Canacancer

Bangun pagi-pergi kuliah-bekerja kanan kiri-pulang-ulangi.

Tak ada yang lebih monoton, daripada hidup Wira. Semua hal seakan selalu berjalan dan berlalu begitu saja. Tidak ada yang singgah, semuanya lewat dengan cepat. Kadang jika ia sedikit sial, lelah dan letih menjadi beban tambahan. Tapi Wira tetap Wira, bahkan ketika seluruh tulangnya hancur, rutinitasnya tak boleh lalai. Tak jarang pusing yang mendera sebegitu hebatnya, menjadi teman mengisi shift kerjanya. Lagi, Wira adalah Wira. Tak akan berhenti sampai darahnya mengering, karena bekerja terlalu sering.

Seperti musim hujan yang sudah-sudah, hari ini dinginnya Bandung bertambah. Seakan buta tuli, Wira tetap melangkah di antara hujan bermodal tas yang sudah robek sudut-sudutnya, untuk menutupi kepala berharganya. Langkahnya cepat, hati-hati terselip di setiap dua langkah kakinya bergerak.

Seakan dunia tak mengizinkannya melakukan rutinitas normal, hujan bertambah lebat. Mau tak mau Wira berbelok, singgah kemanapun selama tidak mengeluarkan biaya dan bisa untuk berteduh. Pilihannya jatuh ke warung kopi kecil, dengan pikiran semoga segelas kopi hitam panas bisa membuat tubuh basahnya hangat. Wira mengembangkan senyumnya, menyapa ramah penjaga warung yang sudah berumur. Ia membalikkan tubuhnya setelah memesan, menatap ke arah tetesan hujan yang bertambah banyak setiap detiknya. “Ini den, kopinya.”

Wira menyunggingkan senyum ramah sekali lagi, ia meraih gelas berisi cairan hitam dengan asap yang mengepul diatasnya. Ia menyesap pelan, menikmati pahit serta panas menyapa tenggorokannya. Mata Wira menangkap sesuatu, berlari persis seperti dirinya tadi. Mengarahkan langkahnya menuju warung tempat Wira bersinggah. Gadis itu sampai dengan keadaan mengenaskan, baju putihnya kepalang transparan. Tubuhnya menggigil, bibirnya pucat bahkan sedikit membiru. Wira panik dalam sekali kedip, berusaha mencari sesuatu untuk menutupi si gadis. Sigap, penjaga warung ikut membantu tindak tanduk Wira. Beliau tergopoh-gopoh menyerahkan selimut bergaris, yang entah didapat dari mana. Wira menyelimuti gadis itu, mendudukkannya agar tak lagi berdiri dipinggir warung yang terkena percikan hujan. Bibir gadis itu bergetar, masih bermandikan dingin. Efek samping dari bajunya yang basah kuyup dan tak kunjung diganti. “Kopi?” Gadis disampingnya menggelengkan kepala, menarik satu alis wira untuk naik.

“G-gak b-bisa m-minum” kalimat terbata gadis itu mencerahkan Wira, ia mengangguk paham. Wira berpikir sebentar, menimbang-nimbang sesuatu. Pecahan sepuluh ribu di tangannya ia tatap lama, dirinya berada dibatas ragu. Ia menganggukkan kepalanya, yakin dengan keputusannya. “Bu, susu hangat satu ya.” Yah, Wira rela mengeluarkan lima ribunya sekali lagi, daripada harus membiarkan gadis disampingnya pingsan kedinginan. Ia menyerahkan satu-satunya uang di genggamannya, menyesap kopinya sekali lagi lalu melenggang pergi. Ia harus segera melanjutkan rutinitasnya, lagipula hujan sudah berubah menjadi gerimis.


“Wir, meja 12!” Wira dengan segala langkah ringannya melesat, memasang senyum terbaiknya menuju meja 12. Netranya menangkap sosok tak asing, dengan baju yang sudah berganti. Senyumnya mengembang lebih lebar, bersyukur akan nasib gadis itu yang masih baik-baik saja. “Pesanannya kak?” Ia menarik catatan dan pulpen, bersiap mencatat pesanan gerombolan gadis didepannya ini.

Wira berlalu cepat, mengabaikan ekspresi terkejut si gadis warung kopi. Ia tak ingin terdistraksi, cukup tadi pagi saja rutinitasnya berbelok. Wira tau tatap gadis itu masih mengikutinya, menuju kanan kiri menyesuaikan langkah wira. Ia tak perlu repot-repot memedulikan si gadis warung kopi, toh mungkin saja ini menjadi pertemuan terakhir mereka.


Wira menatap lembaran lima puluh ribu di tangannya, lalu menatap pintu minimarket tempatnya berdiri sekarang. Menimbang dengan keras, harus membeli apa saja untuk kebutuhannya seminggu kedepan. 5 mie goreng instan dan 5 mie kuah instan, menjadi pilihan Wira. Bertahan hidup bermodal 10 mie instan sangat mudah bagi Wira, terlebih ia mendapat bonus makan siang di tempat kerjanya. Ia bersiul sepanjang langkahnya menuju kasir, mengembangkan senyum kesetiap insan yang menatapnya.

“Tiga puluh ribu, ada tambahan lain?” Wira menggeleng, menyerahkan satu-satunya lembar uang ditangannya. Senyumnya lebar, mengucap terima kasih sebelum beranjak pergi. Langkah Wira mengayun, bersenandung sepanjang perjalanannya kembali ke kos kumuh, yang ia tinggal 2 tahun terakhir. Kakinya memelan, seseorang dengan setelan yang terlihat familiar terbaring lemah di trotoar sepi. Wira menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, melihat keadaan sekitar. Ia mendekat. Memastikan gadis yang seharian ini selalu bertemu dengannya itu, baik-baik saja.

“Mbak?” Gadis itu tersenyum, merah tomat menghias pipinya. Gadis itu sepertinya kedinginan, Wira tertarik untuk menolongnya. Wira melepaskan jaketnya, berniat menyampirkan ke bahu kecil gadis didepannya ini. Baru saja ia ingin merapatkan jaket-“Hoek”

-

Kring... Duag!

Leia mengusap dahinya pelan, bangun tidur disambut alarm dan terjun bebas dari ranjang sudah menjadi rutinitasnya. Ia meraih handphonenya, lalu membelalakkan mata begitu melihat jam yang terpampang di layar. Ia segera berlari heboh menuju kamar mandi, bersiap-siap dengan teriakan kencang kemanapun kakinya melangkah. Pagi ini sepi seakan benar-benar enggan, singgah di kediaman Leia.

“Sarapanmu!” Leia mencomot sepotong roti, memasang sepatunya tergesa-gesa. Siapapun manusia yang bisa melihat, pasti mengira Leia sedang dikejar setan. Langkahnya cepat, berlarian sepanjang trotoar menuju tempat kerjanya. 15 menit lagi atau ia akan mati. Ia mempercepat laju larinya, berusaha bernapas normal, ketika ia sedang berjuang karena tersedak roti bakar buatan Ibu.

Leia benar-benar sampai 2 menit sebelum waktu yang ditentukan, ia bernapas lega melihat orang-orang masih belum mulai bekerja. Langkahnya lamban, terlalu lelah setelah berlari hampir berpuluh-puluh blok.

“Leia, tolong ke ruang makeup 2 sekarang.” Oh, saatnya bekerja. Leia melangkah sambil berpikir, siapa yang hari ini akan ia rias? Jae? Sean? Brian? Wayne? Atau Darren? Ia mendorong pintu pelan, di dalam sudah ada Brian yang duduk tenang. Ah, kali ini ia akhirnya kebagian merias si tampan idolanya. 2 tahun sejak Leia bekerja menjadi tim make up band ini, ia tidak pernah merias Brian, pengecualian hari ini. Ah... sepertinya Leia akan menandai hari ini, menjadi hari paling beruntung dihidupnya.

Baru sebentar Leia merias Brian, punggungnya sudah sakit. Pasalnya, kursi yang Brian duduki terlalu rendah untuk Leia. Sedangkan kursi itu, tidak bisa diatur ketinggian maupun kerendahannya. Cobaan sekali, untuk merias Brian.

“Uhm.. Bri, bisakah kau berdiri? Kursinya terlalu rendah.” Ya, bagus. Sekarang Brian terlalu tinggi, tubuhnya menjulang dihadapan Leia. Gadis itu tidak bisa melihat apa-apa, selain bibir Brian. Cobaan apa ini, Tuhan? Batin Leia menangis, berjuang keras merias Brian. Secara tiba-tiba, laki-laki itu kembali duduk dikursinya. Yang lebih mengejutkan, ia malah menarik Leia untuk duduk dipangkuannya. Gadis itu tersentak, masih belum siap dengan segala gerakan tiba-tiba Brian.

“Begini saja, tidak kerendahan kan?” Leia mengangguk canggung, jemarinya bergetar memoleskan riasan mata di kelopak mata Brian. Jantungnya berpacu lebih cepat daripada balapan mobil, benar-benar cepat sampai mungkin saja bisa melompat keluar melalui mulutnya. Tubuhnya bergerak tidak nyaman di pangkuan Brian, posisi mereka terlalu canggung.

Lelaki dibawahnya menggeram, matanya yang terpejam bergerak-gerak. “Leia, jangan bergerak atau aku kelepasan,” Leia membeku, tak berani bergerak lebih banyak lagi selain melanjutkan pekerjaannya. Ia sadar, bagaimanapun Brian adalah laki-laki normal. Ia harus bisa meminimalisir pergerakannya, atau kegiatan mereka akan berujung ke hal yang lain.

Leia melompat turun, merasa tenang karena kegiatannya hampir selesai. Keringat sebesar biji jagung mengalir, melewati pelipisnya. Ia tinggal memoleskan lipstick ke bibir Brian, setelah itu jantungnya akan kembali bergerak normal.

“Bri, kau bisa berdiri.” Sadar tidak sadar, keduanya berdiri sangat dekat. Leia yang sedang merapikan lipstick di bibir Brian, terlalu fokus, sampai tidak sadar tubuhnya semakin mendekat. Napas hangat Brian menyapu lembut kening Leia, sebaliknya, napas Leia menggelitik leher jenjang Brian. Lelaki itu menurunkan tatapnya, mengarah kepada Leia yang terlihat serius meriasnya. Bibir ranum gadis itu terbuka sedikit, sedikit banyak memancing Brian.

Brian memajukan wajahnya, ia mengecup ringan bibir yang sejak tadi menggodanya. Leia didepannya terdiam, masih memproses hal yang baru saja terjadi. Brian tersenyum, Leia terlihat begitu menggemaskan. Gadis itu mengerjapkan matanya dua kali, mata bulatnya menatap Brian kosong. Lagi, Brian mengecup bibir Leia. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Gadis itu membalas ciuman Brian, mengundang senyum diantara ciuman mereka.

“Brian shooting bag- oh sial.” Keduanya buru-buru melepaskan tautan mereka, memisahkan diri dengan canggung. Brian segera pergi dari ruangan, malu bertumpuk penuh di wajah keduanya.

Tawa renyah Jae terdengar setelah menangkap basah Brian dan Leia, menambah rasa malu Leia. Sial, mengapa ia harus terciduk oleh Jae yang mulutnya tak lebih dari ember bocor? Ah... Leia malu 7 turunan.

Musim panas bukanlah sesuatu, yang harus Sean syukuri. Pasalnya, setiap kali musim itu datang. Ia pasti akan berkeringat, lebih dari 2 liter sehari. Mau tak mau, ia harus sering-sering berganti baju. Seperti saat ini, jam belum mengarah ke angka 10, tetapi ia sudah mengganti bajunya dua kali.

Sean dan musim panas selalu menjadi musuh bebuyutan, membuat Agatha sering kali menggeleng kepala. Gadis dengan rambut bergelombang itu selalu tak habis pikir, dengan Sean yang mengeluh tentang apapun di musim panas.

“Kenapa kamu memesan es krim? Matahari akan membuatnya meleleh, Agatha.” Lihat, ia masih saja mengomel. Bukankah es krim dan musim panas adalah pasangan yang cocok? Oh Sean, kau terlalu banyak mengeluh hari ini. Batin Agatha tersenyum geli, menatap Sean yang dahinya berkerut karena terlalu sering mengomel.

“Sean, aku kepanasan, hanya es krim yang bisa mendinginkanku. Lagipula, aku mendapat bonus dua cherry diatasnya.”

“Terserah kau saja,” Sean mengalah, tak ingin mengacaukan kencan mereka siang ini.

“Omong-omong cherry, kau pernah dengar dari orang-orang tidak?” Agatha menajamkan pendengarannya, ia bahkan bergerak mendekat untuk mendengarkan Sean. Lelaki itu tersenyum, ikut mendekatkan dirinya.

“Kata orang, kalau kamu bisa membuat simpul dari batang cherry menggunakan lidahmu, tandanya you're a good kisser.” Agatha menjauhkan tubuhnya dengan pandangan mengejek, wajahnya benar-benar menyebalkan.

“Hah, itu berita lama Sean. Kau harus tahu berita terbarunya, karena ini lebih hebat dari sekedar membuat simpul.” Sean menatap penasaran, menunggu Agatha melanjutkan ucapannya.

“Kata El, kalau kamu bisa memisahkan cherry dari batangnya menggunakan lidah, berarti kamu lebih dari sekedar good kisser. Yah... aku yakin sih, kamu tidak bisa melakukannya.” Sean tertantang, Agatha menyulutnya. Lelaki itu mengambil cherry yang bertengger manis, diatas es krim kekasihnya. Sean tersenyum miring, menatap Agatha yang ikut tersenyum karena Sean sudah termakan jebakannya.

“Tunggu dan lihat,” ia lalu memasukkan cherry itu kedalam mulutnya, mata mereka bertemu. Bertatapan, sepanjang Sean melakukan challenge dari Agatha. Tak lama, senyum Sean mengembang lebar. Agatha menyondongkan wajahnya, menanti hasil dari Sean. Lelaki itu mengeluarkan batang cherry, yang tadi bermain didalam mulutnya. Agatha membulatkan kedua matanya, batang cherry itu tak hanya lepas dari buahnya, tapi juga tersimpul rapi. Sean tersenyum puas, rasa sombongnya menjadi-jadi.

“Bagaimana? Apakah aku sudah terkonfirmasi good kisser?”

“Hmm... menurutku masih belum,” Sean mengangkat sebelah alisnya penasaran.

“Aku harus merasakannya sendiri, baru aku tau apakah kau benar-benar good kisser atau bukan.” Kali ini, senyum laki-laki itu mengembang lebar. Tertarik dengan permainan, yang dibuat gadisnya. Ia mendekatkan bibirnya ketelinga kekasihnya. Berbisik amat pelan, sehingga tidak ada yang bisa mendengar mereka. Pipi Agatha bersemu, sedangkan Sean malah tersenyum girang.

Denting pelan memecah konsentrasi Anaya, buru-buru ia mengecek hapenya. Bahunya merosot sepersekian detik setelah membaca isinya, air matanya berkumpul namun sebisa mungkin ia tahan.

“A-ah...” Yaffra berguling, memindahkan bobot tubuhnya dari wanita dibawahnya. Tubuh mereka bermandikan peluh, hasil dari kegiatan mereka sore menjelang malam ini. Ia mengecup kening dara dipelukannya lembut, menyalurkan sisa energinya. Ia menarik selimut mereka sebatas dada, bersiap larut menuju alam mimpi bersama kekasihnya.

“Anaya, tidur.” Ucap sang lelaki menjadi angin lalu, Anaya tak mengindahkan perintah Yaffra. Matanya sibuk menjelajah wajah rupawan dihadapannya, meneliti senti demi senti, merekamnya didalam otak sebanyak mungkin. Dengkur halus menelusup ketelinga Anaya, mengundangnya untuk turut serta larut kedalam dunia mimpi. Mata sayunya menolak, tak ingin menutup, takut-takut yang ia bayangkan akan terjadi.

Jemarinya berjalan, menjamah mata, hidung, serta bibir kesukaannya. Sosok didepannya sama sekali tidak terusik, tipe heavy sleeper yang menguntungkan Anaya. Ia bisa bebas menjelajah wajah pria bermata indah ini, tanpa perlu mengganggu waktu tidurnya yang sedikit. Ia memandang dalam, si tampan didepannya ini, lagi-lagi membuat hatinya jatuh untuk yang kesekian kalinya. Aroma parfum bercampur keringatnya, selalu bisa membuat Anaya merasa tenang. Hembusan napas dari Yaffra, menyapa lembut kening Anaya. Membuat mata gadis berambut legam itu, bertambah berat. Lambat laun matanya menutup, bergabung nyenyak dalam pelukan Yaffra.


Bunyi pintu yang ditutup menjaga sadar Anaya, sebuah kertas memo tertempel indah dimeja nakas. Ia menghela napasnya berat. Air matanya menetes, hatinya sakit. Kenyataan kejam seakan menariknya dalam sekali hentak, menerbangkannya ke awan untuk dijatuhkan ke dasar jurang. Ia menarik kasar memo, yang jelas ia tau siapa yang meninggalkannya disitu. Kalimat sesimpel 'aku pulang, Kenala nunggu dirumah.' Benar-benar menghilangkan kesabaran Anaya, ia kecewa walau dari awal ia tahu resikonya.

Menjadi wanita simpanan menyiksanya, namun ia juga tidak bisa melepaskan Yaffra begitu saja. Ia terlalu mencintai Yaffra, dan ia tak akan bisa berhenti mencintai lelaki beranak satu itu. Cintanya menancap terlalu dalam, bahkan ketika ia tahu Yaffra tak pernah mencintainya. Dadanya sesak, terlalu banyak yang bergumpal didalamnya.

Tangisnya semakin kencang, hatinya semakin terserang. Gelisah tak henti-hentinya datang, teringat malam ini Yaffra tak hanya menghangatkan ranjangnya. Sosok Kenala ikut berputar melalui memorinya, betapa senyum itu berhasil membuat iri membuncah sebegitu banyaknya dari hati Anaya. Lagi, titik air mata semakin membanjiri kedua pipi Anaya. Matanya terpejam diantara tangisnya, berharap bisa membuka mata diantara pelukan hangat Yaffra.

-

Mencintai, hal termustahil yang bisa dilakukan oleh Jaerrnd. Kaumnya yang membara, selalu melarang perwujudan iblis itu untuk jatuh cinta. Hanya nafsu yang boleh menang, hanya benci yang boleh bertahan. Tapi ia bukanlah Jaerrnd, jika ia tidak membangkang. Ia nekat pergi, luntang lantung mencari jelma untuk dicintai. Namun nahas berpihak sebesar-besarnya, padanya. Hatinya direnggut, dicuri, oleh sosok berwajah seterang cahaya.

Ialah Dedaya, jelmaan malaikat berparas seindah mentari. Hatinya lembut, seiras dengan tutur katanya.

“Perempuan tidak bisa berperang! Kodratnya hanya duduk diam dan mengangkang!” Anneliese menggerung marah, kepalanya sudah hampir pecah. Andai orang didepannya bukan ayahnya sendiri, ia pasti sudah menyabet leher orang itu dengan pedangnya. Ubun-ubunnya terasa panas, benar-benar terbakar amarah. Wajahnya tercetak jelas kalimat 'tidak setuju', napasnya menggebu-gebu.

Jika ada hukum menyama ratakan derajat wanita dan lelaki, Anneliese pasti maju paling depan. Gadis berambisi besar itu, jelas tidak ingin hanya menjadi tukang masak dan pemuas nafsu untuk suaminya nanti. Ia ingin pergi berperang, berdansa bersama pedang. Tapi lagi-lagi, keluarganya menjadi penentang utama segala harapannya. Ayahnya melarang keras keinginan Anneliese, ia bahkan sudah dijodohkan dengan salah satu anak bangsawan. Anneliese selalu memutar otaknya, mencari cara agar ia lebih baik menjadi perawan tua saja daripada bersuami.

Anneliese tergesa menggeret gaunnya, berusaha pergi sejauh mungkin dari bangunan megah rumahnya.

Rindu, dominasi paling kuat dihati saya. Jari saya bergerak cepat, mengetik lalu menghapus pesan untuknya. Nyali saya tidak sebanyak itu, bahkan ketika saya tau kontak saya masih bertuliskan 'cantik' di handphonenya.

Baru saja saya ingin beranjak, ketika notifikasi masuk mengedip dua kali di layar hape saya. Pesan yang saya nantikan, berhasil menarik kedua sudut bibir saya keatas. Kalimat sesimpel 'lagi ngapain', benar-benar menaikkan mood saya berjuta-juta kali lipat. Saya kembali mendudukkan diri, mengambil posisi senyaman mungkin untuk melanjutkan interaksi saya dengannya.

Haris, tokoh utama segala pembentuk senyum dan tawa saya malam ini. Kalau saya jelaskan secara singkat,Haris itu seperti bintang. Ia memang bukan bintang dengan cahaya paling terang, tetapi ia berhasil menonjolkan dirinya walau harus bersaing dengan bintang lainnya. Haris adalah segala hal bernama anugrah, yang hadir di hidup saya. Segalanya tentang Haris, bisa membuat saya jatuh cinta berulang-ulang. Iya, saya secinta itu pada Haris.

Saya dan Haris sempat menjalani hubungan, dengan segala hal manis yang terjadi selama kami bersama. Haris yang selalu tersenyum malu-malu setelah merayu saya, Haris yang tersipu setiap kali saya memanggilnya dengan sebutan 'ayis', Haris yang selalu menggemaskan. Sayang, hubungan manis kami akhirnya menemui ujungnya. Haris dan mimpinya, serta saya dan mimpi saya. Terlalu fana jika hubungan kami dipaksakan. Sibuk menjadi celah terbesar, selama kami menjalani kisah cinta ini. Tapi saya tidak mempermasalahkan, selama kami baik-baik saja.

Setelah berkirim pesan, malam ini Haris menyambangi rumah saya. Mengajak saya untuk mencari nasi goreng semalam ini. Alasan klasik seorang Haris Januar, saya teramat tahu bahwa Haris juga rindu. Dulu, sekitar jam 12 malam menuju jam 1, ia selalu menjemput saya untuk mencari kudapan tengah malam. Yah.. walau kadang, berujung dengan makanan berat.

“Makan dimana Ris?” Kalau kalian berpikir saya masih memanggilnya dengan sebutan 'ayis', kalian salah. Saya berpikir terlalu akrab memanggilnya dengan sebutan itu, ketika kami sama-sama tau hubungan kami seperti apa.

“Dimana aja, yang keliatan enak.”

“Tau darimana keliatan enaknya?”

“Tendanya warna hijau.” Saya memecah tawa, lawakan garing Haris masih berhasil membuat saya tertawa terpingkal.

“Kok kepikiran aja sih, Yis?” Oke, lidah saya terpeleset sedikit. Anggap saja, saya tidak memanggilnya seperti itu.

“Ya biasanya gitu, kalo tendanya hijau pasti enak.”

Jadilah kami berakhir disini, di gerobak random yang Haris singgahi karena tendanya hijau. Saya menyeruput teh hangat saya, menanti Haris selesai memakan nasi gorengnya.

“Mau nyoba?” Saya mengangguk. Ketika tangan saya ingin meraih sendok, Haris lebih dulu mengulurkan tangannya. Menyuapi saya sesendok nasi goreng miliknya. Degupan itu kembali, saya mengunyah dalam diam. Takut jika saya membuka mulut, suara degupan itu akan didengar Haris.

“Gimana? Enak gak?” Saya mengangguk, benar-benar tidak ingin membuka mulut saya. Masih dengan alasan yang sama, takut degup jantung saya yang bergerak cepat terdengar sampai ketelinga Haris.

Haris selesai memakan nasi gorengnya, ia kini hanya duduk diam menatap saya. Yang saya tatap balik, dengan sorot penasaran. Haris, hentikan. Apa kamu tidak lihat, pipi saya sudah semerah apa dipandangi kamu?

“Besok lo ada kelas gak?” Saya mengingat-ingat, sepertinya tidak ada atau saya sengajakan tidak ada. Saya menggeleng, mengundang senyum diwajah tampan Haris.

“Berarti kalo gue ajakin keliling abis ini gak papa kan?”

“Kemana?”

“Rahasia.” Haris mengulum senyumnya, mengundang penasaran setengah mati dihati saya.

Kami berdua bangkit, menuju mobil setelah Haris membayar makanannya. Kami duduk tenang, ditemani lagu-lagu dari playlist Haris. Sepanjang perjalanan, kami menikmati keheningan disekitar kami. Haris berulang kali menarik tangannya, ketika ia reflek ingin menggenggam jemari saya, seperti yang biasa ia lakukan dulu. Saya melirik pada Haris, meneliti setiap fitur diwajahnya. Rambutnya sudah lebih panjang dari sebelumnya, wajahnya terlihat lebih tampan, dan senyumnya terlihat lebih lebar.

Mobil berhenti, menarikku kembali ke kenyataan. Gedung bertingkat dengan gemerlap cahaya, menjadi pusat pandanganku saat ini. Haris melangkah mendahului saya, saya hanya bisa membuntutinya kemanapun. Seperti dugaan saya, Haris membawa saya ke rooftop. Menikmati angin malam berdua dengannya.

“Balikan yuk?” Saya diam, berusaha acuh. Saya menahan keras, agar air mata saya tidak mengalir. Saya benci suasana seperti ini.

“Ris, Kita sama-sama tau Ris. Nothing in this relationship will work“ Wajah Haris muram, namun saya tahu diam-diam dia menyetujui saya. Saya merasa bersalah, tapi saya tau dengan kembali bersama Haris rasa bersalah saya akan bertambah. Jadi...

Maaf ya Ris, mungkin dilain waktu kita bisa kembali jika memang ditakdirkan untuk kembali.

Fin

“Bram, aku hari ini nyanyi di acara FK.” Bram menatap Gian, menyugar rambutnya yang sedikit panjang. Kekasihnya itu heboh, berdandan dan menyisir rambut indahnya sembari memilih baju yang akan ia kenakan untuk tampil hari ini.

“Bawain lagu apa?”

“Kaya biasa aja, kenapa?” Bram hanya mengedikkan bahunya, membiarkan pertanyaan Gian mengambang. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, ikut bersiap untuk mengantar Gian.

Air hangat mengalir, Bram menutup matanya tenang. Senyumnya mengembang ketika teringat Gian, bintang idola semua orang di kampus. Yang dengan segala keajaibannya, menjadi kekasih Bram. Bahkan teman-teman Bram, tidak ada yang menyangka. Ia yang hanya sebuah lampu sorot, bisa seberuntung itu untuk menyorot Gian sang pusat pandangan.

Gian sudah cantik ketika Bram melangkah keluar, ia mengecup kening gadis yang teramat ia cintai itu. Membisikkan kata manis sebagai penyemangat, suaranya lembut sampai tiada satu umatpun mendengar suaranya kecuali Gian. 'Kamu cantik, kamu hebat, suara kamu terbaik', benar-benar halus memasuki telinga Gian. Gadis itu tidak bisa menampik rona merah dipipinya, tutur manis Bram benar-benar membuatnya tersanjung.

“Bram laper...” Lelaki itu membawa Gian menuju dapur, membiarkan gadis itu duduk tenang sementara ia bersiap untuk memasak sarapan mereka hari ini.

Sadad diam, menyesap birnya yang entah sudah kaleng keberapa. Ia butuh pelampiasan, dan minuman keras adalah tujuan utamanya. Ingatannya melayang, teringat Adhea yang dengan gamblang mengkonfrontasi penyebab utama lamunannya hari ini. Gadis itu masih sama, terlepas dari bulan-bulan berakhirnya hubungan mereka. Kedip layar dua kali mengalihkan perhatian Sadad, pesan singkat berisi kalimat 'temenin gue makan' menarik Sadad untuk bangkit dan segera melajukan mobilnya.

Jadilah Sadad disini, duduk diam menatap dara berambut sebahu didepannya mengisi perut. Sadad sudah hapal diluar kepala, kebiasaan Adhea yang selalu butuh teman untuk menemaninya makan tengah malam. Bahkan jamnya pun tidak berubah, selalu pukul dua malam.

“Pelan-pelan, Adhea.” Sadad mengulurkan botol minumnya, bentuk respon atas Adhea yang tersedak makanannya. Sisa malam itu, diisi keheningan diantara keduanya.


Senyum mengembang diwajah tampan Sadad