengirannya, “kok tumben panik,”

“Panik lah! Aku lagi diem di ruangan siapa dulu ini?” win setengah merajuk, tapi kemudian berdiri karena Off malah mengambil tempat di meja kerjanya.

“Masih ada kerjaan, ko?” tanya Win hati-hati, sementara Off betah menilik tumpukan berkas di atas meja kerja, lebih tepatnya menganalisis apa ada yang harus selesai diperiksa untuk hari ini.

Off bergumam panjang, “banyak sih, cuma kayaknya bisa dibesokkin.” Laki-laki bermata sipit itu mengalihkan pandangan pada Win yang sudah berdiri tak jauh dari meja kerjanya. “Tumben banget anak magang ke sini?” tanya Off lebih terdengar seperti ledekan.

Win berdecih sebal, “aku mau ngajak koko makan malam tahu,” ujar yang lebih muda, seperti beberapa waktu ke belakang mereka tidak dibelenggu kesibukan masing-masing sehingga tidak bisa bertatap muka.

“Kangen ya?” ledek Off yang langsung dihadiahi ekspresi cemberut,

“Iyalah! Emangnya Koko, gak pernah kangen sama aku.” Win sewot, mendekap kedua lengan di depan dada lengkap dengan wajah penuh penghakiman.

Off mengangkat kedua tangannya, menyerah, “ampun, enggak gitu Win. Kan kamunya juga sibuk udah magang sekarang, terus kemarin-kemarin ngurusin skripsi juga.”

Win mengibaskan sebelah tangannya, seperti mengelak berbagai alibi yang keluar dari bibi kakak sepupunya. “Ya, ya, ya, sekarang mending kita cari makan.”

“Kamu yang nentuin tempatnya kan?”

Win setengah jengkel, “kebiasaan banget deh Ko!”

Off meluruhkan kekeh, selalu geli melihat tingkah adik sepupunya. Dalam hati baru sadar kalau ia ternyata merindukan presensi Win, “kalau aku yang milih, kamu gak boleh protes?” Off bangkit lantas tungkainya mulai berjalan menuju pintu.

Win mengikuti langkah kaki jangkung tersebut, “aku bukan picky eater kayak Koko ya!”

Off lagi-lagi terkekeh, “halah, awas aja kalau protes!” ujarnya mengangguk sebentar pada Love yang masih betah duduk di meja kerjanya.

“Saya langsung pulang ya, Love,” pamit Off seraya berjalan menjauh, dan Win melambai-lambaikan tangan sebagai gestur selamat tinggal, masih mengikuti langkah Off dari belakang.


“Demi apa sih kamu paling aneh tahu gak!” Win mencak-mencak, tapi raut wajahnya berbanding terbalik dengan nada bicara yang keluar dari ranum sang tuan.

Off sibuk menanggalkan jas hitam yang ia pakai juga dasi yang dirasa mencekik, “kamu bilang gak akan protes ya!” balas Off kini membuka kancing kemeja paling atas.

Di sisi lain, Win sudah menggulung lengan kemeja hitamnya sampai siku lantas sibuk menyugar surai hitam yang sebelumnya rapi dibubuhi gel. “ya enggak pecinan juga ah, elah,” Win sewot karna pakaian mereka kelewat formal kalau makan di pinggir jalan, bukan perihal tempat lebih kepada takut ditatap oleh pengunjung lain akibat salah kostum.

“Udah belom?” tanya Off, sudah menyerah meski rambutnya masih kelewat rapi.

“Udah,” sahut Win, sekali lagi menyugar surainya, lantas membuka pintu mobil diikuti dengan Off.

“Ko, aku nggak ngerti, kamu yang pesanin ya,” Win berbisik, tangannya memegang sebelah lengan Off persis seperti adik yang bergantung pada kakaknya.

“Iya, kita cari tempat duduk dulu.” Off menurut, sedikit banyak paham kalau ini pertama kalinya sang adik berada di tempat seperti ini. meski sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan street food di Singapur yang sering Win kunjungi.

“Kamu duduk dulu ya, beneran bisa makan apa aja kan?” Off memastikan sementara yang ditanya menganggukkan kepala sebagai afirmasi.

Daerah pecinan selalu ramai, satu dua tenda terlihat penuh dari luar. Beruntung mereka sampai setelah waktu makan malam lewat sehingga ada tempat untuk mereka makan. Win berseru antusias ketika pesanan mereka dibawakan, menatap capcay seafood yang visualnya jauh bila dibandingkan dengan restoran cina yang kerap ia kunjungi.

“Gimana?” Off menatap Win, kedua alisnya naik mengharapkan komentar sang adik.

Win mengacungkan jempol tanpa repot menghentikan suapan, di lain sisi Off tergelak dengan tingkah adik sepupunya. Tahu kalau ia berhasil membuka perspektif baru bagi laki-laki yang lebih muda. Setelahnya, keduanya sibuk menghabiskan makanan masing-masing. Hanya ada perbincangan ringan perihal kabar juga sesekali saling melempar ledekan. Menghabiskan waktu dengan Win tidak pernah tidak menyenangkan, waktu mengulir begitu saja.

Off sudah kembali memakai sabuk pengaman sementara Win sibuk mengangkat kedua tangannya, “huaah kekenyangan.” Ujar laki-laki yang lebih muda, membuat Off kembali terkikik.

“Makan kamu banyak,” ujar Off lantas menyalakan mesin mobil, pelan-pelan keluar dari area parkir sebelum akhirnya mobil yang mereka tumpangi membelah jalan pulang.

“Ko,” panggil Win. Setengah mengagetkan Off yang fokus menyetir. Sudah beberapa menit berlalu tapi ruang kendaraan ini hanya diisi dengan alunan lagu dari Nadin Amizah.

“Koko kira kamu tidur,”

Win hanya menggumam pelan, “harusnya kamu yang makan banyak ya Ko,” ujar Win menatap figure aka sepupunya dari samping.

Off melirik sebentar, memastikan kalau Win sungguh masih bangun. “Kenapa emang?”

“Kamu harus punya energi yang banyak buat besok.” ujar Win kemudian mengalihkan pandangan ke depan, menatap jalanan Pontianak yang cukup lenggang.

Dahi Off mengerut, “besok ada apa?”

“Eh? Atau lusa ya?” Win menelengkan kepalanya, larut dalam pikirannya sendiri.

“Ada apa sih memang?” Off kembali bersuara, meski ia tahu harusnya ia tidak memaksa Win untuk berbicara.

“Rapat direksi internal.” Jawab Win kembali menatap Off.

“Oh.” begitu saja tanggapan sang kakak, membuat Win berdecih keheranan.

“Oh doang?” yang lebih muda bertanya, kentara sekali tidak percaya.

“Ya mau gimana lagi? udah waktunya juga.” Jawab Off kelewat santai, memang rapat direksi adalah acara rutin sehingga Off tidak punya pilihan lain selain melewatinya.

“Kali ini lebih ganas,” ujar Win dengan nada mencekik, “Koko harus hati-hati, gak boleh gentar!” seru Win mengingatkan.

“Kamu magang tuh nyari ilmu atau nyari gossip sih.” Off menanggapi ucapan adik sepupunya tidak serius.

“Ih! beneran!” Win bersikukuh, “aku cuma gak mau Koko kenapa-napa,” cicitnya. Terang-terangan menunjukkan perasaan khawatir karena memang kakak sepupunya sulit sekali ditelaah. Meski akhir-akhir ini ia terlihat lebih tenang.

Mobil Off berhenti tepat di depan pagar rumah Win, juga membuat percakapan mereka ikut berhenti. Sang tuan menegakkan punggung, lantas mengambil beberapa barang yang sempat tercecer di bagian belakang mobil. “hati-hati ya Koko, makasih traktirannya.” Ujar Win yang dijawab Off dengan gumaman pendek. Win kemudian keluar dari mobil, tersenyum simpul dan melambai sebentar lantas masuk saat mobil Off mulai melaju lagi.

Dalam perjalanan pulang, laki-laki jangkung itu mau tak mau memikirkan perkataan Win. Firasatnya mengatakan bahwa ucapan Win adalah pertanda atas hal yang masih abu-abu. Padahal beberapa waktu ke belakang ia sempat merasakan tenang. Tanpa tahu kalau itu adalah tenang sebelum badai.

ㅡ 🌙

Mamang nasi goreng.

Sebenarnya New bisa saja membuka aplikasi di ponsel pintar dan memesan makanan secara online, tapi ia terlampau lelah untuk memikirkan makanan apa yang harus dipesan. Belum lagi cacing di perutnya sudah berdemo sejak dalam perjalanan pulang, sehingga sang tuan enggan mengambil resiko menunggu lebih lama.

Setelah memastikan bahwa kedua teman serumahnya benar-benar tidur (menyembulkan kepala pada kamar Gun dan Kit yang pintunya ia buka sedikit), New mengambil jaket hitam berbahan parasut di belakang pintu kamar dan bergegas keluar rumah.

Jarak dari rumah ke tukang nasi goreng langganan hanya terpaut tiga rumah saja. Gerobak Bapak Senyum selalu berdiri kokoh tiap habis magrib sampai tengah malam, memiliki posisi strategis dimana poskamling yang berderetan dengan gerobak nasi goreng membuat area tersebut lebih hidup mengingat selalu ada satpam yang bertugas juga pembeli nasi goreng tidak berhenti berdatangan. Jalanan komplek yang biasanya mistis dan menyeramkan cukup terbantu karena hadirnya gerobak Bapak Senyum. Apalagi rumor penghuni tak kasat mata dari pohon mangga di rumah Pak RT kerap membuat orang enggan melewati gang komplek ini. Namun sekarang seolah rumor tersebut tidak pernah ada, area berjualan dan poskamling selalu ramai.

Tidak bohong ketika sang tuan berkata kalau ia kurang percaya jika bukan Bapak Senyum yang berjualan nasi goreng, tapi masalahnya ia sudah terlalu lapar dan sedang tidak ingin banyak protes. New mengerutkan dahinya sedikit saat pandangannya menangkap gerobak nasi goreng yang amat familiar.

Oh, mungkin masih saudaranya si Bapak, pikir New yang seratus persen yakin kalau gerobak mamang yang ini sama dengan milik Bapak Senyum.

Seiring dengan tungkai yang perlahan mendekat, New dapat menghidu aroma nasi goreng yang nikmat, semakin membuat sang tuan merasa lapar.

Wangi banget, lapeeeerrr.

Dari belakang, ia dapat melihat laki-laki kurus nan jangkung tengah meracik bumbu pada nasi yang masih berada di atas wajan. New menebak kalau mamang yang ini masih muda, terlihat dari gaya berpakaian yang terlihat kasual seperti anak muda jaman sekarang, kaos oblong, celana denim, sepatu running hitam lengkap dengan topi baseball dengan warna senada.

Ini mamangnya keren amat padahal jualan nasi goreng doang?

Menghiraukan keganjilan yang ia temukan, New menghampiri penjual nasi goreng tersebut bersamaan dengan ingkahnya pembeli terakhir.

“Mang, mau nasi gorengnya sa-”

Dua pasang mata beradu, sang tuan sukses dibuat tergugu.

“Eh?” si Mamang terkesiap, menjadi orang pertama yang sadar akan situasi.

New menautkan kedua alis seraya matanya makin membulat, “Ta-”

“Bukan.” Sahut lawan bicaranya sigap.

“Tapi-”

“Bukan.”

“Beneran-”

“Bukan.”

New menghela napas jengah atas konversasi tidak jelas ini, agaknya ia memang salah orang atau laki-laki jangkung di hadapannya memang berbeda dengan satu orang familiar di kepala. New merengut tidak suka, sehingga satu-satunya hal waras yang dapat sang tuan lakukan adalah berbalik ingkah dan melangkahkan tungkainya lebar-lebar kembali pulang. Untuk sesaat, ia melupakan lapar yang dirasa.

ㅡ🌙

OffGun mafia!au, drabble(est. 600words) TW; mention of blood, implicit murder.


Off menghiraukan ledakan yang terjadi beberapa meter dari tempat ia berdiri, laki-laki jangkung itu tetap melangkahkan kaki meski setengah limpung. Pelipisnya terluka, ada darah yang mengalir dari kepala bagian kiri dan tidak kurun diindahkan. Sudut bibir kanannya juga lebam, serta mata yang setengah terbuka menandakan kalau laki-laki jangkung ini baru saja selesai dari pertarungan sengit, atau bahkan dengan ajaib berhasil keluar dari kumpulan orang yang memukulinya tanpa ampun. Tangan sebelah kanannya menenteng pistol revolver, bukan senapan yang biasa ia gunakan dalam tiap misi mengintainya.

Off berhenti sebentar, kini ia tengah berada di lorong menuju satu-satunya ruangan tertutup. Ruangan yang sengaja ia tinggalkan untuk disatroni terakhir. Yang ia tahu pasti kalau pemilik kamar tersebut masih duduk meringkuk di dalam lemari dengan selimut melilit tubuh mungilnya. Tungkai panjang itu sampai di depan pintu kayu besar dengan ukiran daun yang khas. Off terbatuk-batuk, mengeluarkan cairan kental berwarna merah pekat dari kerongkongan yang terasa amat panas.

Dalam sekali hela, pintu kayu itu terbuka menampilkan Gun yang tengah duduk di atas ranjang besar menatap Off dengan pandangan sendu. Laki-laki mungil itu tahu, Off dapat melihat kalau sang tuan sudah menunggu kehadiran Off sedari tadi, mungkin malah sejak awal Off merealisasikan rencana yang ia susun sedemikian sekretif.

Bibir laki-laki jangkung itu mengulas senyum tipis sekali, “Gun, tahu ya?”

Laki-laki mungil itu mengangguk pelan tanpa mengubah eksresi datar yang sejak tadi ia tampilkan, juga tanpa melepas pandangan dari Off yang masih betah berdiri di muka pintu.

“Semuanya... udah?” tanya si mungil, ragu-ragu.

Off mengangguk mantap, “mati.” sahutnya dingin.

“Ayah?” tanya Gun sekali lagi memastikan.

“Beliau yang pertama,” sahut Off masih mempertahankan es dalam tiap tuturnya.

“Aku.. yang terakhir?” Gun bersuara lagi, tapi matanya kini meredup seiring dengan air yang menggenang di pelupuk mata.

Off tidak langsung menjawab, malah berjalan mendekat. Laki-laki jangkung itu duduk di pinggir ranjang Gun, menatap tuannya dengan ekspresi yang tidak pernah berubah lantas memberikan revolver dalam genggaman pada Gun.

“Kamu tahu aku nggak bisa, kan?” retoris, Off berujar.

Air mata di pelupuk Gun mulai jatuh satu persatu, dari jarak sedekat ini Off dapat melihat pipi dan muncung hidung si mungil memerah. Sang tuan berandai-andai apakah Gun membencinya setelah apa yang sudah ia lakukan.

“Kamu mau aku ngapain, Off?” tanya Gun, berusaha untuk tidak terdengar cengeng namun agaknya percuma dengan air mata yang terus turun.

“Kamu tahu harus ngapain,” ujar Off mengulurkan tangan yang penuh lebam dan bercak darah untuk mengusap sisa-sisa air mata di pipi Gun, sebuah gestur yang tidak masuk akal mengingat Off baru saja membunuh keluarga serta klan tuannya.

Gun menggeleng, “nggak tahu dan gak mau tahu,” ujar si mungil keras kepala.

Off menghela napas, kali ini dadanya baru terasa sakit padahal tendangan yang ia terima sudah lewat dari setengah jam yang lalu. “Salah satu dari kita harus mati,” Off mengingatkan, “Cuma satu orang yang bisa keluar dari mansion ini hidup-hidup.” Lanjutnya dengan penuh penekanan tiap kata yang diucap.

“Kita bisa... kita bisa kabur, berdua, ya Off? Aku gak perlu- Atau! Atau kamu bunuh aku aja, aku beneran gak apa-apa, please jangan suruh aku bunuh kamu.” Gun mulai meracau, bola matanya lari ke seluruh penjuru ruangan sementara kedua tangannya ia taruh di samping kepala, memeganginya agar tidak pecah.

Off memandang revolver yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang, tepat di antara mereka berdua, seolah benda itu menjadi satu-satunya penentu nasib mereka, lantas pandangan laki-laki jangkung itu beralih pada si mungil yang masih meracau tidak jelas.

“Gun,” panggil Off meminta atensi penuh, “aku sayang kamu.”

Dua detik setelahnya, suara tembakan terdengar menggema di seluruh pelataran mansion yang sudah setengah hancur dengan kepulan asap mengudara jauh dari beberapa titik bangunan sampai ke atas menyisakan hening yang luar biasa menusuk.

ㅡ 🌙

XXV. And ever

“Bener gak usah ke salon?” tanya Off, kembali meminta konfirmasi dari laki-laki mungil yang masih sibuk bolak-balik mencari jepit rambut yang biasa ia pakai.

“Nggak usah ih, nanti Om Ju makin ganteng Adek gak mau ada yang lirik.” sahut si mungil mantap. Gun memekik girang saat menemukan benda yang ia cari, kemudian menghampiri Off yang masih betah duduk di atas sofa dengan tangan bertumpu di dagu.

“Diam ya, sebenarnya Adek penyihir.” Gun berucap sembari menaikan poni Off dan menjepitnya dengan jepitan agar diam di tempat. “Adek mau bikin Om Ju jadi lebih muda malam ini.” Ujarnya lagi lantas memainkan jemarinya.

“Wah iya?” balas Off tak ayal mengulas senyum, “boleh dibikin jadi delapan belas tahun nggak?”

Gun memukul paha yang lebih tua, “ngelunjak ya.” sahutnya menatap Off sengit.

“Loh? Kok marah? Saya salah apa?”

“Mana bisa Adek bikin jadi sepuluh tahun lebih muda. Yah, paling banter lima lah.”

Off mengangguk paham, seolah Gun memang benar bisa membuatnya kembali menjadi muda, “dua empat oke juga, saya paling ganteng di usia segitu.”

Gun berhenti menata rambut Off lantas duduk menatap yang lebih tua, “gak usah deh, Om Ju tata sendiri rambutnya. Adek mau ganti baju.”

Laki-laki jangkung itu menyeringai geli, tidak habis pikir kenapa si mungil bisa cemburu atas hal yang belum terjadi. Tidak beralasan, kalau Off boleh bilang, berhubung yang berhasil memenuhi rongga di hati sang tuan hanya Gun seorang. “Bercanda sayang, jangan ngambek dong.”

Gun mendengus kesal, “pokoknya Om Ju nanti jangan jauh-jauh dari Adek, harus sama Adek terus. Kalau mau ambil makan atau minum juga harus ajak Adek.” Ujar si mungil kembali menaruh tangannya di kepala Off. Sementara yang diajak berbicara menggumam tiap akhir kalimat, menandakan kalau ia setuju atas semua permintaan si mungil.

“Kalau ke toilet? Harus ajak Adek juga?” tanya Off iseng, yang malah mendapat pukulan di bahu sebagai jawaban. Selang beberapa menit, Gun turun dan menjauhkan diri dari Off dua langkah ke belakang. menatap hasil karya serta wajah kekasihnya yang balik menatap si mungil bingung.

“Ganteng, gak?” tanya Off, meminta penilaian.

Gun menangkat bahu seraya menunjukan cengiran khasnya, “memang selalu ganteng kok.”

“Bajunya di taruh dimana ya?” tanya Gun lagi mencoba mengingat-ingat.

“Di kamar, kamu mau ganti duluan?” Off balik bertanya. Gun menggeleng pelan, punggung si mungil menghilang dan kembali membawa setelan outift dan menyerahkannya pada yang lebih tua.

“Om Ju ganti di kamar mandi, Adek ganti di kamar aja.” titah Gun yang langsung diamini oleh Off.

Keduanya menghilang untuk berganti baju, saat Gun tengah memakai outer terakhir, sang tuan mendengar suara Off memanggil namanya pelan.

“Kenapa?” Gun membuka pintu kamar dan melihat Off kesulitan dengan scarf di tangan.

“Saya gak kelihatan, tolongin dong?” pinta Off.

“Adek butuh kursi kecil deh,” ujar Gun kemudian menyuruh Off duduk di atas sofa agar ia mudah memakaikan scarf di leher yang lebih tua.

Off mengulas senyum, “biar bisa pakein saya dasi tiap hari, ya?”

Gun bergumam pelan, “tapi Om Ju juga jarang pakai dasi kalau ke kantor,”

“Susah dek kalau pakai cermin tuh.”

Gun memutar bola matanya malas, “itu mah Om Ju yang malas aja,” sahut si mungil seraya melangkah mundur.

“Aduh,” Off setengah memekik, membuat si mungil terperanjat.

“Apa? Kenapa Om Ju? Sakit?” si mungil menilik laki-laki jangkung terebut khawatir.

“Kamu cantik banget dek,”

Gun membulatkan mata tidak percaya lantas memukul pundak Off bertubi-tubi, “bikin kaget aja, ih!”

“Aduh! Saya serius, tahu. Adek, udah!” tangan Off berhasil menangkap lengan si mungil, menahannya agar tidak kembali melayangkan pukulan.

“Jangan aneh-aneh makanya,” Gun cemberut.

“Tapi Adek beneran cantik.” Tukas Off, kali ini menatap netra si mungil sungguh-sungguh.

Gun mengerjap, lantas mengulas senyum tipis, “makasih, Om Ju juga ganteng.”

Off bangkit dari posisi duduk, “mau berangkat sekarang?” tawar laki-laki jangkung tersebut. Gun mengangguk pelan,

“Lezzgo prom night!”


Off tidak ingat kapan terakhir kali ia menghadiri pesta prom, saat ia sekolah menengah tentu saja. Tapi sang tuan sama sekali tidak bisa kembali mengingat kepingan memori perihal pesta masa sekolah yang dulu paling diagung-agungkan. Off juga tidak yakin apakah dulu ia memiliki prom date saat datang ke pesta prom.

Sepertinya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan acara gala bersama kolega, atau yang sering diadakan oleh perusahaan keluarganya tiap tahun. Hanya saja, ini versi paling sederhana, tidak ada saingan bisnis yang hadir, tidak perlu mengulas senyum dihadapan orang-orang tidak dikenal demi nama baik perusahaan. Alih-alih penerus perusahaan, ruangan ini dipenuhi remaja yang siap menduduki babak baru dalam hidup mereka. Hal tersebut berhasil membuat Off dapat sedikit mengendurkan bahunya.

Sepasang kekasih itu berjalan melalui pintu masuk area ballroom yang disewa pihak sekolah, digiring oleh salah satu panitia untuk berpose di area photobooth yang sudah disediakan. kemudian berjalan melewati kumpulan orang-orang untuk dihadapkan pada lantai dansa yang setengah lowong. Di sudut sebelah kiri terdapat panggung kecil, tempat alat musik dan beberapa sistem suara lengkap dengan pemainnya yang melantunkan lagu agar acara tidak begitu bosan. Sementara di sebelah kanan, terdapat meja penuh makanan dan minuman yang sudah disajikan.

Gun mengeratkan pegangan di lengan Off, membuat yang lebih tua menoleh. Dilihatnya si mungil merasa gugup yang amat sangat sementara matanya sibuk mencari-cari seseorang.

“Gun!” yang dipanggil mencari sumber suara dan menemukan Kit melambai-lambai tidak sabaran.

“Halo Gun, halo om,” Kit menyapa sopan saat mereka berdua berhasil menghampiri Kit, yang kemudian dibalas dengan anggukan oleh Off.

“Mana Nyuwi?” todong Gun tanpa basa-basi.

Kit menunjuk dengan dagunya pada area makanan, “biasa temen lo.”

Gun terkekeh, “bener-bener gak bisa lihat makanan ya.” Wajahnya manis sekali saat ia memerhatikan New dari jauh, “eh, lo ke sini naik motor?”

Kit menggeleng, “gue bawa mobil dong, udah dapat izin Ayah.”

“Terus Nyuwi?”

“Lo harus tahu, gue jalan ke Ujung Berung buat jemput dia karna dia gak mau datang sendiri-sendiri.”

Gun tak ayal tergelak, perjalanan dari rumah Kit ke rumah New memang tidak terlalu jauh. Tapi macet serta lampu merah yang harus dilewati cukup membuat jengkel, ditambah dengan fakta kit membawa mobil membuat sang tuan terkekeh karna tahu pasti temannya merasa kesal.

“Eh, Gun udah datang!” New menghampiri mereka dengan dua potong kue di tangan, “halo Om, hehe” New menyapa Off, setengah kaget dengan presensi yang lebih tua meski ia sudah bisa menebak.

“Om Ju mau minum gak?” tawar Gun, menarik lengan yang lebih tua berjalan ke area minum yang dijajakan.

Off mengambil gelas yang disuguhkan si mungil lantas menyesapnya, sedetik kemudian sang tuan mengeluarkan ekspresi aneh sambil mengecap berkali-kali. “Minuman apa ini?”

Gun menahan tawa, “aneh ya?” tanya si mungil yang dijawab dengan anggukkan.

“Paling cola dicampur sama gak tahu apaan.”

“Beer?”

Gun mengangkat bahu, “kayaknya, pantianya emang suka iseng.”

“Astaga jadi gini ya prom anak jaman sekarang.” komentar Off membuat si mungil kembali tergelak.

“Makan kue aja nih, ada magdaleine, oh cheesecake. Keren juga nih panitia.” Puji Gun menatap makanan ringan yang disajikan.

“Rundown acaranya apa aja sih?” tahu-tahu Kit sudah ikut berdiri di dekat mereka lagi.

“Abis ini kayak award gitu, yah palingan gue gak dapet lah.” New menanggapi pertanyaan Kit dengan santai.

“Ciw, ciw, lo menang award gak?” panggil Kit meminta atensi Gun yang sibuk memberikan kue pada Off.

“Gue mah memenangkan hati Om Ju aja gak sih?” jawab Gun asal.

Off Jumpol tersedak ludahnya sendiri lalu terbatuk-batuk, membuat ketiga anak berusia delapan belas sukses tertawa. “Tega kamu dek,”

“Lagian Om Ju daritadi diam melulu, sakit gigi ya?”

“Kalem Om, sama kita-kita doang ini,” sahut New meyakinkan Off kalau tidak apa-apa mengutarakan pikirannya.

“Yoi, santai aja Om, Gun temannya dikit padahal dia populer.”

“Oh ya? Populer banget?” Off balik bertanya, tertarik dengan fakta yang diutarakan Kit.

New mengangguk, “dia terkenal sebagai kakak gemes di kalangan adek kelas.”

Off bergumam panjang, menilik kekasihnya yang sudah cemberut, “Kakak gemas ya? Kakak suka ajarin adek kelasnya gak?”

“Apasih, jangan percaya Kit sama New,” wajah Gun merona, jelas-jelas malu.

“Om harus tahu, saya pernah dicari sama adek kelas karna dikira pacaran sama Ciw, gara-gara dia sun saya pas kita lagi di kantin.”

“Ih! Nyuwi!”

“Wah bikin salah paham satu sekolah aja nih Gun emang,” tambah Kit, lantas cekikikan karna Gun malah bersembunyi di balik punggung Off menahan rasa malu.

Off mengusap punggung telapak si mungil, gesture agar Gun merasa lebih baik meski kedua temannya meledek habis-habisan. Sebuah gesture yang tidak luput dari penglihatan Kit dan New, karena setelahnya, mereka berdua malah sibuk senyum-senyum sendiri.

Malam mulai larut, setelah satu persatu nama siswa yang memenangkan award dipanggil. Tiba-tiba saja lantai dansa berubah menggila. Di awali dengan pergantian musik dengan beat yang lebih cepat. Baik Off dan Gun memilih memerhatikan dari sisi ruangan, melihat kehebohan teman-teman Gun yang sukses membuat si mungil tergelak. Setelah menit-menit penuh keos bergulir, salah satu panitia jengah dan naik ke atas panggung untuk mengganti lagu ke yang lebih bersahabat di telinga.

Kit dan New kembali menghampiri tempat Gun berdiri seraya intro musik mengalun pelan di penjuru ruangan. “Nari sana,” titah New pada Gun.

“Gak ah,” si mungil menggeleng pelan, lantas menautkan tangannya di lengan Off, tidak ingin pergi jauh-jauh dari yang lebih tua.

We could leave the Christmas lights up 'til January. And this is our place, we make the rules.

New berjalan mengitari mereka, berdiri tepat di samping Off yang masih betah memerhatikan anak-anak remaja pelan-pelan ingkah dari lantai dansa menyisakan beberapa pasangan juga prom king dan queen yang sudah diumumkan sebelumnya.

And there's a dazzling haze, a mysterious way about you dear Have I known you 20 seconds or 20 years?

New memberi kode pada Kit, yang diterima cepat tanggap. Dan saat lagu yang mengalun sampai ke bagian chorus, keduanya kompak mendorong Off dan Gun ke lantai dansa.

Gun setengah memekik, sementara Off terlampau kaget bahkan untuk mengeluarkan protes. Butuh sepuluh detik agar Off paham maksud tingkah Kit dan New, sementara Gun sibuk mencak-mencak tanpa suara.

Off terkikik dan menarik ujung lengan outer yang dikenakan si mungil. Gun terkesiap lantas atensinya beralih pada Off sepenuhnya. “Will you dance with me, my prince?” tanya Off mengulurkan sebelah tangan yang bebas.

Gun tercengang, tapi toh menyambut uluran tangan Off meski wajahnya pelan-pelan memanas. “Adek malu,” cicit Gun.

Off mengulas senyum, ia menarik dagu sang tuan agar pandangan mereka bertemu. “Jangan lihat yang lain, fokus ke saya aja.” pinta Off yang dijawab dengan anggukkan kaku dari Gun.

Can I go where you go? Can we always be this close forever and ever?

Tangan Gun menggantung di leher Off sementara milik Off bertengger di pinggang si mungil. Keduanya berayun mengikuti irama musik tanpa mengalihkan pandangan dari satu sama lain. Pelan-pelan, Gun bisa merasakan kalau di lantai dansa ini hanya ada mereka berdua, bahunya rileks dan gerakan mereka lebih santai dari sebelumnya. Rungu sang tuan hanya bisa mendengar debaran jantung miliknya yang tidak beraturan, yang rasanya seperti mau meledak dalam waktu dekat. Membiarkan jutaan confetti memenuhi ruang di hati, tanda bahwa momen ini adalah momen yang paling membahagiakan bagi si mungil.

Gun menaruh kepala di dada Off, ia merasa pipinya pegal karena tidak bisa berhenti tersenyum sementara tangannya sudah beralih menyampir di bahu Off.

“Sayang? mau udahan aja?” tanya Off setengah khawatir. Si mungil menggeleng pelan, masih betah berdansa dengan sang kekasih meski pergerakan mereka amat minim.

“Makasih ya Om Ju udah mau datang ke prom sama adek,” ujar Gun pada fabrik kemeja yang dikenakan Off, “Adek sayang sama Om Ju, tungguin Adek ya.”

Off mendekap Gun seolah masih ada jarak di antara tubuh keduanya, mengecup surai yang lebih muda lantas berbisik, “saya nggak kemana-mana,

I love you, my little prince.”

Darling, you're my, my, my, my Lover

Keduanya berhenti, lagu telah berganti menghentikan pergerakan kaki mereka. Gun mendongak, membuat netranya menyapa milik Off lantas si mungil mengulas senyum paling indah, paling cantik sampai ke mata, sampai menimbulkan ceruk di pipi yang merona.

“Om Ju mau keluar aja nggak?” tawar Gun, entah kenapa firasatnya berkata bahwa lebih baik mereka pergi cepat-cepat dari sini. Atau ini hanya alasan agar si mungil bisa berduaan saja dengan sang kekasih, Gun sendiri tidak begitu paham.

Off mengangkat alis, “mau kemana?”

“Rumah?” mata Gun berkilat-kilat, binar yang selalu muncul kini penuh dengan adorasi dan sayang yang amat kentara menatap Off lekat.

“Oke, kita ke rumah.” Off menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Sebenarnya tidak begitu peduli kemana tujuan mereka, yang paling penting bagi sang tuan adalah ia bisa tetap bisa bersama dengan si mungil tanpa ada distraksi.

Dan rumah adalah tempat terbaik untuk menjadi tujuan mereka saat ini. Tempat paling nyaman yang selalu berhasil membuat keduanya merasa aman. Tempat sepasang kekasih tersebut berbagi peluk karna tahu bahwa makna rumah sebenarnya bagi mereka berdua adalah eksistensi satu sama lain dalam hidup masing-masing.

Sepasang kekasih itu melangkah keluar dengan tangan saling bertaut, sama-sama menggenggam satu sama lain, mengisi sela-sela jemari seolah mengejek seluruh dunia bahwa mereka berdua kini komplet, utuh, dan siap menghadapi apapun yang akan terjadi di masa mendatang. Begitu saja, dua orang asing yang semula hilang dan kehilangan, kini kembali dipertemukan pada rumah.

.

Home /hōm/

: is a safe haven and a comfort zone. A place to live with our families and pets and enjoy with friends. A place where we can truly just be ourselves.

.

ㅡ 🌙

XXIV. Ngapel

Kumpulan kupu-kupu itu berterbangan lagi ketika Gun mendengar deru mesin mobil yang berhenti tepat di depan rumah. Gun segera bangkit dari posisi rebah, mengintip sedikit dari jendela kamar lantas memekik girang saat tahu kalau kekasihnya sudah sampai. Langkah kakinya diambil panjang-panjang, membuka pintu kamar lantas melesat ke teras menyambut kedatangan orang tua favoritnya. Si mungil dapat melihat Off keluar dari kursi pengemudi sembari membawa dua buah paper bag, memakai sweater abu-abu muda yang terlihat lembut. Gun segera membuka pagar rumah, ia menghentakkan kaki tidak sabaran lantas merentangkan tangan saat melihat Off tinggal beberapa langkah di hadapannya.

Off terkekeh geli, tapi toh membiarkan Gun memeluk erat pinggangnya sementara ia menaruh kedua tangan di atas bahu Gun, sesekali mengusap bagian belakang kepala si mungil.

“Adek kangeeeeeen bangeeeeeet sama Om Ju.” Ujar si mungil seraya mengusakkan wajahnya pada fabrik yang Off kenakan. Menghidu aroma khas yang si mungil suka banyak-banyak. Gun tidak menyangka dua minggu tanpa presensi Off di sekitarnya dapat membuat si mungil merasa rindu yang amat sangat.

“Saya juga kangeeeeen bangeeeeeeet sama Adek,” jawab Off meniru nada bicara Gun.

“Ish,” Gun mencubit pinggang Off, menimbulkan aduh lantas si mungil menengadah untuk dapat melihat ekspresi kekasihnya.

“Kamu senang banget cubit-cubit pinggang, sakit tahu,” Off cemberut, menatap netra Gun lurus-lurus.

“Jangan iseng makanya,” sahut Gun tak kalah sewot. Tapi sedetik kemudian, si mungil malah berjinjit menggapai pipi yang lebih tua untuk dikecup berkali-kali, banyak sekali sampai Off tidak tahan untuk tertawa dibuatnya.

“Banyak banget katanya harus bagi-bagi sama Ayah Bunda,” ujar Off menaik-turunkan alis saat Gun sudah kembali menapak di atas kakinya sendiri.

“Biar, nanti Adek tinggal kasih lebih banyak buat Ayah sama Bunda.” Kata Gun seraya mengulas senyum paling manis, paling indah sampai menimbulkan ceruk di pipi.

“Ayo masuk! Bunda lagi masak buat makan siang kayaknya, terus Ayah masih di kebun sebentar lagi pulang.” Jelas Gun sambil menarik sebelah tangan Off dalam genggamannya.

“Buun, Om Ju udah datang nih,” ujar Gun setengah berteriak, ia menyuruh Off duduk di ruang tengah. Tempat sang tuan bermain catur dengan ayah Gun saat terakhir ia berkunjung. Perempuan paruh baya muncul dari arah dapur, membuat Off sontak berdiri dan mengulurkan tangan untuk salim.

“Nak Off baru sampai? Istirahat dulu ya, pasti capek ke sini. Weekend kan macet.”

Off mengangguk, “gak terlalu Tante, saya berangkat pagi soalnya, oh iya,” Off mengambil paper bag yang ia taruh di atas meja pada bunda Gun, “ini buat Om sama Tante,”

“Ya ampun, gak usah repot-repot padahal, makasih banyak loh Nak Off,”

“Nggak ngerepotin sama sekali Tante,” jawab Off meyakinkan, kalau ia memang tulus memberi. Gun datang membawa cangkir yang Off tebak berisi teh madu buatannya, melihat hal itu wanita paruh baya tersebut tersenyum penuh makna.

“Nah, udah ada Gun yang temani, tante tinggal dulu ya. Nanti kita makan siang bareng pas ayah Gun pulang,”

“Ngowkey bun,” malah Gun yang membalas tutur Bunda, si mungil menampilkan cengiran polos dengan binar jahil, tahu kalau jawabannya membuat suasana kaku berubah menjadi cair.

Gun ikut duduk di sebelah Off, menatap sang kekasih penuh tilik. Yang ditatap mengerutkan dahi, “apa?”

“Hadiah buat Adek mana?” Gun membuat gestur meminta dengan kedua tangannya.

“Loh, hadiahnya kan saya?” Ucap Off penuh percaya diri sambil menunjuk dirinya sendiri.

Gun mendorong bahu yang lebih tua, “ih geliiiiii,” tapi tetap tergelak mendengar gombal yang diucap oleh Off.

“Saya aja gak cukup, nih?” Tanya Off mengangkat kedua alisnya, meminta afirmasi.

“Om ju udaaah,” pinta Gun menggelengkan kepala, tawa masih belum ingkah dari bibirnya.

“Jawab dulu,” Off mengangkap kedua tangan Gun, menggenggamnya dengan satu tangan lantas, “kalau hadiahnya saya, cukup gak?”

Gun menahan tawa, setengah mati berusaha tidak tersenyum tapi percuma. Pipinya pegal, pasti wajahnya juga sudah memerah sekarang. Si mungil mengangguk pelan, lantas menunduk malu-malu. Merasa puas, Off melepaskan genggamannya seraya terkekeh gemas.

“Tada,” Off mengambil satu paper bag yang tersisa, “saya belikan ini kemarin,” tuturnya menyerahkan bungkusan kertas tersebut pada Gun.

“Plushie! Lucu banget dinosaurus,” Gun membawa boneka kecil itu dalam dekapan, “makasih Om Ju,”

“Hmm, dapat sun lagi gak?” Tanya Off sembari menyerahkan pipi. Gun mendekatkan wajahnya lantas membubuh kecup lagi, lama sekali dan saat ia menyudahinya ada bunyi cup yang cukup keras.

“Adek kebiasaan sun sembarangan yaa,” tiba-tiba Bunda datang membawa cemilan, lengkap dengan ekspresi was-was menatap putra kesayangannya.

“Nggak sembarangan, kan ini Om Ju udah kasih hadiah. Nih liat Bun, lucu kaaan.” Gun menunjukkan boneka dinosaurus kecil di tangannya.

“Ada aja alasannya kamu tuh,” Bunda menggelengkan kepala lantas menatap Off dengan pandangan meminta maaf. Laki-laki jangkung itu hanya membalas dengan senyuman tipis, seolah berkata tidak apa-apa, semuanya berada dibawah kontrol.

“Sekarang, mau apa?” Tanya Gun saat Bunda sudah kembali menuju dapur.

“Hmm apa ya?” Off balik bertanya, jujur ia tidak pernah berkunjung ke rumah pacar. Mengingat ia dan Gun sudah seperti tinggal bersama. Mereka berdua lebih sering menghabiskan waktu dengan menonton film atau series di unit Off, selebihnya keluar untuk makan atau membeli kebutuhan rumah.

“Mau ke kebun Ayah? Tapi Om Juu masih capek nggak?” Tawar Gun.

Off menggelengkan kepala, “ayo kita ke kebun Ayah,” jawab Off bersemangat. Ingin tahu lebih banyak tentang Gun. Ingin secara langsung menyaksikan dan mengalami semua yang si mungil rasakan. Ingin sekali mensejajarkan persepektifnya dengan milik Gun.

ㅡ 🌙

XIII. Lonte

“Om Ju.. Bangun...” Gun memanggil laki-laki jangkung yang masih tertidur pulas di atas sofa. Wajahnya ditekuk, setengah kesal karena yang lebih tua malah tertidur alih-alih ikut menonton film bersama. Padahal sebelumnya adegan sedih saat Peter Parker mengucap kalimat terakhir pada Tony Stark sebelum akhirnya berubah menjadi debu, sukses membuat si mungil menitikan air mata.

“Bangun.. Om Ju, ayo makan.” Seru si mungil tidak sabaran. Telunjuknya menekan pipi Off berkali-kali, mencoba mengganggu sang tuan dari tidur. Alih-alih terbangun, tangan Off yang melingkar di pinggang Gun malah mengerat, yang omong-omong, ikut membuat wajah mereka makin dekat.

Gun setengah memekik, bisa ia rasakan wajahnya memanas akibat jarak yang terlalu intim. Tapi dilihat dari dekat seperti ini, Gun baru sadar kalau Off benar-benar sudah tua. Garis wajahnya tegas, pipi tirus dan tidak terlewat kantung mata yang berapa lamapun sang empu tidur tidak akan menghilang.

Dua puluh sembilan ya, pikir Gun. Kalau tidak salah umur kekasihnya memang hampir tiga puluh, Waktu itu si mungil pernah bertanya setelah meledek yang lebih tua habis-habisan perihal trend masa kini. Jauh sekali perbedaan mereka, entah kenapa tiba-tiba saja orbit mereka bersinggungan membuat keduanya sadar akan eksistensi satu sama lain.

Off dua puluh sembilan dan Gun delapan belas, jarak umur mereka lebih dari satu dekade. Gun jadi membayangkan ketika dirinya baru lahir di dunia ini, Off sudah menginjak bangku sekolah dasar. Ia membayangkan Off versi mini dengan pipi gembil dan jalannya yang serampangan. Oh, atau saat Off dibonceng oleh Arm mini dan Tay mini menyusul di belakang dengan sepeda miliknya. Gun terkikik. Lucu sekali, pikir Gun.

Satu dekade merupakan waktu yang lama. Dengan segala perbedaan yang ada, sejujurnya Gun cukup bingung bagaimana ia harus bersikap. Apalagi kekasihnya merupakan seorang yang rumit, isi kepalanya sulit dibaca terlebih Off memiliki watak yang enggan bercerita perihal apapun. Gun hanya bisa menilai dari apa yang ia lihat langsung, hal-hal yang terjadi di belakang punggung si mungil terlihat buram.

Gun menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Off. Si mungil menghidu aroma laki-laki jangkung yang sudah menjadi wangi favoritnya sejak hari pertama lantas bergumam lirih,

“Om Ju, tungguin Adek ya.”

Selang beberapa menit, tiba-tiba saja Off terbatuk, “Adek, gak bisa napas,”

Gun segera melepaskan diri, raut khawatir terpampang jelas di wajah si mungil melihat Off mengambil napas banyak-banyak. sedetik kemudian Gun terkekeh, ingat tujuan awalnya untuk membangunkan sang kekasih. “Om Ju, ayo banguuun!!” Ujar Gun seraya bangkit.

“Kamu mau bangunin saya apa mau bikin saya tidur selamanya sih, Dek?”

“Adek cuma peluk doang!” Bantah Gun lantas manyun, “lagian Om Ju susah banget dibangunin.”

“Iya, ini udah bangun sayangkuuuu.”

Gun mengatupkan bibir, lantas ia mengerjap bingung. Bisa si mungil rasakan kalau pipinya memanas. “Adek laper,” sahut Gun.

“Mau makan apa?” Tanya Off ikut duduk dan bersandar ke punggung sofa.

Gun menyeringai, “Adek mau lonte!”

“Astaga, Adek!” Mata Off membulat sempurna, tercengang menatap kekasih yang bersemangat.

“Apa sih? Emangnya Adek salah?” Tanya Gun memiringkan kepala.

“Gak boleh ngomong gitu ah, siapa yang ajarin.” Off berdecak tidak suka. Si mungil sibuk berdebat dengan kepalanya sendiri untuk kemudian sadar.

“Apasih! Orang lontong sateeee!” Seru Gun tida sabaran. Off melotot tidak percaya.

“Ya ampun bahasa mana lagi itu,” yang lebih tua mengurut dada sementara Gun sudah terkikik geli.

“Dasar om-om gak gaul.” Gun buru-buru bangkit dari atas sofa, menatap Off yang masih bergeming.

“Mau keluar?” tanya Off yang dijawab dengan anggukan oleh Gun.

“Ayo, bosan nih di rumah terus. Adek siap-siap ya?” si mungil meminta izin.

“Lima belas menit?” tanya Off

“Lima belas menit di hallway.” jawab Gun kemudian melesat keluar dari unit apartemen sang kekasih untuk bersiap.


“Kamu gak dingin pakai celana pendek?” Off melirik Gun yang tidak mengenakan celana panjang. Sepenuhnya khawatir karena langit mulai menggelap, menampilkan torehan merah tanda senja tengah mencapai puncak.

Gun melihat tungkainya, yang setengah mengekspos bagian paha akibat posisi duduk. “nggak deh, kayaknya. Tempat makan satenya gak outdoor kan?” Gun memastikan.

Off menggeleng, “nggak sih, cuma takut aja kamu masuk angin.”

“Enggak lah, cuma uhm.” Gun bergumam panjang, bingung bagaimana harus mengutarakan.

“Cuma apa, sayang?”

“Cuma Gun baru sadar aja kalau celananya pendek banget ya?” si mungil menatap Off yang fokus menatap jalan di depan.

“Mau ditutupin pakai jaket saya?”

“Ih nanti Om Ju gak pakai jaket dong, gak usah kali ya?”

Off mendengus gemas, “yaudah nanti kalau gak nyaman atau ada yang lihatin baru tutup kakinya pakai jaket saya, ya?”

Gun bergumam sebagai jawaban, tidak ingin membawa perkara ini lebih lanjut dan memilih untuk menurut. Tahu-tahu, sebelah tangan Off mengulur dan berhenti tepat di hadapan si mungil.

“Apa?”

“Mana tangan kamu?” pinta Off langsung pada poin. Gun merona, tapi toh ia menaruh telapaknya di atas milik Off juga. Membiarkan tangan besar milik sang kekasih menggenggam penuh dan mengisi sela-sela jemarinya.

“Alay banget sih...” cicit Gun, tidak tahan untuk meledek laki-laki jangkung yang sudah kembali fokus menyetir.

“Tapi kamu suka kan?” jawab Off dengan nada jahilnya. Gun terkekeh geli, Tidak habis pikir dengan tingkah Off yang tidak begitu merepresentasikan usianya. Seolah umur mereka tidak terpauh jauh.

ㅡ🌙

XXII. Agenda

Gun menatap lawan bicaranya penuh tanya. Ada yang aneh dari om-om yang tengah menyantap nasi goreng buatannya. Laki-laki jangkung itu memiliki mata yang amat lelah, ada kantung di bawahnya terpampang jelas. Seolah mengejek si mungil bahwa sang tuan telah menghabiskan seharian penuh hal-hal berbau orang dewasa yang amat rumit, yang sukses membuat orang tua favoritnya terlihat tidak bersemangat pagi ini.

“Om Ju semalam pulang jam berapa?” tanya Gun menyuap habis sisa nasi goreng di piringnya.

“Jam dua belas..” jawab Off, tanpa mengalihkan pandangan dari piring yang masih berisi setengah porsi nasi goreng.

“Terus? Langsung bobo?” tanya si mungil lagi, malah mendapat jawaban berupa hela panjang dari lawan bicaranya.

Gun bangkit, menaruh piring kotor di atas bak cuci lantas mengambil teko untuk menyeduh teh. Ia mengambil cangkir yang biasa digunakan oleh Off lantas menuang madu setelah kantung teh hitam berhasil mengubah warna air panas yang ada di dalam cangkir.

“Nih, minum. pelan-pelan ya, masih panas.” sahut Gun seraya menaruh cangkir teh di hadapan Off.

“Nasi gorengnya gak enak?” tanya Gun lagi. Off mengangkat pandangan, akhirnya, membuat netra mereka beradu.

“Enak, kok.”

“Tumben lama habisinnya?” tanya Gun. Lagi-lagi Off hanya bisa bergumam. Gun makin mengerutkan dahi, sebal dengan tingkah kurang responsif yang dilakukan Off. Tahu-tahu, si mungil memukul sebelah lengan sang tuan yang sudah kembali sibuk melamun.

“Aduh, Adek?” Off kembali hadir di atas bumi, menatap si mungil penuh tanya.

“Om Ju kenapa sih, daritadi ditanya ah-eh-ah-eh doang?” Gun mulai protes, “cepat habisin sarapannya, Gun mau siap-siap pulang aja kalau gini.”

“Eh tunggu, jangan ngambek dong Adek. Aduh.” Off menaruh alat makannya, lantas mengikuti langkah mungil sang tuan rumah menuju kamar tidurnya.

“Adek, jangan pulang hari ini dong? main dulu sama saya, ya?” bujuk Off, ikut duduk di atas karpet coklat, tepat di samping Gun yang mulai menata barang-barang miliknya. Si mungil tidak mengindahkan perkataan Off, malah sibuk mengepak sehingga Off harus menahan tangan Gun untuk meminta atensi.

“Ya, Adek?” Off begitu presisten, ia menatap obsidian si mungil lekat-lekat. tertera sekali ada permohonan yang disampaikan tanpa kata-kata. Gun menarik napas dalam-dalam, lantas melepas genggaman laki-laki jangkung tersebut.

“Om Ju,” panggil Gun, menaruh kedua telapak di sisi kepala Off, “habisin sarapannya, terus diminum tehnya, okay?”

“okay,”

Dengan begitu Off bangkit menuju meja dapur, kembali duduk di depan piring yang isinya belum sempat habis. Membiarkan Gun melakukan apa yang harus ia lakukan sekarang. Juga setengah hati menyerah, karena tahu kalau ia tidak bisa merintangi sang pujaan hati jika sudah membuat keputusan.

“Om Ju? Udah sarapannya?” akhirnya Gunn keluar dari kamar tidur, tertarik dengan suara percikan keran air yang konstan. Benar saja, ia menemukan Off tengah mencuci alat makan yang ia pakai.

“Udah,” sahut Off lantas berbalik membelakangi sink setelah gelas terakhir ia taruh di atas rak cuci, mendapati si mungil sudah berdiri di dekat figurnya.

“Wow, Om Ju cuci piring.”

Off melengos, “ngeledek lagi, kan,”

“Aku cuma bilang wow?” seru Gun tidak percaya, lantas si mungil menarik Off ke ruang tengah.

“Kenapa? Bukannya kamu mau dibantuin packing?” tanya Off bingung dengan fakta bahwa mereka tidak pergi ke kamar tidur Gun.

“Om Ju anak baik, mau dikasih hadiah?”

Mata Off melebar beriringan dengan sudut bibir yang ikut naik, “mau dong, anak baik harus dapat hadiah.” ujar Off bersemangat. Gun tidak tahan, ia terkekeh melihat perubahan ekspresi kelewat kontras yang ditunjukkan orang tua favoritnya.

“Malah ketawa sih, cepet mana hadiahnya” pinta Off tidak sabaran.

“Bawel, mending Om Ju merem dulu.” Titah Gun yang langsung diamini oleh Off.

Ini terlampau lucu, melihat laki-laki jangkung dalam balutan celana training dan kaus lengan panjang tersebut berdiri di tengah-tengah ruangan unit apartemennya dengan mata terpejam, Gun merasa bahwa ia telah mendapatkan hak istimewa atas seseorang bernama Off Jumpol. Rasanya menyenangkan.

Tidak mau membuat sang tuan menunggu lama, Gun lantas merengkuh Off ke dalam dekapan. Atau malah ia yang masuk ke dalam dekapan Off, Gun kurang paham. Tapi yang pasti, ketika wajahnya menubruk dada bidang Off dan kedua lengannya melingkari pinggang sang tuan. Gun dapat merasakan Off bergerak mengembalikan rengkuh yang diberi, di detik yang sama keduanya merasa aman dalam peluk yang mereka bagi.

“Kangen Adek,” tutur Off, akhirnya mengaku meski suaranya terhalang puncak surai si mungil.

“Baru juga gak ketemu sehari?”

“Kemarin saya gak dapat peluk, tahu,”

“Aduduh, kasihan sekali Om Ju ini,”

“Hari ini peluk seharian ya?”

Gun bergumam panjang, “kan Adek mau pulang?”

Off mengeratkan pelukannya, “gak boleh,” balas Off setengah posesif. Sebentar, ini sesuatu yang baru. Gun tidak pernah melihat Off sampai sebegininya. Terlampau lucu bagi seorang anak delapan belas tahun untuk merasakan sikap kekanakan dari laki-laki jangkung yang umurnya terpaut jauh.

“Om Ju hari ini aneh,” seru Gun, malah mengalihkan pembicaraan tapi toh si mungil tetap menikmati aroma yang menguar dari tubuh kekasihnya.

“Jangan pulang hari ini, ya?” pinta Off, sekali lagi, kali ini dengan nada memohon yang amat kentara. Sukses membuat hati si mungil terenyuh, entah kenapa.

“Adek memang gak pulang hari ini, Om Ju.” jelas Gun. Suaranya pelan sekali karena si mungil berujar di dada sang tuan.

Off menarik tubuhnya dalam sekali hela, ia memegang bahu si mungil dan menatapnya tepat di netra, “benar?”

Gun mengulas senyum, “benar, kenapa sih takut banget Adek pulang hari ini?”

“Ya.. Takut aja.” sahut Off, lantas menarik si mungil ke dalam dekapan lagi.

“Apa sih?”

“Nanti gak bisa peluk seharian.”

Tangan Gun bergerak turun dan mencubit pinggang yang lebih tua, “aduh! Kok dicubit?”

“Om Ju gak jelas.”

“Biarin, yang penting bisa peluk seharian.”

“Besok antarin Adek pulang ke rumah, mau nggak?”

Lagi-lagi, Off melepas pelukan mereka demi menatap si mungil tidak percaya. “Boleh? Benar boleh?” Tanya laki-laki jangkung tersebut. Lantas ia mengerutkan dahi, “kamu nggak merencanakan sesuatu kan? Enggak tiba-tiba mau ngilang lagi, kan?”

Gun memajukan bibirnya, “yaudah kalau Om Ju gak mau, Adek minta antarin Kit aja.”

“Eh nggak, nggak,” Off buru-buru memotong, “besok saya yang antarin langsung ke depan rumah kamu.”

“Nggak sekalian sampai depan kamar?” tanya Gun dengan nada jahil.

“Wah ide bagus, nanti saya gendong dari mobil sampai ke atas kasur kalau perlu.” balas Off.

Si mungil tergelak, tidak percaya kalau Off dapat membalas tutur penuh lantur dengan candaan yang sama. Mendengar tawa Gun, Off senantiasa ikut tertawa. Keduanya sama-sama mendapati situasi mereka kali ini begitu menggelikan. Aneh, tapi juga nyaman. Off Jumpol berani bersumpah ia tidak akan menukar pagi yang mereka bagi dengan apapun di dunia ini. Laki-laki jangkung itu ingin menyimpan semuanya sendiri, kalau perlu diarsipkan dalam kotak khusus dengan label nama Gun di atasnya. Yang ia tutup rapat-rapat dan terkunci rapi. Tidak ada yang bisa mengakses selain dirinya sendiri.


“Berarti kamu udah nggak marah, kan?” Tanya Off hati-hati, kini keduanya sudah duduk di atas karpet. Kembali dalam agenda mengepak barang untuk Gun.

“Iya, udah gak marah.” Jawab Gun, “lagian, Adek siapa minta Om Ju buat pulang, toh omelan Maminya Om Ju juga gak mempan.” Lanjut si mungil.

“Kok Adek bilangnya gitu?” Off cemberut, tidak suka bagaimana Gun menganggap dirinya bukan siapa-siapa, padahal si mungil sudah menempati seluruh ruang di hati Off.

“Ya.. Memang benar?” ujar Gun, “Om Ju pasti punya alasan kenapa gak mau pulang, tempo hari Om Ju udah cerita perihal rumah yang terasa bukan seperti rumah. Adek mau coba ngerti, jadi adek gak akan maksa Om Ju buat pulang lagi.” Jelas Gun panjang lebar, mencoba membuat lawan bicaranya paham akan pemikiran si mungil.

“Tapi, Adek kan spesial,” balas Off, ingin membuat si mungil mengerti kemana arah pembicaraan mereka.

Gun berhenti memasukkan salah satu kaus yang sudah dilipat, “justru karena Adek spesial makanya Adek mau ngerti,”

Ada jeda panjang yang diambil oleh Off sebelum ia menjawab, “kamu gak mau nanya alasannya?”

Gun mengangkat bahu setengah acuh, kemudian lanjut membereskan baju-baju yang hampir habis. “Nggak tahu, nanti juga Om Ju cerita, atau kalau Om Ju gak mau cerita yaudah. Balik lagi, itu pilihan Om Ju, Om Ju kan orang dewasa pasti paham apa yang dilakukan.”

Skak mat.

Umur hanyalah berupa angka bagi Off Jumpol. Tahun demi tahun bertambah dan seiring berjalannya waktu, sang tuan tidak merasakan perubahan yang signifkan dalam dirinya. Kalau boleh ia memberi pendapat, hidupnya begitu-begitu saja. Monoton yang lambat laun membuat lehernya tercekik. Keluarganya yang lebih sering menuntut daripada bertanya keinginan sang tuan. Figur kakak yang terlalu ikut campur dan selalu ingin tahu tentang apapun yang tengah berlangsung dalam hidup laki-laki jangkung tersebut. Juga nenek, yang betapapun sang tuan ingin jadikan sebagai sandaran, tetap ada jarak tak kasat mata mengingat bahwa perempuan paruh baya tersebut adalah wanita paling tua di rumah keluarga Adulkittiporn.

Sejauh ini, semua yang Off lakukan hanya berdasarkan ego yang sebagian besar mengontrol isi kepala. Sang tuan terlampau sering dipaksa menurut, sekalinya ia berontak ada ganjaran yang harus ditanggung sehingga Off pelan-pelan membangun dinding untuk membatasi diri dari keluarganya sendiri. Tumpukan batu bata tersebut mulai dibangun sejak ia masih usia tujuh, sekarang dua puluh sembilan, entah sudah setinggi apa dinding tersebut.

“Maaf.” lolos Off, pelan sekali, sampai-sampai Gun mengira kalau Off baru saja menghela napas panjang alih-alih berujar.

“Kenapa?”

“Maaf ya, saya susah ngomong,”

“Enggak perlu,” sahut Gun buru-buru, tidak ingin membuat laki-laki jangkung itu semakin merasa bersalah, “tiap orang kan beda-beda Om Ju, Adek udah sadar hal ini dari lama kok. Memang butuh keberanian yang gede,” Gun mengangkat kedua tangannya membentuk bundaran besar, “buat cerita ke orang lain,”

“Tapi kan-”

“Sshh! Mau cepat selesai gak? Katanya mau peluk seharian?”

Off menghela napas panjang, lagi-lagi menyerah. kenapa sulit sekali rasanya memahami si mungil? Gun dan segala pemikirannya. Off bertanya-tanya darimana segala kedewasaan yang tumbuh dalam tubuh kecil kekasihnya. Kenapa rasanya ia selalu menjadi pihak yang dimengerti. Off juga ingin, sekali-kali menjadi sosok yang diinginkan si mungil.

Hanya saja, laki-laki jangkung tersebut tidak tahu kalau selama ini ia sudah lebih dari cukup menjadi seseorang yang si mungil mau.

“Peluknya sambil nonton marvel, mau?” tawar Off menyerahkan kaus terakhir untuk dimasukkan ke dalam boks untuk dibawa besok.

“Mau!” seru Gun, lantas menutup boks tersebut, memberi label 'kaus bekas' lantas keduanya ingkah menuju unit kamar Off. Ada agenda berpacaran yang harus mereka lakukan.

ㅡ🌙

Kamar; Gelap

N: Halo? Ciw, gak apa-apa?

G: ...

N: ... Lo nangis? Diapain lagi sama tuh om-om?

G: ... Enggak, bukan Om Ju.

N: Lo kalau minta telpon malam-malam pasti tentang Om Ju, atau sesuatu yang berhubungan dengan orang tua itu.

G: Nyuwiii... gak tahu.

G: Gue cuma baru sadar kalau gue sama Om Ju tuh beda.

N: Beda gimana?

G: Ya Beda... Semuanya. Kayak, lo menjadi gula di antara para semut.

N: Dimakan dong gue?

G: Ih gue serius tahu...

N: Oke, oke. Poinnya?

G: I feel like I don't belong in his world.

N: Nda bisa bahasa enggres.

G: ...

G: Bangsat.

N: Nah gitu dong ketawa. Tapi ya Ciw, lo baru lihat tip of his world aja udah bilang gini, gimana kalau masuk ke dalamnya?

G: Kayaknya gak akan deh Nyuw.

N: Lo serius? Ciw, lo tahu kan maksud Om Ju ngajak lo tadi? Dia mau lo tahu tentang dunianya.

G: Tahu. Tapi gue ngerasa kalau it's not my place Nyuw. Kayak, apaya, gue domba dan mereka semua tuh serigala.

N: Okay, stop dengan pernadaian lo. Gue paham. Terus lo mau gimana?

G: Gue gak mau jauh-jauh dari dia, tapi gue anaknya tahu diri.

N: Lo mau pindah?

G: Menurut lo, gue bisa pindah?

ㅡ🌙

Area Pesta; acara tengah berlangsung

G: Wow.. Ramai juga.

O: Pegangan yang erat, jangan sampai lepas.

G: Iya.

O: Adek?

G: Hmm?

O: ... Nanti, kalau kita-

G: Kenapa, Om Ju? Gak kedengaran.

O: ...

O: Gak apa-apa. Mau maju ke depan nggak?

G: Boleh.

ㅡ🌙