Something in Mei

I hate falling in love.

I? hate to falling in love?

I do. But have a crush on someone like having sparks all over your stomach when you look at them in real life and smile silly without you realize and blushing cheeks when reading his messages or looking at his photos he send.

Seperti yang kini dilakukan oleh gadis dengan rambut yang di cepol berantakan. Pipi nya sudah seperti tomat saja, merah merona menatap layar ponselnya.

“Eh kucing kamu gimana sekarang?”

“Dah gapunya kucing aku.”

“Loh? Kenapa?”

“Mati, dikasihin.”

“Pengen punya lagi, tapi rawat berdua.”

“Rawat sama siapa?”

“Kamu.”

Senyum yang terpatri di wajahnya begitu cerah dengan wajah yang sudah seperti terbakar rayuan manis. Apasih dia pake teori rawat kucing segala, gak banget!— batinnya menyalak tidak suka namun kaki nya tidak berhenti bergerak menghantam kasurnya— salah tingkah. Betapa lucunya lelaki yang tengah bertukar pesan dengannya itu.

Gemas sekali bukan? Sangat gemas hingga tanpa sadar ia terlalu jatuh pada pesonanya, terlambat mengendalikan perasaannya sendiri.

He fell first, she fell harder.

Maybe the love wasn't clear as we first saw it but its as colorful as the primrose in the garden.

“JUNEEE.”

“Yes, my love?”

Tunggu, apa? Ia tidak salah bacakan?

Oh, God! Matanya seketika bersinar dengan senyum yang merekah.

“Dih.”

“Apa Aruna?”

“Music taste kita hampir mirip yak, hahaha.”

“Ikr, because my taste is you.”

Sudahlah, tidak usah ditanya bagaimana keadaan gadis itu. Dia benar-benar menggila di dalam kamarnya. Huh, mengapa bisa ada cowok selucu ini?!

Falling in love is beautiful isn't it? Maybe it won't be beautiful forever, but from everything that happens it always makes the memories blend beautifully. It doesn't matter how it ends, karena beberapa elemen tercipta untuk jadi penyeimbang— sesuatu yang tidak untuk disatukan.