write.as

RED

Atra berjalan cepat ke arah mobil hitam yang terparkir di ujung area, siang itu suasana kampus tidak terlalu ramai karena (mungkin) proses pembelajaran di beberapa kelas tengah berlangsung.

“Udah lama nunggunya?” sekilas ia melirik Marcel yang duduk dibangku kemudi saat ia memasuki mobil, mata Atra sempat jatuh pada bekas merah di leher Marcel yang masih terlihat jelas; bayangan ‘malam itu’ membuat semburat merah di telinganya muncul. Sial, dasar babi.

“Baru lima menit.” bibir si manis membentuk ‘o’ sebagai respon, ‘tak menghabiskan waktu lama mobil sport hitam yang dinaiki dua anak adam itu melaju meninggalkan area parkir.

Matahari yang semula bersinar terang seketika bersembunyi di balik awan digantikan oleh gerimis kecil yang membuat mobilitas jalan terhambat karena para pengendara motor mulai berhenti untuk berteduh atau hanya sekadar memakai mantel hujan.

Gemercik air hujan dan lagu Sheila On 7 berjudul Hari Bersamanya mengalun di radio menemani perjalanan siang Marcel dan Atra menuju percetakan; tidak seperti pertemuan sebelumnya yang selalu dilalui dengan bersitegang, kali ini kedua anak adam itu bisa disatukan dengan harmonis, terbukti dari bagaimana Atra yang ‘tak henti bercerita tentang harinya; dan tentang Theodore yang bersikap menyebalkan, lalu direspon oleh Marcel tanpa embel-embel ledekan yang bisa membuat emosi lawan bicaranya meledak. Siapapun yang melihat keakraban Marcel dan Atra saat ini pasti tidak akan percaya kalau keduanya sering kali melakukan adu jotos beberapa bulan lalu.

“Terus lu udah bilang Theodore buat next time koordinasi dulu masalah kepanitaan?” Atra mengangguk cepat sebagai respon, “Udah kok.”

“Emang bener kan harusnya gua aja yang jadi ketua.” celetuk Marcel membuat Atra tanpa sadar memanyunkan bibirnya.

“Emang bakal lebih bagus gitu?” Marcel menggeleng sekilas menoleh ke Atra sambil terkekeh. “Ye kocak.”

“Itu hape lu geter terus Cel.” mata Atra beralih pada ponsel Marcel yang terletak pada bagian card holder di tengah antara mereka.

“Biarin aja gak penting.” kening Atra berkerut, bahkan Marcel belum melihat panggilan dari siapa tapi bisa-bisanya dia bilang tidak penting?

“Jangan gitu anjir, kalo temen lu yang telpon karena lagi di begal gimana?” entah keberanian darimana Atra mengambil benda pipih yang bukan miliknya, melihat nama yang tertera pada layar.

Panggilan telfon dari WhatsApp, tidak ada nama yang tertera, hanya rentetan nomor, foto profile wanita, cukup seksi, darisitu bisa Atra simpulkan siapa sosok yang sejak tadi menghubungi Marcel. Bajingan tetap bajingan pikirnya.

“Gak diangkat aja?” ia sedikit penasaran juga bagaimana ‘orang-orang’ yang dekat-mendekati-didekati oleh Marcel.

“Angkat aja kalo mau.” telunjuk Atra bergerak cepat menggeser tombol hijau saat pemilik ponsel memberi izin.

“Halo Marceeeel.” “Lo udah otw kosan gue?” “Hari ini jadikan?” “Anyway Cel, karena tiba-tiba ujan kita stay di kosan dulu yaaa.” “Gapapa kan?” “Cel???”

Pengeras suara yang sengaja diaktifkan membuat keduanya Marcel-dan-Atra dapat mendengar jelas suara manja sosok diseberang panggilan. Atra mengangkat aliasnya memberi kode pada Marcel untuk menjawab, sementara yang diberi kode berbalik memberi isyarat seperti: tolong bilang gua sibuk, gaada ditempat. begitu yang Atra tangkap dari gerak bibir Marcel. Ah anjing, kenapa malah ia yang harus ribet?

“Halo?”

“Astaga Cel kenapa diem ajaa.”

“Sorry gua bukan Marcel, ini Marcelnya lagi gak ada.”

“Ini siapa ya?” suara diseberang sana berubah, terdengar jutek, tidak seperti diawal; manja dan manis.

“Lu siapa?” Atra tidak kalah galak.

“Gue cewenya Marcel.” jawaban itu membuat Atra menoleh kearah Marcel dan mendapati yang menjadi pembicaraan sedang menggeleng, meyakinkan Atra kalau cewe itu sedang ngawur.

“Bisa kasih hapenya ke Marcel? Gue mau ngomong sama dia.” “Lo siapa ya? Gue kebetulan ada janji sama Marcel.” “Haloo?”

Tahu ‘kan, Atra bisa lebih galak dan lebih menyebalkan dari sosok di seberang panggilan sana?

“Marcelnya sibuk, gak bisa diganggu. Nanti gua sampein kalo lu telfon.”

“Bisa kasih hapenya aja ke Marcel? Bilang aja gue cewenya.”

“Yee ngeyel ye, Marcel sibuk.”

“Gue cewenya!!!”

“Anjrit. GUA COWONYA. MARCEL SIBUK.” hening. Aduh Atra malu, mana Marcel cuma cengengesan.

“Sejak kapan Marcel pacaran sama cowo?”

“Sejak hari ini.” panggilan diputus oleh Atra.

“Anjrit gebetan lu modelan gitu semua? Gatel bener bangsat.” heran, Atra terheran setelah melakukan percakapan singkat dengan salah satu cewe Marcel.

“Gak semua, Tra. Tapi kebanyakan begitu.” Marcel masih setia dengan senyumnya, sementara Atra masih terheran, kalau tidak semua, lantas ada berapa macam modelan perempuan yang pernah dekat dengan Marcel?

“Kenapa kok mukanya gitu?” kekehan Marcel mengalun di udara saat sekilas melihat ekspresi Atra yang- bagaimana mendeskripsikannya, ekpresi heran, jijik, dan — pokoknya penuh eskpresi judgemental melihat Marcel.

“Kan gua bilang gak semua, kalo dia yang deketin gua duluan biasanya emang suka zonk, tapi kalo gua yang bikin first move mah modelannya yang mantep semua.” ia mengacungkan jempol.

“Tuh liat contohnya, Karina, Rendi, mantep kan temen-temen lu itu karena gua yang bikin first move.” Atra menggeleng, dasar bajingan tengik dalam hati ia bersumpah ingin segera melihat Marcel terpuruk dengan karmanya.

“Dasar gila.”

“Gua bercandaaaa.”

“Tailah, jangan pernah lu deketin Sena.” ancam Atra entah sudah keberapa kali sejak bulan lalu.

“Kalo deketin lu, boleh gak?” lampu jalan berubah merah, mobil berhenti. Kini Marcel lebih leluasa dengan geraknya, ia menoleh ke arah Atra, mencondongkan tubuh menahan tangan pada arm rest.

“Kebetulan gua selective,” Atra tidak ingin kalah, ia bercermin dari gerak Marcel, kini keduanya saling berhadapan.

“Gua straight, kalopun gua gay, lu bukan tipe gua,” jemarinya bergerak di pipi Marcel, menyusuri rahang tegas laki-laki dihadapannya.

Marcel selalu suka Atra yang penuh penolakan, penolakan yang terasa begitu manis, terlebih saat laki-laki dihadapannya meninggalkan kecupan pada bibir milik Marcel sebelum lampu jalan berubah hijau.

Gila bukan? Penolakan macam apa kalau diakhiri oleh kecupan manis seperti itu? Yakinlah, setelah ini dan seterusnya, Atra Rajasa akan selalu berada dalam awasnya.