Shampo

Pasta gigi

Susu

Strawberry

“Oke, udah nih masuk keranjang. Apa lagi ya Tay yang dirumah kita habis?”

Tay berpikir berusaha mengingat, “sabun masih New?”

New membuka catatan di buku kecilnya.

“Eumm sebentar... gue lupa, gue lihat dulu.”

Tanganya sibuk mengurutkan lembar pertama buku catatan itu.

“Sedikit lagi habis, mau beli ga?”

“Boleh deh, ayo kesitu.” Tunjuk Tay ke ujung rak di koridor. Sedang satu tangannya di sisi bahu New.

Berjalan sekitar 10 detik, mereka sampau di rak sabun-sabun berbagai brand, warna, dan harumnya.

Drrrttt

“Tay handphone lo geter, ada yang nelfon kayaknya.”

“Ah iya, sebentar New. Pilih dulu sabunnya, gue tinggal nelfon bentar.” Tay mengelus pucuk New singkat dan di anggukin New.

New mendadak kaku, tangannya meremat gagang troli, peluhnya sedikit menetes karena berpikir.

“Eumm sabun kemarin itu sabun apa ya? Yang warnanya merah bukan? Eh apa putih ya?”

New jongkok melihat sabun di rak bawah, menelisik satu-satu sabun cair di depannya.

“Ini atau ini?” Sabun putih di tangan kiri New dan sabun merah di tangan kanan New. Dia bingung menentukan.

Tangan kirinya mengambil, “oke deh warna merah aja kayaknya seger.”

New senyum karena ingat kesukaan sabun Tay apa. Dia masukan ke keranjang.

“Udah New? Ada lagi?”

New kaget dengan suara Tay yang tiba-tiba datang.

“Udah Tay, lo masih ada?”

Tangan Tay terulur mengambil sabun satu lagi yang di letakan New.

Lumayan ada diskon.

“Ada diskon New, ambil satu lagi ya?”

New mau tak mau terkekeh dengan kata spontan dari Tay. Tak ia sangka, pria itu suka diskonan.

Memangnya ada manusia yang tidak suka diskon?

Sembari menguar senyum manis, New berucap “boleh Tay. Sini masukin aja.”

“Baru sadar ternyata beda merek bisa diskon ya haha.”

“Lagi ulang tahun lagi minimarketnya New. Besok kesini lagi deh New, lumayan ada banyak bonusnya.”

Ha ha ha

Tawa renyah itu keluar begitu saja dari New, hanya obrolan singkat tapi jika itu dari Tay? Rasanya berbeda.

New mendorong troli dan Tay mengekor di belakang.

“Tay sini, kok di belakang sih jalannya.”

“Gapapa New sekalian lihat-lihat barang yang lagi diskon.”

New refleks menolehkan kepala ke belakang, “yaudah iya. Seneng banget dapet diskonnya kayaknya.”

Punggung kokoh New di tatap Tay dari belakang.

Bagaimana dia bisa bertahan sejauh ini? Setelah semuanya? Kalo itu gue, gue gaakan bertahan kayaknya.

New, tetaplah kuat. Gue jaga lo dari belakang. Gue takut kalo dari depan, lo bakal anggep gue cuman kasihan.

Jadi New, berjalanlah semau lo. Gue ada di belakang lo.

Saat New menuju kasir, ada seorang pria dengan tidak tau malunya memerintah New karena di dekat makanan ringan.

“Hey, ya kau baju biru. Di depan mu ada cemilan warna ungu, ambilkan itu satu ke saya. Badan besar mu menutupi rak itu.” Ucapnya dengah pongah.

Tidak tau tata krama

Tidak ada kata tolong

Dan sombong

New yang malas berdebat atau berinteraksi tepatnya, dia langsung makanan ringan yang di sebutkan pria itu.

“Ini.”

“Kau buta? Ku bilang yang warna ungu?!”

Mendengar hal itu Tay segera bergegas dan meninju pria tidak tau diri itu. Sudah menyuruh, tidak pakai kata tolong, memaki lagi. Lengkap untuk di sebut bajingan atau sampah masyarakat.

New melongo melihat kejadian barusan.

“Tay astaga tàhan. Gue gapapa.” New mau tak mau melerai Tay yang meninju habis-habisan pria brengsek itu.

Tay kalut. Tay marah. Tay merasa sangat sakit saat mendengar pria tadi memaki New. Mereka tidak tau keadaan seseorang kenapa menghakimi dengan mudah?

“Lepaskan gue New. Satu tonjokon lagi.”

Semua pengunjung melihat kejadian itu, mereka takut melerai karena Tay sekarang terlihat bagai atlet yang sangat lihai meninju pria brengsek itu.

Amarah orang diam jangan di pancing

New hampir menangis melihat Tay yang kalut itu, New dengan cepat memeluk tubuh Tay dari belakang.

“Tay, jangan.... dia manusia. Jangan bunuh dia.”

Tay mendadak kaku, bahkan setelah hal jahat yang di lakukan pria brengsek itu New masih mau memaafkannya.

Mata Tay memerah, ia menahan air mata itu turun dari matanya. Tangannya mengepal di udara tertahan.

“Tay... ku mohon. Newwiee takut. Jàngan gini. Newwiee tau rasanya di tonjok, di tendang, di pukul sewaktu dulu. Rasanya sakit Tay.” Kaos belakang Tay basah terkena air mata New.

Tay berbalik dan memèluk New. “Maaf. Maafin gue.”

“Ayo pulang.”

“Iya ayo.”

“Gue yang bawa trolinya ke kasir.”

“Ga perlu, tangan lo penuh luka.”

“Gapapa. ayo.”

“Iya.”

Pria brèngsek itu hampir yang namanya menemui ajalnya jika New tak menghentikan Tay. Sebelum Tay pergi, dia melemparkan kartu nama keluarganya.

Vihokratana gròup terpampang nyata di kartu berhias tinta cantik dengan serpihan bulir emas di kertasnya.

“V-v.. Vihokratana group? Oh bodoh sekali aku berusan dengan perusahaan media ternama.” Ucapnya tergagap dan melemas saat tau identitas Tay Tawan Vihokratana.

Bodoh


Epilog

“Tay, kapan kamu kerja di kantor papa? Besok bisa?”

Itu dari papanya.

“Astaga pa, iya-iya Tay tidak akan lari. Makasih untuk mobilnya.”

“Dasar, dari dulu tinggal minta aja kok ya susah bener ini anak laki.”

Ha ha ha

Seketika Tay tertawa dengan makian buatan papanya.

Tay tertawa sesekali memperhatikan suaminya dari jauh. Samar-samar Tay mendengar bicara New.

Awalnya tampak lucu bagi Tay melihat New kebingungan dan jongkok.

“Dasar pelupa anak itu...”

“Apa Tay? Bicara sama papa?”

“Oh engga pa, itu mantu papa. New. Dia lucu banget sekarang hahaha.”

“Oalah, lagi bucin toh.”

“Enak aja, eng—”

Ucapan Tay tiba-tiba terhenti. Tay mendadak kaku dan menurunkan handphone nya dari telinga.

“Tay masih disana? Halo nak?”

Tay dapat dengan jelas melihat New mengambil sabun putih tapi New berucap itu sabun merah.

Tay berjalan mendekati New.

“Udah New? Ada lagi?”

New kaget dengan suara Tay yang tiba-tiba datang.

“Udah Tay, lo masih ada?”

Tangan Tay terulur mengambil sabun satu lagi yang di letakan New.

Lumayan ada diskon.

“Ada diskon New, ambil satu lagi ya?”

New mau tak mau terkekeh dengan kata spontan dari Tay. Tak ia sangka, pria itu suka diskonan.

Tidak ada diskon

Itu karena omong kosong Tay

Jelas produk keduanya berbeda.

Bersyukur niat Tay, New tak tau

New, dia tak bisa membedakan warna.

Dia sakit apa

— bersambung