―case ; I
“Won, ada kasus baru ya, tolong cek email.” Wonwoo menilik sekilas ke arah pintu, mengangguk pada Jisoo yang baru saja memberinya kasus baru untuk ia kerjakan. Seorang istri mencoba membunuh suami dengan alibi pertahanan diri akibat kekerasan rumah tangga. Kasus yang cukup menarik, seharusnya Wonwoo bisa dengan mudah memenangkan kasus. Seharusnya. Dan seharusnya, nama Kim Mingyu tidak tertulis sebagai pengacara pelapor. Wonwoo menghela nafasnya, memijat batang hidung yang sudah sakit bahkan sebelum pekerjaannya benar-benar dimulai. Wonwoo mengambil hpnya, menghitung mundur layar hitam di depannya ini.
seratus, sembilan-sembilan, sembilan lapan, ..., tujuh dua, tujuh sa―
Fancy seeing your name here, Jeon.
Wonwoo sudah bisa memprediksi pesan siapa yang akan muncul, sesaat setelah matanya menangkap nama Mingyu. Wonwoo tidak perlu repot-repot membalas pesan penuh cemooh milik Mingyu, menghabisi waktunya. Netra Wonwoo beralih menuju kasusnya lagi, mengumpulkan segala data yang ia butuhkan dan cadangan untuk sekedar berjaga-jaga. Layar hp Wonwoo berkedip sekali lagi, masih dengan pengirim yang sama dengan isi yang berbeda.
Down for a lunch? You know, studying my opponent.
Wonwoo bukanlah seorang yang bodoh untuk tidak tahu apa intensi Mingyu, tapi ia juga bukan seorang pecundang. Ajakan makan siang Mingyu tentu saja berbumbu garam pemancing emosi Wonwoo, seperti yang selalu ia lakukan setiap kali kasusnya bersinggungan dengan Mingyu. Sudah 3 bulan semenjak kasus terakhirnya bersama Mingyu dan hari itu ditandai dengan kemenangannya yang kesepuluh kali melawan Mingyu selama 5 tahun pengibaran bendera perang mereka. Hari itu hari yang sakral bagi Wonwoo, ia memenangkan sidang di hari ulang tahunnya. Malam itu Wonwoo membeli wine seharga gajinya selama 6 bulan, untuk merayakan kemenangannya. Apakah Wonwoo berlebihan untuk sebuah kemenangan kesepuluh? Tentu tidak. Dari 54 sidang mereka selama 5 tahun terakhir, Wonwoo tentu harus merayakan kemenangannya yang kesepuluh. Mungkin setelah ini ia juga akan menjemput kemenangan yang ke-11 kalinya. Mungkin.
Sure, i have to brace you up anyway before your defeat<
Quite confident, aren't you?
I don't see why i have to feel insecure<
Wow, you've grown a lot Jeon. Then see you?
I am, Kim. Can't wait to see your pitiful face.<
Pria Jeon itu melirik ke jam di meja kerjanya, memperhatikan gerak jarum jam. 15 menit menuju jam makan siang. Matanya bergantian menatap jendela yang menunjukkan bagian luar gedung, persis menghadap tempat makan biasa ia dan Mingyu bertemu untuk saling melempar tatap bengis dan kalimat sarkasme. Tak jauh dari lapang pandangnya, gedung penuh kaca yang menjulang tinggi terlihat. Gedung mewah berisikan pengacara-pengacara dengan jas seharga gaji Wonwoo selama 3 tahun, yang mengendarai mobil dengan merk yang sangat jarang didengar khalayak umum. Dulu tempat itu menjadi tempat pekerjaan idamannya, dan mungkin akan masih sampai sekarang, seandainya seorang manusia bernama Kim Mingyu bukan salah satu pengacara di firma hukum kenamaan itu. Gaji yang dihitung perjam dan mampu mengumpulkan lebih dari dua digit angka dalam waktu seminggu, bonus di setiap kemenangan kasus, jam kerja yang luar biasa fleksibel, dan segala kemewahan lain yang hanya bisa Wonwoo nikmati dari cerita mulut ke mulut. Bukan, bukannya Wonwoo tidak menghargai pekerjaannya sekarang. Tapi sedikit iri tidak ada salahnya kan?
Wonwoo bergegas merapikan mejanya, menatap cermin di samping pintu yang menunjukkan penampilannya saat ini. Sedikit menata rambut dan kemejanya, Wonwoo menyemprotkan parfum sebelum turun menuju tempat makan siang ia dan Mingyu nanti. Kakinya mengetuk pelan di depan pintu lift, dengan sabar menunggu lift tua itu untuk sampai ke lantainya. Hari ini cuaca cukup sejuk, matahari tidak sepanas biasanya dan awan sedang berbaik hati untuk melindungi Wonwoo dari cahaya matahari. Langkahnya sampai di depan restoran, mendapati Mingyu sudah duduk manis di dalam sana. Wonwoo menarik nafasnya, menelan penuh emosinya agar tidak meledak tidak pada tempatnya. Tatapan Wonwoo lurus, tidak ada getar sedikitpun. Menatap Mingyu yang balik menatapnya dengan senyum angkuhnya, Mingyu dengan wajah rupawannya. Laki-laki Kim itu bersandar tenang pada kursi, kaki melebar santai seakan dia pemilik seluruh ruangan ini. Presensinya mendominasi, meninggalkan seluruh pengunjung restoran menahan nafas dengan kehadirannya. Tapi tidak untuk Wonwoo, tidak sekarang, tidak selamanya.
Mingyu mengangguk sekali, bertukar kesopanan dibalik darah yang mendidih di bawah kulitnya. Wonwoo balas mengangguk, menarik kursi tepat di hadapan Mingyu lalu mendaratkan bokongnya mulus ke atas kursi. Kaki kanannya ia silangkan, besandar tegak pada kursi. Dua manusia, dua posisi yang berbeda, satu udara yang sama. Para pelayan tidak perlu repot mengantarkan menu ketika pengunjung yang datang adalah Mingyu dan Wonwoo, mereka akan selalu memesan menu yang sama dan akan berujung dengan dua-dua hidangan terbengkalai mengenaskan tanpa tersentuh sedikitpun. Mingyu, stilling with that cocky smile of his triggered Wonwoo to punch it off his face―or maybe kiss, there's literally nothing in between.
Seluruh dunia saat ini seperti bertumpu pada gravitasi yang dimiliki Mingyu dan Wonwoo, menanti kalimat pertama mereka sepanjang 12 menit yang cukup mencekam. Aksi pertama dibuka oleh Mingyu dengan kekeh penuh cemooh untuk Wonwoo, memantik api untuk semakin mengobarkan api permusuhan mereka. Wonwoo sebenarnya tidak menganggap ia dan Mingyu adalah sepasang musuh, hell, that was the most childish phrase someones ever made. Tapi ia selalu merasa bahwa dia dan Mingyu juga tidak akan bisa menjadi sepasang teman. Keduanya terlalu penuh dengan rasa benci, hingga rasa-rasanya Wonwoo bisa saja mencekik leher Mingyu sekarang juga.
“Dimakan, Jeon. Steak mu tidak akan habis dengan sendirinya.” Wonwoo mendengus, menatap Mingyu yang juga tidak mengindahkan makanannya.
“Tell it to yourself, Kim.” Mingyu terkekeh, sebelah bibirnya semakin naik. Tubuhnya mendekat, nafasnya menyapa wajah Wonwoo lembut. Wangi kayu dan rempah khas Mingyu menelisik masuk ke penciuman Wonwoo, menandakan jarak mereka yang tak lebih dari 5 senti. Mata Wonwoo menajam, tak bergerak sedikitpun dari posisinya. Keduanya saling menatap, menusuk dan mematikan. Sekali lagi Mingyu menghembuskan nafasnya ke arah Wonwoo, tahu betul wangi mint dan tembakau yang keluar akan memanaskan seluruh aliran darah Wonwoo.
“Then shall we?” Mingyu beringsut mundur, mengambil garpu di samping piring pastanya. Ini pertama kalinya mereka berdua akhirnya menyentuh makanan mereka, memaksa menelan di tengah emosi yang menumpuk di tenggorokan. Keduanya makan dalam diam, lebih fokus menghabiskan makanan dibandingkan memenuhi isi perut. Sesiapapun yang ada di sekitar mereka ikut tegang, tertekan suasana apapun yang sedang mereka berdua hadapi.
“Sampai jumpa di pengadilan, Jeon” Mingyu segera meninggalkan Wonwoo, setelah pasta di piringnya habis. Tak ada yang berbicara sama sekali di antara mereka, namun keduanya terlalu paham terhadap satu sama lain. Bahkan dalam diam merekapun, keduanya saling membunuh. Dan Wonwoo memastikan, ia akan benar-benar membunuhMingyu di pengadilan nanti.
“Terdakwa dinyatakan bersalah atas tindakan percobaan pembunuhan dan akan dijatuhi...” Wonwoo menatap Mingyu tajam, seluruh isi kepalanya berkecamuk. Berpuluh-puluh pertanyaan mengisi otaknya, mempertanyakan hal yang sama; bagaimana bisa?
Wajahnya mengeras, tidak memedulikan bunyi palu yang diketok oleh hakim. Di sebelah sana, Mingyu mengembangkan senyum paling prima yang ia punya, mendidihkan seluruh darah Wonwoo. Emosi Wonwoo berada di atas kepalanya, membakar seluruh tubuhnya dari dalam. Beberapa kali Wonwoo harus menahan emosinya saat meminta maaf terhadap clientnya, ditumpuki rasa bersalah karena gagal memenangkan kasus yang harusnya ia menangkan.
Suasana ruang sidang sepi, hanya ada dua hembusan dari sisi kanan dan kiri ruangan. Setelah kepergian hadirin sidang, kedua pengacara itu menanti waktu yang tepat untuk membakar diri mereka. Jam menunjukkan pukul 7, Wonwoo segera berdiri dan menabrakkan tubuhnya ke tubuh besar Mingyu. Tangannya mencengkram erat leher Mingyu, yang tentu saja dibalas oleh Mingyu dengan menekan kedua sisi arteri karotisnya. Keduanya masih saling mengangkat tangan, Mingyu yang terlihat santai dan Wonwoo yang seluruh wajahnya sudah memerah.
“An―jing!” Wonwoo tercekat melemparkan serapahnya, menarik tangannya lepas dari leher Mingyu.
“Wow? Apakah seorang Jeon Wonwoo baru saja menyumpahiku?” Ada nada terkejut di kalimat Mingyu. Tangannya melonggarkan tekanannya, tidak berniat lepas dari leher jenjang Wonwoo. Mata Wonwoo memicing, tubuhnya berontak karena minimnya udara yang ia terima. Kedua kakinya sudah melemah, gagal memproses keadaan.
“Lepas! Baj―”
“ck. Good boy don't curse.” Mingyu menekan sekali lagi, menghabisi sisa nafas yang Wonwoo miliki. Wonwoo bisa merasakan tubuh Mingyu yang mendominasinya, menutupi Wonwoo dari cahaya lampu di atas kepala Mingyu. Wonwoo sudah di ambang kesadaran ketika Mingyu melepaskan tangannya, membuat Wonwoo terduduk karena lemas. Tubuhnya semakin condong, mendekatkan bibir penuh dosanya ke telinga Wonwoo.
“Next time you try to choke me, squeeze the side of my throat and not the front.”