Rumah Kita

Matahari tampak terik meninggi. Saat ini ada sepasang teman, ah tidak tapi sepasang kekasih? Entahlah apa sebutannya, yang jelas dua pria itu adalah Tay Tawan dan Newwiee yang tengah bergantian mengayuh sepeda dengan keranjang penuh susu untuk di antar.

Rutinitas mereka sederhana, biasanya sebelum ke sekolah, mereka mengantar susu di sekitaran komplek. Awalnya ini kerjaan Tay namun New mau ikut andil, biar ga berat di satu orang untuk mencari nafkah katanya.

Privilege? Tentu mereka punya.

Kekuasaan? Itu juga punya.

Kekayaan? Sudah sangat jelas, mereka dari kalangan atas.

Tapi, mereka melepas itu semua. Bukan karena tidak bersyukur atas titipan dari Tuhan, tapi mereka belum sampai di tahap mereka pantas mendapatkannya. Semua butuh proses, begitupun mereka. Entah nanti mereka yang akan meneruskan perusahaan keluarga masing-masing atau tidak, biarlah menjadi urusan nanti. Sekarang mereka hanya mau menjadi diri sendiri tanpa di pikul beban tanggung jawab yang besar.

6 bulan lagi mereka berusia 19 tahun dan lulus sekolah menengah atas. Masih sangat muda sekali. Biarlah mereka menikmati masa mudanya, sebelum memikul tanggung jawab yang besar nantinya.

“New, ke blok nomor 10 ya.” Ucap Tay yang di bonceng New dan New hanya mengangguk lalu mengayuh sepedanya sedikit lebih cepat.

Pemandangan komplek ini terkesan sejuk di pandang mata, walau New tidak bisa melihat warna lain selain abu-abu karena penyakit langkanya ; 'Monochromacy' ia tetap menyukainya. Terlebih Tay terlihat senang sambil merentangkan tangannya di udara, itu sudah lebih dari cukup baginya.

Yang dilihat Tay

Gambar

Yang dilihat New

Gambar

“New, seger banget kan pagi ini? Coba hirup udaranya.” New senyum dan sembari menghirup pelan udara pagi ini.

Tay benar, sangat segar.

“Hahaha iya.”

Tay memotret sekeliling dengan ponsel nya. “New, gue suka warna abu-abu.”

New sedikit menegang dan merematkan jari pada setir sepedanya, ia seperti takut tanpa alasan. “Tiba-tiba banget.”

Melihat arah sepeda lurus kedepan, “New lihat kiri deh, cantik banget bunganya.”

Mau tak mau New memutar setir sepeda ke kiri. Tay senyum. Ia tau New lupa dengan arah jalan, dan Tay tak mau New terus merasa bersalah karena terus-terusan lupa, jadi dia sengaja mengirim sinyal itu.

Setiap manusia sebenernya tidak terlalu suka jika di anggap lemah, di bantu dan lain lain. Tapi sesama manusia haruslah bermanfaat bagi sekitarnya tanpa menjatuhkan, menunjukan ketidaksempurnaan lawan bicara dan lain sebagainya. Seperti yang Tay lakukan sekarang, bunga adalah alihan nya, niatnya memang mau membantu New mengarahkan sepedanya ke kiri tapi tak mau jika New tau, kalau Tay sedang membantunya.

Itu akan melukai harga diri New.

Di tolong dengan jelas, sebenarnya membuat mereka selalu berpikir, apa hidupku menyedihkan? apa aku harus apa-apa di bantu? walau tak semuanya, tapi pasti ada.

“Tay foto bunganya cepat. Mau gue cetak nanti.”

7 Bunga Ini Tak Hanya Cantik tapi Juga Penuh Makna, Apa Saja? - Cantik  Tempo.co

“Oke.”

Mengayuh sekitar 7 menit, kini mereka sampai di blok nomor 10.

Tay turun dan mengambil beberapa susu lalu berlari sedikit ke arah pintu dimana ada tas kecil yang menampung susu itu. Tay menarik buku kecilnya, mengeluarkan pulpen dan sebuah kata, “Selamat pagi, semoga hari mu menyenangkan. Semangat.”

Tay Tawan itu unik. Dia tidak terlalu mengenal dunia, tapi dia tau dan selalu mengerti permasalahan setiap manusia pada dasarnya sama, yaitu membutuhkan kata semangat.

Memangnya siapa yang tak membutuhkan kata semangat di kehidupan ini? Dibanding memberi pertolongan, memberi kata semangat lebih dibutuhkan dan sangat mudah di jumpai, tapi sayang kata sepele ini terlupakan begitu saja.

“Udah kan ya? Yang blok nomor 10 ini terakhir ga sih Tay? Lo tau gue pelupa banget.” Tanyanya dengan ceriwis tak selesai, kakinya berlari sedikit menghampiri Tay, terlalu dekat bahkan jarak mereka saat ini.

New dengan keluhannya.

New dengan tingkah polosnya.

New dengan hal menggemaskan seperti ini.

Merupakan hal favorit bagi seorang Tay Tawan, tiga haĺ itu bahkan New lakukan dalam satu waktu, seperti sekarang.

Keluhnya tak diam.

Tubuhnya mendekati Tay.

Tanyanya dengan mata berbinar cantik.

Tay bahkan untuk 2 detik terdiam menatap figur wajah suaminya. Sangat cantik. Mata coklat itu dihiasi binar menggemaskan, pipinya membuat ekspresi lucu, dan terakhir bibirnya yang terus berucap tampak sangat menarik di pandang Tay.

Chuup

Kecupan itu Tay yanng memulai. Tidak melumat, atau menyesapi, hanya menempel tak lebih.

5 detik. Butuh 5 detik kecupan itu terlepas. Mengundang ekspresi terkejut New.

Tangan Tay menapaki pucuk kepala New. Ia elus, sudahnya kening New jadi sasaran kecup itu ĺagi.

Kecup bibir.

Elus kepala.

Terakhir, kecup kening.

Tolong jelaskan bagaimana New bisa menahan rona pipi merah bersemu di wajahnya? Katakan?!

Ah dia menemukan caranya, di mengepalkan tangannya ke celananya adalah membentengi diri dari 3 serangan Tay barusan.

“New..”

“Iya.”

”.... Jangan di kepal terus, nanti sakit tangannya.” Tambah Tay dengan melepaskan kepalan tangan New.

Sial, Tay malah mengenggam tangan New lalu menuju sepedanya.

“Tayy... eum tadi itu...” New bahkan tak berani menatap Tay, matanya fokus ke bawah.

First kiss kita bukan?”

“Gatau, tapi sepertinya iya. Suka?”

“Suka.”

New berhenti, “New kenap—”

Terlambat.

New sudah mencuri bibir Tay. New mencium Tay Tawan. Ciuman itu hanya menempel sama seperti tadi.

“Ayo pulang.” New melepaskan ciuman itu dan berjalan mendahului Tay. Tay melihat New sangat malu terlihat dari gestur berjalannya.

“Pacar tungguin.”

“Sayangnya Tay, cepet banget jalannya. Hati-hati ada lubang cantik.”

“Jangan lupa hari ini kita honeymoon bisa dilanjut yang tadi ga New?”

Sudahnya Tay berlari terkekeh dengan rentetan rengekannya tadi. Lantas New? Sudah. New sudah terlihat seperti udang rebus. Pipinya sudah semerah tomat. Sudah salah tingkah, malah suaminya semakin menambah afeksi itu. Sudah. New sudah mau mengubur diri aja.

Anaknya malu ka


Tenda

Matras

Buah-buahan

Meja

Gitar

Kursi

Tay dan New tèrkejut dengan apa yang mereka lihat. Semua sudah siap. Bahkan mereka tak ingat kapan menyusun ini semua di halaman.

“Tay, siapa yang siapin? Lo?”

Tay menggeleng. “Bukan. Tapi gue kayaknya tau yang nyiapin ini semua siapa.”

“Ya sudahlah, ayo masuk ke rumah dulu New, mandi terus kita mulai agenda honeymoon kita.”

New diam memandang semua hal mustahil di depannya.

Honeymoon gue ga pernah tau kalo gue sempet ngerasain hal mewah ini.”

Tay menoleh singkat. “Kita cuman di rumah, ga mewah New.”

“Bukan itu maksud gue. Tapi keberadaan lo, suasana ini, dan semua hal di sini terasa mewah.”

“Singkatnya, kenangan ini mewah.”

New mengeluarkan buku catatan kecilnya. Ia takut kenangan mahal ini terlupakan begitu saja. Lobus temporalisnya atau bagian otak yang menyimpan memorinya tak bisa menangkap semuanya karena tak bekerja sebagaimana semestinya. Terlahir prematur memang sulit, karena selalu kurang dari segimanapun.

Tay tak mencegah atau bertanya lagi.

New menuliskan kenangan ini dengan raut wajah cerianya. Senyum itu cantik, berbagai keindahan semesta kini berbaur dengan New. Mata itu menyipit ketika tersenyum, bibirnya ikut bersua mengikuti tangannya menggerakan arah pulpen.

New, entah apa penyakit lo, kekurangan lo, dan beban lo. Gue di sini dan selalu akan di sini. Bahu gue selalu ada buat lo. Bahagia selalu New.

Tutur tulus hati Tay sembari mengusak pucuk kepala New pelan, New yang sedang konsentrasi mencatat itu tak tau jika Tay memperhatikannya.

“Nah sudah. Ayo masuk ke rumah, mandi dulu kita.”

“Ayo.”