Siti hilang

“AYANGGGGGGG.” Suara mengelegar itu membuat New menjatuhkan brownies lucunya di lantai. New sudah mau menjitak Tay, tapi saat ia akan menjitak kekasih anehnya itu, muka Tay sudah penuh air mata dan ingus yang bleber kemana-mana.

Persis bocah 5 tahun.

Alih-alih bertanya, New cuman membawa Tay ke pelukannya. Bagi New, siapapun yang menangis tak seharusanya di tanya tapi di beri afeksi menenangkan. Tidak semua orang mau di tanya ketika menangis. Ada kalanya seseorang hanya bersandar.

“Gapapa. Gapapa Tay, apapun masalah lo, pasti ada jalan keluarnya.” Sesekali di puk punggung bergetar Tay.

Dilepaskannya pelukan itu. “Yang, Siti hilang. Gue tanya mama ga tau katanya.”

“Iya nanti kita cari bareng-bareng.” Mereka berkeliling komplek mencari Siti, singa peliharaan Tay. New juga membawa Bonbon, kura-kura peliharaannya. Bukan tanpa sebab New membawanya, Bonbon dan Siti sudah berteman lama sekitar 3 tahun, walau keduanya spesies berbeda.

New selalu ingat, kalau salah satu diantaranya ada yang hilang, satunya lagi akan mencari dengan radarnya, entahlah seperti punya ikatan batin.

“Yang dimana ya? Gue khawatir banget sama Siti. Kalau dia di kulitin gimana?”

“Dia juga kan biasa hilang Wan, paling jalan sendiri di komplek.”

“Tetep aja. Gue panik. Mana besok gue ada shift flight lagi. Duh makin ga tenang gue.”

New menoleh spontan. “Lo pulang aja deh Wan, packing buat besok. Biar gue sama Bonbon yang nyari Siti.”

“Ga lah gila. Siti kan tanggung jawab gue yang. Ayo dah keliling di blok 10. Biasanya kan nangkring di rumah Jumpol.”

“Ayo.”

Lama mereka mencari, tanda-tanda Siti tidak ditemukan, bahkan Bonbon sudah memasukan kembali kepalanya ke dalam cangkang hijau itu.

Melihat New kesusahan mengendong benda hidup warna hijau itu, Tay berinsiatif mengambil alih. “Kesiniin yang Bonbonnya. Tangan lo merah tuh.”

Ini bukan roman picisan, apalagi Dilan. New langsung membawa Bonbon ke tangan Tay tanpa menyanggah kata 'ga usah gue bisa sendiri'. Ia juga sedari tadi pegal membawa kura-kura jantan itu.

“Bon kalau lo nyium bau Siti, keluar ya kepala lo. Oke bos?” Tay sesekali mengetuk cangkang hijau itu.

Oke bos siap” terdengar suara buatan New meniru hewan itu.

Tay menoleh dan tertawa melihat New spontan mengucapkan suara seperti itu. Lucu dan menggemaskan.

Blok demi blok mereka lewati, Siti belum juga ditemukan. Sinyal dari Bonbon juga tidak keluar yang menandakan tidak ada keberadaan Siti disekitar sini.

Tiba-tiba...

“eh EH ANJING SIA KAGET AKU COK. Ya ampun Bon munculin kepala pake aba-aba apa.”

“Sok dah lo hirup udara nih malem. Betah amat di cangkang sih Bon.”

Tay sesekali mengelus cangkang itu, membuat New mau tak mau tersenyum. Pria di sampingnya ini sejatinya sangat polos, tulus dalam bertindak. Ia tidak bisa berbohong, semua yang dia rasakan ya itu yang di keluarkan. Mungkin itu juga salah satu yang membuat New jatuh cinta dan langgeng dengan Tay Tawan, kekasih anehnya 10 tahun terakhir ini.

“Kenapa ngeliatin gue gitu banget? Iya gue tau gue ganteng.” New mengangguk dan senyum sumringah. “Iya, ganteng banget ya pacar gue.”

chup

Tanpa aba-aba New spontan mencium Tay. Tay hanya tersenyum, “lagi dong yang, yang sebelah belum haha.”

“Maunyaa. Udah ayo cari Siti.” New berjalan cepat duluan, meninggalkan Tay yang terlihat cengegesan seperti orang gangguan jiwa.

Bugh

Tubuh Tay menabrak punggung New yang berhenti mendadak.

“AYANG MAH KENAPA BERHENTI NGEDA—” belum selesai Tay mendumel, New langsung berbalik dan “WAN, TADI KAN BONBON MUNCULIN KEPALANYA. ITU TANDA SITI DI SEKITAR SINI. ADUH ANJING TADI SITI MUNCUL PAS DIMANA SIH?”

“Ayang gausah teriak astagfirullah, kaget lho gue. Untung ga punya sakit jantung.”

Dua detik kemudian. “LAH IYA BARU SADAR GUE CIKKKK.”

Di geplak lah kepala Tay spontan. “Yang bilang gausah teriak tadi siapa?”

“Hehe refleks maaf ayang.”

“OI PEKOK...” ada suara mengejek dengan keras yang dapat New dan Tay dengar.

“Ayang, tadi yang ngomong siapa? Sumpah bukan gue...” Tay merinding sumber suara dari belakang itu.

New hanya diam dan meremat kemeja Tay. Keringet dingin mengucur deras dari keduanya.

“Wan, pulang aja gasih kita? please ga usah nengok belakang deh.”

Tay menelan saliva karena gugup. “Yang, dalam hitungan ketiga kita lari ya.”

New menoleh dan mengangguk yakin.

“Satu, dua, AAAAA ADA YANG NGUSAP LEHER GUE, AYO LARIIIII AYANGGG.” Tay dengan sigap membawa tangan New dan berlari sekencang mungkin.

Wushhh

Tay dan New sudah kocar kacir dengan Bonbon di tangan Tay juga terguncang. BAJINGAN BABU GETER NIH CANGKANG GUE —bonbon.

Sementara itu...

“Kit, jadi kita nih di sangka hantu sama mereka? OALAH JANCIK TAYNEW.”

“Ancen TayNew ki aneh pol. Duh gusti, sabarno aku ambek Singto duwe konco koyo ngono. Sijine gendeng, sijine luwih gendeng.”

“Sit, kon rasah contoh babu mu, wes gendeng ancene babu mu.”

“Ayo balik to, Siti nginep aja di rumah gue, besok ajalah gue balikin.”

“Gue nginep ya Kit, hehe sekalian.”

“Modus ya om. Hehe.”

—bersambung.

Epilog

New berhenti berlari karena getaran di kantung jeans birunya.

“Siti di rumah Kit. Besok di balikin.”

“Dari siapa yang?”

“Singto. Siti udah ketemu. Dia nginep dirumah Kit.”

“Ooasu, KRIST PERAWAT SANGPOTIRAT. DI GONDOL SITI KU.” New spontan menutup telinga dan mengambil alih Bonbon di tangan Tay lalu pulang kerumahnya.

“AYANGGGGG MAU KEMANA?” Tay melihat New jalan cepat dengan membawa Bonbon.

“Pulang lah.”

“Aku melu yo hehe. Aku nginep yo yang hehe.”

“Engga. Hehe. Pulang sana lo. hehe.”

“AYANGGGG AKU MELU AKU MELU AKU MELU.”

New jengah dan membiarkan Tay mengikuti kerumahnya. “Sakarapmu. Yowes buruan jalannya bego.”

“Manisnya pacar gue ini. Ayo.”