Bangun pagi-pergi kuliah-bekerja kanan kiri-pulang-ulangi.
Tak ada yang lebih monoton, daripada hidup Wira. Semua hal seakan selalu berjalan dan berlalu begitu saja. Tidak ada yang singgah, semuanya lewat dengan cepat. Kadang jika ia sedikit sial, lelah dan letih menjadi beban tambahan. Tapi Wira tetap Wira, bahkan ketika seluruh tulangnya hancur, rutinitasnya tak boleh lalai. Tak jarang pusing yang mendera sebegitu hebatnya, menjadi teman mengisi shift kerjanya. Lagi, Wira adalah Wira. Tak akan berhenti sampai darahnya mengering, karena bekerja terlalu sering.
Seperti musim hujan yang sudah-sudah, hari ini dinginnya Bandung bertambah. Seakan buta tuli, Wira tetap melangkah di antara hujan bermodal tas yang sudah robek sudut-sudutnya, untuk menutupi kepala berharganya. Langkahnya cepat, hati-hati terselip di setiap dua langkah kakinya bergerak.
Seakan dunia tak mengizinkannya melakukan rutinitas normal, hujan bertambah lebat. Mau tak mau Wira berbelok, singgah kemanapun selama tidak mengeluarkan biaya dan bisa untuk berteduh. Pilihannya jatuh ke warung kopi kecil, dengan pikiran semoga segelas kopi hitam panas bisa membuat tubuh basahnya hangat. Wira mengembangkan senyumnya, menyapa ramah penjaga warung yang sudah berumur. Ia membalikkan tubuhnya setelah memesan, menatap ke arah tetesan hujan yang bertambah banyak setiap detiknya. “Ini den, kopinya.”
Wira menyunggingkan senyum ramah sekali lagi, ia meraih gelas berisi cairan hitam dengan asap yang mengepul diatasnya. Ia menyesap pelan, menikmati pahit serta panas menyapa tenggorokannya. Mata Wira menangkap sesuatu, berlari persis seperti dirinya tadi. Mengarahkan langkahnya menuju warung tempat Wira bersinggah. Gadis itu sampai dengan keadaan mengenaskan, baju putihnya kepalang transparan. Tubuhnya menggigil, bibirnya pucat bahkan sedikit membiru. Wira panik dalam sekali kedip, berusaha mencari sesuatu untuk menutupi si gadis. Sigap, penjaga warung ikut membantu tindak tanduk Wira. Beliau tergopoh-gopoh menyerahkan selimut bergaris, yang entah didapat dari mana. Wira menyelimuti gadis itu, mendudukkannya agar tak lagi berdiri dipinggir warung yang terkena percikan hujan. Bibir gadis itu bergetar, masih bermandikan dingin. Efek samping dari bajunya yang basah kuyup dan tak kunjung diganti. “Kopi?” Gadis disampingnya menggelengkan kepala, menarik satu alis wira untuk naik.
“G-gak b-bisa m-minum” kalimat terbata gadis itu mencerahkan Wira, ia mengangguk paham. Wira berpikir sebentar, menimbang-nimbang sesuatu. Pecahan sepuluh ribu di tangannya ia tatap lama, dirinya berada dibatas ragu. Ia menganggukkan kepalanya, yakin dengan keputusannya. “Bu, susu hangat satu ya.” Yah, Wira rela mengeluarkan lima ribunya sekali lagi, daripada harus membiarkan gadis disampingnya pingsan kedinginan. Ia menyerahkan satu-satunya uang di genggamannya, menyesap kopinya sekali lagi lalu melenggang pergi. Ia harus segera melanjutkan rutinitasnya, lagipula hujan sudah berubah menjadi gerimis.
“Wir, meja 12!” Wira dengan segala langkah ringannya melesat, memasang senyum terbaiknya menuju meja 12. Netranya menangkap sosok tak asing, dengan baju yang sudah berganti. Senyumnya mengembang lebih lebar, bersyukur akan nasib gadis itu yang masih baik-baik saja. “Pesanannya kak?” Ia menarik catatan dan pulpen, bersiap mencatat pesanan gerombolan gadis didepannya ini.
Wira berlalu cepat, mengabaikan ekspresi terkejut si gadis warung kopi. Ia tak ingin terdistraksi, cukup tadi pagi saja rutinitasnya berbelok. Wira tau tatap gadis itu masih mengikutinya, menuju kanan kiri menyesuaikan langkah wira. Ia tak perlu repot-repot memedulikan si gadis warung kopi, toh mungkin saja ini menjadi pertemuan terakhir mereka.
Wira menatap lembaran lima puluh ribu di tangannya, lalu menatap pintu minimarket tempatnya berdiri sekarang. Menimbang dengan keras, harus membeli apa saja untuk kebutuhannya seminggu kedepan. 5 mie goreng instan dan 5 mie kuah instan, menjadi pilihan Wira. Bertahan hidup bermodal 10 mie instan sangat mudah bagi Wira, terlebih ia mendapat bonus makan siang di tempat kerjanya. Ia bersiul sepanjang langkahnya menuju kasir, mengembangkan senyum kesetiap insan yang menatapnya.
“Tiga puluh ribu, ada tambahan lain?” Wira menggeleng, menyerahkan satu-satunya lembar uang ditangannya. Senyumnya lebar, mengucap terima kasih sebelum beranjak pergi. Langkah Wira mengayun, bersenandung sepanjang perjalanannya kembali ke kos kumuh, yang ia tinggal 2 tahun terakhir. Kakinya memelan, seseorang dengan setelan yang terlihat familiar terbaring lemah di trotoar sepi. Wira menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, melihat keadaan sekitar. Ia mendekat. Memastikan gadis yang seharian ini selalu bertemu dengannya itu, baik-baik saja.
“Mbak?” Gadis itu tersenyum, merah tomat menghias pipinya. Gadis itu sepertinya kedinginan, Wira tertarik untuk menolongnya. Wira melepaskan jaketnya, berniat menyampirkan ke bahu kecil gadis didepannya ini. Baru saja ia ingin merapatkan jaket-“Hoek”
-