pendaftaran_utbk.webp

Mingyu dan segala caranya itu enggak pernah absen membuat Wonwoo mengerutkan dahi, terbukti dari bagaimana ia menggunakan VPN yang enggak terpikir olehnya untuk masuk ke server pendaftaran. Beberapa menit kemudian, sudah ada tempat untuk tesnya nanti, beberapa minggu lagi.

“Terus sekarang kita ngapain?”

“Pacaran lah, gak kangen apa?”

Ketika layar laptopnya ditutup, ada begitu banyak ide yang bisa dilakukan untuk mengisi hari.

“Kamu punya karet kecil-kecil gini dari mana?”

“Tadinya buat kucirin maltese.”

Tangannya masih sibuk mengikat rambut Wonwoo. Menjadikannya kucir dua.

“Wontese!”

Wonwoo cuma bisa menghela napas, mengintip ke cermin di samping kamar, lalu mengulang helaan napasnya. He looks like a fool, tapi senyum yang mengembang di wajah Mingyu membuatnya pasrah. Lucy di tangannya hanya melihatnya beberapa saat sebelum kembali menggigiti mainannya. Daniel yang justru berusaha untuk bangkit dan meraih kucirnya dengan kaki depannya, hampir menggigit rambut Wonwoo kalau aja Mingyu enggak menahannya.

“Aku foto ya, Won?”

“No!” Sergah Wonwoo secepat kilat. Kerutan di dahinya itu munkin mengindikasikan marah, namun itu tetap lucu, Mingyu ingin menarik pipinya kalau saja ia boleh.

“Lucu kamunya, buat kenang kenangan.”

“Nanti kamu masukin ke Instagram, males....”

“Enggak sumpah, janji!”

“Mingyu!”

Detik ketika Wonwoo menoleh ke arah Mingyu dengan wajahnya yang merajuk adalah saat di mana Mingyu memencet shutter kamera analognya. Begitu kontras muka masamnya dengan senyum yang setelahnya diiringi oleh gelak tawa Mingyu.

“Mingyu, kamu jahat banget.”

“Lah, kan gabisa dimasukin ke Instagram ini?”

“Ya, nanti kan bisa! Emangnya enggak bakal kamu cuci?”

Mingyu caresses Wonwoo’s cheek, mengundang ronanya. Tidak ada buku apapun hari ini, Mingyu mengklaim bahwa hari ini adalah cheat day dan Wonwoo tidak boleh memikirkan apapun tentang pelajaran, apapun yang berhubungan dengan sekolah. Itu urusan minggu depan, hari Rabu saat mereka mulai menempuh Ujian Sekolah hari pertama.

Hari ini cuma tentang mereka, kucing dan anjing yang menyusup masuk ke dalam kamar Mingyu, segala yang mereka suka sebagai komplementer hari ini.

Segala yang bersifat komplementer itu contohnya bisa apa saja. Bisa berbentuk pilihan makanan di aplikasi yang tidak kunjung mereka sepakati. Bisa berbentuk paksaan dari Mingyu agar Wonwoo hanya memakai pakaian rumah, bukan celana jeans atau celana bahan lainnya. Bisa juga berbentuk jarak yang semakin lama semakin terkikis hinga hanya beberapa centimeter, entah siapa yang memulai.

Lalu Wonwoo yang menjauhkan diri dengan mata yang melebar, Mingyu yang melepas sentuhan di pipinya.

“Mingy— aku mau ngucirin kamu juga!”

Ia ambil karet jepang yang berserakan di lantai, mulai mengambil rambut Mingyu untuk dia ikat persis sepertinya. Tidak ada penolakan, hanya kekehan yang enggan berhenti, hanya ngeong dan gonggong yang bersautan.

“Kamu tuh mau apa?”

“Kucir.”

“Masih tetep lucuan kamu lah, Won.”

“Biarinn.”

Wonwoo yang kemudian berlutut untuk mempermudah akses kucir-mengucirnya itu dipegangi pinggangnya oleh Mingyu yang hanya sesekali mengintip untuk menatap wajahnya. Mungkin ekspresinya terlampau serius sekarang, Wonwoo tidak tau.

Ia tidak langsung melepaskan diri saat mahakarya kecilnya sebagai penata rambut amatiran itu selesai, justru mengalungkan tangannya di leher Mingyu. Ia menatapnya dari atas dan sebagaimana teori gravitasi yang telah ia pelajari sejak sekolah dasar, segala yang di atas akan jatuh tertarik ke bawah.

Atau ditarik.

Pelukan di pinggangnya itu menariknya untuk turun, menempelkan dahinya dengan Mingyu. Ia menunggu dan menunggu, enggan melakukan pergerakan apapun hingga Mingyu yang bergerak untuk semakin mendongak. Mencuri ciuman yang disambut dengan tangan Wonwoo yang beralih ke pipinya, menangkupnya.

They aren’t good kissers, they both know that. Tapi memangnya itu penting? Yang ada di otak mereka itu hanya emosi yang butuh untuk dikeluarkan, dicurahkan lewat tautan berantakan dari dua laki-laki yang tahun ini baru berumur delapan belas tahun.

Untuk beberapa alasan, Mingyu memundurkan tubuhnya perlahan hingga punggungnya berbenturan dengan lantai yang dilapisi karpet, sehingga ketika Wonwoo melepas ciumnya, ia mendapati dirinya tengah duduk di atas perut —pinggul Mingyu.

Tomat sedang berbuah hari ini, diproduksi langsung dari kebun di pipi Wonwoo.

“Kamu tetep cakep kalo diliat dari bawah sini ternyata.”

Wonwoo memberi satu tamparan kecil di pipi kanan sebelum mengangkat dirinya dari Mingyu, berbaring di sebelahnya, sedikit banyak berdoa agar Daniel atau Lucy enggak sedang iseng berupa buang air di dekatnya.

Enggak ada apa-apa di atas sana. Langit-langit bukan sembarang langit sebagaimana pagi dengan warna merah muda keunguan, sore dengan jingga kebiruan, dan malam dengan taburan bingang. Tapi, langit-langit kosong itu tetap memberi ketenangan, atau mungkin itu hanya karena presensi satu sama lain, tidak ada yang tau.

“Wonwoo,”

“Yep?” Wonwoo memikirkan tubuhnya, menjadikan lengannya yang dilipat sebagai bantalan. Masih ada ikatan di rambut Mingyu, begitu juga dengan dirinya.

Ketika Mingyu melakukan hal sama, Wonwoo langsung ingin tenggelam ke dalam netranya. He then realizes how much he missed him, one of the worst week of his life.

“Aku yang kemaren bilang jangan bahas sekolah, cuma aku ada pengen ngomong bahas sekolah.”

“Ngomong aja, Gu.”

Helaan napas setelahnya menjadi indikasi kurang baik, Wonwoo assumes.

“Dua minggu lagi pengumuman SNM,”

Liat kan? Indikasi buruk.

“terus?”

“Aku enggak yakin lolos sih, enggak boleh juga berharap ya? Walaupun susah, pasti tetep kepikiran.”

Sebelah tangannya mulai menggenggam tangan Wonwoo yang tidak melakukan apapun.

“Pilihan kita aja beda, jadi mau hasilnya apa juga pasti kita misah ya?”

“Inggu, jangan sedih-sedih.”

“Enggak, aku pengen ngomong ini.”

Tatapan seriusnya itu menghipnotis Wonwoo hingga fokusnya hanya ada di Mingyu.

“Mau kita lolos di jalur mana aja, universitas mana aja, jangan dilupain nih yang susah susah gendong kamu sambil turun tangga.” Ujar Mingyu, menggunakan jari telunjuk dari tangan yang tadi menggenggam Wonwoo untuk menusuk ujung hidungnya.

“Aku enggak nyuruh kamu kayak gitu.”

“Kamunya lemes banget gitu, mana tega akunya. Daripada jatoh.”

“Untung kita enggak jatoh bareng, Gu. Malu banget pasti....”

Little laugh won’t hurt anyone but themselves, menyadari ada banyak hal yang mungkin akan segera berakhir dalam hitungan minggu.

“Katanya LDR tuh susah, Won. Apalagi kita udah biasa tiap hari ketemu.”

“I know, Gu.”

“Tapi aku maunya kita bareng terus.”

“Aamiin, Inggu, aamiin!”

Genggaman tangan mereka kemudian terlepas untuk digantikan dengan sebuah rengkuhan di atas lantai yang mungkin akan membuat badan mereka sakit.

Wonwoo itu enggak kecil, enggak mau juga dianggap kecil. Tentu ada pengecualian ketika lengan pacarnya itu sudah mulai bergerak untuk menenggelamkannya di dalam sebuah pelukan. Besar rasa inginnya untuk mengecil agar dapat bersembunyi di balik Mingyu yang lengannya keras itu.

Ketika pelukannya dilepas, tatapan penuh penghakiman diarahkan kepada satu sama lain.

“Apa?”

“Hah, apa?”

Satu kecupan di dahi sebelum lengannya kembali menenggelamkan Wonwoo ke dalam Mingyu yang selalu hangat.

“Kamu tuh geli banget.”

“Aku kalo udah sayang orang mah begitu.”

Oh, ingin sekali Wonwoo memukul pelan wajah laki-laki ini lagi kalau aja pelukannya tidak mengunci pergerakannya. Kucirannya dapat dipastikan sudah mulai berantakan sekarang.