“*Yesss!!”
Soonyoung mengepalkan tangannya keatas, selebrasi atas keberuntungannya siang ini. Jika ditanya apa yang sebenarnya pemuda 27 tahun itu lakukan di tengah pekerjaannya yang menumpuk itu, dia akan dengan senang hati mengatakan bahwa dia baru saja berhasil memesan buku dari penulis kesayangannya yang baru terbit hari ini. Bertarung melawan ribuan orang lain yang sama ambisiusnya seperti Soonyoung, untuk mendapatkan seri terbaru dari novel buatan penulis bernama Woozi.
Senyum Soonyoung mengembang lebar siang itu, mengundang tatap bingung dari Jihoon. Tetangga kubikel di hadapan Soonyoung, tapi Soonyoung nampak tak peduli, malah semakin melebarkan senyumnya. Selesai menuntaskan proses transaksi novel barunya, Soonyoung menghabiskan hari itu dengan senyum paling lebar miliknya. Batinnya kelewat semangat menanti buku yang ia tunggu-tunggu sejak bulan lalu itu, berandai-andai mungkin bukunya akan tiba besok atau lusa.
Sementara di hadapan Soonyoung, ada Jihoon yang baru saja dapat pesan dari sahabat kental sekaligus editornya. Pesan sesingkat, *cetakan buat lo udah siap, alamat rumah kaya biasa kan? Berhasil membuat jemari lentiknya berhenti. Lalu gerakannya berpindah dari *keyboard komputer menuju *handphonenya dan mengetikkan balasan untuk Junhui, sang editor. Menit setelahnya, *handphone Jihoon berkedip menampilkan respon Junhui dari balasannya tadi. Jemari Jihoon lagi-lagi mengetikkan balasannya, lalu tidak memedulikan beberapa pesan tidak penting Junhui yang menyusul setelahnya.
Baru saja mengembalikan fokusnya, Jihoon kembali diusik. Kali ini datangnya dari tetangga komputer 15 di hadapan Jihoon, Kwon Soonyoung. *Those slanted eyes looking at him curiously, tapping at his cubicle walls, dan sial, jantung Jihoon tiba-tiba berdegup seperti dirinya habis marathon 1km. Matanya menatap netra coklat Soonyoung, menunggu lelaki di hadapannya ini untuk menyampaikan apapun yang membuat dia mengusik Jihoon siang ini.
“Jihoon, mau makan siang bareng gak? Tadi gue ngajakin Mingyu tapi dia udah sama Wonwoo, gue gak bisa makan sendiri soalnya.”
Dalam sekali kedip kapasitas otak Jihoon seperti berubah menjadi pentium satu, gagal memproses kata demi kata yang keluar dari bibir Soonyoung. Salahkan ajakan makan siang tiba-tiba yang Soonyoung tawarkan, 4 tahun setelah pertama kalinya mereka berada di satu pekerjaan yang sama. Pada akhirnya Jihoon mengiyakan ajakan Soonyoung dengan kikuk, lebih khawatir dengan isi perutnya dibandingkan akan se-canggung apa suasana makan mereka nanti.
Dan tentu saja, sesuai ekspektasi 99% sel otak Jihoon. Makan siangnya kali ini lebih susah ditelan, penyebab utamanya tentu saja karena teman satu ruangan yang sedang nikmat-nikmatnya mengunyah ayam penyet di hadapannya ini. Kepala Jihoon berdenyut, akibat dari berusaha keras menahan agar suara degup jantungnya yang berlomba tidak sampai ke telinga Soonyoung. Kwetiaw di hadapannya tampak tidak menggugah selera sama sekali, bahkan untuk Jihoon yang merupakan seorang pecandu segala jenis mie. Seperti tadi yang sudah dijelaskan, Jihoon terlalu sibuk menenangkan hatinya untuk sekedar mengunyah kwetiawnya. Es batu di tehnya mencair, menyisakan gelas yang hampir meluap tanda Jihoon juga belum menyesap setetes pun minumnya. Tuhan, berapa lama lagi Jihoon harus tersiksa detak jantungnya sendiri?
*Sampai Soonyoung selesai menghabiskan santapannya, mungkin seperti itu jawaban Tuhan. Karena setelahnya Soonyoung sudah menghabiskan isi piringnya, menyisakan piring kosong melompong dan licin. Menyadari Jihoon yang bungkam sepanjang acara makan siang mereka hari itu, Soonyoung menjatuhkan tatapannya ke arah makanan dan minuman Jihoon yang tidak tersentuh.
“Gak dimakan Ji?”
“Gak laper”
Sahutan Jihoon hanya dibalas anggukan dari Soonyoung, setelah itu senyap lagi, tak ada yang berniat untuk repot-repot membuka mulut dan berbicara. Cukup mengherankan untuk Jihoon, melihat bagaimana Soonyoung selalu nampak tidak pernah kehabisan topik pembicaraan setiap bersama teman-temannya, tapi langsung sunyi senyap begitu sosoknya berhadapan dengan Jihoon. Bahkan sampai kedua kaki mereka menginjak lantai ruangan mereka, dua insan itu masih diam seribu bahasa.
Jihoon membuang napasnya lega, begitu pantatnya menyentuh singgasana kesayangannya. Telinganya seketika memerah, kepalanya menunduk, bersembunyi di balik monitor. Persetan perutnya yang meronta minta diisi, hati Jihoon sedang berbunga-bunga, efek samping makan siangnya bersama Soonyoung setengah jam yang lalu. Pipinya memerah, kepalanya ia benturkan pelan ke mejanya. Kali ini senyumnya ikut terkembang, menambah cerah suasana di kubikelnya. *God, Jihoon is so whipped for Soonyoung.
Kira-kira 4 tahun yang lalu, tepatnya ketika acara ulang tahun kantor. Pertama kalinya dalam 23 tahun hidup Jihoon, hatinya menjadi susah diatur ketika menatap sosok Soonyoung. Si pegawai baru, yang mempunyai mata kecil dan bibir yang tebal. Tinggi Jihoon tepat berada di ujung hidung Soonyoung. Jika keduanya bertatapan, akan sangat pas untuk bibir lembut Soonyoung diletakkan di atas kening Jihoon (tolong abaikan saja pikiran liar Jihoon). Satu fakta lagi yang didapat Jihoon malam itu, Soonyoung wangi. Perpaduan jeruk dan *musk lalu dibalut wangi kayu manis yang samar tercium, menambah komplit impresi Soonyoung dimata Jihoon. Setelahnya, layaknya takdir mereka yang sudah ditulis di bintang-bintang, Soonyoung mengambil alih kubikel di hadapan Jihoon. Bunga-bunga di perut Jihoon tidak bisa tidak mekar mengingat setiap paginya, yang pertama kali ia lihat sebelum duduk adalah wajah tampan Soonyoung. Sudah fokus dengan pekerjaannya, bahkan ketika matahari pagi masih tidak terlalu percaya diri memanaskan diri. *4 years is enough time for Jihoon to falling deeper into Soonyoung. Setiap kali wangi Soonyoung merengkuh pelan melalui hidung Jihoon, otaknya bergerak liar. Menciptakan ribuan rangkai kata dalam satu kedipan mata—yang tentu saja tadinya hanya bertahan di otaknya—dan berakhir dengan Jihoon yang tersenyum sendiri.
Iya, Jihoon segila itu akan Soonyoung.
Segila setiap rangkaian romantis di otaknya, secara impulsif ikut tercetak di sebuah—
“Jihoon, abis ini anak-anak mau *dinner bareng. Ikut gak?”
Mimpi siang bolong Jihoon pecah, lagi-lagi Kwon Soonyoung yang menjadi pemecahnya.
“Ji?”
“Eh, iya Soon. Kayanya gue gak ikutan deh, Soon”
Alis Soonyoung naik satu, wajahnya memasang ekspresi penasaran.
“Ikut aja Ji, daritadi perut lo bunyi tuh”
Sial, Jihoon tengsin 100%. Telinganya panas, dan sudah dipastikan merah menyala di mata Soonyoung.
“Eng-engga deh Soon, eh ini udah jam balik kan? Gue duluan ya!”
Tawa Soonyoung tertangkap telinga Jihoon, sebelum kaki kecilnya berhasil keluar dari ruangan kantornya. Wajahnya ikut panas, malu menyelimuti Jihoon dari ujung rambut sampai ujung kaki. *Perut sialan, rutuknya kesal. Dua tangan Jihoon menutup wajahnya, menyembunyikan rasa malunya hingga di perjalanan pulang.
***
Bodoh ketika Jihoon pikir hari ini rasa malunya akan hilang, saat kedua netranya bersibobrok dengan mata Soonyoung. Lelaki tinggi itu mengembangkan senyumnya terlampau lebar, untuk menyambut Jihoon yang bahkan jarang bertukar sapa dengannya.
“Tadi pagi udah makan kan, Ji?”
Sial, benar-benar sial. Jihoon hanya mengangguk sebagai respon, lalu menundukkan kepalanya dalam. Lagi-lagi bersembunyi dari tatap Soonyoung, dalam hati berusaha membakar semua rasa malunya.
Soonyoung tidak bisa tidak tersenyum, menatap Jihoon yang malu. Insiden kemarin cukup memalukan memang, bahkan untuk Soonyoung yang hanya menyaksikan. Didaratkannya kembali pantatnya ke atas kursi, begitu Jihoon menunduk bersembunyi darinya. Mata Soonyoung kembali fokus ke monitor di depannya, mengisi data demi data yang cukup membosankan. Setidaknya sampai tiba-tiba atasannya memanggil dirinya, dan Jihoon untuk ke ruangan beliau. Keduanya bertukar tatap, lalu berjalan bersama menuju ruangan atasan mereka.
Jihoon bertanya-tanya di dalam kepalanya, kira-kira apa yang ia dan Soonyoung lakukan hingga keduanya dipanggil bersamaan seperti siang ini. Lalu rasa penasarannya seperti pasir yang disiram air ketika atasannya berkata,
“Jihoon, Soonyoung, hari minggu nanti kalian ke Semarang ya, mewakili kantor untuk konferensi dengan *head quarters. Kira-kira acaranya 10 hari, bisa kan kalian?”
Rahang bawah Jihoon rasanya seperti digantungi beban 3 kg, mulutnya terbuka dengan penuh rasa syok. Bukan, bukannya ia tidak mau pergi dinas keluar kota seperti ini. Ia hanya... kaget? Bingung? Jihoon langsung membayangkan, akan betapa canggungnya suasana di Semarang nanti. Tuhan, semoga Soonyoung tidak bisa dan Jihoon tidak perlu dinas berdua dengan Soon—
“Saya bisa pak, kebetulan tidak ada sesuatu juga. Jihoon gimana?”
*Double sial.
Tidak mungkin Jihoon tidak mengiyakan, ia sudah menanti konferensi ini sejak lama. Ia harus pergi, dengan atau tanpa Soonyoung (yang sialnya dia harus pergi dengan Soonyoung). Jihoon menutup matanya, pening lagi-lagi menyerang. Dalam hati ia berdoa (lagi), semoga hatinya tetap aman sentosa, setidaknya sampai ia pulang dari dinas sialan ini.
***
Soonyoung melemparkan tubuhnya keatas ranjang, terlalu lelah dari perjalanannya hari ini. Semarang indah, tapi matanya terlalu berat untuk membuka. Deru Ac yang dingin, ranjang yang empuk, dan tubuh yang lelah menjadi kombinasi terbaik untuk Soonyoung hari ini. Matanya memejam dengan senyum terkembang, bersiap memasuki alam mimpi. Hingga tiba-tiba, suara pintu yang dibuka menarik kesadarannya kembali. Soonyoung bangun dan membalikkan badannya, di pintu—yang entah sejak kapan ada disebelah lemari—berdiri Jihoon dengan mulut terbuka. Sedikit info, Jihoon hanya berbalut *bathrobe putih berlogo hotel di dada bagian kanan, ketika ia membuka *connecting door di kamar mereka. Keduanya membeku, terlalu kaget untuk bereaksi lebih. Lalu seperti gong yang dipukul, isi kepala mereka kembali bekerja. Jihoon yang buru-buru menutup *connecting door, serta Soonyoung yang berkontribusi memutar kunci agar tidak bisa terbuka lagi.
Pipi Soonyoung memanas, kantuknya hilang dalam sekejap. Bayangan Jihoon yang diselimuti *bathrobe, serta bagian tubuhnya yang terekspos, tidak bisa hilang dari pikiran Soonyoung. *Sadar Soonyoung, dia itu teman kantormu, hardik batin Soonyoung. Soonyoung harus mandi, iya, dia harus mendinginkan kepalanya segera. Sisa malam itu Soonyoung habiskan dengan membaca buku barunya. Ia tidak bisa tidur, karena Lee Jihoon, tentu saja. Matanya terjaga segera setelah ia selesai mandi, membuatnya mau tak mau mencari distraksi. Dan untungnya Soonyoung, iya membawa novel terbarunya yang sampai rabu lalu. Halaman terakhir ia tutup ketika angka menunjuk ke angka 3, benaknya tersenyum puas. Hatinya juga ikut bertepuk tangan, merasa puas karena lagi-lagi penulis Woozi berhasil membuat Soonyoung takjub. Penulis kesukaannya sejak dua tahun yang lalu itu, masih membuat Soonyoung takjub setiap kali membaca karyanya. Cerita yang sangat hidup, alur yang menarik, bahkan sifat tokoh utama yang secara kebetulan seperti cerminan dirinya membuat Soonyoung tidak bisa berhenti. Mungkin jika suatu hari Soonyoung menemui Jin dan ia diperbolehkan mengabulkan satu permintaannya, ia akan meminta untuk bertemu Woozi. Apapun untuk bertemu Woozi, apapun.
*tok tok
Ketukan di pintu menginterupsi Soonyoung yang sedang mengikat dasinya, di depan pintu berdiri Jihoon yang sudah rapi. Jihoon nampak... tampan, lalu bayangan dua hari yang lalu masuk lagi ke otak Soonyoung. Pipinya memanas, degup jantungnya bertambah cepat, dan senyumnya bertambah lebar.
Dua hari terakhir cukup menyenangkan, menurut Jihoon. Soonyoung tidak seburuk yang ia kira, bahkan keduanya sekarang bisa santai membahas apapun saat mereka makan. Soonyoung dan pemikirannya, ternyata bisa membuat takjub Jihoon di sela-sela sesi makan mereka. Soonyoung yang menganalogikan hidup seperti proses pertumbuhan pohon, Soonyoung yang kritis terhadap pemerintahan dengan cara paling aneh, serta Soonyoung yang ternyata juga membaca novel buatan Woozi. Jihoon sempat tersedak air minumnya, ketika Soonyoung mengatakan ia sangat ingin bertemu Woozi. Jihoon tertawa canggung saat itu, otaknya bergerak lebih cepat daripada biasanya.
Akan jadi apa nasibnya, kalau Soonyoung benar-benar bertemu dengan Woozi? Ia belum siap membayangkan reaksi Soonyoung jika ia tau Woozi sebenarnya adalah Ji—
“Ji, udah liat *weather cast? Masa katanya hari ini hujan lebat, padahal gue mau jalan-jalan”
Pias tiba-tiba memenuhi wajah Jihoon, otaknya tersendat. Hujan lebat... hati kecil Jihoon merapal doanya cepat, berharap hujan kali ini tidak ditemani petir dan guntur. Sampai hujan benar-benar turun dan bertambah lebat setiap jamnya, malam itu. Jihoon berdoa dengan penuh takut, kilat petir pertama berhasil menarik Jihoon dari pejaman matanya. Hidupnya benar-benar sial, kakinya bergetar.
4 tahun mengenal Jihoon, tak pernah sekalipun Soonyoung berpikir ia akan berakhir terbaring satu ranjang dengan teman kerjanya ini. Tapi semuanya benar-benar terjadi, ada Jihoon yang berbaring telentang di samping Soonyoung. Terlalu gugup untuk sekedar menutup mata. Sejam pertama hanya ada deru napas keduanya, hujan di luar sana semakin lebat. Canggung seakan menjadi benteng setinggi langit diantara mereka berdua,