SANG TUAN by @bundanyuwi

      Mendung kian terbit menunjukan presensinya dilangit. Gemericik mulai menyeruak turun membasahi bumi. Disudut jendela ada seorang Tuan menyeruput kopi melihat cuaca sore hari ini dibalik bilik jendela kuno bercorak kayu tua. Dia Tuanku, Viho.

“Tidak bekerja, Tuan?”

Diamnya membuatku melangkah mendekat dan melihat kegiatan seru apa yang Tuanku lihat dibalik jendela berembun itu.

Tuanku menarik pinggangku. Aku? Tentu dengan senang hati mengikuti lengan kokoh itu menarik bagian dari diriku.

“Kopi yang kubuatkan atau diriku yang menyenangkan suasana hati Tuan saat ini?”

“Tuan tersenyum terlampau tegas, aku harap itu karena aku.” Sambungku dengan sedikit menyentuh jarinya.

“Duniamu.” Jawabnya.

Melihatku yang tak mengerti dengan kata singkatnya, dia mendekatkan kepalanya ke telingaku, “kamu, Techa. Karena hadirnya kamu, aku bahagia.”

Bagaimana bisa aku menjawab Tuanku? Katakan. Bagaimana?!

Sentuhannya, membuatku seperti dibawa ke langit.

Bisiknya, membuatku seperti menjumpai ribuan kupu-kupu di sekelilingku.

Kasihnya, membuat ragaku melemah seperti tulang belulangku hendak meluruh bersama kaki melemas saat ini juga.

Tahan Techa.

“Jika hujan adalah jiwamu, maka gemuruh petir itu akan menjadi apa, Tuan?” Aku melantangkan suaraku, sesekali juga bersautan dengan gemericik yang kian deras menderai bumi. Tuanku suka hujan, anggap saja hujan itu aku.

Sorot mata tegas itu tampak menyipit, memperlihatkan lekungan senyum di wajah tampan bercorak gelap dengan surai madu manis melengkapinya. Terlihat sangat cocok bukan lekungan itu terpatri indah di wajah Tuanku? Tentu saja, Ya.

Ah Tuanku, tersenyum. Sangat candu.

“Bukankah jiwaku sudah menjadi milikmu, Techa? Apalagi yang kau tanyakan? Tentu saja, semua semesta ini tak sebanding dengan dirimu.”

Tangannya menyentuh pinggangku sangat pelan, hujan menjadi saksi dan samar-samar gemuruh bersautan di langit itu melihat tangan tegas kokoh Tuanku yang mulai menghantarkan rasa sayangnya kepada jiwanya, yaitu aku. 

Tubuh itu semakin mendekatiku, arahnya menuju telinga ku dengan bibirnya sedikit mengenai telinga ku tanpa menyapanya, “Tak perlu cemburu dengan mengalihkan pertanyaan konyol seperti itu Techa, Nona itu tak melebihi indah kepunyaanku.“ 

Aku ketahuan, apa aku terlalu cemburu dengan Nona yang sempat mengoda Tuanku? Astaga, lelucon sekali. Bahkan aku jiwanya, bagaimana bisa dia melirik Nona cantik lainnya?

“Aku punya siapa Techa?“ 

“Techa.“ 

Hujan berhenti, berganti dengan remahan air yang bersautan. Aku dan dia, kekasihku maksudnya, dia tak henti mengodaku. Kadang juga menyapa leherku, kadang menjumpai bibirku, kadang juga tersenyum tanpa alasan. 

“Viho ....” aku berbicara karena dia terus menatap ku.

“Iya, ingin menyampaikan sesuatu?”

“Aku mencintamu. Viho.” Tadinya ingin berkata berhenti menatap ku, tapi malah aku yang lemah menghadapi bola matanya yang bersinar itu. Dasar aku.

“Aku tau, terima kasih Techa.” Dia bangkit lalu mencium keningku.

“Mau ke mana?”

“Menutup pintu. Kau ceroboh.”

Punggungnya saja aku suka, apalagi dirinya? Tentu saja aku tergila-gila. Tidak akan kubiarkan, punyaku menjadi punya Nona lainnya.

Entah siapapun Nona, kuharap Nona sadar, jika Tuanku adalah milikku. Bagaimanapun merakmu mengoda menggepakan sayap indah, ketahuilah jiwa Tuanku, sudah terisi penuh olehku di dalamnya. Tak ada ruang lagi, SIlahkan menemui Tuan lainnya Nona.

Aku pemenangnya. Merak cantikmu tak mampu menggantikan sang merpati indah pilihannya dan Nona cantik harus tau itu.


“Mataku, punya kekasihku.” Tuanku begitu mirip dengan perayu ulung sekarang.

“Aku tau.”

“Hidung, bibir dan semua atas hidupku, itu milik kekasihku.”

Lihatlah, dia merayu lagi. 

“Jadi, ini karena aku bukan Tuan? Jangan membual lagi tentang kopiku yang membuat Tuan seperti ini, atau kekasihmu ini akan mencari rumah lainnya.”

“Tulus dari hatiku, Techa pemilik identitas diri ini.”

“Perayu ulung.” Jawabku dengan mencubit salah satu bagian dari tubuhnya.

“Aku tau, tapi kamu juga harus tau ...”

“Apa?!”

“Galak sekali milikku.”

Aku sengaja mendiamkannya, melihatnya memanggil aku, 'milikku' sangat candu bagi indra pendengeranku, beruntung aku masih bisa mendengarnya.

“Aku hanya merayu kekasihku, dan itu hanya kamu Techa. Jangan tolak rayuanku. jika kamu tolak, aku tak bisa merayu siapapun lagi.”

“Bisa diam?”

“Merindukanku bukan?”

“TID—” 

Sanggahku dipotong begitu saja oleh Tuanku, Keningku lagi dan lagi menjadi kesukaannya untuk dikecup. Berulang kali kecup itu tak kunjung usai, bisiknya terus membisikan aku miliknya dan tangan itu menahan tengkuk leher serta pinggang ku. Dengan kurang ajarnya tangan itu ikut menyapa kulitku dari dalam baju tidurku.

Dia tau, jiwanya sangat lemah jika disentuh dengan lancang sebegini rupanya. Dia sangat mengenalku. Ah sialan sentuhannya semakin lancang. Bajuku telah jatuh berserakan di lantai kayu yang kami pijak berdua. 

“Jadi, jiwaku Techa ... maukah?”

“Kau masih bertanya? Setelah bajuku, kau turunkan dan kakiku juga tengah melingkar di pinggangmu? Bercanda ya kau. Cepat lakukan.“ 

Dia tertawa lepas dan berjalan menuju ranjang yang sedari tadi menunggu disapa, dengan aku yang melekat kuat di depannya, tepatnya di dada depannya, ada aku yang menempel layaknya perangko pada suratnya begitu kuat. Jika Tuanku adalah surat, maka aku akan melengkapi hidupnya sebagai perangko yang terus ada pada surat. Serasi bukan? Tentu saja.

Jika tidak serasi? Aku akan memaksa kalian, ini kisahku. Jangan buat aku menderita. Cukup semesta yang membuat ceritaku rumit dan merepotkan.

Lihatlah, tawanya mengisi ruangan ini, gelas jika bisa bicara, dia akan bilang sekarang, jika kekasihku menuju gila sedikit lagi.

“Jangan salahkan Tuanmu ini jika dia gila, karena sekarang, merpatinya sangat indah dibawahnya sekarang.”

Dia bisa mendengarku? Sepertinya aku yang mulai gila, menggangapnya bisa seperti itu. 

“Jadi aku ini merpati indahmu atau jiwamu Tuan?” Tanganku masih mengalung di lehernya dari bawah ranjang.

“Terserah aku menjuluki kepunyaanku apa. Kamu tak perlu tau.”

Dia ini sangat menjengkelkan, untung hatiku masih menyimpan namanya banyak.

“Aku tampan bukan Cha?”

“Harus aku jawab?” Jangan panggil Cha, itu juga kelemahanku sialan. 

“Tidak perlu, rona merahmu menjelasķan semuanya. Terimakasih untuk sanjugannya. Kamu juga indah dengan warna mu Cha.”

“Tinggi sekali kepercayaan diri Tuan? Ada aku meninggikanmu?” Jawabku menantangnya.

Lihatlah, bukannya menjawab. Dia malah tersenyum dengan pesona menyeruak—yang sialnya tampan sekali. Tangannya menyentuh pelipisku, dia mengecupku ternyata. 

Sedetik kemudian, helai rambutku dia rapihkan. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya sedikit memburu, keningku bertemu dengan keningnya.

“Sudahkah hari ini aku menyanjungmu kekasihku? Katakan, apa yang kau inginkan dariku.“ 

Baik, aku menyerah. Dia menang. Tuanku memang sangat pintar membuat aku tak mampu menentang.

“Setiap saat kau menyanjungku Viho. Ayo rengkuh aku lebih dalam. Aku cemburu dengan bulan dan bintang di langit yang sebentar lagi terlihat saling merengkuh sedangkan aku tidak.” Nada bicaraku sudah mendayu, mataku sudah kupusatkan melihat guratan tegas di dahinya, kuharap dia mengerti mauku saat ini.

“Jika aku menyakitimu, katakan. Aku akan mulai sekarang Techa ....”

“Tidak akan. Aku tau itu.”

Mataku mulai menutup tatkala sesuatu yang hangat menyapa bagian dari diriku, sore hari tampak mulai menggelap saat ini, helaian sapaan dari tangannya menghangatku dan mulai mencari bagian diriku lainnya.

Aku merindukannya terlalu dalam, hingga menyerahkan diriku dengan pasrah di bawah kuasa seorang yang kusebut dengan nama Viho. Lelakiku, Tuanku, kekasihku dan duniaku.

Ya sudah, aku mau bersenang-senang dulu dengan Tuanku, nanti akan kuceritakan lagi jika aku sempat. Sampai jumpa.

Beruntung karena hari ini bukan kopi atau kudapanku yang Tuanku santap dengan nikmat, melainkan aku Jiwanya —Techa