Canacancer

Lagu Wildest Dream diciptain Taylor Swift waktu dia liat Jeon Wonwoo, i can guarantee that.

Jeon Wonwoo itu mimpi terliar, yang gak gue sangka bakal terwujud. Segala-galanya di Jeon Wonwoo adalah the wildest and best dream of mine. Sakit dan senang jadi satu di seorang Jeon Wonwoo, dan gue gak mau minta lebih dari ini.

Gue bisa aja berhenti buat merjuangin seorang Jeon Wonwoo waktu itu, tapi all the sweet heartbreaks he gave bikin gue bertahan. Gila juga, gue bahkan gak punya jaminan dia bakal balik ke gue atau enggak. But he's here anyway, standing beside me, smiling from ear to ear.

Dia ini, satu-satunya patah hati yang gue rela buat ngerasain lagi selama itu sama dia. (But would be better if you don't do that, Mr. Jeon or should i call you Mr. Kim?)

Laki-laki di sebelah gue ini, 2 jam yang lalu baru aja resmi jadi suami gue. Jatuh bangunnya gue dapetin dia, rasanya langsung terbayar waktu ngeliat dia berdiri dengan jas terbaiknya di samping gue. Rasa gugup dan keringat dingin waktu minta izin ke bapak, rasa was-was waktu ngobrol ke Hansol, semuanya langsung terbayar hari ini. Dan gue amat sangat bersyukur buat itu semua.

Gue menoleh kesamping, ngeliat suami gue ini lagi ketawa ngeliat kelakuan sahabatnya di panggung. Pipinya kemerahan, bibirnya juga, and God... i can't resist myself to not kiss those lips. Gue rasa, gue bisa mandangin dia berpuluh-puluh tahun dan gak bakal ngerasa bosen. Dia ini... hasil dari perjuangan terberat gue, bahkan lebih berat daripada pendidikan pilot gue. God, gue bener-bener gak mau minta apa-apa lagi when a whole Jeon Wonwoo is beside me.

“Laper gak?” Gue kesampingin poni dia yang nutupin matanya, waktu gue nanyain dia. Matanya menatap gue lucu banget, pengen gue ciumin andai aja cuma ada gue dan dia disini.

“Mau Zuppa soup

“Aku ambilin ya” Tangan gue ditahan sama dia waktu gue mau berdiri, bikin gue natap dia bingung.

“Bareng...” Suara suami gue ini kecil, nyaris berbisik malahan. Tapi untungnya, telinga gue masih bisa denger dan nangkep omongan dia. Gue ketawa bentar karena damn, he's so fucking cute. Sehabis itu tangan dia gue gandeng, jalan ngearah ke stand makanan. Dan tentu aja kelakuan gue dan suami gue ini, gak luput sorak-sorai temen-temen kami. Ngeledek gue yang katanya gak mau lepas barang sedetik, atau ngeledek Wonwoo yang malu-malu di belakang gue.

Ngeliat gimana magicalnya hari ini, gue bener-bener gak pengen minta lebih dari ini. Indah banget, bahagia banget, ajaib banget, dan gak mungkin semua hal ini terwujud kalo gak ada Jeon Wonwoo yang ngelengkapinnya.

Jeon Wonwoo gue,

Kim Wonwoo gue.

—finalè—

“Jihoon, aku masuk ya” Kepala Soonyoung menyembul begitu dia selesai minta izin, gue cuma bisa memandang dia masuk tanpa ngomong apa-apa. Gue... takut, takut sama Soonyoung kalo dia udah emosi. Suami gue ini, kalo udah emosi bakalan lebih banyak diemnya, tapi muka dia gak bersahabat banget. Gak terkecuali hari ini, si dia ini dari balik kantor sampe nganterin Seungyoun buat tidur, mukanya gak ada senyum-senyumnya sama sekali. Jujur gue udah mau nangis lagi liat dia, demi Allah gue gak takut sama apapun kecuali marahnya Soonyoung. Liat aja, bahkan duduk gue yang tadi nyandar santai jadi tegang waktu dia masuk kamar.

Gue tetep nunduk waktu ngerasa kasur sebelah gue sedikit tenggelam, tanda suami gue ini lagi memposisikan diri buat naik ke ranjang. Lalu ada kepala dia di bahu gue, disusulin sama tangan kiri dia yang ngelingkarin pinggang gue. Bermenit-menit lamanya, gue sama dia cuma diem-dieman. Bunyi suara ac dan beberapa kendaraan lewat di depan rumah, jadi satu-satunya pengisi sunyi. Soonyoung readjusting his head, bikin gue tambah tegang.

“Udah tau gak salahnya dimana?” Itu pertama kalinya Soonyoung ngomong, dan bohong kalo gue gak merinding.

“Tau...” Tau, tau banget gue kesalahan gue apa. Malah asik sama mainan baru gue, padahal udah deal-dealan sama Soonyoung buat lebih fokus jagain Seungyoun dibanding mainin alat rekaman gue. Tapi apa Jihoon? Lo tetap mentingin mikrofon dan komputer lo, dibandingin ngejagain anak semata wayang lo. Bullshit dah itu perjanjian.

“Aku gak ngelarang kamu buat bikin apapun itu, tapi tunggu Youn udah gak perlu dijaga penuh. Dia siang tidur kan? Kamu bisa ngerjainnya waktu dia tidur siang, sayang. Kita kan udah setuju, nge-hire mbak buat ngebantuin kamu jagain Youn, bukannya malah kamu limpahin semua ke mbak. Menurut kamu bagus gak kaya tadi siang?” Gue gak bisa ngomong apa-apa karena, fuck, disini gue yang salah. Gue cuma bisa ngegeleng, dan gue harap Soonyoung ngerasain gelengan gue.

“Aku gak marah sama kamu, tapi aku mohon banget jangan diulangin lagi ya, sayang. Aku tau kamu pasti capek juga ngurusin Youn, maaf banget ya sayang. I wish i can help you more than this

No...” Suara gue mencicit disebelah dia, mungkin gak bakal kedengeran seandainya dia gak bersandar di bahu gue.

“Maaf ya sayang, tadi aku kebawa emosi. Jangan nangis ya?” Soonyoung, i wish you didn't say that karena sekarang gue beneran nangis. Air mata gue netes tanpa bisa di rem, bikin gue gak bisa ngeluarin sepatah katapun. Ngerasa gue yang diem aja, suami gue ini inisiatif ngeliat ke arah gue. Bener aja, begitu dia ngeliat gue yang netesin air mata tangannya langsung bergerak ngerengkuh gue. Diusap-usapnya punggung gue lembut, nenangin gemuruh yang lagi ribut-ributnya di dalam gue.

Semakin erat pelukan Soonyoung, gue semakin ngerasa tenang. Lo semua mungkin akan bosen denger ini, tapi gue cuma berusaha jujur.

Sama Soonyoung, bahaya sekalipun gak keliatan kayak bahaya. Dia tenangnya gue, dia, Kwon Soonyoungnya Jihoon.

I might have to return you to the sky tonight But now it feels like you make everything alright I might have never told you but with you Feels like everything is right

Kim Mingyu wasn't the best flirt you thought he was. Iya, dia suka menggoda, iya dia suka mancing, tapi kalau diserang balik langsung ciut setengah mati. Dia itu big puppy, suka mancing-mancing tapi dipancing balik malah kabur. And the cutest of all people.

Looking at him like this, kepalanya di atas pangkuanku, giving me a major flashback sewaktu dia nginap di rumah ini(okasi rutin yang biasa dia lakukan setiap cuti terbang). Malam itu jam setengah delapan malam, bahkan sajadah sehabis aku sholat maghrib masih belum aku lipat (maaf aku sholat memang suka agak telat). Dia datang membawa makanan fast food kesukaan Hansol, duduk dengan santai seperti dia sudah jadi penghuni rumah. Kami makan seperti biasa setelah Hansol turun, lalu dilanjut dengan nonton film.

Ditengah film, bagian tubuh bawahku yang tertutup selimut tiba-tiba terasa ada sesuatu yang berat. Menggerayang di sekitar kepemilikanku, tentu saja sebagai Jeon Wonwoo yang tidak mau mengalah, aku balas dengan meremas pelan milik si bapak Pilot di sampingku ini. Tangannya sekonyong-konyong berhenti, bibirnya mendekat ke telingaku, berbisik rendah supaya Hansol tidak perlu mendengar pembicaraan rated kami.

Maaf, yang tadi bercanda, please maafin aku, gak lagi-lagi deh, udahan ya lepas ya tangannya ganteng” Aku berusaha keras menahan tawaku, kupijit pelan beberapa kali miliknya sebelum kulepas. Tawaku akhirnya lepas ketika aku menatap wajahnya, dahi yang berkeringat, rahang yang mengetat, dan urat-urat leher yang bermunculan menunjukkan usaha keras seorang Kim Mingyu menahan desahannya (atau mungkin ereksinya). Told you, he's a big puppy.

“Sayang, laper gak? Aku masakin ya?” Balik ke presensi masa kini, si dia ini akhirnya bangkit setelah berjam-jam membuat pahaku mati rasa. Rambutku diusap-usapnya, diikuti dengan wajahku yang dia tangkup menggunakan tangan kirinya. Aduh Kim Mingyu, ngajak makan gak perlu segemas ini, hatiku enggak sekuat itu.

Delivery aja, aku belum ngisi kulkas” Hidungku kini dicapitnya, HEY nanti hidungku hilang bapak Kim.

“Yaudah, kamu mau makan apa?” Saat ini posisiku sudah berubah menjadi di atas pangkuan si sayang, punggungku dia elus-elus seperti mengelus kucing. Iseng, kukecup tahi lalat di pucuk hidungnya. Sekali, dua kali, berkali-kali.

“Mau makan kamu” Aku terkekeh waktu dia menggeram rendah, duh lucu banget!

“Aku beneran laper, makan dulu ya? Baru makan yang lain. Lagian belum isya juga, sekalian nanti aja ya?” God... this man.

Wonwoo's been a bad boy this whole day. Hugging his band members endlessly, happily accepting kisses on his cheeks, even grinding himself to Soonyoung. Mingyu had enough, his kitten needed to put in place. It was when they reach their sharing house after packed up schedule, Mingyu finally took off his sweet attitude. Giving stern look to innocent and oblivious Wonwoo, anger building up more and more inside him.

“Jeon Wonwoo, don't you think you've been a bad kitten today?” Holding Wonwoo's neck, giving it a certain pressure to cut off the olders intake of air.

“Throwing yourselves to others like a little slut you are, so desperate for a cock aren't you?” Growl rumbling inside him, loud enough to have Wonwoo whimpering over the sound. Dropping to his subspace faster than he usually is. Mingyu's teeth grazing Wonwoo's ear, attacking his overly sensitive spot.

“Go to bed and strip, wait for me there” Wonwoo immediately do as he told, leaving Mingyu standing alone in their doorway. While his lover stripping himself, Mingyu make his way to their kitchen. Taking two bottles of water, taking care of Wonwoo's essentials for after their session. When his feet finally step to his and Wonwoo's bedroom, he found his lover sitting on his knees on the floor. So pliant, so beautiful and only for Mingyu to watch.

Putting the water bottles on the table, Mingyu suit himself on the edge of the bed after. Wandering his eyes to all over the room, looking for mess Wonwoo might made when he undress himself. Mingyu doesn't like messiness after all. Seeing Wonwoo's clothes neatly folded on the sofa, Mingyu draw a smile.

He finally sets his eyes on Wonwoo, watching his naked kitten patiently waiting for him. He pats his lap two times, mouth open to call Wonwoo.

“On my lap kitten,” It was when Wonwoo gets up and walking towards Mingyu, he finally snaps his dominance. Mingyu raised his leg, high enough to catch Wonwoo's eyes and making him stop.

“Kitten doesn't stand up, they crawling” Wonwoo took a note in his mind to always acts like how Mingyu calls him. He crawl himself to Mingyu. Stomach flat on Mingyu's lap, displaying his soft bundle of ass. Mingyu's calloused hand playing softly on him, rushing all his blood to his hardened member.

“Do you know what's your mistake today, kitten?” Wonwoo highly aware of his younger boyfriend heated gaze today. There's no way he doesn't know what his wrong doing, not when he intentionally pented up his lover's anger so he can have his punishment. Wonwoo is a sucker for pain, and furious Mingyu is more than willing to give it to him. But Wonwoo doesn't answer Mingyu's question, all he did is whining and squirming. Mingyu groping his waist down, hard enough to color bruises.

“I ask you a question, slut. Has this mouth lose it's function? Should i keep your mouth hanging open? Answer me, you little whore” Tears start forming on each side of Wonwoo's eyes, not able to form an answer. It is that one sharp spank, making Wonwoo can finally form a coherent words.

“I-i 'm be-being a s-sl-slut i-in f-f-front o-of t-them” Body jolting from another spank planted on his buttcheek. Tears finally pouring, trickling down on his cheeks. Mingyu's jeans material doesn't helping at all, grazing Wonwoo's rock hard dick, smearing his wetness on Mingyu.

“Good enough, Sweetheart. Let me tell you one by one, all your bratty, slutty, action today”

spank “You hugged the members a little too much,”

spank “You let them kissed you all over your face, like a whore you are”

spank “You even grinding your pathetic little cock to Soonyoung's thigh”

Another sharp spanks planted, butt now tinted angry red and dick gushing lot more precum onto Mingyu.

“You know what babe, if you wanted to be treated like a slut you should've asked me. But i bet your pathetic little filthy mouth wasn't brave enough to ask. If you that desperate to be a fucktoy i can make you one, my sweet little pet” Wonwoo shivering, feels the calloused fingers running around his ass. Kneading it softly, pushing away the stinging pain from earlier.

“Up kitten, spread yourself on the bed, hands above head” Being the good boy he is, Wonwoo lay himself on the bed. Feet spreads as far as he can, both hands resting above his hair. His eyes locked on Mingyu's movement, watching him pulling out his toys, lube, and silk handscarf. Their gaze finally met, Wonwoo's anxious eyes with Mingyu's angry eyes.

The bed dipped upon Mingyu's action. The younger of two tied Wonwoo's hand to the bed post, restricting his movement. After making sure the knot tight enough to hold Wonwoo down, Mingyu situated himself between Wonwoo's spreaded legs, bending himself to kiss Wonwoo. Sweats rolling down Wonwoo's face, when Mingyu's clothed length grind his bare cock. Another thick precum pooled on his nicely shaped stomach. His little whine echoes in their silent room, filling the emptiness.

Moans spilling out from Wonwoo's lips, when his lover's calloused fingers wandering down his body. Tweaking the sensitive nipple, teasing the cute belly button, grazing the leaking cock, and circling the tight puckering hole. All the lithe touches ghosting over Wonwoo, not giving him a second longer. His high pitched moans spilled more when Mingyu teething his collarbone, leaving reddish mark on each skin.

Feeling the pleasure is good enough, Mingyu's lips explore his Wonwoo hyung's ear. Licking the angry red shade of humiliation on Wonwoo.

“You've been a bad boy today, and bad boy deserves punishment, don't you think so?” Wonwoo nodded at the question, earning a knitted eyebrows from Mingyu. His hand fly to Wonwoo's leaking length, slapping it upon the zero answer from Wonwoo.

“Use.” slap

“Your.” slap

“Fucking.” slap

“Words.” By the last slaps marked his dick, trickle of white cum gushing from Wonwoo.

15 Mei 1997, Surya hari ini memotong rambutnya, seragam dengan calon TNI lain yang dididik bersamaan dengannya. Tanganku ku usapkan ke kepala gundulnya, rambut mengawang disetiap sentuhanku. Tak ada lagi rambut panjang yang biasa kusibak, hanya ada kulit kepala dan rambut yang tak lebih dari 3 senti.

17 Mei 1997, Hari ini laki-laki di hadapanku ini akan pergi, mengabdi pada negeri. Jemariku sedang menyimpul benang merah di pergelangan tanga Surya, sebagai satu-satunya cinderamata untuk ia bawa kemanapun langkahnya nanti. Kukecup ibu jarinya, menyisakan gincu merah kepudaran menempel di sana. Rambutku diusap Surya, namun aku tak berani menatap matanya. Aku takut, takut air mataku tidak bisa dibendung. Surya sepertinya paham, tangannya tak merengkuh wajahku untuk mendongak seperti biasanya. Bibirnya hangat di keningku, meninggalkan dirinya melalui kecup hangat untuk terakhir kalinya.

“Tunggu aku Mei nanti, sampai jumpa Dilla-ku”

17 Juni 1997, Satu bulan sudah, Surya mengabdikan dirinya untuk negeri. Rinduku sudah terlalu banyak, tertulis di puluhan surat yang tersimpan apik di kotak pemberian Surya. Hari ini aku lagi-lagi menulis surat untuk Surya, entah yang keberapa. Larangan demi larangan militer, membuat rinduku tertahan dipucuk demi pucuk surat, tak bisa tersalur ke sang pemilik rindu. Seperti biasa, suratku kububuhkan kecup gincu merah, pengganti kecupan di ibu jari untuk Surya-ku.

17 Juli 1997, Hari ini aku memasak tempe orek kesukaan Surya. Seandainya laki-laki itu tau, ia pasti akan segera mengambil piring di dapur untuk makan. Aku juga memakai baju kesukaan Surya, menghibur diriku sendiri yang termakan rindu.

17 Agustus 1997, Hari ini hari kemerdekaan, biasanya aku dan Surya akan berjalan bergandengan tangan menyisir pantai Ancol. Tapi kali ini terpaksa aku harus berjalan sendiri, mengenakan gaun selutut pemberian Surya. Surya, aku rindu...

17 September 1997, Dua hari lalu ulang tahun mas Jaidi, aku merayakannya bersama Wahyu dan Dimas. Kamu apa kabar Surya? Bara masih sering makan bersamamu? Atau jangan-jangan Bara suka menghabisi porsi makanmu ya? Kalau iya, akan ku pukul anak itu nanti.

17 Oktober 1997, Hari ini aku menyusun ulang, surat-surat yang sudah aku tulis di kotak baru. Kotak pemberian Surya sudah tidak cukup untuk menampung segala rinduku rupanya.

17 November 1997, Hari ini mas Jaidi dan mbak Wanda bertunangan, aku sibuk membantu Ayah dan Ibu untuk acara. Ada Ibumu juga, Surya. Beliau bertanya kabarku, dan mengatakan bahwa beliau juga rindu kepadamu. Tunggu bulan Mei nanti ya Surya, kita akan bertemu lagi.

17 Desember 1997, Besok mas Jaidi dan mbak Wanda akan menikah. Aku menjadi lebih sibuk, bahkan saat ini aku belum tidur. Sibuk memotong ayam, daging, dan sayur. Disela istirahat, aku sempatkan menulis rinduku untukmu Surya. Tapi terpaksa rindu kali ini pendek saja, aku masih banyak pekerjaan. Sampai nanti, Surya-ku.

17 Januari 1998, Tadi pagi Wahyu menjemputku di depan rumah, di mobilnya sudah ada Dimas duduk manis. Kami bertiga pergi ke pantai Ancol, merelaksasikan diri sejenak. Di Ancol, rinduku semakin naik, Surya. 4 bulan lagi kita akan bertemu, tunggu aku ya Surya.

30 Januari 1998, Keadaan semakin sulit, Surya. Mas Jaidi bahkan sampai harus menjual mobilnya, hidup kami semakin terhimpit. Kamu bagaimana Surya? Baik-baik saja kah?

5 Februari 1998, Surya hari ini menemui ku, lebih cepat 3 bulan dari yang direncanakan. Tapi ia pulang untuk pergi, ia datang hanya untuk berpamitan. Dikecupnya lagi keningku, kukecup juga ibu jarinya.

“Jika keadaan sudah membaik, temui aku di sini, di tempat ini. Sampai jumpa, Dilla-ku”

14 Mei 1998, Aku tidak berani kemana-mana, kanan kiri ricuh keributan. Yang bisa kulakukan hanya mengunci pintu rumah, diam memeluk ibu yang sama takutnya seperti aku.

16 Juni 1998, Keadaan mereda, sesuai janji aku bergegas lari ke tempat aku dan Surya mengikat janji. Ada Bara di sana, namun tak ada Surya.

“Adilla, Surya dinyatakan menghilang kemarin sore. Ia menitipkan gelang ini kepadaku Dil. Surya bilang kalau sewaktu-waktu dia tidak bisa menepati janjinya, aku harus membantunya untuk mengembalikan gelang ini kepadamu. Maaf Dil, aku tidak bisa membawa Surya pulang. Maaf...”

23 September 2006, Hari ini hari pernikahanku dengan mas Mahesa. Mas Mahesa tinggi sekali, leherku terkadang penat jika menatapnya lama. Di puncak hidungnya ada tahi lalat kecil, membuat figur wajahnya manis dilihat. Surya, sudah 8 tahun sejak kamu terakhir dinyatakan hilang. Setiap hari aku menunggu kamu di bawah paviliun itu, namun kamu tak kunjung datang. Surya, bolehkah aku menyerah sekarang?

16 Januari 2009, Hari ini Bagaskara, anakku yang pertama berulang tahun. Umurnya sudah satu tahun, rambutnya lurus seperti ayahnya. Surya, tahukah kamu? Nama Agas aku ambil dari arti namamu, si Matahari. Bahkan hari lahirnya sama sepertimu, Surya. Kuselipkan doa agar Agas menjadi sehebat kamu, sehebat Surya-ku.

11 Juli 2010, Mataku tidak salah lihat, ketika ada sosokmu di teras rumahku Sur. Itu benar-benar kamu. Rambutmu sudah tidak sependek dulu, badanmu sudah tidak dibalut seragam tentaramu. Besar inginku untuk memelukmu Sur, tapi ada hati yang harus kujaga. Ada mas Mahesa yang jemarinya bertaut denganku, ada cincin yang tersemat di jari manisku, ada hubungan yang menahanku.

21 September 2010, Surya, maaf membuatmu menunggu, maaf aku tak pernah datang lagi ke paviliun itu, maaf dulu aku menyerah menunggumu, maaf hatiku berpindah, maaf namamu harus kuhapus dari susunan masa depanku, maaf bukuku harus berganti tokoh, maaf...

Surya, jikalau lain kali, aku bisa menulis ulang ceritaku, kupastikan namamu tak akan terhapus dan tergantikan nama lain. Pegang janjiku, tunggu aku di cerita lain Surya.

fin.

11 tahun yang lalu, dalam periode hidupnya, Jeon Wonwoo kecil pertama kalinya merasa takut. Takut untuk berbicara karena khawatir ia akan dibungkam seperti sebelum-sebelumnya. Aku gak mempermasalahkan orang yang dulu membuat aku takut untuk pertama kalinya, tapi aku mempermasalahkan diri aku sendiri yang gak pernah bisa keluar dari rasa takut.

Pernah satu waktu ketika aku masih kelas 2 SMP, aku mencoba berani. Setelah bertahun-tahun hidup di rasa takut, aku meyakinkan diriku untuk berani hari itu. Tentang masalah percintaan anak muda. Aku si Jeon Wonwoo remaja waktu itu, mengungkapkan perasaanku pada si kakak kelas terkenal di gedung belakang sekolah. Yang tidak aku duga adalah, si kakak kelas ini menyeret aku ke tengah lapangan, menyuruh aku mengulang semua kalimatku dihadapan seisi sekolah. Aku ini masih muda dan tolol, tentu saja aku menuruti pinta si kakak. Setelah itu dia menolakku mentah-mentah, berakhir dengan aku yang ditertawakan seluruh mata yang memandang siang itu.

Jemariku bergetar, kepalaku berputar, keringatku penuh disekujur tubuh, bahkan kaki sialanku ikut melemah. Saat itu, dibanding rasa marah aku lebih banyak takut. Takut mengangkat kepalaku karena tahu orang-orang pasti akan mencemooh, takut melangkah ke depan karena takut orang-orang akan kembali menertawakan aku.

Hari itu, aku menangis di tengah lapangan pukul 12 siang. Dimandikan terik matahari, karena awan mendung pun tak sudi melindungi aku.

Tapi dari sekian banyak mata yang menatap, dan mulut yang tertawa, ada satu orang yang malah ikut menemani aku tenggelam di tangisan. Anak temannya Ibu dan Bapak, Kak Cheol aku biasa memanggil dia. Gak ada yang dia lakukan, dia cuma ikut duduk di tengah-tengah lapangan bersamaku, menunggu sampai tangisanku reda. Sejak hari itu, selalu ada kak Cheol dimanapun aku berada. Jadi pelindungku disaat dunia sedang jahat-jahatnya.

Tahun berganti tahun, Jeon Wonwoo remaja tentu sudah bukan remaja lagi. Dia adalah Jeon Wonwoo yang baru saja wisuda waktu itu. Jeon Wonwoo yang baru saja resmi menyelesaikan studi administrasi bisnisnya. Yang memegang buket bunga, kepala berhias toga dan tangan Choi Seungcheol yang bertaut dengan miliknya. Hari itu jadi hari paling bahagia buat si Jeon Wonwoo muda, semua terasa seperti berbalut gula-gula.

Setahun setelahnya ada Jeon Wonwoo dan Choi Seungcheol yang melangkah masuk ke rumah baru mereka. Jari manis dihiasi cincin, bibir yang gak berhenti bertaut, dan segalanya yang indah. Kak Cheol itu, segalanya yang pertama untuk aku si penakut. Pacar pertamaku, kekasih pertamaku, dan teman pertamaku. Dia juga yang pertama kali mengajarkan aku untuk gak apa-apa takut, instead we should embrace the fear with us, begitu katanya dulu. Bertahun-tahun hidup bersama kak Cheol, aku pikir aku sudah cukup mengenal dia sebaik aku mengenal diriku sendiri.

Hidupku yang bahagia saat itu, bertambah bahagia ketika kami mengadopsi anak pertama kami, Choi Hansol kecil yang menggemaskan. Tahun demi tahun aku dan kak Cheol habiskan untuk merawat Hansol, matahari kami.

Lalu semua istana dan mimpi indah yang aku bangun waktu itu, hancur dalam satu siang paling menyesakkan selama hidupku. Adalah hari dimana kotak makan kak Cheol tertinggal dirumah, sebagai suami yang baik aku tentu saja mengantarkan makan siangnya. Berekspektasi akan mendapati kak Cheol yang berbinar menyambut kedatanganku. Namun bukannya ekspresi bahagia, aku malah mendapati kak Cheol kesayanganku ini, sedang bergerak maju mundur dengan sekretarisnya yang bersandar di meja kerjanya. Baju yang berantakan, celana yang tidak terpasang semestinya, dan desahan yang menggema.

Hari itu semua memori dimasa SMP ku tiba-tiba kembali, menyerangku tidak beraturan. Jemariku bergetar hebat, kepalaku berputar, kakiku melemah, keringat lagi-lagi memandikan aku seluruhnya.

Hari itu aku kembali merasakan takut yang teramat sangat. Kakiku pontang-panting melangkah pergi, seluruh skenario buruk menumpang di otakku.

Hari-hari setelah hari itu takut yang aku pikir gak akan kembali sehebat ini, ternyata menyerangku lebih kuat. Aku takut ditinggalkan, aku takut dibuang, aku takut orang-orang pergi, aku takut semua ini benar-benar terjadi.

Aku takut aku gak akan pernah cukup,

Aku takut mimpi burukku lagi-lagi terulang,

Aku takut semakin tenggelam di rasa takutku sendiri,

Aku takut...

11 tahun yang lalu, dalam periode hidupnya, Jeon Wonwoo kecil pertama kalinya merasa takut. Takut untuk berbicara karena khawatir ia akan dibungkam seperti sebelum-sebelumnya. Aku gak mempermasalahkan orang yang dulu membuat aku takut untuk pertama kalinya, tapi aku mempermasalahkan diri aku sendiri yang gak pernah bisa keluar dari rasa takut.

Pernah satu waktu ketika aku masih kelas 2 SMP, aku mencoba berani. Setelah bertahun-tahun hidup di rasa takut, aku meyakinkan diriku untuk berani hari itu. Tentang masalah percintaan anak muda. Aku si Jeon Wonwoo remaja waktu itu, mengungkapkan perasaanku pada si kakak kelas terkenal di gedung belakang sekolah. Yang tidak aku duga adalah, si kakak kelas ini menyeret aku ke tengah lapangan, menyuruh aku mengulang semua kalimatku dihadapan seisi sekolah. Aku ini masih muda dan tolol, tentu saja aku menuruti pinta si kakak. Setelah itu dia menolakku mentah-mentah, berakhir dengan aku yang ditertawakan seluruh mata yang memandang siang itu.

Jemariku bergetar, kepalaku berputar, keringatku penuh disekujur tubuh, bahkan kaki sialanku ikut melemah. Saat itu, dibanding rasa marah aku lebih banyak takut. Takut mengangkat kepalaku karena tahu orang-orang pasti akan mencemooh, takut melangkah ke depan karena takut orang-orang akan kembali menertawakan aku.

Hari itu, aku menangis di tengah lapangan pukul 12 siang. Dimandikan terik matahari, karena awan mendung pun tak sudi melindungi aku.

Tapi dari sekian banyak mata yang menatap, dan mulut yang tertawa, ada satu orang yang malah ikut menemani aku tenggelam di tangisan. Anak temannya Ibu dan Bapak, Kak Cheol aku biasa memanggil dia. Gak ada yang dia lakukan, dia cuma ikut duduk di tengah-tengah lapangan bersamaku, menunggu sampai tangisanku reda. Sejak hari itu, selalu ada kak Cheol dimanapun aku berada. Jadi pelindungku disaat dunia sedang jahat-jahatnya.

Tahun berganti tahun, Jeon Wonwoo remaja tentu sudah bukan remaja lagi. Dia adalah Jeon Wonwoo yang baru saja wisuda waktu itu. Jeon Wonwoo yang baru saja resmi menyelesaikan studi administrasi bisnisnya. Yang memegang buket bunga, kepala berhias toga dan tangan Choi Seungcheol yang bertaut dengan miliknya. Hari itu jadi hari paling bahagia buat si Jeon Wonwoo muda, semua terasa seperti berbalut gula-gula.

Setahun setelahnya ada Jeon Wonwoo dan Choi Seungcheol yang melangkah masuk ke rumah baru mereka. Jari manis dihiasi cincin, bibir yang gak berhenti bertaut, dan segalanya yang indah. Kak Cheol itu, segalanya yang pertama untuk aku si penakut. Pacar pertamaku, kekasih pertamaku, dan teman pertamaku. Dia juga yang pertama kali mengajarkan aku untuk gak apa-apa takut, instead we should embrace the fear with us, begitu katanya dulu. Bertahun-tahun hidup bersama kak Cheol, aku pikir aku sudah cukup mengenal dia sebaik aku mengenal diriku sendiri.

Hidupku yang bahagia saat itu, bertambah bahagia ketika kami mengadopsi anak pertama kami, Choi Hansol kecil yang menggemaskan. Tahun demi tahun aku dan kak Cheol habiskan untuk merawat Hansol, matahari kami.

Lalu semua istana dan mimpi indah yang aku bangun waktu itu, hancur dalam satu siang paling menyesakkan selama hidupku. Adalah hari dimana kotak makan kak Cheol tertinggal dirumah, sebagai suami yang baik aku tentu saja mengantarkan makan siangnya. Berekspektasi akan mendapati kak Cheol yang berbinar menyambut kedatanganku. Namun bukannya ekspresi bahagia, aku malah mendapati kak Cheol kesayanganku ini, sedang bergerak maju mundur dengan sekretarisnya yang bersandar di meja kerjanya. Baju yang berantakan, celana yang tidak terpasang semestinya, dan desahan yang menggema.

Hari itu semua memori dimasa SMP ku tiba-tiba kembali, menyerangku tidak beraturan. Jemariku bergetar hebat, kepalaku berputar, kakiku melemah, keringat lagi-lagi memandikan aku seluruhnya.

Hari itu aku kembali merasakan takut yang teramat sangat. Kakiku pontang-panting melangkah pergi, seluruh skenario buruk menumpang di otakku.

Hari-hari setelah hari itu takut yang aku pikir gak akan kembali sehebat ini, ternyata menyerangku lebih kuat. Aku takut ditinggalkan, aku takut dibuang, aku takut orang-orang pergi, aku takut semua ini benar-benar terjadi.

Aku takut aku gak akan pernah cukup,

Aku takut mimpi burukku lagi-lagi terulang,

Aku takut semakin tenggelam di rasa takutku sendiri,

Aku takut...

“*Yesss!!” Soonyoung mengepalkan tangannya keatas, selebrasi atas keberuntungannya siang ini. Jika ditanya apa yang sebenarnya pemuda 27 tahun itu lakukan di tengah pekerjaannya yang menumpuk itu, dia akan dengan senang hati mengatakan bahwa dia baru saja berhasil memesan buku dari penulis kesayangannya yang baru terbit hari ini. Bertarung melawan ribuan orang lain yang sama ambisiusnya seperti Soonyoung, untuk mendapatkan seri terbaru dari novel buatan penulis bernama Woozi.

Senyum Soonyoung mengembang lebar siang itu, mengundang tatap bingung dari Jihoon. Tetangga kubikel di hadapan Soonyoung, tapi Soonyoung nampak tak peduli, malah semakin melebarkan senyumnya. Selesai menuntaskan proses transaksi novel barunya, Soonyoung menghabiskan hari itu dengan senyum paling lebar miliknya. Batinnya kelewat semangat menanti buku yang ia tunggu-tunggu sejak bulan lalu itu, berandai-andai mungkin bukunya akan tiba besok atau lusa.

Sementara di hadapan Soonyoung, ada Jihoon yang baru saja dapat pesan dari sahabat kental sekaligus editornya. Pesan sesingkat, *cetakan buat lo udah siap, alamat rumah kaya biasa kan? Berhasil membuat jemari lentiknya berhenti. Lalu gerakannya berpindah dari *keyboard komputer menuju *handphonenya dan mengetikkan balasan untuk Junhui, sang editor. Menit setelahnya, *handphone Jihoon berkedip menampilkan respon Junhui dari balasannya tadi. Jemari Jihoon lagi-lagi mengetikkan balasannya, lalu tidak memedulikan beberapa pesan tidak penting Junhui yang menyusul setelahnya.

Baru saja mengembalikan fokusnya, Jihoon kembali diusik. Kali ini datangnya dari tetangga komputer 15 di hadapan Jihoon, Kwon Soonyoung. *Those slanted eyes looking at him curiously, tapping at his cubicle walls, dan sial, jantung Jihoon tiba-tiba berdegup seperti dirinya habis marathon 1km. Matanya menatap netra coklat Soonyoung, menunggu lelaki di hadapannya ini untuk menyampaikan apapun yang membuat dia mengusik Jihoon siang ini.

“Jihoon, mau makan siang bareng gak? Tadi gue ngajakin Mingyu tapi dia udah sama Wonwoo, gue gak bisa makan sendiri soalnya.” Dalam sekali kedip kapasitas otak Jihoon seperti berubah menjadi pentium satu, gagal memproses kata demi kata yang keluar dari bibir Soonyoung. Salahkan ajakan makan siang tiba-tiba yang Soonyoung tawarkan, 4 tahun setelah pertama kalinya mereka berada di satu pekerjaan yang sama. Pada akhirnya Jihoon mengiyakan ajakan Soonyoung dengan kikuk, lebih khawatir dengan isi perutnya dibandingkan akan se-canggung apa suasana makan mereka nanti.

Dan tentu saja, sesuai ekspektasi 99% sel otak Jihoon. Makan siangnya kali ini lebih susah ditelan, penyebab utamanya tentu saja karena teman satu ruangan yang sedang nikmat-nikmatnya mengunyah ayam penyet di hadapannya ini. Kepala Jihoon berdenyut, akibat dari berusaha keras menahan agar suara degup jantungnya yang berlomba tidak sampai ke telinga Soonyoung. Kwetiaw di hadapannya tampak tidak menggugah selera sama sekali, bahkan untuk Jihoon yang merupakan seorang pecandu segala jenis mie. Seperti tadi yang sudah dijelaskan, Jihoon terlalu sibuk menenangkan hatinya untuk sekedar mengunyah kwetiawnya. Es batu di tehnya mencair, menyisakan gelas yang hampir meluap tanda Jihoon juga belum menyesap setetes pun minumnya. Tuhan, berapa lama lagi Jihoon harus tersiksa detak jantungnya sendiri?

*Sampai Soonyoung selesai menghabiskan santapannya, mungkin seperti itu jawaban Tuhan. Karena setelahnya Soonyoung sudah menghabiskan isi piringnya, menyisakan piring kosong melompong dan licin. Menyadari Jihoon yang bungkam sepanjang acara makan siang mereka hari itu, Soonyoung menjatuhkan tatapannya ke arah makanan dan minuman Jihoon yang tidak tersentuh.

“Gak dimakan Ji?”

“Gak laper” Sahutan Jihoon hanya dibalas anggukan dari Soonyoung, setelah itu senyap lagi, tak ada yang berniat untuk repot-repot membuka mulut dan berbicara. Cukup mengherankan untuk Jihoon, melihat bagaimana Soonyoung selalu nampak tidak pernah kehabisan topik pembicaraan setiap bersama teman-temannya, tapi langsung sunyi senyap begitu sosoknya berhadapan dengan Jihoon. Bahkan sampai kedua kaki mereka menginjak lantai ruangan mereka, dua insan itu masih diam seribu bahasa.

Jihoon membuang napasnya lega, begitu pantatnya menyentuh singgasana kesayangannya. Telinganya seketika memerah, kepalanya menunduk, bersembunyi di balik monitor. Persetan perutnya yang meronta minta diisi, hati Jihoon sedang berbunga-bunga, efek samping makan siangnya bersama Soonyoung setengah jam yang lalu. Pipinya memerah, kepalanya ia benturkan pelan ke mejanya. Kali ini senyumnya ikut terkembang, menambah cerah suasana di kubikelnya. *God, Jihoon is so whipped for Soonyoung.

Kira-kira 4 tahun yang lalu, tepatnya ketika acara ulang tahun kantor. Pertama kalinya dalam 23 tahun hidup Jihoon, hatinya menjadi susah diatur ketika menatap sosok Soonyoung. Si pegawai baru, yang mempunyai mata kecil dan bibir yang tebal. Tinggi Jihoon tepat berada di ujung hidung Soonyoung. Jika keduanya bertatapan, akan sangat pas untuk bibir lembut Soonyoung diletakkan di atas kening Jihoon (tolong abaikan saja pikiran liar Jihoon). Satu fakta lagi yang didapat Jihoon malam itu, Soonyoung wangi. Perpaduan jeruk dan *musk lalu dibalut wangi kayu manis yang samar tercium, menambah komplit impresi Soonyoung dimata Jihoon. Setelahnya, layaknya takdir mereka yang sudah ditulis di bintang-bintang, Soonyoung mengambil alih kubikel di hadapan Jihoon. Bunga-bunga di perut Jihoon tidak bisa tidak mekar mengingat setiap paginya, yang pertama kali ia lihat sebelum duduk adalah wajah tampan Soonyoung. Sudah fokus dengan pekerjaannya, bahkan ketika matahari pagi masih tidak terlalu percaya diri memanaskan diri. *4 years is enough time for Jihoon to falling deeper into Soonyoung. Setiap kali wangi Soonyoung merengkuh pelan melalui hidung Jihoon, otaknya bergerak liar. Menciptakan ribuan rangkai kata dalam satu kedipan mata—yang tentu saja tadinya hanya bertahan di otaknya—dan berakhir dengan Jihoon yang tersenyum sendiri.

Iya, Jihoon segila itu akan Soonyoung. Segila setiap rangkaian romantis di otaknya, secara impulsif ikut tercetak di sebuah—

“Jihoon, abis ini anak-anak mau *dinner bareng. Ikut gak?” Mimpi siang bolong Jihoon pecah, lagi-lagi Kwon Soonyoung yang menjadi pemecahnya.

“Ji?”

“Eh, iya Soon. Kayanya gue gak ikutan deh, Soon” Alis Soonyoung naik satu, wajahnya memasang ekspresi penasaran.

“Ikut aja Ji, daritadi perut lo bunyi tuh” Sial, Jihoon tengsin 100%. Telinganya panas, dan sudah dipastikan merah menyala di mata Soonyoung.

“Eng-engga deh Soon, eh ini udah jam balik kan? Gue duluan ya!” Tawa Soonyoung tertangkap telinga Jihoon, sebelum kaki kecilnya berhasil keluar dari ruangan kantornya. Wajahnya ikut panas, malu menyelimuti Jihoon dari ujung rambut sampai ujung kaki. *Perut sialan, rutuknya kesal. Dua tangan Jihoon menutup wajahnya, menyembunyikan rasa malunya hingga di perjalanan pulang.

***

Bodoh ketika Jihoon pikir hari ini rasa malunya akan hilang, saat kedua netranya bersibobrok dengan mata Soonyoung. Lelaki tinggi itu mengembangkan senyumnya terlampau lebar, untuk menyambut Jihoon yang bahkan jarang bertukar sapa dengannya.

“Tadi pagi udah makan kan, Ji?” Sial, benar-benar sial. Jihoon hanya mengangguk sebagai respon, lalu menundukkan kepalanya dalam. Lagi-lagi bersembunyi dari tatap Soonyoung, dalam hati berusaha membakar semua rasa malunya.

Soonyoung tidak bisa tidak tersenyum, menatap Jihoon yang malu. Insiden kemarin cukup memalukan memang, bahkan untuk Soonyoung yang hanya menyaksikan. Didaratkannya kembali pantatnya ke atas kursi, begitu Jihoon menunduk bersembunyi darinya. Mata Soonyoung kembali fokus ke monitor di depannya, mengisi data demi data yang cukup membosankan. Setidaknya sampai tiba-tiba atasannya memanggil dirinya, dan Jihoon untuk ke ruangan beliau. Keduanya bertukar tatap, lalu berjalan bersama menuju ruangan atasan mereka.

Jihoon bertanya-tanya di dalam kepalanya, kira-kira apa yang ia dan Soonyoung lakukan hingga keduanya dipanggil bersamaan seperti siang ini. Lalu rasa penasarannya seperti pasir yang disiram air ketika atasannya berkata,

“Jihoon, Soonyoung, hari minggu nanti kalian ke Semarang ya, mewakili kantor untuk konferensi dengan *head quarters. Kira-kira acaranya 10 hari, bisa kan kalian?” Rahang bawah Jihoon rasanya seperti digantungi beban 3 kg, mulutnya terbuka dengan penuh rasa syok. Bukan, bukannya ia tidak mau pergi dinas keluar kota seperti ini. Ia hanya... kaget? Bingung? Jihoon langsung membayangkan, akan betapa canggungnya suasana di Semarang nanti. Tuhan, semoga Soonyoung tidak bisa dan Jihoon tidak perlu dinas berdua dengan Soon—

“Saya bisa pak, kebetulan tidak ada sesuatu juga. Jihoon gimana?” *Double sial.

Tidak mungkin Jihoon tidak mengiyakan, ia sudah menanti konferensi ini sejak lama. Ia harus pergi, dengan atau tanpa Soonyoung (yang sialnya dia harus pergi dengan Soonyoung). Jihoon menutup matanya, pening lagi-lagi menyerang. Dalam hati ia berdoa (lagi), semoga hatinya tetap aman sentosa, setidaknya sampai ia pulang dari dinas sialan ini.

***

Soonyoung melemparkan tubuhnya keatas ranjang, terlalu lelah dari perjalanannya hari ini. Semarang indah, tapi matanya terlalu berat untuk membuka. Deru Ac yang dingin, ranjang yang empuk, dan tubuh yang lelah menjadi kombinasi terbaik untuk Soonyoung hari ini. Matanya memejam dengan senyum terkembang, bersiap memasuki alam mimpi. Hingga tiba-tiba, suara pintu yang dibuka menarik kesadarannya kembali. Soonyoung bangun dan membalikkan badannya, di pintu—yang entah sejak kapan ada disebelah lemari—berdiri Jihoon dengan mulut terbuka. Sedikit info, Jihoon hanya berbalut *bathrobe putih berlogo hotel di dada bagian kanan, ketika ia membuka *connecting door di kamar mereka. Keduanya membeku, terlalu kaget untuk bereaksi lebih. Lalu seperti gong yang dipukul, isi kepala mereka kembali bekerja. Jihoon yang buru-buru menutup *connecting door, serta Soonyoung yang berkontribusi memutar kunci agar tidak bisa terbuka lagi.

Pipi Soonyoung memanas, kantuknya hilang dalam sekejap. Bayangan Jihoon yang diselimuti *bathrobe, serta bagian tubuhnya yang terekspos, tidak bisa hilang dari pikiran Soonyoung. *Sadar Soonyoung, dia itu teman kantormu, hardik batin Soonyoung. Soonyoung harus mandi, iya, dia harus mendinginkan kepalanya segera. Sisa malam itu Soonyoung habiskan dengan membaca buku barunya. Ia tidak bisa tidur, karena Lee Jihoon, tentu saja. Matanya terjaga segera setelah ia selesai mandi, membuatnya mau tak mau mencari distraksi. Dan untungnya Soonyoung, iya membawa novel terbarunya yang sampai rabu lalu. Halaman terakhir ia tutup ketika angka menunjuk ke angka 3, benaknya tersenyum puas. Hatinya juga ikut bertepuk tangan, merasa puas karena lagi-lagi penulis Woozi berhasil membuat Soonyoung takjub. Penulis kesukaannya sejak dua tahun yang lalu itu, masih membuat Soonyoung takjub setiap kali membaca karyanya. Cerita yang sangat hidup, alur yang menarik, bahkan sifat tokoh utama yang secara kebetulan seperti cerminan dirinya membuat Soonyoung tidak bisa berhenti. Mungkin jika suatu hari Soonyoung menemui Jin dan ia diperbolehkan mengabulkan satu permintaannya, ia akan meminta untuk bertemu Woozi. Apapun untuk bertemu Woozi, apapun.

*tok tok

Ketukan di pintu menginterupsi Soonyoung yang sedang mengikat dasinya, di depan pintu berdiri Jihoon yang sudah rapi. Jihoon nampak... tampan, lalu bayangan dua hari yang lalu masuk lagi ke otak Soonyoung. Pipinya memanas, degup jantungnya bertambah cepat, dan senyumnya bertambah lebar.

Dua hari terakhir cukup menyenangkan, menurut Jihoon. Soonyoung tidak seburuk yang ia kira, bahkan keduanya sekarang bisa santai membahas apapun saat mereka makan. Soonyoung dan pemikirannya, ternyata bisa membuat takjub Jihoon di sela-sela sesi makan mereka. Soonyoung yang menganalogikan hidup seperti proses pertumbuhan pohon, Soonyoung yang kritis terhadap pemerintahan dengan cara paling aneh, serta Soonyoung yang ternyata juga membaca novel buatan Woozi. Jihoon sempat tersedak air minumnya, ketika Soonyoung mengatakan ia sangat ingin bertemu Woozi. Jihoon tertawa canggung saat itu, otaknya bergerak lebih cepat daripada biasanya.

Akan jadi apa nasibnya, kalau Soonyoung benar-benar bertemu dengan Woozi? Ia belum siap membayangkan reaksi Soonyoung jika ia tau Woozi sebenarnya adalah Ji—

“Ji, udah liat *weather cast? Masa katanya hari ini hujan lebat, padahal gue mau jalan-jalan” Pias tiba-tiba memenuhi wajah Jihoon, otaknya tersendat. Hujan lebat... hati kecil Jihoon merapal doanya cepat, berharap hujan kali ini tidak ditemani petir dan guntur. Sampai hujan benar-benar turun dan bertambah lebat setiap jamnya, malam itu. Jihoon berdoa dengan penuh takut, kilat petir pertama berhasil menarik Jihoon dari pejaman matanya. Hidupnya benar-benar sial, kakinya bergetar.

4 tahun mengenal Jihoon, tak pernah sekalipun Soonyoung berpikir ia akan berakhir terbaring satu ranjang dengan teman kerjanya ini. Tapi semuanya benar-benar terjadi, ada Jihoon yang berbaring telentang di samping Soonyoung. Terlalu gugup untuk sekedar menutup mata. Sejam pertama hanya ada deru napas keduanya, hujan di luar sana semakin lebat. Canggung seakan menjadi benteng setinggi langit diantara mereka berdua,

Junhui gak akan bisa menduga isi kepala seorang Im Changkyun. Begitu juga ketika selang 20 menit dari percakapan terakhir mereka, tiba-tiba ada si pemeran utama mengetuk pintu unit apartemen Junhui. Gak ada yang kedua rekan kerja itu lakukan di pintu apartemen Junhui, cuma mata yang memandang, dan napas yang bersahut-sahutan. Mungkin puncaknya waktu kaki Junhui udah capek menopang bebannya sendiri, yang bikin dia juga inisiatif ngajak Changkyun masuk ke dalam.

Atmosfer di apartemen Junhui canggung, metamorfosisnya kayak dua orang yang gak saling kenal tiba-tiba dipaksa kenalan. Dua-duanya duduk sebelahan, tapi gak ada satu mulutpun yang berniat buat buka dan ngomongin isi kepalanya.

Changkyun, si pemeran utama malam ini, merutuk, menyumpah, mengomel, meneriaki dirinya sendiri—di dalam pikirannya, tentu aja—karena terlalu impulsif. Seimpulsif pergi jam 11 malam kerumah cowok kesayangannya, yang bahkan belum bisa move on dari mantan pacarnya.

Salahkan aja Changkyun, yang terlalu muak dengan embel-embel pertemanan yang dibuat Junhui, bahkan ketika mereka pernah sama-sama mengejar nikmat.

Changkyun terlalu menuntut,

Changkyun terlalu memaksa,

Changkyun terlalu tergesa.

Junhui gak suka dituntut,

Junhui gak suka dipaksa,

Junhui gak suka tergesa-gesa.

Mereka terlalu beda, pun gak akan bisa sama.

“Kyun”

“Jun”

Kali ini kekehan canggung yang keluar dari mulut mereka berdua, bingung dan gugup tiba-tiba menyelimuti keduanya.

“Lo duluan aja Kyun” Changkyun berdehem pelan, berusaha kedengaran stabil walau sebenarnya dia juga udah di ujung jurang emosinya.

“Jujur sama gue Ju,” Matanya si Im Changkyun ini secara tiba-tiba nusuk, kayak bener-bener minta Junhui buat jujur.

All the things we did, lo anggap apa?” Tenggorokan Junhui kering, air liurnya mendadak hilang, susah payah dia nelan apapun yang masih nyisa di tenggorokannya.

“Kyun... Lo tau kan... lo... gue... temen?”

“Junhui, temen gak ngelakuin apa yang kita lakuin”

“Tapi gue gak bisa Kyun, kalo lebih dari ini...”

Malam itu si pemeran utama pulang mengantongi patah hati,

Ngebawa serpihan-serpihan yang berhamburan pergi,

Ninggalin si antagonis sendirian,

Dipeluk sunyi dan sedikit penyesalan.

Junhui gak akan bisa menduga isi kepala seorang Im Changkyun. Begitu juga ketika selang 20 menit dari percakapan terakhir mereka, tiba-tiba ada si pemeran utama mengetuk pintu unit apartemen Junhui. Gak ada yang kedua rekan kerja itu lakukan di pintu apartemen Junhui, cuma mata yang memandang, dan napas yang bersahut-sahutan. Mungkin puncaknya waktu kaki Junhui udah capek menopang bebannya sendiri, yang bikin dia juga inisiatif ngajak Changkyun masuk ke dalam.

Atmosfer di apartemen Junhui canggung, metamorfosisnya kayak dua orang yang gak saling kenal tiba-tiba dipaksa kenalan. Dua-duanya duduk sebelahan, tapi gak ada satu mulutpun yang berniat buat buka dan ngomongin isi kepalanya.

Changkyun, si pemeran utama malam ini, merutuk, menyumpah, mengomel, meneriaki dirinya sendiri—di dalam pikirannya, tentu aja—karena terlalu impulsif. Seimpulsif pergi jam 11 malam kerumah cowok kesayangannya, yang bahkan belum bisa move on dari mantan pacarnya.

Salahkan aja Changkyun, yang terlalu muak dengan embel-embel pertemanan yang dibuat Junhui, bahkan ketika mereka pernah sama-sama mengejar nikmat.

Changkyun terlalu menuntut,

Changkyun terlalu memaksa,

Changkyun terlalu tergesa.

Junhui gak suka dituntut,

Junhui gak suka dipaksa,

Junhui gak suka tergesa-gesa.

Mereka terlalu beda, pun gak akan bisa sama.

“Kyun”

“Jun”

Kali ini kekehan canggung yang keluar dari mulut mereka berdua, bingung dan gugup tiba-tiba menyelimuti keduanya.

“Lo duluan aja Kyun” Changkyun berdehem pelan, berusaha kedengaran stabil walau sebenarnya dia juga udah di ujung jurang emosinya.

“Jujur sama gue Ju,” Matanya si Im Changkyun ini secara tiba-tiba nusuk, kayak bener-bener minta Junhui buat jujur.

All the things we did, lo anggap apa?” Tenggorokan Junhui kering, air liurnya mendadak hilang, susah payah dia nelan apapun yang masih nyisa di tenggorokannya.

“Kyun... Lo tau kan... lo... gue... temen?”

“Junhui, temen gak ngelakuin apa yang kita lakuin”

“Tapi gue gak bisa Kyun, kalo lebih dari ini...”

Malam itu si pemeran utama pulang mengantongi patah hati,

Ngebawa serpihan-serpihan yang berhamburan pergi,

Ninggalin si antagonis sendirian,

Dipeluk sunyi dan sedikit penyesalan.