Kring kring

Semua siswa XII ipa 1 berhamburan keluar mendengar bel istirahat itu berbunyi, tak terkecuali Pawat juga yang girang karena mau ke kantin.

“Nanon, hari ini kita makan apa ya di kantin? Cilok? Cimol? Bakso?” Ucap si gede sambil membereskan beberapa buku di meja.

Nanon diam karena ada pesan masuk.

“Keluyuran terus ya Nanon Korapat. Harus berapa kali papa bilang, jangan keluyuran sama balapan lagi. Gatau di untung kamu jadi anak.

Nanon tersenyum pahit mendapati keluarganya tak seharmonis keluarga lainnya. Jika bukan karena Pawat—si gede, ia juga tak mau hidup. Bagi Nanon, hidup merepotkan.

“Nanon, ayo ke kantin?” Pawat menyenggol bahu Nanon. “Lo aja. Gue belum laper.”

Pawat mendelik, memerika kening Nanon, ia pikir Nanon sakit. “Ga panas kok. Nanon kan doyan makan? Kenapa belum laper?”

“Masih kenyang Wat.”

Pawar berdiri, “yaudah Pawat ke kantin dulu ya, Nanon mau nitip buat nanti ga?”

Nanon menggeleng dan menelusupkan kepalanya ke meja. “Gue mau tidur Wat. Ngantuk.”

“Oke-oke. Ac kelasnya Pawat kecilin ya, selamat tidur Nanon.”

“Hm.”

Nanon tidak tidur, justru sekarang air matanya jatuh membasahi lengan yang menjadi tumpuan kepalanya.

Brak

Yang menendang pintu kelas itu adalah Puimek—betina jadi-jadian kata Nanon mah.

“Oit kupret, tumben lo ga ngintilin si bayi aka si gede lo ke kantin. Sakit lo pret?”

Puimek mendekat ke meja Nanon, baru akan memeriksa kening Nanon, tapi Nanon sudah berkelit ia tak apa-apa.

“Lo nangis ya?”

“Engga.”

“Liat sini kalo engga.”

Puimek, orang yang dekat dengan Nanon selain Pawat.

“Males. Muka lo mirip monyet.”

Di geplak lah kepala Nanon yang di lapisin jaket.

“ANJING NYAI.” Nanon spontan beralih menatap Puimek.

“Beneran nangis ternyata lo. Tai banget drama lo bilang ga nangis.”

Puimek menggeluarkan sapu tangan. “Elap umbel lo Non. Gue gaakan nanya kenapa lo nangis, kalo lo mau cerita gue bisa dengerin.”

Nanon memeluk Puimek erat, “NYAIIII GUE SAYANG BANGET SAMA LO EMANG, TAPI GUE GAPAPA SIH.”

“Ga bisa napas gue goblok.”

Nanon melepaskan pelukan itu dan hanya menyengir tolol.

Puimek tau, Nanon sedang tidak ingin bercerita. Jadilah Puimek hanya mengiyakan tingkah konyol sahabatnya ini.

Nanon berdiri, “gue mau ke atap, kalo Pawat nyari, bilang aja gatau.” Puimek mengganguk, lalu membalas,

“Mau bunuh diri lo pret? Mending pake pisau aja gasih kalo mau bunuh diri?”

Nanon tau itu bercandaan Puimek. Ia balas juga bercanda.

“Ga punya pisau, lompat aja lah gratis ini. Dah ya! Gue cabut.”


Pawat sudah kembali dari kantin dengan susu dan roti panggang kesukaan Nanon.

“Puim ga makan? Kok masih di kelas?”

Puimek menoleh melihat si gede nya Nanon membawa banyak susu dan roti panggang.

Dayet, emangnya Pawat makan dan ngunyah terus.”

“Kaya bisa aja Puim kurus.”

“CANGKEMU DOAIN AKU KOYO NGONO. MBOK SENG APIK TOH WAT, DOAIN TEMEN MU.”

Puimek sudah mencak-mencak dan hal itu membuat Pawat tertawa mengejek dengan keras.

“HAHA HAHAHA.. aduh mie ayam Pawat dalam perut belum turun nih, jadj goyang-goyang.”

Baru akan Puimek meledak tapi sudah di cegah Pawat.

“Eh Nanon mana? Tadi di kelas deh.”

“Di atap sekolah Wat.”

Apa yang di harapkan dengan lambe turah macem Puimek? Dibilang jangan dikasih tau, malah sudah ember sebelum di tanya Pawat lebih detail.

“Oh oke deh, Pawat susul dulu.”

Baru akan berlari, tapi tangan Pawat di tahan Puimek.

“Anaknya abis nangis. Tolong ya Wat jaga dia. Kalo ada apa-apa kabarin gue. Gue khawatir sama Nanon.”

Sekuat-kuatnya Puimek, jika menyangkut Nanon sehabatnya dari SD. Luluh juga kalau Nanon seperti ini.

Tanpa sadar, air mata Puimek juga ikut jatuh.

“Puim, Kok jadi ikut nangis? Udahan ya nangisnya, Pawat jagain kok Nanonnya. Udah gausah khawatir.”

Pawat peluk Puimek,

Pawat tepukan sapuan pelan ke punggung puimek,

Terakhir, Pawat usap pucuk kepala Puimek,

“Gapapa-gapapa. Ada Pawat disini. Cup cup cup udah ya cantik nangisnya. Nanti jelek loh.”

“Susul Nanon gih. Gue udah gapapa-gapapa.” Puimek melepaskan pelukan Nanon dan memutarkan badan Pawat lalu mendorongnya keluar.


Krittt

Pintu atap di buka, membuat Nanon yang tadi menangis itu mengusap kasar air matanya.

Nanon menoleh, dan ia temukan Pawat beserta jajanan kesukaannya. Susu strawberry dan roti panggang keju.

“Nanon, liat apa?”

“Ga ada.”

Pawar menyodorkan jajanan itu ke Nanon, tapi Nanon menggeleng.

“Kenapa gamau?”

“Gamau aja. Lo aja yang makan.”

Pawat mengeluarkan saputangan motif beruang, buatan ibunya.

“Mau Pawat yang ngusapin saputangan ini atau Nanon yang usap sendiri.”

“Gue ga nangis.”

“Pawat ga bilang tadi? Berarti bener dong Nanon nangis. Ini ambilah.”

Nanon hanya melihat saputangan beruang itu tanpa berniat mengambil. Saputangan itu Nanon juga punya dirumah, karena pemberian ibunya Pawat.

Nanon menatap nanar pada saputangan beruang itu.

“Wat, rasanya punya keluarga bahagia itu gimana? Gue penasaran. Soalnya keluarga gue ga layak di sebut keluarga.”

“Ga ada yang spesial Non.”

Pawat tidak akan memamerkan keharmonisan keluarganya di depan Nanon. Oh itu sama Pawat tak layak di sebut manusia. Manusia harusnya saling memahami keadaan sekitar.

Nanon kembali menatap depan, dengan view gedung-gedung tinggi.

“Gue cengeng ya Wat, hari ini aja gue udah nangis dua kali lemah banget.”

Pawat juga turut memandang hamparan gedung tinggi di depannya.

“People cry, not because they're weak, it's because they've been strong for too long.”

“Gaada satupun orang yang membenarkan kata cengeng.” Sambung Pawat.

“Nanon, boleh menangis.”

Untuk ketiga kalinya, Nanon menangis hari ini. Bedanya jika tangisan pertama dan kedua tak ada yang menenangkan, kini berbeda.

Ada Ohm Pawat yang menenangkan Nanon dengan sangat hati-hati.

“I wanna hug Nanon till Nanon stop crying. if only i could take away your pain, i would do that but sorry i can't. you've gone through so much pain and hurt, i want to teleport right away so that i could hug you for like hours. you're important, your feelings are valid, semangat Nanon.”

Kata-kata itu mampu menenangkan Nanon.

“Gapapa ya kalo gue capek? Gue capek banget hari ini dan hari kemarin.”

Pawat mengusap punggung Nanon.

“I'm proud of how hard you're trying and how you keep on showing up. i know the struggle and it hasn't been easy for real but just as you know, i'm amazed how strong and brave u are, despite it all u always choose to move forward and you know what that's something to be proud of.”

“No matter how much it hurts now, someday you will look back and realize your struggles changed your life for the better.” sambung Pawat semakin memeluk erat sahabatnya.

Nanon senyum mendengar itu.

“Wat..”

“Iya Nanon?”

“Diajarin siapa se-gentle ini? Dewasa banget sih si gede nya Nanon haha.”

“Gaada. Itu cuman perasaan tulus Pawat buat Nanon tauk.”

“Wat”

“Iya Nanon?”

“Jangan tinggalin gue ya? Janji? Hidup gue berantakan, masih mau bertemen kan sama Nanon?”

Pawat hanya senyum dan sesekali membenarkan rambut Nanon yang menjuntai ke kening.

“Nanon, inget kata-kata Pawat ya. you're special and worthy of all the goodness that the world has to offer.

Nanon makin mengeratkan pelukannya.

“Terimakasih Ohm Pawat. You too. Ohm Pawat yang sangat spesial buat Nanon Korapat.”

“Sayang banget sama Nanon..”

“Gue apalagi, sayang banget sama si gede..”

Si gede—bersambung.