Ini masih seperti hari-hari saya biasanya, bangun pagi, menyeduh kopi, lalu duduk dan membaca koran layaknya bapak-bapak lain. Tidak, umur saya masih 35, belum sampai 40, hanya hampir. Saya masih bekerja, tentu saja. Ada yang harus saya hidupi selain diri saya sendiri, anak satu-satunya saya menjadi tambahan biaya hidup yang tidak bisa saya tinggalkan. Tidak, saya tidak mengeluh, saya cuma ingin mengatakan bahwa saya tidak akan sendiri dalam perjalanan ini, akan ada Arkan Darian Gunardi sebagai jagoan kecil untuk Ayah di setiap kali matamu membaca paragraf demi paragraf, jadi bersiaplah.
Kembali ke kenyataan, kopi saya tiba-tiba sudah sisa sepertiganya saja. Tandanya saya harus membangunkan jagoan kesayangan saya, menelepon nannynya, lalu mempersiapkan diri saya sendiri untuk bekerja. Menjadi ayah tunggal memang serepot ini, tapi saya lumayan menyukainya, menikmati rasa tanggung jawab yang lebih besar setiap kali saya membuka mata.
Ah, itu dia anak keren saya. Masih bergelung di selimut motif Cars kesayangannnya.
“Abang, wake up nak. Hari ini masih harus go to school, remember?”
Kadang saya harus bersyukur anak ini mengikuti kebiasaan Bundanya yang light sleeper. Saya tidak bisa membayangkan betapa susahnya membangunkan dia, kalau saja dia seperti saya yang susah sekali dibangunkan. Lihat Nay, anakmu bahkan sudah segar membuka matanya padahal aku baru sekali memanggil namanya.
“Ayah, besok abang mau ditemenin Ayah seharian. can you? Pleaaaaase”
Cara dia memohon juga persis seperti kamu Nay, mata setengah sipit yang membulat dan pipi yang digembungkan.
“Besok masih hari kamis, abang. Ayah masih harus kerja. Weekend ya?”
“Aaah Ayah, besok abang libuur, gak mau di rumah. Ikut Ayah ke kantor ajaa, pleeeease“
Sebentar, saya harus menarik napas saya dulu. Setelah ini bocah fotocopy-an dari saya ini, pasti akan mengeluarkan tanduk keras kepalanya. Ya, ya, ya, kamu akan bilang ini semua turunan aku, Nay. Kepala sekeras batu, gak akan mau mengalah sebelum berhasil menang.
“Nanti abang bosan di kantor Ayah, Ayah gak punya mainan disana bang. Ayah cuma punya berkas-berkas yang numpuk, apa abang gak bakal bosen?”
Lihat Nay, kepalanya menggeleng keras seperti aku tiap kali kamu melarang sesuatu. Kalau sudah begini aku bisa apa Nay?
“Tapi janji sama Ayah gak boleh jauh-jauh dari Ayah, can you?”
Tentu saja versi kecil saya ini akan mengangguk sekuat tenaga, setuju dengan segala persyaratan saya.
Setelah beberapa deals dan jabat tangan perjanjian, saya akhirnya bisa bersiap. Mengancing satu persatu kemeja saya, merapikan rambut yang masih acak-acakan, serta menyemprotkan wewangian favorit saya. Sebagai seorang pengacara, saya wajib untuk harus tetap wangi sebelum menghadapi klien, dan parfum kesayangan saya akan ikut menjadi hal wajib untuk disemprotkan sebelum saya memulai hari.
Setelah mengantarkan Arkan ke sekolahnya, seperti biasa saya akan lanjut menuju kantor saya. Firma hukum paling terkenal (saya tidak sombong, tapi di headline-headline berita biasanya kantor saya memang dideskripsikan seperti itu) di tengah kota.
Hari ini cukup santai, beberapa teman sejawat saya masih nikmat menghirup kopinya sambil mata terpaku di layar. Berbeda dengan saya yang harus segera menyiapkan diri, setelah ini ada satu klien yang sudah ada janji temu dengan saya. Seorang penulis, ingin menggugat seseorang atas kasus plagiasi. Umurnya lebih muda 7 tahun dari saya, dan nama penanya terkenal di seluruh penjuru Indonesia. Kalau tidak salah kamu suka membaca karyanya Nay, disela kamu menunggu sesi kemoterapimu dulu, ingat?
Ketukan di pintu menjadi tanda, bahwa si penulis dengan nama pena Dream craver itu sudah datang. Segera saya meraih gagang pintu ruangan saya, mempersilahkan lelaki dengan mata berbentuk rubah dan kacamata bulat yang menggantung di hidung ini supaya masuk ke ruangan saya.
***
Wangi adalah yang pertama aku tangkap, begitu masuk keruangan pengacara bernama Michael Gunardi ini. Tubuhnya tinggi tegap, lebih cocok menjadi model daripada harus bergelut dengan pengadilan dan kasus hukum lainnya. Setelan kemeja yang lengannya digulung sampai siku, serta dasi yang tidak terlalu pas di keras menjadi penghias paling baik untuk menambah ketampanan wajahnya. Kalau kata anak-anak abege jaman sekarang, beliau ini walking sex. (Sedikit-banyak-membuat aku salah fokus waktu menatap figurnya)
“Wisnu Argasaga, benar?”
Tuhan, terima kasih sudah mempertemukan hamba penuh dosamu ini dengan pengacara yang ramah, baik, dan mudah dipahami. Setidaknya proses hukum yang sebegitu banyaknya ini(saking banyaknya, 2 map tebal menumpuk di meja), bisa aku pahami setengahnya. Suaranya sedikit serak, nyaman didengar telingaku yang sudah jarang mendengar suara semenyegarkan ini.
Setelah beberapa ini dan itu yang sebenarnya memakan waktu hampir 2 jam lamanya, akhirnya pembahasan kami selesai. Proses penggugatan akan segera dilakukan kata Michael (dia yang minta supaya tidak perlu terlalu formal) tadi, selanjutnya aku hanya akan menunggu sampai dia menghubungiku lagi. Menunggu, sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu aku suka. Aku ini orangnya tidak terlalu penyabar, banyak yang harus kusegerakan, termasuk kasus ini. Tapi ini berbeda perkara, yang memintaku menunggu adalah si pengacara ganteng yang bisa saja jadi inspirasi untuk buku ku yang selanjutnya.
Kami berjabat tangan. Tangan Michael besar, seperti meraup jari jemariku yang kurus. Lalu aku meninggalkan ruangannya, turun menuju mobilku yang terparkir manis. Kutatap tangan kananku yang tadi menjabat tangan besar Michael, wangi parfumnya masih melekat. Bahkan kini ikut tersebar di dalam mobilku, menyebarkan aroma familiar milik Michael. Yang terhormat bapak Michael Gunardi, wangi bapak sekarang menempel sampai di otak saya pak, saya harus bagaimana?
Secangkir cafe latte dan dua buah croissant, menjadi teman revisi beberapa bagian rumpang novel baruku yang akan segera terbit. Tentang cinta klise seorang pilot dan pekerja kantoran. Tahap revisi kedua kali ini tidak terlalu banyak yang diubah, karena sebagian besar sudah diperbaiki di revisi pertama. Sesekali aku menyesap kopiku, menikmati hangatnya disaat cuaca di luar hujan lebat.
Lonceng kecil di atas pintu berbunyi, menandakan ada yang baru saja masuk ke cafe sepi ini. Derap langkah berat dan sinkron satu sama lain terdengar ke seluruh penjuru cafe, hampir menarikku menatap si sumber suara. Lagu-lagu klasik yang terputar lembut tak bisa menyembunyikan suara serak, milik sosok yang tadi pagi bertemu denganku. Iya, si wangi Michael Gunardi. Badan tingginya berbalik setelah menyelesaikan pembayarannya, memindai seluruh isi cafe sebelum akhirnya kedua bola matanya jatuh ke milikku. Senyumnya tiba-tiba terkembang, bahkan kakinya sudah melangkah lebar menuju mejaku.
“Wisnu? Boleh saya duduk disini gak?”
“Boleh-boleh,
by the way, you can call me Wis or Nu aja. Biasanya saya dipanggil begitu”
Senyumnya terkembang, dua taringnya menilik lucu dari belah bibirnya.
“Nu it is. Kalau begitu panggil saya Migu saja, that's what my wife called me“
Abort mission teman-teman, pria tampan ini sudah beristri. Duh, tentu saja Wisnu. Apa yang kamu harapkan dari lelaki mapan dan tampan? Sudah pasti mereka semua beristri.
“Migu? Cute name“
Dia di depanku ini tertawa, oh Tuhan aku bisa tidur nikmat hanya dengan mendengar suara tawanya yang serenyah ini.
“Singkatan nama lengkap saya, dulu dia suka memanggil seperti itu waktu kami masih sama-sama kuliah”
“Temen kuliah?”
Migu-ekhm-menyesap kopinya yang baru saja datang, mengangguk mendengar pertanyaanku.
“Setahun diatas saya, jadi masih bisa dibilang temen kuliah”
Aku mengangguk-angguk, mendengarkan Migu. Sorot matanya kadang bisa tiba-tiba menjadi bersemangat setiap kali bibirnya bercerita, kadang juga mengerucut jika ceritanya tidak aku dengarkan seksama. Tiba-tiba saja laki-laki dewasa di depanku ini menjadi anak kecil yang butuh didengarkan, yang butuh perhatian.
“Kadang ya Nu, Arkan itu suka banyak banget pertanyaannya. Saya sering banget pusing mikirin jawaban buat pertanyaan dia, harus muter otak”
“Sebentar-sebentar, jadi Arkan ini umur berapa tadi Gu?”
“Kan, kamu gak dengerin saya Nu. Arkan umur enam, lagi aktif-aktifnya nanya dan banyak mau”
Dapat kupastikan Arkan ini mirip sekali dengan Ayahnya. Jangan tanya kenapa aku bisa seyakin itu, aku juga tidak tau.
“Terus besok katanya mau minta di kantor saya aja seharian, mumpung dia libur. Bikin saya jadi bingung, soalnya besok harus naikin laporan kamu ke pengadilan- eh kayanya besok ada yang harus kamu tandatanganin dulu Nu sebelum berkasnya naik, bisa kan pagi?”
Migu ini bicaranya ngebut sekali, kadang aku yang sesak napas melihat dia ngomong tanpa jeda.
“Bisa Gu, pagi kayak tadi lagi?”
“Iya Nu”
“Terus gimana itu Arkan kalo kamu ke pengadilan? Dibawa?”
“Makanya ini saya mikir-mikir dulu, apa dititipin ke anak-anak kantor ya?”
“Mau saya jagain gak, Gu? Eh, maksudnya daripada kamu ngerepotin yang lain”
“Tapi nantinya malah saya ngerepotin kamu, Nu. Gak papa, kayanya bisa kok dititip sama yang lain”
“Oh, oke”
Setelah itu hening, Migu ikut membuka iPadnya setelah fokusku kukembalikan ke laptop yang masih menyala. Kami jadi seperti sepasang kekasih yang sedang bekerja bers-, Wisnu, jangan berpikir yang aneh. Singkirkan pikiran itu cepat!
Dua jam bekerja bersama, kami tidak menyadari bahwa hujan di luar sudah reda dan kering. Revisiku juga sudah selesai, saatnya aku kembali bergelung ke selimut di kamar nyamanku.
“Migu, saya udah selesai nih. Duluan ya”
“Eh? Sebentar Nu, bareng aja saya juga udah selesai.”
Lalu ada aku dan Migu berjalan beriringan, melangkah menuju Honda Jazz putih milikku, serta Range Rover hitam milik Migu. Kami berpisah di perempatan, Migu menuju kanan sedangkan aku lurus. Bunyi klakson milik Migu menjadi tanda pemisah kami sore ini, sebelum besok bertemu lagi.
Aku merapikan kemeja biru langitku, masih melangkah cepat menuju ruangan Migu. Salahkan alarm kamarku yang tiba-tiba salah setting, mengharuskan aku mandi dengan panik karena terlambat hampir satu jam dari waktu yang kami janjikan kemarin.
“Migu, maaf banget saya terlam-”
“Abang, jangan disitu abang, nanti ada temen Ayah duduk disitu. Sini aja di kursi gede Ayah, ayo bang sini”
Langkahku benar-benar terhenti, mendengarkan dengan seksama percakapan sepasang Ayah dan anak.
“No, Ayah. Abang mau ikut nanya, abang juga mau kayak Ayah!”
“Nanti aja abang nanyanya ke Ayah, hari ini Ayah dulu aja yang nanya ya?”
“You said that too last time, Ayah! No more nanti-nanti!”
“Tapi bang in-”
“Permisi, Gu. Maaf banget saya telat tadi, udah lama banget ya nunggunya?”
“Eh, Nu. Iya dipahami kok, lumayan lama, tapi pengadilan juga masih belum nge demand banget kok. Duduk, Nu. Arkan, stay there ya boy.”
Aku tertawa ketika bocah dengan mata coklat itu membangkang Ayahnya, dia malahan ikut duduk di samping Ayahnya yang berhadapan denganku di sofa.
“Hey Om! What's your name? I'm Arkan uh.. Ayah, i can't remember my middle name“
Aku lagi-lagi tertawa, oh Tuhan, bocah kecil ini benar-benar persis Ayahnya.
“Coba ingat-ingat bang, masa kamu lupa nama sendiri?”
“Sebentar ya Om, uh... nama... nama... OH! Nama aku Arkan Darian Gunardi, nama Om siapa?”
“Nama Om, Wisnu Argasaga, you can call me Om Nu for short“
“Huh... Nu? Om Nu?”
“Yep, umur berapa kamu kid?”
“6 tahun! Kata Ayah sebentar lagi aku masuk SD, nanti gak bakal dijagain mbak lagi!”
“Ohya? Emangnya udah berani sekolah sendiri?”
“Berani dong Om! Kata Ayah aku anak hebat, jadi harus berani. Kata Ayah juga, Bunda will be so happy if i can be mandiri. Oh iya! Om Nu Bundanya dimana?”
“Abang, it's not polite to ask Om Nu that question, ayo minta maaf”
“I'm sorry, Om Nu”
“No, it's okay, anak ganteng. Bundanya Om Nu udah di surga, kumpul sama Tuhan.”
“Wah! Sama dong Om! Bunda aku juga gitu kata Ayah. I never saw her karena katanya Bunda udah disuruh Tuhan buat ke surga.”
oh?
Di sebelah Arkan, Migu tersenyum canggung menatapku. Sedikit-banyak- aku ikut canggung dengan situasi ini. Ayo Nu, berpikir.
“It's okay, nanti Arkan bakal ketemu Bunda lagi kok. Kalo udah waktunya Arkan dipanggil juga sama Tuhan”
“Kapan Om? Lama gak?”
“Om gak tau, ganteng. Tergantung Tuhan maunya kapan, selama nunggu waktunya, Arkan nurut terus sama Ayah ya? Biar Bunda seneng waktu ketemu Arkan. Soalnya Bunda cuma mau ketemu sama anak yang baik, bisa gak Arkan jadi anak yang baik?”
“Bisa dong Om! Aku bisa jadi anak baik! Nilai mewarnai aku selalu 90, tandanya aku anak baik kata ibu guru”
Aku tak tahan untuk tidak mengusap kepala kecil Arkan, gemas dengan ucapan dan perilakunya.
“Eh iya, ini Nu berkasnya. Ada dua lampiran yang perlu ditandatangani.”
Selanjutnya aku mulai menandatangani berkas-berkas laporanku, ditemani ocehan Arkan yang tak ada hentinya.
“Halo? Ya? Setelah ini saya naikkan, iya, tolong sampaikan saya sedang menuju kesana, iya terimakasih“
“Nu, saya harus segera ke pengadilan. Terima kasih ya sudah sempat datang. Abang, ayo keruangan Om Satta, abang sama Om Satta dulu ya?”
Pendengaranku diajak bekerja cepat, memroses panggilan telepon milik Migu, lalu terima kasihnya, serta gerakan tergesanya. Aku mengangguk cepat, sudah hampir beranjak andai Arkan tidak menahan tanganku. Matanya memohon untuk aku agar tinggal, mulutnya mengucap pinta ke sang Ayah untuk memperbolehkan aku menemani Arkan di sini.
“Jangan Abang, Om Nunya repot nanti”
“Gak apa kok Gu, saya gak ada kegiatan juga setelah ini. Kamu pergi dulu aja ke pengadilan, biar saya sama Arkan di sini.”
“Maaf ya Nu, saya jadi ngerepotin kamu. Nanti i make it up to you, okay?”
***
Saya sedikit terburu pergi menuju pengadilan, meninggalkan Wisnu mengurus Arkan. Saya benar-benar harus berterima kasih nanti, kepada si penulis itu.
Setelah beberapa urusan yang lumayan memakan waktu saya selesai, saya melirik ke jam di tangan kanan saya. Jam makan siang, oh tidak, saya terlalu lama meninggalkan Wisnu dengan Arkan. Saya tidak bisa membayangkan, sudah sepusing apa Wisnu menghadapi setan kecil duplikat saya itu.
“Nu, maaf banget ternyata urusan saya lumayan lama. Arkan gimana? Pasti banyak ulahnya ya?”
Saya menarik hidung anak kesayangan saya. Dilihat-lihat dia cukup anteng, ia hanya berpindah posisi menjadi duduk di sebelah Wisnu. Sisanya tidak ada sesuatu lain yang berhamburan, sebuah pencapaian baru.
“It's okay, Gu. Abang gak aneh-aneh kok, eh ini saya boleh gak ya manggil dia pake 'abang' juga? Soalnya dia yang minta”
Saya menaikkan alis menatap Arkan, jarang sekali anak ini membiarkan orang lain memanggilnya dengan sebutan khusus dia itu. Apalagi ini dia yang meminta, ada apa ini dengan bocah satu ini?
“Boleh dong Nu, dia yang minta, masa saya ngelarang. Omong-omong ini udah jam makan siang, mau makan siang bareng?”
Wisnu menatap saya bingung, seperti kaget mendengar ajakan saya untuk makan bersama.
“Gak apa, Gu?”
“Gak apa-apa Nu, hitung-hitung terima kasih saya sudah bantu ngejaga Arkan”
“Gak usah sebenernya Gu, toh abang gak rewel juga, malahan baik banget sama saya”
“Gak apa Nu. Udah ayo kita berangkat sekarang aja, sebelum jam makan siang habis. Satu mobil aja Nu?”
Jujur saya tidak tahu, mengapa secara impulsif saya mengajak Wisnu untuk pergi dengan satu mobil saja. Tapi yang diajak malah mengangguk, menurut saja ketika saya melangkah menuju mobil saya di parkiran. Bahkan jemarinya menggandeng Arkan, patuh mengikuti tarikan tangan kecil putra semata wayang saya itu.
Tidak banyak yang kami lakukan selama makan, hanya Wisnu yang sering mendengarkan ocehan Arkan penuh atensi. Sesekali saya tidak bisa menahan senyuman ketika Wisnu ikut menyahuti celotehan tak berarti Arkan, menaruh segala perhatiannya untuk duplikasi saya itu. Sorot matanya lembut, seakan menatap anaknya sendiri. Sebuah pemandangan indah di mata saya, melihat Arkan tersenyum dan tertawa selebar ini selain ketika bersama saya. Ingatkan saya untuk berterima kasih pada Wisnu, nanti.
Bored of how all of the chapters start. But you feel like a brand new arc that I never knew.
I'd like to think I know a thing or two, like every day the sky's a different blue
And then along came you
Bukan hal yang mengejutkan bukan, kalau saya bilang berbulan-bulan setelahnya saya menjalin hubungan lebih dari sekedar pekerjaan dengan Wisnu?
Jatuh cinta ternyata semenyenangkan itu, mereka ulang apa yang biasa remaja sekarang lakukan. Bergandengan tangan, mengacak lembut surai di kepalanya, mengecup pelipis dan keningnya hangat, mengajaknya makan bersama. Semuanya jadi terasa indah, Wisnu melengkapi sesi jatuh cinta saya yang kesekian kalinya. Dia melengkapi saya.
“Nu, saya sudah deket kantor penerbit kamu. Mau ditungguin di lobi atau gimana?”
Mendengar jawaban, Iya tungguin di lobi ya Gu membuat saya otomatis melakukan apa yang Wisnu minta. Sore ini banyak orang di kantor penerbit Wisnu, sepertinya penulis-penulis baru yang bukunya juga akan diterbitkan. Saya mengambil duduk di salah satu sofa di sisi kanan lobi, mengistirahatkan diri sejenak setelah bergelut di persidangan alot perceraian sepasang selebritis. Saya mengecek ruang percakapan saya dengan nanny Arkan, melihat gambar apa yang dia kirimkan. Ah, ternyata si kecil satu itu, sedang membaca buku yang Wisnu belikan bulan kemarin. Lucu sekali anak semata wayang saya itu, rela siang malam belajar membaca agar dia bisa secepatnya membaca buku pemberian Wisnu di ulang tahunnya yang ke-7 lalu. Anak ini... jatuh cinta sekali dia dengan Wisnu, seperti Ayahnya saja.
“Hey, lama?”
Uluran tangan dan panggilan Wisnu menarik atensi saya secepat kilat, rambutnya masih terlihat rapi se sore ini, memancing untuk saya acak-acak. Saya kecup pelipisnya begitu kedua kaki saya tegap berdiri, mengambil tas jenjang di tangan kirinya.
“Enggak kok, baru 15 menitan. Kamu lapar, Nu?”
Wisnu menggeleng, menyejajarkan langkahnya yang kecil karena tubuhnya saya tarik dalam rangkulan.
“Good, kita makan di rumah aja ya. Nanti saya yang masak, Arkan juga nungguin kita buat makan.”
Enam bulan berpacaran-ekhm lumayan aneh menyebutnya karena terdengar seperti abege tanggung-dengan Wisnu, saya sudah seperti punya suami baru. Setiap hari ada Wisnu yang menyiapkan pakaian bekerja saya, ikut membangunkan Arkan, ikut membuat makan seperti pasangan menikah pada umumnya. Tidak, saya tidak mengeluh, untuk apa mengeluh? Saya sedang pamer loh ini, pamer kesenangan bagaimana rasanya menjalin hubungan dengan Wisnu. Belum lagi kalau setiap malam, akhirnya ada yang saya peluk sebelum terbang bebas di alam mimpi. Ingin saya sombongkan saja setiap hari, kalau saya punya Wisnu, orang lain mana bisa punya Wisnu seperti saya. Ingat, Wisnu itu punyanya saya.
“Abang, ada pe-er dari ibu guru gak?”
Jagoan saya satu itu menjawab Wisnu dengan gelengan, masih asik memakan apelnya yang tinggal sepotong.
“Tidurnya hari ini mau ditemenin atau sendiri?”
“Temenin, mau sama Om-papa, sama Ayah juga”
“Iya, nanti ditemenin Om-papa sama Ayah”
Tuhan, semakin jatuh cinta saja saya dengan manusia bernama Wisnu ini.
Setelah menyelesaikan beberapa tetek-bengek Arkan, kami akhirnya punya waktu kami lagi. Selalu nyaman memeluk Wisnu ketika dia mencuci piring, pinggul rampingnya terasa pas dalam rengkuhan saya. Tengkuknya juga pas untuk bibir saya mendarat, memandikannya dengan kecupan ringan. Sudah lama kami enggak begini, terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Jadi jangan salahkan saya, jika intimasi ini bertambah. Tangan saya yang bergerak naik turun di perut ratanya, sesekali mengawang di noktah indah yang menghias dadanya. Saya tidak tuli untuk tidak bisa mendengar lenguhan lemah Wisnu, yang di raba menggesekkan belah bawahnya ke saya. Menikmati friksi yang ia buat sendiri, membiarkan air yang mengalir, menjadi satu-satunya peredam lenguh demi lenguh.
“Gu... janganngh disini...”
***
Sumpah demi Tuhan, seorang Michael Gunardi kenapa seenak ini? Gerakannya, setiap pompanya, lembut bibirnya, semuanya membawa nikmat. Memaksaku terbang ke nirwana, terbang bebas di awan-awan.
“Nnghhh..Gu..hh..”
Iya, itu tadi aku yang mengeluarkan suara-suara enggak senonoh. Lagipula siapa yang akan menahan suara mereka, kalau ini seorang Migu yang bergerak di atas tubuh mereka. Orang ini... jelmaan dewa atau bagaimana?
Yang paling aku suka setelah menikmati malam bersama Migu adalah, peluk hangatnya. Kami tidak akan tidur selama beberapa menit sampai jam, kami hanya akan bercerita hal apa saja yang terjadi hari ini. Dengan aku bersandar di dadanya, dan dia yang mengelus konstan kepalaku. Tidak ada siapapun yang mengganggu, hanya detik jam yang bergerak, hanya suara napas yang teratur, hanya hembusan AC yang baru terasa dingin setelah kami selesai berkegiatan.
Malam ini juga sama, ada aku yang seksama mendengarkan detak jantung Migu, ada jemari Migu yang mengusap punggung telanjangku. Tangan satunya meraih sesuatu di atas meja, tak terlalu kupedulikan karena kepalang nyaman. Lalu usapan Migu naik, menuju puncak kepalaku. Detak jantungnya ikut berubah, bergerak lebih cepat daripada sebelumnya.
“Nu, menurut kamu, saya gimana?”
Aku mengangkat kepalaku, menatap Ayah tunggal di pelukanku ini dengan tatapan bingung. Maksudnya... dia mau aku mendeskripsikan dia seperti apa?
“Ya... baik, bisa buat aku nyaman. Ada apa Gu?”
“Berhubung saya enggak terlalu jago masalah ini, makanya saya harus nanya dulu ke kamu Nu. Menurut kamu, kamu siap gak kalau sama-sama sama saya sampai waktu yang lama?”
Is this man trying to propose me or what?
“Ada apa memangnya Gu?”
“Mau sama saya terus gak Nu? Jadi teman hidup saya,”
Tiba-tiba ada cincin dari tangan kirinya.
“Jadi Papanya Arkan,”
Ada matanya yang menyorotkan pinta.
“Jadi suami saya?”
Oh God, no.