Semilir angin menerpa wajah bersedih Tay, termenung mengadah langit dengan kaki yang mengayun disisi pinggir Rooftop rumahnya.

“Wan.”

Tay menoleh singkat dengan senyum getirnya. Tatapan mata indah itu menuai makna dalam, yaitu kepedihan.

“Duduk Nyuwi. Sini sama Awan.”

New beranjak dan duduk. “Nyuwi mau tanya apa sama Awan?”

“Ga ada.”

“Tadi kayaknya bawel banget. Kok diem lagi kayak kulkas? Haha.” Tidak, senyum itu mengkhatirkan di tangkap New.

“Dingin? Mau Awan ambilin selimut?”

Bahkan disisi rapuhnya pun, Tay tak melupakan presensi New di hidupnya. Selalu New dan akan New.

“Ga perlu. Gapapa.”

“Nyuwi. Kalau penasaran tanya aja. Awan gapapa.” Tay terus melihat New menatapnya lekat tanpa berpaling.

New menggeleng pelan.

“Nyuwi. Kalo seandainya Awan pergi, Nyuwi mau relain Awan ga?”

“Kemana?”

“Gatau.”

“Gue ikut kalo gitu.”

Tay menoleh, “Nyuwi harus disini. Hanya orang yang merasa sebatang kara yang boleh pergi.”

“Lo engga. Lo punya gue.”

”.... Jadi Wan jangan pergi.”

“Sini Wan.”

New merentangkan tangannya lebar dan menunggu Tay di dalam pelukannya.

5 detik Tay terdiam menatap sosok New. Iya sosok New yang sedang tersenyum sangat tulus menunggu Tay menyambut itu.

“Ayo.”

“Iya.”

Pada akhirnya Tay kembali pada rumahnya. New Thitipoom. Tangis pelannya di tenangkan sapuan lembut New di punggung bergetar Tay.

Tak ada suara hanya air mata Tay yang terus mengalir.

“It's okay Wan, lo punya gue buat pulang. Sekalipun satu dunia menghujam lo, setidaknya gue engga. Gue disini, gaakan pernah ninggalin lo.”

Persahabatan 20 tahun itu memang telah melekat pada keduanya. Pahit manis hidup sudah mereka lalui. Badai ombak mereka jalani. Membutuhkan atau bergantung pada manusia lainnya tidak selalu salah. Keduanya pernah sama-sama rapuh pada titik terendahnya.