Cafe, 08.00 P.M

Bright terlihat mengetukan jari telunjuk nya di meja berulang kali, ia terlihat cemas dan bingung dalam satu waktu.

Tring! Krekk

Suara denting bel unik di cafe berbunyi dengan diiringin pintu terbuka, dan munculah sosok yang Bri tunggu, yaitu Lee Thanat.

Thanat duduk, “udah di pesen bri minum nya?” Bright hanya mengangguk sebagai jawaban.

1 menit 2 menit, Bright bersedekap tangan ke dada dan hanya melihat Lee Thanat dengan intens.

Tidak, itu tidak seperti yang kalian pikirkan. Bright bukan tertarik pada Thanat, tapi ada hal lain yang membuatnya menatap bingung Thanat seperti sekarang.

“Bri, lo kenapa ngeliatin gue segitunya? Ga mau ngomong lo?” Thanat menegur Bright yang memperhatikan Lee Thanat sedari tadi.

Nothing” Bright menjawab sekenanya.

Minuman pun datang dan bri menyodorkan gelas kopi caramel macchiato itu ke Thanat.

“Thanks Bri. Sekarang apa yang mau lo omongin” Thanat menjawab seraya meminum kopi kesukaannya, caramel macchiato

Bright maju, “lo suka New? Atau terobsesi sama New bang?”

Thanat menegang, ia berpikir bagaimana Bright bisa memberi pertanyaan semacam itu.

Thanat diam.

“Lee Thanat, bisa jawab gue?” Bright dengan suara tegasnya membuat siapapun yang mendengar pasti akan merinding.

“Lo kenapa nanya gitu?”

Bright menuju saku yang ada di jaket Thanat “itu. Kertas yang ada di dalam saku lo.”

Thanat gelagapan, “hah? Kertas apa Bri? Lo ada-ada aja. Ha ha...” sembari meminum kopinya.

Bright berdiri dan membuka saku lalu mengambil kertas yang ada di saku Thanat tadi.

“Ini. Gue liat lo ngeremes kertas ini tadi, am i wrong dude? Tell me.

Baru Thanat akan berkilah, Bright sudah memperingatkan “jangan bohong. Gue tau isi kertas ini, sebelum lo ngeremes kertas ini, gue udah sempet baca. Dan kenapa lo ga kasih liat Tay soal ini pas ribut? Gue ga ngerti... jelasin Lee Thanat”

Thanat shock! Benar kata teman-temannya, jangan pernah berurusan dengan Bright Vachirawit. Thanat tidak percaya jika Bright semenakutkan ini, setidaknya sekarang ia percaya. Dan naas-nya, Thanat sekarang terlibat.

Bright dengan santai kembali minum ice americano-nya.

“Gue jatuh pada sosok dingin New. Gue ga ada alasan apapun. Lo mau benci gue karena ngerasa gue jahat disini, itu urusan lo. Gue pamit Bright Vachirawit.” Thanat pergi dengan meninggalkan uang untuk kopi dia tadi.

Bright mengambil dan menatap uang itu, “Lee Thanat. Pecundang”

Bright berdiri dan keluar dari cafe, lalu menyalakan rokoknya dan mengikuti Lee Thanat.

Gue bukan orang baik bang, lo nyakitin temen gue, lo gaakan gue ampunin. Mau itu awan ataupun nyu.

Dalam ia mengikuti Lee Thanat, tak ada yang menarik. Thanat hanya menendang kaleng-kaleng itu kesembarang arah. Bright sesekali mengisap rokoknya dan berjalan santai mengikuti Thanat.

30 menit telah berlalu, dan dapat Bright lihat Lee Thanat berhenti pada jembatan. Ia berdiri di pinggir jembatan entah apa yang dia lakukan disana.

Tanpa aba-aba, Thanat berteriak “AH ANJING! KENAPA SEMUANYA JADI RUMIT BANGSAT! KENAPA? GUE CUMAN MAU BAHAGIA. TAPI KENAPA SULIT?”

Bright menoleh dan mengembulkan asap rokoknya keatas. Ia hanya melihat situasi saat ini.

“Lo menyedihkan Lee Thanat. Selamat lo udah mempersulit hubungan orang lain. Sekarang lo mau gimana? Bahagia? Haha terdengar lelucon Nat.”

Sambungnya “Lo padahal tau sendiri rasanya berada dalam kesalahpahaman itu ga enak. Apalagi setelah orang tua lo bercerai karena kesalahpahaman dan karena itu juga mereka meninggal di depan mata lo yang dulu masih berusia 10 tahun Nat. Lo ga inget itu Lee Thanat?” Thanat berbicara pada dirinya sendiri merasa frustasi.

Bright yang mendengarnya hanya tersenyum dan berjalan ke arah Lee Thanat.

“Rokok bang” pandangan Bright lurus ke depan sembari memberi rokoknya

Lee Thanat kaget, “lo kenapa disini Bri? Gue ga ngerokok Bri.”

“Gue tarik kata-kata pencundang tadi buat lo. Well, Lee Thanat at least better than Bright Vachirawit” Bright tertawa pelan

“Lo mau bahagia bang? Masih trauma dengan orang tua lo meninggal di depan lo?”

Thanat diam tak menjawab

Bright menoleh, menatap Lee Thanat “lo bisa bahagia bang. Cuman lo ga mau dan ngambil jalan yang salah. Karena tindakan lo, temen-temen gue salah paham.”

“Kalo lo mau bahagia, gue bisa bantu. Jadiin gue temen lo. Saudara lo. Bahkan musuh lo sekalipun. Anggep gue barang lo. Gue bakal nunjukin, dengan cara apa lo bisa bahagia.” Bright menyesap rokoknya dan mengebulkan asapnya ke Lee Thanat. Bajingan!

Huuuk hokk

Thanat terbatuk dan mengibaskan tangannya untuk menjauhkan asap rokok itu.

“Ga perlu Bri. Gue pamit.” Lee Thanat tetap pada gengsinya. Ia tetap berpikir ia bisa sendiri.

Bright menarik topi yang tersambung dengan jaket Thanat Dan membuat Thanat berhenti mau tak mau.

“Ga usah gengsi bang. Lo butuh temen. Jangan naif, lo itu manusia jadi masih butuh yang lainnya. Dan mungkin gue jalannya.”

Bright menepuk bahu Lee Thanat, “besok, lo tau kan apa yang harus lo lakuin dengan kertas itu? Gue jaminan nya bang. Gue akan tunjukin bagaimana caranya bahagia tanpa melukai yang lain. Gue pamit bang.”

Bright pun menjauh dari Lee Thanat dan dapat Thanat liat, Bright memberi uang kepada para homeless yang Thanat yakini itu uangnya tadi.

Thanat pun berjalan dan disaat ia berjalan dekat para homeless tadi, sesuatu yang membuatnya tersentuh.

“Ka, kata kakak yang jaket kulit hitam tadi... ini dari kakak ya? Makasih ya ka. Oh iya, Kakak tetap semangat ya dan jangan menyerah. Bahagia selalu kak. Itu tadi pesan dari kakak-kakak yang pake jaket kulit hitam tadi hehe”

Thanat tau siapa pria jaket kulit hitam itu, ia pun mengusap kepala bocah homeless itu dan tersenyum.

Lalu dia berjalan pulang...

Haruskah Lee Thanat mengambil tawaran Bright dan merelakan sosok New Thitipoom yang menarik perhatiannya beberapa hari ini.

Lee Thanat harus apa?