Canacancer

“Won, ada kasus baru ya, tolong cek email.” Wonwoo menilik sekilas ke arah pintu, mengangguk pada Jisoo yang baru saja memberinya kasus baru untuk ia kerjakan. Seorang istri mencoba membunuh suami dengan alibi pertahanan diri akibat kekerasan rumah tangga. Kasus yang cukup menarik, seharusnya Wonwoo bisa dengan mudah memenangkan kasus. Seharusnya. Dan seharusnya, nama Kim Mingyu tidak tertulis sebagai pengacara pelapor. Wonwoo menghela nafasnya, memijat batang hidung yang sudah sakit bahkan sebelum pekerjaannya benar-benar dimulai. Wonwoo mengambil hpnya, menghitung mundur layar hitam di depannya ini.

seratus, sembilan-sembilan, sembilan lapan, ..., tujuh dua, tujuh sa―

Fancy seeing your name here, Jeon.

Wonwoo sudah bisa memprediksi pesan siapa yang akan muncul, sesaat setelah matanya menangkap nama Mingyu. Wonwoo tidak perlu repot-repot membalas pesan penuh cemooh milik Mingyu, menghabisi waktunya. Netra Wonwoo beralih menuju kasusnya lagi, mengumpulkan segala data yang ia butuhkan dan cadangan untuk sekedar berjaga-jaga. Layar hp Wonwoo berkedip sekali lagi, masih dengan pengirim yang sama dengan isi yang berbeda.

Down for a lunch? You know, studying my opponent.

Wonwoo bukanlah seorang yang bodoh untuk tidak tahu apa intensi Mingyu, tapi ia juga bukan seorang pecundang. Ajakan makan siang Mingyu tentu saja berbumbu garam pemancing emosi Wonwoo, seperti yang selalu ia lakukan setiap kali kasusnya bersinggungan dengan Mingyu. Sudah 3 bulan semenjak kasus terakhirnya bersama Mingyu dan hari itu ditandai dengan kemenangannya yang kesepuluh kali melawan Mingyu selama 5 tahun pengibaran bendera perang mereka. Hari itu hari yang sakral bagi Wonwoo, ia memenangkan sidang di hari ulang tahunnya. Malam itu Wonwoo membeli wine seharga gajinya selama 6 bulan, untuk merayakan kemenangannya. Apakah Wonwoo berlebihan untuk sebuah kemenangan kesepuluh? Tentu tidak. Dari 54 sidang mereka selama 5 tahun terakhir, Wonwoo tentu harus merayakan kemenangannya yang kesepuluh. Mungkin setelah ini ia juga akan menjemput kemenangan yang ke-11 kalinya. Mungkin.

Sure, i have to brace you up anyway before your defeat<

Quite confident, aren't you?

I don't see why i have to feel insecure<

Wow, you've grown a lot Jeon. Then see you?

I am, Kim. Can't wait to see your pitiful face.<

Pria Jeon itu melirik ke jam di meja kerjanya, memperhatikan gerak jarum jam. 15 menit menuju jam makan siang. Matanya bergantian menatap jendela yang menunjukkan bagian luar gedung, persis menghadap tempat makan biasa ia dan Mingyu bertemu untuk saling melempar tatap bengis dan kalimat sarkasme. Tak jauh dari lapang pandangnya, gedung penuh kaca yang menjulang tinggi terlihat. Gedung mewah berisikan pengacara-pengacara dengan jas seharga gaji Wonwoo selama 3 tahun, yang mengendarai mobil dengan merk yang sangat jarang didengar khalayak umum. Dulu tempat itu menjadi tempat pekerjaan idamannya, dan mungkin akan masih sampai sekarang, seandainya seorang manusia bernama Kim Mingyu bukan salah satu pengacara di firma hukum kenamaan itu. Gaji yang dihitung perjam dan mampu mengumpulkan lebih dari dua digit angka dalam waktu seminggu, bonus di setiap kemenangan kasus, jam kerja yang luar biasa fleksibel, dan segala kemewahan lain yang hanya bisa Wonwoo nikmati dari cerita mulut ke mulut. Bukan, bukannya Wonwoo tidak menghargai pekerjaannya sekarang. Tapi sedikit iri tidak ada salahnya kan?

Wonwoo bergegas merapikan mejanya, menatap cermin di samping pintu yang menunjukkan penampilannya saat ini. Sedikit menata rambut dan kemejanya, Wonwoo menyemprotkan parfum sebelum turun menuju tempat makan siang ia dan Mingyu nanti. Kakinya mengetuk pelan di depan pintu lift, dengan sabar menunggu lift tua itu untuk sampai ke lantainya. Hari ini cuaca cukup sejuk, matahari tidak sepanas biasanya dan awan sedang berbaik hati untuk melindungi Wonwoo dari cahaya matahari. Langkahnya sampai di depan restoran, mendapati Mingyu sudah duduk manis di dalam sana. Wonwoo menarik nafasnya, menelan penuh emosinya agar tidak meledak tidak pada tempatnya. Tatapan Wonwoo lurus, tidak ada getar sedikitpun. Menatap Mingyu yang balik menatapnya dengan senyum angkuhnya, Mingyu dengan wajah rupawannya. Laki-laki Kim itu bersandar tenang pada kursi, kaki melebar santai seakan dia pemilik seluruh ruangan ini. Presensinya mendominasi, meninggalkan seluruh pengunjung restoran menahan nafas dengan kehadirannya. Tapi tidak untuk Wonwoo, tidak sekarang, tidak selamanya.

Mingyu mengangguk sekali, bertukar kesopanan dibalik darah yang mendidih di bawah kulitnya. Wonwoo balas mengangguk, menarik kursi tepat di hadapan Mingyu lalu mendaratkan bokongnya mulus ke atas kursi. Kaki kanannya ia silangkan, besandar tegak pada kursi. Dua manusia, dua posisi yang berbeda, satu udara yang sama. Para pelayan tidak perlu repot mengantarkan menu ketika pengunjung yang datang adalah Mingyu dan Wonwoo, mereka akan selalu memesan menu yang sama dan akan berujung dengan dua-dua hidangan terbengkalai mengenaskan tanpa tersentuh sedikitpun. Mingyu, stilling with that cocky smile of his triggered Wonwoo to punch it off his faceor maybe kiss, there's literally nothing in between.

Seluruh dunia saat ini seperti bertumpu pada gravitasi yang dimiliki Mingyu dan Wonwoo, menanti kalimat pertama mereka sepanjang 12 menit yang cukup mencekam. Aksi pertama dibuka oleh Mingyu dengan kekeh penuh cemooh untuk Wonwoo, memantik api untuk semakin mengobarkan api permusuhan mereka. Wonwoo sebenarnya tidak menganggap ia dan Mingyu adalah sepasang musuh, hell, that was the most childish phrase someones ever made. Tapi ia selalu merasa bahwa dia dan Mingyu juga tidak akan bisa menjadi sepasang teman. Keduanya terlalu penuh dengan rasa benci, hingga rasa-rasanya Wonwoo bisa saja mencekik leher Mingyu sekarang juga.

“Dimakan, Jeon. Steak mu tidak akan habis dengan sendirinya.” Wonwoo mendengus, menatap Mingyu yang juga tidak mengindahkan makanannya.

Tell it to yourself, Kim.” Mingyu terkekeh, sebelah bibirnya semakin naik. Tubuhnya mendekat, nafasnya menyapa wajah Wonwoo lembut. Wangi kayu dan rempah khas Mingyu menelisik masuk ke penciuman Wonwoo, menandakan jarak mereka yang tak lebih dari 5 senti. Mata Wonwoo menajam, tak bergerak sedikitpun dari posisinya. Keduanya saling menatap, menusuk dan mematikan. Sekali lagi Mingyu menghembuskan nafasnya ke arah Wonwoo, tahu betul wangi mint dan tembakau yang keluar akan memanaskan seluruh aliran darah Wonwoo.

Then shall we?” Mingyu beringsut mundur, mengambil garpu di samping piring pastanya. Ini pertama kalinya mereka berdua akhirnya menyentuh makanan mereka, memaksa menelan di tengah emosi yang menumpuk di tenggorokan. Keduanya makan dalam diam, lebih fokus menghabiskan makanan dibandingkan memenuhi isi perut. Sesiapapun yang ada di sekitar mereka ikut tegang, tertekan suasana apapun yang sedang mereka berdua hadapi.

“Sampai jumpa di pengadilan, Jeon” Mingyu segera meninggalkan Wonwoo, setelah pasta di piringnya habis. Tak ada yang berbicara sama sekali di antara mereka, namun keduanya terlalu paham terhadap satu sama lain. Bahkan dalam diam merekapun, keduanya saling membunuh. Dan Wonwoo memastikan, ia akan benar-benar membunuhMingyu di pengadilan nanti.

Terdakwa dinyatakan bersalah atas tindakan percobaan pembunuhan dan akan dijatuhi...” Wonwoo menatap Mingyu tajam, seluruh isi kepalanya berkecamuk. Berpuluh-puluh pertanyaan mengisi otaknya, mempertanyakan hal yang sama; bagaimana bisa?

Wajahnya mengeras, tidak memedulikan bunyi palu yang diketok oleh hakim. Di sebelah sana, Mingyu mengembangkan senyum paling prima yang ia punya, mendidihkan seluruh darah Wonwoo. Emosi Wonwoo berada di atas kepalanya, membakar seluruh tubuhnya dari dalam. Beberapa kali Wonwoo harus menahan emosinya saat meminta maaf terhadap clientnya, ditumpuki rasa bersalah karena gagal memenangkan kasus yang harusnya ia menangkan.

Suasana ruang sidang sepi, hanya ada dua hembusan dari sisi kanan dan kiri ruangan. Setelah kepergian hadirin sidang, kedua pengacara itu menanti waktu yang tepat untuk membakar diri mereka. Jam menunjukkan pukul 7, Wonwoo segera berdiri dan menabrakkan tubuhnya ke tubuh besar Mingyu. Tangannya mencengkram erat leher Mingyu, yang tentu saja dibalas oleh Mingyu dengan menekan kedua sisi arteri karotisnya. Keduanya masih saling mengangkat tangan, Mingyu yang terlihat santai dan Wonwoo yang seluruh wajahnya sudah memerah.

“An―jing!” Wonwoo tercekat melemparkan serapahnya, menarik tangannya lepas dari leher Mingyu.

Wow? Apakah seorang Jeon Wonwoo baru saja menyumpahiku?” Ada nada terkejut di kalimat Mingyu. Tangannya melonggarkan tekanannya, tidak berniat lepas dari leher jenjang Wonwoo. Mata Wonwoo memicing, tubuhnya berontak karena minimnya udara yang ia terima. Kedua kakinya sudah melemah, gagal memproses keadaan.

“Lepas! Baj―”

“ck. Good boy don't curse.” Mingyu menekan sekali lagi, menghabisi sisa nafas yang Wonwoo miliki. Wonwoo bisa merasakan tubuh Mingyu yang mendominasinya, menutupi Wonwoo dari cahaya lampu di atas kepala Mingyu. Wonwoo sudah di ambang kesadaran ketika Mingyu melepaskan tangannya, membuat Wonwoo terduduk karena lemas. Tubuhnya semakin condong, mendekatkan bibir penuh dosanya ke telinga Wonwoo.

Next time you try to choke me, squeeze the side of my throat and not the front.”

i was enchanted to meet you.

hari ini lagi-lagi salju jatuh dari langit, memenuhi seisi kota dengan putih yang menyejukkan. soonyoung menatap keluar melalui jendela, menikmati titik putih yang jatuh bersamaan. kaki jenjangnya bergerak penuh sukacita, mengambil pakaian paling indah untuk pagi ini. setelah dirasa cukup hangat, soonyoung bergerak turun menuju lantai satu, bergegas mengambil boots kesayangannya dari rak sepatu. hari ini matahari bersembunyi dibalik awan, enggan bertemu dengan salju. kedua mata soonyoung menyipit gembira, menyapa keluarga disamping rumah yang sedang asik bermain salju. langkahnya tiba di gereja, setelah melewati satu blok perumahan penuh salju. pagi ini gereja cukup sepi, sebuah keuntungan untuk soonyoung yang tidak terlalu suka keramaian. tangannya bergerak mengambil lilin kecil, menyusun rapi di altar sebelum akhirnya berlutut untuk berdoa. matanya menutup rapat, merapal seluruh doa dan harap yang selama ini ia bacakan tanpa pernah berubah. i wish something magical happen in my life, i wish something magical happen in my life, i wish something magical happen in my―

gerak satu individu di samping soonyoung memecahkan fokusnya, membuat soonyoung akhirnya membuka kedua matanya.

mungkin soonyoung mati hari ini, mungkin. dia tak tau jelas apa yang terjadi dengan otaknya. yang jelas, ia baru saja menyaksikan seorang malaikat dengan kulit kecoklatan serta wajah yang dipahat layaknya patung, berlutut di sampingnya. malaikat itu mengigit kecil bibir tipisnya, larut dalam doa yang teramat khusyuk. sepanjang doa malaikat itu, soonyoung tak henti-hentinya menatap. memperhatikan salah satu ciptaan tuhan itu berdoa dengan indahnya.

mungkin sesuatu yang ajaib akan benar-benar terjadi di hidup soonyoung, mungkin. malaikat itu membuka matanya, balik menatap soonyoung yang masih lekat memandanginya.

“ada... yang salah?”

“hah?”

“di wajah saya, apakah ada yang salah?” malaikat ini bertanya pada soonyoung, suaranya yang berat dan serak seperti air di tengah oasis. malaikat di depan Soonyoung beberapa kali melambaikan tangannya, menyadarkan soonyoung yang ternyata masih terdiam memandanginya.

“halo?”

“hah? iya? maaf. tidak, tidak ada yang salah. maaf sudah membuatmu tidak nyaman.” kenyataan memukul kepala soonyoung dengan keras, kesadarannya dengan cepat dibawa kembali. tubuhnya beringsut mundur, tiba-tiba merasakan malu yang teramat hebat. wajahnya semerah tomat sekarang terlalu malu untuk sekedar menatap lurus kedepan. dan tentu saja pilihannya itu, menjadi kesalahan terbesar nomor 2 di dalam hidupnya setelah memilih untuk menghabiskan uang tabungannya untuk membuka toko bunga di ujung jalan. kepalanya menabrak sesuatu yang cukup keras. padahal seingat soonyoung, seluruh pilar gereja ini berada di samping tempat duduk jemaat dan bukan di tengah-tengah lorong seperti ini. soonyoung menegakkan pandangannya, sekali lagi melihat sosok si malaikat sekarang berada di hadapannya. sejak kapan pria ini di depan soonyoung? kapan dia berdiri? kenapa langkah kakinya tidak terdengar? dan kenapa manusia ini terlihat begitu tinggi di hadapan soonyoung? leher soonyoung harus bekerja ekstra keras untuk menatap pria ini.

laki-laki ini tersenyum, sebuah candu baru yang perlu soonyoung tulis di jurnalnya nanti. kedua bola matanya menatap soonyoung penuh sorot kejahilan, berbinar seperti matahari dimusim panas. rambut berantakan, aroma parfum yang mengalur memasuki rongga hidung, pakaian yang serba modis. laki-laki ini benar-benar seperti seluruh tokoh utama pria di setiap novel romansa yang soonyoung baca. keduanya masih bertukar pandang, soonyoung yang sesekali menunduk karena malu, serta si tokoh utama yang menatap soonyoung masih dengan binar yang sama.

“mengapa tiba-tiba pergi? memangnya saya akan memaafkan kamu karena sudah menatap saya seperti seorang pelaku kejahatan?” soonyoung tergagap di hadapan pria ini, terlalu bingung untuk berkata-kata. panik jelas tergambar di wajah kemerahan soonyoung, tiba-tiba ia merasa presensinya semakin kecil di hadapan pria ini. mata soonyoung bergetar, bingung dan takut dengan pertanyaan―pernyataan pria di depannya ini. melihat panik yang tergambar jelas di raut muka soonyoung, lelaki tinggi ini tertawa. terbahak-bahak hingga memegangi perutnya, karena terlalu banyak tertawa. soonyoung menekuk kedua alisnya, bibirnya mengerucut sebal ketika sadar bahwa ia sedang dikerjai. tangannya reflek terlempar ke dada laki-laki itu, memukul pelan sebagai konsekuensi dari tingkah jahilnya. yang dipukul masih tetap tertawa, kali ini dengan tambahan tangan yang mengacak-acak tatanan rambut soonyoung. bibir soonyoung tambah mengerut saat rambutnya yang susah payah ia tata menjadi berantakan, matanya memicing ke lelaki di depannya itu.

“sudah tertawanya? jadi saya dimaafkan atau tidak?”

Shit, this is red too

CUT!” Soonyoung bertepuk tangan keras, menyambut kekasihnya yang akhirnya menyelesaikan syuting video klip solonya. Kostum terakhir Jihoon berwarna merah, satu stel suit yang khusus Soonyoung belikan untuk Jihoon. Tailor made fit, hadiah spesial untuk pujaan hatinya. Butuh waktu cukup lama untuk Jihoon menyelesaikan semua urusannya malam ini, tapi Soonyoung tetap menunggu di ujung sana. Matanya melekat erat pada lekuk tubuh Jihoon yang tercetak jelas dari bajunya, baju yang mungkin akan dibawa ke penjahit lagi besok. Senyumnya mengembang ketika akhirnya dua kaki indah Jihoon mengarah ke arahnya, pipi dan hidungnya kemerahan setelah seluruh make-upnya dihapus. Soonyoung mencondongkan tubuhnya, mengecup kening Jihoon yang beraroma sabun muka khas milik Jihoon―milik mereka. Yang dikecup bersemu, semakin masuk ke pelukan yang lebih tua.

Soonyoung menggenggam jemari Jihoon, menyerahkan kunci mobilnya ke yang lebih kecil. “ke mobil duluan ya sayang? I have to talk to others” layaknya kekasih yang baik, Jihoon bergegas menuju mobil. Duduk di kursi penumpang, Jihoon segera merapikan penampilan dirinya, menyemprotkan parfum khusus untuk kegiatan mereka nanti. Tubuhnya menegang saat matanya menangkap sosok Soonyoung. Senyum itu, that cursed smile, sending chills to his spine. Bahkan ketika parfum Soonyoung merangsek masuk ke penciuman Jihoon, seluruh tubuhnya menjadi semakin gelisah dari sebelumnya. Ia yakin di bawah sana, dirinya sudah pasti setengah basah. The never ended teasing from that damned mouth of his boyfriend never failed to rile him. Sedari tadi Jihoon menahan lenguhannya, merasakan sesuatu dibawah sana bergerak semakin dalam. That darned fucker, tangan nakal yang selalu menekan setiap kali jeda syuting membuat ujung tumpul benda sialan itu menyentuh prostat Jihoon. “can you wait a little, baby boy? We’re going home now okay?” Jihoon yang memilih untuk tidak mempercayakan suaranya, alih-alih mengangguk untuk menjawab sang kekasih yang malah berujung fatal. Sela-sela rambutnya dilewati jari besar Soonyoung, mengisi ruang kosong di antara helai rambutnya. Lalu ada tarikan keras, membuka mata Jihoon yang sudah terlalu jauh masuk ke dalam pikirannya. “use your fucking mouth, angel

yes, sir-nghh” bisik ‘good boy’ terdengar ringan memasuki telinga Jihoon, diikuti dengan rambutnya yang tak lagi dicengkram. Kepalanya lagi-lagi menunduk, kedua kakinya merapat, menahan cairan pre-cumnya untuk semakin mengalir turun. Perjalanan yang tidak lebih dari 20 menit terasa lama di zona waktu Jihoon, akibat dari fokus yang tidak bisa hilangkan pada dirinya. Matanya memerah, mengerahkan segala tenaganya menguatkan diri sebelum akhirnya tiba di tempat tinggal mereka berdua. The ever so gentleman Kwon Soonyoung, seperti biasa akan membukakan pintu untuk Jihoon, gestur mengistimewakan kekasih hatinya. Diletakannya ringan tangan besarnya di lekukan punggung Jihoon, mendorong pelan lelaki kecilnya untuk berjalan menuju lift.

As torturous as it already is, the whole time they’re in the elevator filled with Soonyoung’s damned hand roamed all over Jihoon’s back. Shiver runs through Jihoon’s body right to his south, wetting his precious panties. The hand finally retracts, when the ding from the elevator echoes. The most dreadful journey to the 22nd floor will soon change to another journey, the journey they both have been waiting for all day. Looking at his boyfriend’s deadly smile, it automatically alarmed Jihoon’s mind to mentally prepare himself for whatever was coming later. He inhales so much air his lungs could contain, hands shaking from nervousness. Jihoon already knows this is coming; Soonyoung too, already knows this is coming. Dim light from the ceiling above is the only lighting they needed, the only sparkle to light Jihoon’s wetness. Soonyoung’s hand back to the dip of his back, pulling him to consciousness. “kneel for me.” Soon enough, the latter of the two follow the older’s order obediently. The red suit fitted more to his body with this position, hugging his muscular arms to its perfection.

The silent sound so loud in Jihoon’s ears, the waiting seems too long for him to handle. Jihoon pulls all his might to hold himself, he needs to show his lover he can be a good boy. That he is a good boy.

A bit of a rustle sound brought back Jihoon to his state, calmly lowered his head; ready for whatever his dom prepared for him. The sounds get closer the more Jihoon tries to focus himself. There his lover stands before him, splaying all their toys he’ll use on him later. Soon follow, the mighty boyfriend disappears from Jihoon’s face. His hand that was sitting on his thighs being pulled to his back, cuffed tight enough it doesn’t move. Now restrained from any movement, Jihoon feels so much more alive than earlier. He can feel his wetness stream down his perineum and seep into his fitted pants. His thighs trembled, his sense heightened. There goes his sight, closed by his favorite satin blindfold. Soonyoung’s hands that were on his head now moved to his arms, pulling him to a standing position.

His belt, his zipper, his pants. Cold wind hits Jihoon’s naked legs, leaving him weak. The only thing covering his lower body now, is the red panties Soonyoung bought him earlier. But then it can’t be counted as a cover when in fact, it fully displayed his leaking cock. A finger grazing the head peeking from the panties, resulting in more spurts escaping from his little cocklet. Now that damned hand runs to his upper body, groping from the outside of his shirt. Hot breath hit Jihoon’s face, making him chase the lips that put under. Finally, fucking finally. The lips he’s been longing for so long crashed to his, licking and sucking everything on―and in―him. Wet running down Jihoon’s jaw, the sweet saliva of his. The tongue that belongs to Soonyoung crashes inside his upper cavity, messing up his oral interior. While devouring his boyfriend’s mouth, Soonyoung’s hands slowly take their time on his lover’s nipples. Grazing the hardened bud from outside his clothes. He fastened his pace, gulping all of Jihoon’s whimper. “ngh-baj-ngh-bajunya” “shhh… baby boy, shhhh” the silent room now filled with buttons scattered around, leaving the red shirt hanging unbuttoned on Jihoon.

Pushing his lover back to his previous position, Soonyoung lift Jihoon’s head to face him. Looking at his pretty boyfriend right now, Soonyoung can’t get more aroused than this. Drool all over his face, reddish upper body, leaking cock, trembling thighs. Jihoon looks like he came straight out of every men’s wet dream. His gaze travels downwards, to Jihoon’s petite cock. Smile bloom across Soonyoung’s face, satisfied of himself for turning his lovely boyfriend into babbling mess. He caress the latter’s hair, cradle his defenses before roughly tugging his hair. Choked sob slip from Jihoon’s lips, surprised of his boyfriend’s suddenness, vein strained upon harsh pull on his hair. Gentle caresses once again greet his cheek, calloused fingers grazed across. “my, my, my. My pretty little whore, needy and cute for me. All for me.” Crimson red splayed across Jihoon’s face down to his body, affected by Soonyoung’s words. “oh my. Your small cock are releasing so much pre-cum, are you that needy hmm?” Soonyoung crouch down, touching the latter’s cock that seems… a little small for his big hand. “oh my! Are you hard already? Why is it so small? Is it always this small when it’s erect?” a humiliating question that should left unanswered. Jihoon’s cock once again leaked his liquid, aroused by the humiliation. Small whimper left his mouth everytime Soonyoung touched his sensitive genital.

Body now trembling from too much teases, Jihoon felt overstimulated even before they start. Tears flowing down from his cheeks, needy for his boyfriend’s touches. Soonyoung look at his boyfriend once, noticing the wild quiver. “hey sweetheart, you’re with me? What’s your color?” “mhhmmm ‘m good” slurred answer shows Soonyoung how deep his boyfriend is in his space. He pat his lover’s cheek once, bringing him back. “Jihoon? Hey I need color, sayang.” slowly, he untie the blindfold that covering Jihoon’s eyes. Their eyes met as soon as Jihoon’s sights returned, eyes ever so red from all the tears. “g-green…” the older of the two kissed once, calming the shivering lover. “do you wanna continue?” nod being the only answer Jihoon give to Soonyoung, resulting the protests squint from Soonyoung. “yes, wan’ continue” still slurred, Jihoon tried his best to give a coherent answer to his lover. Soonyoung kissed him once again, making sure his boyfriend was fine to continue their activity. Under the light that gives them the spotlight, Soonyoung repositioned his boyfriend. Head hang low, knees holding his body, hips high above and on displays. He kiss the plugged entrance of his boyfriend, preparing his next action.

you ready love?”

And with another nod, Jihoon is more than ready for him.

You're my, my, my, my Lover

It’s kinda funny how things went between us. Gue gak pernah menduga gue akan dijodohkan diumur 22 tahun. Gue ini siapa sih? Cuma mahasiswa molor semester yang kerjaannya manggung dan bikin lagu. I’m not part of the royal family or anything, gue ya... seorang Lee Jihoon. Tapi namanya hidup gak ada yang tahu (TAPI KASIH CLUE KEK). Secara kebetulan, di suatu siang di tahun 2021, kampus gue kedatangan direktur baru yang masih muda dan ganteng (banget). Gue yang clueless dan agak ceroboh ini, secara gak sengaja menumpahkan minum yang gue pengen banget dari seminggu yang lalu ke beliau si direktur baru. Singkat cerita―yang gak singkat sebenernya, karena banyak banget beneran banyak banget dramanya―gue dipanggil ke ruangan beliau. Gak banyak yang gue lakukan disana, karena emang gue disana cuma minta maaf banyak banget sampai mulut gue rasanya capek minta maaf. Si bapak saat itu mandang gue santai, gak galak ataupun mengejek. Dia bahkan mau ngeganti uang minuman gue―yang tololnya malah gue terima―setelah itu bilang gausah minta maaf dan gue dipersilahkan pergi.

Semenjak hari itu, gue selalu kepikiran sama sikap baik si bapak. Gue sampe berdoa semoga jodoh gue punya sifat baik kayak dia. Sampai di hari gue dikasih tau Mami kalau gue dijodohin sama si bapak pun, gue deep down masih berharap gue dapet jodoh sebaik dia. Tapi pas dijodohin malah nolak tuh gimana ya, Lee Jihoon? Ya siapa sih yang nerima dijodohin? Apalagi gue tuh selama 22 tahun hidup, baru pernah putus sekali sama tali puser. Ya gue juga pengen dong punya memori lucu tentang pacaran kayak anak muda seumuran gue. Gue juga pengen gitu dijemput buat diajak nonton film yang sebenernya gak bakal ketonton karena saking gugupnya duduk sebelahan, atau makan nasi goreng pinggir jalan terus nasinya jadi hambar karena tiba-tiba hujan. In conclusion, gue pengen punya pacar. Jadi tentu aja gue menolak mentah-mentah, dijodohin sama seorang adonis dalam bentuk direktur kampus di hadapan gue ini. Tapi ya akhirnya gue diskusi sama dia, bikin perjanjian, yada yada yada, dan akhirnya jadi gue yang sekarang.

Dan ternyata sama mas Soonyoung, gue juga bisa ngerasain yang namanya pacaran. Semua hal sekasual ngambil sendok pas makan diluar, rasanya ternyata beneran se-manis itu kalau kita lagi jatuh cinta. Perut gue rasanya rame banget, penuh sama kebun bunga, lengkap beserta kupu-kupu dan pelanginya. Mas Soonyoung yang penuh sama afeksinya dia ke gue, gak pernah gak bikin pipi gue memanas malu. Dia itu... ahli banget bikin gue berbunga-bunga. Nih kalau hidup gue kayak komik romance nih, sisi-sisi badan sama kepala gue pasti ada semburat warna pink dan ada bunga-bunga mengelilingi gue. Gue gak pernah ngerasa sebegini disayangnya gue selain sama mas Soonyoung. And i, i’m truly, crazy, deeply in love with him. With all of my heart.

Can I go where you go? Can we always be this close forever and ever?

Berdiri dengan kemeja putih dan jas warna senada di depan orang-orang kayaknya bakalan jadi the most memorable day of my life today. Gue, dalam waktu kurang dari lima menit, akan menikahi pria sipit di depan gue ini. Senyum dia mengembang lebar banget dan tentu aja gue ikut tersenyum natap dia. Tangan gue penuh keringat, ketika pendeta minta gue dan dia berpegangan tangan buat memulai pemberkatan. So this is it...

Ladies and gentlemen, will you please stand? With every guitar string scar on my hand I take this magnetic force of a man to be my lover My heart's been borrowed and yours has been blue All's well that ends well to end up with you Swear to be overdramatic and true to my lover And you'll save all your dirtiest jokes for me And at every table, I'll save you a seat, lover.

You may kiss your lover now

Gue merasa dunia gue hancur, pecah dalam satu kedipan mata, tapi juga menyatu disaat yang bersamaan. Disatu waktu, gue nonton berita yang ngabarin kereta mas Soonyoung ngalamin kecelakaan. Diwaktu berikutnya gue ditelfon sama pihak KAI dan mereka ngabarin bahwa mas Soonyoung ditemukan gak sadarkan diri. Gue melajukan mobil punya Mami menuju stasiun, gak peduli sama jalanan yang penuh dan lampu-lampu berpijar menyilaukan mata. Yang gue butuh hanya ketemu mas Soonyoung. Telinga gue rasanya pengang, terlalu banyak bunyi yang memaksa masuk. Bunyi klakson, lampu mobil, bunyi gas yang diinjak, semuanya jadi imaji kabur gak beraturan. Semuanya penuh, nabrak di otak gue, hampir meledak. Yang gue bayangkan sekarang cuma bagaimana keadaan mas Soonyoung, apakah dia masih gak sadarkan diri sampai sekarang? Atau apa dia saat ini ternyata harus dilarikan ke rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap dari gerbong yang kebakar? Atau dia berujung koma karena mungkin dia terlalu sial sampai gerbong dialah yang harus terbakar. Penuh banget. Pengen rasanya berlutut, menangis, meraung, memohon, supaya otak gue gak sepenuh ini, gak serame ini.

Dan stasiun penuh malam ini, semua orang berkumpul buat orang yang mereka sayang. Selangkah dua langkah, dua langkah jadi empat langkah, lalu jadi langkah-langkah lain yang gak mampu gue hitung. Gue harus bisa ketemu, gue harus bisa ngelihat mas Soonyoung, gue harus memastikan kalau dia tetap hidup. Mata gue mencari, berusaha menangkap dua mata indah yang selalu menatap gue di antara ribuan orang. Gue mencari sampai kepala gue sakit, gue mencari sampai kaki gue lelah, gue mencari sampai gue ketemu. Sampai gue bisa ngelihat sosok itu lagi.

Damn… damn.

He’s there, with those slanted eyes looking at me. He’s there, smiling at me. He’s there, alive.

Kaki gue seperti punya auto-pilot nya sendiri, langkah gue lebar menuju mas Soonyoung. Perut gue bergolak, ngerasain excitement tumpah diseluruh tubuh gue. Dan ada mas Soonyoung, melebarkan pelukannya untuk gue. Rasanya nyaman, ngedenger suara nafas itu lagi di telinga gue. Rasanya kayak gue akhirnya dapat nilai 100 di ujian semester setelah belajar mati-matian, atau kayak ketika akhirnya bisa ngeluarin serpihan kayu yang nyelip di kulit. Rasanya lega, nyaman, lepas. Dan satu persatu air mata gue ngalir, lalu akhirnya lepas bebas ngebasahin kemeja mas Soonyoung. Ngelihat wajah pucat dan kening lecet mas Soonyoung, somehow bikin takut yang tadi menelan gue perlahan hilang. Jujur gue gak pernah ngerasa setakut ini dalam hidup gue, ngerasa gimana nafas gue ikut tercekat tiap nama mas Soonyoung disebut. Gue berani bersumpah demi Tuhan, berjam-jam yang lalu adalah jam-jam paling menakutkan sepanjang hidup gue. Gue ngerasa bisa tiba-tiba mati kapan aja, saking sesaknya dada gue tiap ingat mas Soonyoung. Dan gue amat benci perasaan itu, benci.

Gue merasa dunia gue berhenti berputar, tapi berputar kencang disaat yang bersamaan. Sebagian dari diri gue mati, bahkan sekarang pun rasanya kayak masih ngawang. Gue jadi meragukan akal sehat gue sendiri, apakah di depan gue ini bener-bener mas Soonyoung? Apakah manusia di depan gue ini cuma ilusi yang gue buat sendiri? Atau apa sebenernya gue yang udah mati di perjalanan tadi? Nafas itu lagi, nafas yang hanya bisa gue denger dua jam lalu balik lagi. Rasanya sekarang gue ikutan sesak, gue kehabisan cara buat bernafas, gue... “hey, dek, adek. Liat mas, liat mas, tarik nafas, buang, lagi... buang lagi, calm down, okay?” pita suara gue kayak gak berfungsi, dan bikin gue akhirnya menganggukkan kepala sebagai respon. Senyum itu, senyum di bibir pucat itu. I’m not dreaming nor hallucinating, I'm... here. He’s here.

Gue menatap sekujur tubuh mas Soonyoung, memastikan gak ada luka lain selain lecet di kening dia. And that’s when i found my number on his hand. Gue menatap dia, mempertanyakan eksistensi nomor telefon gue di tangan dia. Kedua tangan dia menangkup wajah gue, berbagi kehangatan disela pertanyaan non-verbal gue yang menggantung. Matanya menatap gue, mengerti tatap penuh tanya yang gue lemparkan.

my emergency number. Mas gak punya siapa-siapa lagi di dunia ini dek, and if i have to call one last person before i die, it has to be you.” Gue merangsek masuk ke pelukan tunangan gue ini, menikmati tumpahan emosi di pelukan hangat dia. Dan dia... ikut menangis di bahu gue, ikut merayakan dia yang masih tetap hidup malam ini. Merayakan gue yang menemukan dia, dan dia yang menemukan gue.

Celebrating us, for being each other’s home.

Jihoon merangsek masuk ke pelukan Soonyoung sedetik setelah membuka pintu, mulutnya gak henti-henti mengucapkan satu kata yang sama. Maaf, katanya, dengan air mata yang ikut banjir menempeli baju Soonyoung. Seminggu dapat silent treatment ternyata beneran bikin Jihoon tersiksa, setiap hari dia gak bisa tidur dan berujung ngambil baju Soonyoung di lemari buat dia pakai. Gak ada Soonyoung menyiksa banget dan Jihoon beneran berharap dia gak akan mengalami hal kayak gini lagi. Sementara Jihoon menangis, yang dipeluk cuma diam, sama kangennya dengan si adek yang udah lama gak dia peluk sebegini erat.

“sayang, masuk dulu yuk?” yang lebih kecil ngangguk, menurut sama apapun yang diucapin si masnya. Tangan kecilnya digenggam halus, dibawa menuju kamar mereka di lantai 2―safeplace-nya Jihoon. Si yang lebih tua duduk, lalu narik Jihoon buat duduk di atas pangkuan dia. Dikecupnya kening Jihoon, lalu jari-jarinya ngusap air mata yang masih ngalir di pipi si sayang. Ditengah sesenggukannya, Jihoon tetap ngucapin satu hal yang sama; maaf, maaf, maaf. Helai-helai rammbut yang sekarang mulai Panjang dirapikan sama tangan Soonyoung, diselipkan di belakang telinga Jihoon. Wajah yang lebih muda ditangkup, lalu dikecup bibirnya. Sekali, dua kali. “nangisnya udah ya cantik? Kita ngobrol aja, gausah nangis ya?” satu anggukan Jihoon dihadiahi satu kecupan di pipi, ngembangin senyum di wajah kecilnya. Tangan Soonyoung sekarang berlari ke kepala Jihoon, mengusap lembut rambutnya yang warnanya berubah lagi―sekarang warna pinkish peach.

Mata keduanya bertemu dan Jihoon lebih dari lega ngelihat di mata Soonyoung masih ada dia, ada cinta buat dia. “lain kali, gapapa kalau Jihoon gak mau cerita, mas gak akan maksa. Cerita yang Jihoon mau cerita aja ya? Tapi jangan bohong sama mas, justjust tell me kalau kamu gak mau ngasih tau. Mas itu paling gak suka dibohongin, tapi apa yang Jihoon lakuin ke mas?” ada Jihoon yang mencicit, “bohong” waktu ditanya. Suaranya kecil karena tau dia yang bersalah disini. Soonyoung mengangguk, tangan masih gak lepas dari rambut lembut Jihoon. “Jihoon bohong, sama mas. Bilangnya mau nemenin Seokmin sidang ke kampus, tapi Jihoonnya ternyata sidang juga. Tau gak, saat itu mas ngerasa gagal sebagai calon tunangan kamu. Mas ngerasa malu karena clueless tentang kamu, clueless tentang progress kamu. Tapi mas gak mau marah di hadapan kamu, mas gak mau malah bikin kamu takut sama mas. Maaf ya selama seminggu ini mas kabur-kaburan terus, mas lagi berusaha mengatur emosi mas, maaf ya?” yang di pangkuan menggeleng keras, lagi-lagi nangis. “enggak… ak-aku yang haru-harusnya minta maaf” Soonyoung terkekeh ngedenger Jihoon yang sesenggukan lagi, yang diketawain mengerucutkan bibir―kesel karena diketawain.

Setelahnya cuma ada sunyi, dua-duanya diam natap satu sama lain. Rasanya selalu nyaman kayak gini, hanya ada Jihoon dan Soonyoung. Keduanya senyum, lalu entah siapa yang menginisiasi, senyum itu sekarang berubah jadi ciuman. Bibir ketemu bibir, kecup, kecup, membuka, lidah ketemu lidah. Yang awalnya duduk tenang sekarang berusaha mencari friksi, bergerak gak tentu arah. Dan Soonyoung itu cuma manusia normal, kalau dia gak berhenti sekarang dia gak akan bisa berhenti lagi nanti. Diangkatnya tubuh kecil Jihoon, dibaringkan di atas ranjang empuk mereka. Tangannya menarik selimut, memeluk Jihoon dan mengecup puncak kepalanya. Jihoon yang masih mencerna cuma bisa diam menatap Soonyoung bingung,

yang ditatap berbisik pelan, “tidur aja, kita lanjutinnya setelah nikah, okay?”

And sleep they did.

Jihoon itu sebuah plot twist paling hebat, yang pernah terjadi di hidup saya. Kwon Soonyoung itu adalah manusia paling biasa saja, dari seluruh umat manusia. Eksistensinya tidak begitu terlihat, sinarnya juga tidak begitu terang. Selama 35 tahun keberadaan saya di dunia ini, saya tidak pernah yang namanya berpacaran atau menjalin hubungan percintaan yang serius. Bahkan saya lupa-lupa ingat kapan terakhir jatuh cinta, mungkin sepuluh tahun yang lalu? Lima-belas tahun yang lalu? Yang saya ingat, semua rasa suka saya tidak pernah sehebat ini seperti bersama Jihoon. Jatuh cinta pada Jihoon itu, seperti menyesap champagne paling mahal di sudut kota Paris. A little bit of a mess, but great in other ways. Semua tingkah lucunya, semua senandungnya, semua omelannya, semua tentang dia. Kadang saya heran, Tuhan sebahagia apa ketika menciptakan Jihoon? Mengapa semua yang indah dijatuhkan padanya? Well, he’s Lee Jihoon, he supposed to be that beautiful.

Berdiri disini memegang trolley penuh dengan perlengkapan rumah, somehow menaikkan semangat saya. Mengingatkan saya bahwa besok dan seterusnya, akan ada orang lain yang menyambut saya pulang. Di depan sana Jihoon masih asik memilih ukuran panci dan teflon yang sesuai dengan keinginannya, meninggalkan saya yang bisa leluasa memandangi figurnya yang indah. And realizing he’s mine, always sets the butterflies free in my stomach. Saya rogoh sekali lagi kotak di kantong celana, memastikan segala yang saya butuhkan sudah berada di jangkauan. Saya tinggal menunggu waktunya pulang, ketika belanjaan terhampar di lantai, dan kami yang terduduk di depan tv.

Tapi nyatanya bukan di depan tv, hahahaha.

Kami ternyata terlalu lelah untuk merapikan belanjaan, berujung dengan saya dan Jihoon yang menyesap coklat panas di pantry. Tubuh kecilnya duduk di samping saya, kakinya menggantung karena kursi yang terlalu tinggi, sweater abu-abu milik saya menenggelamkannya. Terlalu gemas dengan pemandangan yang saya lihat, tangan saya tak kuasa untuk tidak melayang ke rambut lembut Jihoon, mengusap pelan sembari memandangi si cinta. “sayang,” saya memanggil dia, yang otomatis membuat kepalanya menghadap ke saya. “kenapa? Ada coklat nempel di mukaku? Atau kamu mau coba sendok yang tadi baru beli? Atau besok kamu mau ke luar kota? Atau kam-“ saya kecup bibir tipisnya, menghentikan rentetan kalimatnya yang akan semakin banyak keluar. Pipi Jihoon memerah, lalu menjalar ke telinga, lalu seluruh wajah kecilnya bersemu. Lucu. “dengerin aku dulu, sayang. Gimana aku ngomongnya kalo kamu ngomong terus hmmm?” Jihoon menggangguk pelan, wajahnya masih bersemu.

Sumpah demi Tuhan, lucu sekali jodoh seorang Kwon Soonyoung. Hehe.

Tangan saya masuk ke kantong celana, menggenggam kotak yang sedari tadi mengganjal duduk saya. Tangan yang lain saya gunakan untuk menggenggam jemari Jihoon, memastikan yang ada di hadapan saya ini bukan imaji semu. Saya sodorkan kotak berwarna biru muda ke hadapan Jihoon, mempertunjukkan isinya. Lama, Jihoon terdiam lama melihat sebuah cincin bertengger manis di dalam kotak. Matanya berbinar, senyumnya mengembang. Melihat reaksi Jihoon, hati saya tidak bisa tidak berdebar lebih kencang. Jihoon ini, Jihoon yang ini, yang bisa membuat saya sebegini cintanya.

“Jihoon, selama hidupku, aku selalu berharap bisa punya keluarga kecil yang sederhana. Sarapan nasi goreng atau bubur, duduk bertiga di meja makan, ngajarin anak aku main bola-atau main gitar, atau sekedar nonton tv bertiga di ruang tengah. Semuanya serba sederhana, tapi rasanya indah, definisi ‘rumah’ yang selama ini aku bayangkan. Dan kamu tau, semua itu bakalan lebih indah kalau ada kamu di dalamnya. Ada kamu yang motongin sayur saat aku nyiapin bahan nasi goreng, ada kamu yang duduk di sebelah kananku di meja makan, ada kamu yang ikut ngajarin anak kita main bola dan gitar, dan ada kamu yang dibalut selimut saat kita nonton film di ruang tengah sampai tengah malam. Ada kamu, dan aku butuhnya kamu. Bantu aku ngewujudin itu semua ya?”

Trigger Warning : mention of death, mention of wanting to dead, mental breakdown(s)

Minghao sudah pernah kehilangan Papi, kehilangan lagi seharusnya gak perlu bikin dia sehancur ini. Hari ini Mami berjanji membawa Junhui pulang kerumah, membebaskan anak semata wayangnya untuk memeluk Junhui sampai puas. Dan Mami menepati janjinya, membiarkan Minghao memeluk Junhui, walau kali ini hanya bisa memeluk tubuhnya yang sudah tidak sehangat kemarin. Mami menepati janjinya, walau harus dalam bentuk yang berbeda dari yang dia harapkan. Minghao diam, menatap Mami yang ikut menemani Junhui pergi dari hidupnya. Minghao sekarang sendiri, diterjang sepi, dimakan duka sampai rasanya ingin mati.

Gak akan ada lagi acara-acara gak penting yang dirayakan oleh Mami,

Gak akan ada lagi Junhui yang ikut sibuk menemani Mami kesana kemari.

Baru aja Minghao merasakan bahagia, sekarang semuanya direnggut secara paksa, bahkan ketika Minghao belum sempat merayakan bahagianya.

Semuanya tiba-tiba, terlalu banyak yang harus diproses. Yang Minghao bisa ingat, cuma kecupan ringan Mami di pelipisnya tadi pagi, serta omelan kecil Junhui kemarin siang. Lalu semuanya jadi imaji kabur, memori Minghao bertabrakan satu sama lain. Gak ada yang bisa Minghao ingat, kepalanya hampir pecah, berusaha mengulang segala dialognya dengan Mami ataupun Junhui. Tapi semuanya sia-sia. Tapi semuanya gak ada guna. Yang Minghao ingat cuma telpon dari pihak rumah sakit, yang mengatakan bahwa mobil yang ditumpangi Mami dan Junhui mengalami kecelakaan. Junhui dinyatakan meninggal di tempat, sementara Mami meregang nyawa saat ambulans melewati halaman rumah sakit. Minghao tidak sempat menyampaikan perpisahannya, perpisahan yang bahkan gak pernah dia duga akan datang secepat ini.

Lalu memori Minghao lagi-lagi bertabrakan, tubuhnya mati fungsi. Yang bisa dia rasakan sekarang hanya raungan dan pukulan dari Mama-ibunya Junhui-yang meminta Minghao untuk mengembalikan nyawa putra pertamanya. Minghao cuma bisa diam, menerima dan menerima. Kepalanya berputar, dunianya tak lagi berujung. “KEMBALIKAN ANAK SAYA!! KENAPA HARUS JUNHUI, MINGHAOOO? KENAPA BUKAN YANG LAIN??” Minghao juga bertanya tentang hal yang sama. “MINGHAO HARUSNYA GAK BEGINIII” harusnya gak pernah seperti ini. “Minghao…”

***

Untuk pertama kalinya dalam hidup gue, baru kali ini gue ngelihat Minghao benar-benar diam. Tatapannya kosong, senyumnya dipaksakan, tangannya dingin. Gak ada setitikpun air mata dia keluar, sejak gue datang ke rumah dia hari ini. Tubuhnya bergerak lunglai, dipaksakan berfungsi disaat gak ada yang nyala. Sesekali kardus air mineral melorot dari tangannya, dan harus diambil alih Mingyu ataupun Seokmin. Gue dan Wonwoo juga kadang harus memaksa duduk Minghao, yang gak jarang hampir terjatuh di sudut-sudut rumah besarnya. Gue hanya bisa menatap sedih Minghao, yang melamun diam di hadapan Maminya.

Minghao lalu berdiri, naik ke lantai atas. Gue ikut menyusul Minghao, memastikan manusia satu itu masih memiliki jalan pikiran yang sehat. Langkah gue terhenti di satu-satunya pintu berwarna putih, di seluruh penjuru lorong lantai 2 ini. Malam yang gelap gak membantu sama sekali, karena lampu yang dengan sengaja dimatikan oleh si pemilik ruangan.

Tapi gue mendengar sedu sedannya, mendengar setiap hela nafas yang berat, mendengar rintihan menyakitkan yang ikut menyakiti hati gue. Pintu yang gak tertutup rapat memudahkan gue untuk masuk, lalu gue tutup rapat setelah memastikan gue benar-benar sudah masuk ke dalam.

Di depan kaca besar menuju balkon, ada tubuh kurus yang merengkuh dirinya sendiri. Semakin gue berusaha mendekat, semakin lirihnya menusuk telinga gue. “Mingo” panggilan yang gue buat semenjak masa SMP itu, membuat Minghao membalikkan tubuhnya menghadap gue. Pelupuk Minghao basah, banjir oleh duka ditinggalkan semua orang yang dia cintai. “Uji..” gue gak bisa gak memeluk Minghao, ikut merasakan sesak yang dia rasain. “Ji, Mami Ji” gue hanya bisa mengelus punggung Minghao, mengulang kalimat ‘iya Hao, iya’ untuk menenangkan dia. “Ji, gue sekarang sendirian Ji” gak, lo gak sendirian Hao. “Ji, semua orang ninggalin gue” gak, lo masih punya gue. “Ji, gue pengen mati” “Mingo, liat gue. Jangan gini ya? Lo masih punya gue, punya Kak Cheol, Wonwoo, Seokmin, Mingyu. Lo gak sendirian Ngo”

Dan semuanya tumpah, semuanya luruh.

Minghao meraungkan nasibnya di pelukan gue, meneriaki dunia dengan segala amarahnya.

Dan sekali lagi dalam hidupnya, Minghao dipaksa bertahan saat dirinya ditinggalkan.

Mas Soonyoung gak benar-benar membawa gue pulang secara paksa, tapi sekarang dia terkapar menyedihkan di teras rumah gue. Begini alurnya, sekitar jam 6 sore tiba-tiba hujan turun deras banget, lalu di jam 8 ada bunyi mesin mobil yang dimatikan, setelahnya ketukan gak beraturan yang gak pengin gue buka sampai jam mengarah ke angka 9. Sebut gue kurang ajar, karena membiarkan mas Soonyoung dimandikan hujan di teras rumah gue semalam ini. Tapi gue beneran gak mau, gue masih gak pengen ngelihat dia setelah semua kejadian ini. Rasa-rasanya gue kayak dicekik sama mulut semua orang, it suffocates me to death. Sepanjang gue hidup, baru kali ini gue disirami hujatan sebegitu parahnya, dan gue belum siap.

Tapi ternyata gue ini manusianya terlalu egois, terlalu menutup mata tentang kemungkinan konsekuensi yang diterima mas Soonyoung bisa aja lebih parah dari gue. Sudah pernah gue bilang, belum? Seorang Lee Jihoon itu cuma si anak tunggal manja yang belum pernah ngerasain pahitnya dunia, jadi tolong jangan heran kalau dia sedikit brengsek.

Tapi kali ini kadar brengsek gue gak sedikit, kali ini melimpah ruah, berhamburan dan berceceran. Setelah ketukan di pintu melemah, gue memberanikan diri mengintip melalui celah pintu yang gue buka sedikit. Di depan pintu, ada mas Soonyoung yang terduduk lemah menyandar ke pintu, wajahnya merah dan matanya memejam. Gue berusaha meraih dahi mas Soonyoung, mengecek suhu badannya. Jujur, panasnya air mendidih mungkin kalah panas dibanding suhu tubuh mas Soonyoung sekarang. Fuck, what did I do to him

tubuhnya benar-benar panas dan sekarang mulai menggigil. Dengan sisa tenaga yang gue punya, gue berusaha mengangkat tubuh tinggi mas Soonyoung. “dek, maaf” orang ini… sempat-sempatnya minta maaf disaat seharusnya dia cukup mikirin dirinya sendiri. Gue mengangguk cepat supaya gak membuang lebih banyak tenaga, membawa mas Soonyoung ke kamar tamu terdekat. Then came to a realisation, bajunya basah kuyup. Lee Jihoon, what did you do to him?

“kamu disini dulu,” gue mendudukkan dia di kursi samping kasur, “aku ambilin baju papi, baju kamu basah” gue bergegas ke lantai atas, mengambilkan baju papi yang sekiranya jarang dipakai. Gue buru-buru kembali ke kamar tamu, menghindari demam mas Soonyoung tambah tinggi akibat memakai baju basahnya terlalu lama. Si dia lagi-lagi tersenyum, sewaktu gue membantu dia berganti baju. Wajah pucatnya terlihat bahagia menatap gue, bikin hati gue sakit ngelihatnya. “kamu kayak suami saya beneran” gue berusaha menahan diri untuk gak terkekeh mendengar racauannya, “kamu tuh lagi demam loh, mikirnya malah suami-suami an. berdiri bentar, celana kamu perlu aku bantu ganti gak?” sebentar, gimana…? Gila lo Ji? Tangan gue mengambang di samping pinggang mas Soonyoung, menyadari kebodohan gue sendiri. Mungkin mas Soonyoung juga sadar atmosfir canggung tiba-tiba karena gue ini, dia berinisiatif pergi ke kamar mandi sementara gue masih merutuki kebodohan gue di tempat yang sama. Setelah mungkin 5 menit, akhirnya mas Soonyoung keluar dari kamar mandi. Sementara menunggu tadi, gue juga udah menyiapkan kompres kemasan yang biasa ada di apotek, stock punya Mami seandainya ada yang tiba-tiba demam.

Gue membaringkan mas Soonyoung di atas ranjang, lalu menempelkan kompres ke dahinya. Dengan jarak sedekat ini, juga mata mas Soonyoung yang gak lepas dari gue, pengen banget rasanya melarikan bibir gue ke bibir setengah terbuka dia. Tapi tentu aja gue tahan, gimanapun juga, gue yakin mas Soonyoung masih marah ke gue. Baru gue menarik mundur tangan gue, ada tangan mas Soonyoung yang menahan pergerakan gue. Gue gak bisa gak menatap wajah menyedihkannya, beradu tatap entah berapa lama. “maafin saya ya, Jihoon. Gak seharusnya saya terbawa emosi kayak kemarin” duh, Tuhan, kenapa ada manusia sebaik ini? Hati gue sakit, sakit banget karena rasa sayang gue ke mas Soonyoung. “aku minta maaf juga, maaf kemaren ngomong kasar ke kamu” bukannya menjawab, gue malah ditarik ke pelukan dia.

Ternyata masih senyaman kemarin, pelukan mas Soonyoung masih senyaman yang gue inget. Gue menyembunyikan wajah gue di dada dia, tenggelam di rasa aman yang dia sediakan buat gue. “setelah ini kita hadapin semua masalah berdua ya dek? Kamu punya saya, saya punya kamu, jangan dihadapin sendiri” gue mengangguk di pelukan dia, ngerasain pelukannya tambah erat merengkuh gue. “everything will be fine kan mas?” ada anggukan di atas kepala gue, setelah itu kecupan di kening. “everything will be fine.”

Iya, everything will be fine.

heavy whimper echoes in the empty practice room, lingering through the high ceiling. lips on lips, bulges that met each other, grinding with eagerness. dua anak adam di tengah ruangan itu mendesah, meronta, mencari nikmat disela tumpukan dosa. besar keinginan si dominan untuk menghancurkan yang lebih kecil, menikmati hingga lelah, menyesap hingga habis. matanya mengeliling, menatap cermin yang merefleksikan kegiatan nikmat dua pasang manusia itu. bibirnya berlari menuju leher putih lelaki di atas pangkuan, menatap tajam pantulan aksinya menggigiti putih itu hingga menjadi keunguan.

mirror mirror on the wall, who's the prettiest of them all?

tanpa perlu menanti jawaban sang cermin, soonyoung tahu betul siapa yang paling indah. seluruh dunia pun tahu, lee jihoon adalah si yang paling indah, yang matanya berbinar, yang rambutnya selalu berwarna terang, yang figurnya kecil dan elegan. soonyoung tak bisa menahan gerak bibirnya, terlalu gatal melihat kulit indah jihoon yang polos layaknya canvas. tidak, ia harus mengisinya sampai penuh, memenuhi ungu di sekujur tubuh sang kekasih. tangannya menelusup masuk, bermain dengan merah muda yang menyembunyikan selatan jihoon. jihoon sudah terlampau basah, bahkan celana dalam kesayangannya tak dapat menutupi kacaunya. mulutnya tak henti mengucap, merapal nama soonyoung layaknya sebuah mantra. isi kepala jihoon kosong, hanya ada soonyoung, soonyoung, soonyoung, soon-

“soon-nghhh-young” yang namanya disebut menengadah, menatap si cinta yang sudah hancur dibawah sentuhannya. senyumnya mengembang, mengirimkan sengatan nikmat kepada si pemanggil. “kenapa sayang?” tolong siapapun bantu jihoon, otaknya sudah tidak dapat berpikir lurus. yang jihoon ingin hanya nikmat, yang jihoon damba hanya soonyoung, tapi mengapa rasa-rasanya mulutnya mati rasa? “m-ma-ahh-mau...” lirih, ucap jihoon terlalu lirih disiksa birahi. sang dominan lagi-lagi tersenyum, bangga sudah menghancurkan segala akal sehat sang kekasih.

“mau apa, jihoon? ngomong yang bener, i won't know if you're not telling me” si lawan bicara sudah terlampau kacau, tak mampu mengucap kalimat utuh disela saliva yang menjulur dari mulut kecilnya. “mau, mau, di dalam-nghh ah!-masuk... aku... di dalam...”

soonyoung smiled too wide, sensing the victory he already has the first time his lips landed on jihoon's

tubuh kecil jihoon dibalik, tangan dan lutut yang bergetar dipaksa menahan segala beban. kepalanya menengadah pelan, ketika jemari soonyoung menarik surai lembutnya.

there he is, naked and whimpering. the trembling legs of his might collapse in a second, not able to handle all the teasing.

ada bibir soonyoung di telinga jihoon, mengecup dan mengisap pelan. dikecupnya lagi sebelum suara berat itu berbisik seduktif, menelisik gendang telinga jihoon.

keep your head up baby boy, i want you to watch how you take me. how i keep thrusting into you and have you coming so much you can't let out anything but a shook through your whole body