Rumah, 17.00 Wib.

Terlihat Tay dengan sekeranjang buah berwarna merah yang biasa orang sebut strawberry. Tay sengaja membeli banyak karena suaminya sangat suka buah itu.

“Pacar, lihat gue bawa apa?”

Ucapan sumringah itu disambut tak kalah sumringah dari New yang menoleh ke belakang dari sofa putihnya. Tontonan televisi ia abaikan dan berlari menyambut Tay yang membawa buah kesukaannya.

“Uwahhh,  banyak banget Tay astaga haha.”

“Gapapa hadiah buat lo.”

Tay membawa sekeranjang strawberry itu ke wastafel dengan diringi langkah gemas New di belakangnya tak sabar menyantap buah lucu itu.

Tay cuci sebagian buahnya dan setelah ia bawa ke ruang tengah. Dengan susu putih juga tak lupa.

“Tay, mau gue bantuin? Berat ga strawberry nya? Berat ya gue bantuin aja.”

Tay menoleh gemas ke suaminya, modus itu.Tay tau. Alih alih itu alasan New membantu Tay membawakan buah melainkan karena New sudah tak sabar dan mau mencicipinya.

Langkah sedikit berlari New di tangkap radar Tay, anak itu astaga, lucu sekali. Kurang lebih begitu isi hati Tay.

“Tayy sini cepatan, ayo cobain.”

“Iyaa.” Sedikit berlari kecil Tay menghampiri New yang sudah mengunyah buah itu.


Mata yang indah, senyum yang menawan, hidung yang lucu, pipi yang membulat, semua presensi wajah New selàlu menarik untul di telisik Tay. Tanpa sadar tangan Tay mengelus pucuk kepala New.

Bagaimana dia bisa di bully saat dulu? jika dia se menggemaskan ini? Apa dulu terlalu meyakitkan New? Sampai membuat lo gamau interaksi sama dunia?

Apa dunia sejahat itu sama lo waktu dulu? Bahkan sekarang?

Ha ha ha

Tawa renyah New dengan garpu tertusuk strawberry di tangannya itu berhasil menarik senyum Tay lebih dalam.

Cantik

Sangat cantik

Terlampau cantik

New menoleh karena usapan di kepalanya berhenti lalu bergantian New melihat Tay menatapnya dengan sorot mata takjub pikirnya.

“Kenapa berhenti? Gue udah keramas kok Tay.”

“Iya gue tau.”

“Terus kenapa? Mata lo juga kenapa natap gue gitu?”

Tay merentangkan tangannya tiba-tiba.

“Mau peluk gue ga? Ayo sini?”

“Tiba-tiba banget? Kenapa?” Walau tiba-tiba, tapi New menerima rentangan tangan kokoh Tay.

Pelukan itu terjadi, Tangan Tay terulur mengelus belakang kepala New.

“Anak baik. New anak baik.”

New yang di perlakukan seperti itu malah menyandarkan dagunya ke bahu Tay. Seperti menumpahkan beban tanpa bercerita.

“New, gue disini.”

“Iya.”

“Gue gabisa janji gimana kedepannya. Kalau lo butuh gue kapanpun, gue bisa. Panggil gue, repotin gue, ribetin gue.”

“Iya.”

“New, apa dulunya menyakitkan? Gue boleh bawa topik ini?”

New tak menjawab, hanya diam.

Pelùkan pun terlepas dengan sorot mata New memandang Tay dalam.

“Iya.”

“Iya apa?”

“Iya rasanya dulu menyakitkan. Entah dari berbagai penyakit gue atau karena di bully saat itu. Gue gatau. Keduanya sama menyakitkan.”

Tes

Air mata itu mengalir dengan raut tanpa eksprèsi New, seolah mati rasa saat ia menceritakan kejadian dulu. Entah tidak ada ekspresi atau memang sangat menyakitkan sampai membuatnya bisa menangis tanpa ekspresi, New tak tau.

“Tay”

“Iya New?”

“Kalau lo mau pergi sekarang boleh, lihat kan gue banyak sisi rapuhnya? Gue cengeng, gue juga ga begitu tau cara ngomong yang baik, gue bahkan dì sebut aneh sama orang lain.” Ucap New datar, tapi bisa Tay lihat manusia ini terluka sangat dalàm, terlampau dalam.

Tay membenarkan duduknya di sofa, mendekatkan dirinya dan New. Lalu, Tay bawa kepala New untuk bersandar di pundak Tay.

“Makasih Tay.”

“Sama-sama. Pake aja pundak gue kapanpun. Selagi itu lo, lo ga perlu ijin. I'm yours, your boyfriend and husband too, am i wrong? jadi pakai gue, cari gue, ga perlu sungkan lagi.”

“Iya.”

1 menit mereka terdiam dengan lamunan masing-masing.

Tay bawa tangan New, di gengamnya. Sesekali ia usap.

“New, people cry, not because they're weak, it's because they've been strong for too long

New mendengarkan. “Gaada satupun orang yang membenarkan kata cengeng.”

“Semua orang boleh menangis, dan hal itu gabuat lo lemah New.”

New semakin mengeratkan genggaman itu, seolah-olah ia tak akan bisa melepas Tay sampai kapan pun. Kebahagiaanya baru datang setelah sekian lama.

Dia datang, dia sosok sederhana yang tak banyak menuntut, dia Tay Tawan. Hadiah dari Tuhan, untuk seorang Newwiee.

“Tay, mau janji satu hal ga?” Ucap New yang menautkan matanya ke genggaman tangan itu.

Tay diam tak mengiyakan tak menolak.

“Kalau gue suatu saat pergi, jangan pernah sedih ya Tay?”

“Kemana? Gue ikut.”

“Ga bisa.”

“Lo punya penyakit lain? Apa ini berkaitan sama liver sama lo yang sering lupa semuanya?”

“Liver engga. Tapi berkaitan dengan gue yang sering lupa iya.”

“Nanti. Gue ceritain. Nanti. Saat gue udah yakin gue bisa berbagi beban sama lo. Sekarang gue gamau bagi beban, karena gue masih sanggup.” Sambung New.

“Iya.” Tay takaan menutut apa-apa jika suaminya masih belum mau cerita.

“Tay dingin. Mau peluk.”

“Sini.”

“Makasih Tay.”

Pelukan yang erat di sofa sembari menonton film yang sedari tadi mereka anggurkan. Tangan Tay membawa bahu New lebih masuk dalam pelukannya dan sesekali mengecup pucuk kepala New.

Tay, bahkan buah strawberry itu gue makan, bukan karena gue suka, tapi karena gue harus.

— bersambung