Hujan dan Dia...

New menoleh ke samping, tepat ada pria yang juga ikut meneduh di halte bersamanya. New tidak suka hujan, tidak suka juga seseorang yang kekanak-kanakan.

Dan saat ini, orang di samping New melalukan hal yang New sangat benci.

Mengadahkan tangan ke hujan.

Hujan semakin menderas.

Komplit, martabak juga lewat.

“Hei, bukankah hujan itu indah bila bisa dirasakan? Mau mencobanya tidak?”

Pria itu. Menyenggol. Bahu. New. Dengan. Kemeja. Basahnya.

Bertambah lagi rasa tidak sukanya pada sosok sempurna—eum iya, dia tampan sialnya—di sebelahnya ini. Tolong ingatkan New, kalau dia tidak akan pernah keluar rumah saat hujan lagi.

Menyebalkan.

Merepotkan.

“Aku tidak tertarik tuan.”

Pria yang di tolak ajakannya itu; hanya tersenyum. Ia bawa tangan New ke arah turunnya hujan. Katakanlah dia—annoying.

“SUDAH KU BILANG AKU TID—”

“Apa yang kamu rasakan?”

New hanya diam, tapi matanya bagai terhipnotis, dia menatap telapak tanganya yang di tetesin air hujan.

“Lihat, begitu indah bukan?”

New menoleh, “apanya? Jangan terlalu mendramatisir suasana. Ini hanyalah tetesan air hujan. Tidak ada yang sempurna.”

“Tutup matamu. Dan rasakan sapaan kokoh dari semesta. Ia menyuruhmu istirahat. Basahkanlah badanmu, lalu pulanglah dari keramaian dunia.”

New agaknya terperangah dengan filosofi hujan yang terucap dari pria di sampingnya.

“Hujan, adalah cara semesta menyuruhmu rehat. Jangan memaksakan mengambil payung, cukup nikmatin dan berjalanlah.”

“Maka kedamaian akan mendatangimu saat itu juga. Suara rintik itu menenangkan.”

Pria di samping New membuka mata, melihat ekspresi dari raut muka New.

Terlihat, New menikmati sugesti itu. Kini, New membuka dan menutup berulang kali telapak tangannya. Seakan ia turut bermain kekanak-kanakan dengan hujan.

Ada percikan air saat pria di samping New berjalan.

“Hei, buka matamu. Ayo kemari, beristirahatlah dari penatnya dunia. Jika ingin menangis, ini saat yang tepat. Keluarkan semua yang kamu tahan. Ayo.”

Uluran tangan itu ragu New ambil.

Setelag ini dia masih ada meeting haruskah ia melangkah dan beristirahat?

New melihat pria itu masih setia dengan uluran tangannya, raut muka yang seolah meyakinkan—tidak apa, ayo melangkahlah, aku disini.

“Ayo”

New pun ikut menggengam tangan pria itu dan melompat ke hujan yang sangat deras hari ini.

Pria itu dan New bermain dengan hujan, sesekali melompat kesana kemari, kadang juga berdansa aneh, kadang juga berteriak seperti orang gila. New tidak pernah menyangka, dengan hujan, stresnya bisa ia lampiaskan.

“Menyenangkan bukan? Haha.”

New mengangguk.

Pria itu tiba-tiba tiduran di aspal yang di hujani semesta limpahan air. Hanya orang gila yang akan melakukan itu.

“Kenapa tiduran? Astaga bangunlah.”

Pria gila itu hanya menepuk jalan aspal itu, “kemarilah, berbaringlah. Aku tau ini terkesan gila, tapi ini menyenangkan.”

New ragu mencobanya.

Pria itu menarik tangan New dan membuat dirinya oleng. Hampir menghantam aspal, tapi untungnya kepala New duluan menghantam dada bidang pria itu.

“Maaf.”

“Tidak apa.”

Pria itu merentangkan tangan, dan menyuruh New tidur di lengannya sebagai bantal. New awalnya tidak enak, tapi pria itu lagi dan lagi memaksanya.

“Bagaimana rasanya tiduran di jalanan aspal yang hujan lalu sesepi ini?”

“Ini aneh.”

“Tidak, ini tidak aneh, tapi aku belum pernah merasakan sensasi seperti ini. Seakan dunia menurut kepadaku. Tidak ada orang, hanya rintikan hujan.”

“Sebentar.”

New menoleh, “Kenap—”

Pria itu menghalau hujan yang akan menerpa mata indah New dengan telapak tangannya.

Tangan itu hanya berjarak 7 Cm dari mata New.

Jantung New merespon hal ini. Detak yang sangat cepat, ia merasa jantungnya sedang berantem dengan organ lain, karena tak mau tenang dan terus berdetak dengan cepat.

“Teruskan bicaranya. Aku melindungi mu.”

Kata aku melindungimu, mampu membuat New menghangat. Sebelumnya tak pernah ada orang yang membuatnya jadi seperti ini.

New senyum. “Intinya ini pengalaman yang indah, bersama orang yang indah juga.”

New menoleh, pria itu juga.

“Aku New Thitipoom.”

“Tay Tawan. New. Salam kenal dari ku.”

Nama yang indah.

Kenangan yang indah.

Orang yang indah juga, dia Tay Tawan.

—Selesai.


Epilog

Hujan membasahi bumi, jika dulu New membenci hujan, kini ia menyukainya. Tandanya, ia harus beristirahat.

New melangkah tanpa ragu dan berjalan di atas hujan deras itu dengan derap langkah pasti dan senyuman tulus ia perlihatkan pada semesta.

Asisten New menyusul dengan payung di tangannya. “Pak, payungnya ketinggalan. Biar saya payungin pak ayo.”

New menoleh, “Tidak perlu. Mulai hari ini saya menyukai hujan. Terima kasih bantuannya, Ggigie. Saya pulang ya.”

Asistennya menganga tak percaya. Tidak pernah disangka, New Thitipoom menyukai hujan.

New berhenti di penyebrangan dengan kondisi hujan, ia sedang menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki menyebrang.

“Senangnya. Hari ini hujan. Terima kasih semesta, telah menyuruhku beristirahat.”

Lampu pejalan kaki telah hijau, tapi kaki New tidak melangkah barang sedetik. Ia seakan terhipnotis dengan sosok di sebrangnya.

Dia, Tay Tawan. Pria yang mengubah cara pandangnya. Tangan kekarnya, mengandeng anak kecil.

Ah sudah punya orang lain. Ya sudahlah, mungkin belum waktu ku mempunyai seseorang yang akan menjadi tempat ku bersandar.

Tay hanya teman hujan ku, bukan teman hidup ku. Aku senang mengenalnya.


Uncle, ayo jalan. Kenapa diam.”

Uncle, melihat siapa?”

Tay melihat New tersenyum kearah wanita cantik itu.

Ah ternyata milik orang lain. New, senang mempunyai teman hujan sepertimu.

Keduanya pun berpapasan, tak menegur apalagi menoleh, karena mereka tau, rasa ini harus di redam.

Anaknya manis sekali, pasti cantik ibunya — New

Dia baik sekali memperlakukan wanitanya — Tay

— End.