Simply Journal

By : Prima Chandra

Hari ini, tanggal 22 Mei 2019 merupakan hari bersejarah bagi eksistensi media sosial di tanah air.

Pada hari ini seluruh media sosial yang memuat gambar dan video resmi diblokir oleh pemerintah. Mulai Facebook, Instagram, sampai Whatsapp.

Hal ini merupakan langkah antisipatif dari pemerintah untuk mencegah penyebarluasan berita hoax dan ujaran kebencian yang selama ini cepat sekali beredar di masyarakat.

Kebetulan, sehari sebelumnya terjadi aksi kerusuhan oleh beberapa oknum (anggota sebuah organisasi yang melakukan aksi di luar nilai yang dianut organisasi tersebut, atau yang diinstruksikan demikian namun pada akhirnya keberadaan mereka tidak diakui oleh organisasi naungannya) melakukan aksi yang berujung pada kerusuhan.

Sebuah langkah yang patut diacungi jempol menurut saya.

Walaupun ada beberapa pihak yang ikut menjerit akibat pemblokiran media sosial ini seperti pemilik bisnis online, blogger yang dikejar deadline, hingga para jones yang nggak bisa lagi stalking foto terbaru gadis (atau janda) idaman mereka di Instagram.

Herannya, kenapa di tengah meredupnya pamor media sosial akibat gagal akses ini, Twitter muncul sebagai satu-satunya (mungkin) media sosial yang masih bisa diakses dengan lancar.

Saya curiga, ada skenario besar di balik ini semua.

Sebuah skenario untuk menggulingkan rezim media sosial berbasis audio visual seperti Facebook dan Instagram yang selama ini telah menguasai pikiran dan hati warganet di seantero nusantara.

Tampaknya ada pihak-pihak tertentu yang beranggapan bahwa “nyocot” itu lebih mulia daripada pamer foto liburan atau video perjalanan ke antariksa.

Pihak-pihak inilah yang kemudian bau membau, untuk membawa kembali Twitter dari kegelapan.

Apakah ini pertanda bangkitnya era twitwar dan kultwit?

Kita tunggu saja sepak terjang Twitter di beberapa hari kemudian.

Yang kalau ditanya jawabannya selalu,

  1. Wah nggak tau.
  2. Disuruhnya gitu e
  3. Itu bukan kerjaan saya

Kalau nemu orang seperti ini, rasanya pengen... .

When I learned about how to write better, a guy name Jeff Goins told me to write every day.

He said that a great author, Seth Godin do this. The reason for writing every single day is because as writer we all need to practice.

The more we practice, the better we get.

Come to think of it, let's consider writing as a muscle. The more we use it, the stronger it gets. If we want to strengthen it, all we need is just add more weight.

Same thing goes with writing.

I think today is the day we should end on becoming an aspiring writer and start writing instead.

Do you agree?

If you want to start anything, whether it's a business or a blog. Ask your self these 2 things:

  1. Is this something I passionate about to do for long period?
  2. Does this add values to me and other people?

Hope you can answer all two with hell yeah.

Menjelang tidur, seusai membaca doa, Bio kecil berkata, “Aku mau jadi Pilot.”

Karena penasaran kenapa nih anak tiba-tiba pengen jadi pilot, padahal kemaren-kemaren cita-citanya adalah menjadi Optimus Prime 😃. Jangan-jangan ngasal nih, bilangnya pilot padahal nggak tau pilot itu ngapain kerjaannya. Akhirnya saya bertanya.

“Pilot itu ngapain sih Bio?”

Dengan bersemangat ia menjawab, “Pilot itu yang nyetir pesawat terbang itu lho.”

Subhanallah.

Pintar sekali anakku ini. Dalam hati, saya hanya bisa berdoa agar saya juga cukup pintar mendidik dan mengasuhnya. Agar ia kelak tumbuh menjadi pria yang cerdas dan berakhlaq mulia.

Every writers have their own values. Things that are perceived valuable for a writer may be has that much value for another writers.

But, if I may ask you my fellow writers these two questions, I wonder which one you value the most for your writing. Is for get more readers or...get more money from it.

Apa yang kamu suka belum tentu baik untukmu dan begitu pula sebaliknya.

Sebuah nasehat bijak dari Sang Maha Bijak dalam firman-Nya.

Ada kalanya ketika kita menyukai sesuatu, kita begitu menggebu-gebu dalam mengerjakannya. Kadang sangking nafsunya, tanpa sadar kita sedang mengorbankan hal lain yang bisa jadi lebih berharga.

Di kasus saya, nulis.

Saya begitu menyukai aktvitas menuangkan isi pikiran dan membagikannya kepada orang lain. Harapannya agar orang yang membaca ikut terinspirasi.

Namun, di dalam prosesnya tak jarang saya mengorbankan waktu, tenaga, dan perhatian saya 'hanya' supaya saya bisa menulis dan menulis. Semakin banyak tulisan yang saya buat, semakin saya merasa menjadi produktif.

Nyatanya, menulis tidak cuma menulis.

Ada aktifitas lain yang saya kurang sukai dalam proses menulis seperti membaca, melakukan riset, berdiskusi dengan orang lain, wawancara, dan lainnya.

Secara jumlah, tulisan saya memang banyak. Namun apakah bobotnya sudah sejalan dengan banyaknya tulisan yang saya posting di blog?

Huff...terus terang, saya nggak suka jawaban dari pertanyaan retorik ini.

Saya nggak tahu gimana dengan WA Group di gawai kamu. Tapi ada satu fenomena menarik di gawai saya, yaitu tidak ada lagi obrolan buka bersama alias bukber di semua WA Group.

Semua group pada adem ayem sambil sesekali nge-share kajian-kajian bernuansa Islami.

Sungguh betapa sejuknya suasana WA Group tahun ini.

Agaknya pengalaman telah menjadi guru terbaik bahwa ajakan bukber ketika anggota WA Group tersebar di seluruh jagat nusantara adalah sebuah hil yang musatahal.

Alhasil, alih-alih membuang-buang kuota untuk sebuah even yang hanya memiliki kemungkinan terjadi 1% teman-teman saya memilih untuk tahun ini bukbernya dilakukan serentak ba'da maghrib di lokasi masing-masing.

Pengalaman memang merupakan guru yang paling bijaksana.

Bukan begitu?

Kata pak ustadz, puasa itu adalah bentuk ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Selain itu, ada lagi satu hikmah puasa yang sering terlupakan: mengajarkan kita bagaimana rasanya jadi orang miskin yang nggak tahu besok makan apa.

Kita yang nggak miskin mah enak aja saban dekat waktu berbuka udah pada ngeributin menu buka puasa, acara buka bersama.

Lah mereka?

Ada yang bisa dimakan buat buka puasa aja bagus. Kalau nggak ada...ya apa mau dikata, puasanya mbablas sampai sahur minggu depan.

Kita yang 'cuma' diminta nggak makan, minum, dan memenuhi nafsu lainnya selama setengah hari aja udah segitu sewotnya ketika melihat orang lain dengan santainya makan di depan kita.

Lah mereka?

Sudah berapa liter iler yang tumpah dari mulut kering mereka melihat kita sliwar-sliwer di depan mereka sambil menenteng segelas Starbucks atau Burger King. Dan...nggak cuma pas bulan ramadhan aja lho itu.

Terus, kita ini mah apa dibandingkan mereka.

Renungan ini saya buat sambil menyantap menu sahur mewah, nasi putih dan tempe goreng. Bukan mewahnya saya atau kamu memang, tapi mewah buat saudara-saudara kita yang hidup serba kekurangan itu.

Semoga di Ramadhan kali ini, tak hanya puasa (makan & minum) kita yang penuh, tapi juga iman dan kepekaan sosial kita jadi makin terpenuhi di bulan penuh hikmah ini.