captainpitha

I love to create beautiful things.

(REVIEW BUKU BETTER THAN BEFORE OLEH GRETCHEN RUBIN)

Saya tertarik membaca buku ini karena saya merasa overwhelmed dengan kehidupan saya sehari-hari. Menjadi orang tua sekaligus bekerja di rumah bukan hal yang mudah bagi saya. Setiap hari saya harus bangun jam 6 pagi, bekerja, memasak, mengurus anak saya—yang sebentar lagi berumur 2 tahun, membereskan rumah—yang setelah saya bereskan bakal diberantakin lagi 😭 kemudian saya tidur jam 11 atau 12 malam, bangun lagi jam 6 pagi dan begitu terus setiap hari. Di samping kesibukan itu, saya masih memiliki keinginan untuk melakukan hobi dan side project saya. Masalahnya, sudah tahu sibuk gitu, kalau ada waktu, kadang saya malah bermalas-malasan. Oleh karena itulah saya ingin berubah.

Ebook Better Than Before by Gretchen Rubin

Untuk mengubah diri, yang diperlukan adalah membentuk kebiasaan (selanjutnya saya tulis sebagai “habit”) yang baik. Rubin mendefinisikan habit sebagai perilaku yang dilakukan tanpa sadar (secara otomatis), karena kita melakukan hal tersebut secara berulang-ulang. Jadi, dengan habit, kita enggak perlu mikir lagi untuk melakukan hal tersebut, seperti—kalau saya nih skincare-an setiap malam sebelum tidur. Saya enggak perlu lagi memutuskan “Malam ini aku mau pakai skincare ah,” karena hal ini sudah jadi habit saya. Enggak-perlu-lagi-memutuskan (lack of decision making) inilah yang menjadi kunci utama habit.

The Four Tendencies

Sebelum membentuk habit, Rubin mengenalkan konsep Empat Tendensi (The Four Tendencies) untuk mengenal diri kita dengan lebih baik. Dengan mengetahui tendensi kita, kita akan lebih mudah dalam membentuk habit.

1. Upholder Mereka yang memenuhi ekspektasi internal (dari dalam diri sendiri) dan eksternal (dari luar). Saat merencanakan sesuatu, seorang Upholder akan menanyakan “Apa yang ada di jadwal saya hari ini?”

2. Questioner Mereka yang mempertanyakan segalanya sebelum memulai sesuatu, “Apa yang harus saya lakukan hari ini dan mengapa?” Questioner memenuhi ekspektasi internal mereka tetapi menolak ekspektasi eksternal.

3. Obliger Obliger adalah kebalikan dari Questioner. Mereka memenuhi ekspektasi eksternal dan menolak ekspektasi internal. Mereka biasanya menanyakan “Apa yang harus saya lakukan hari ini?”

4. Rebel Rebel adalah kebalikan dari Upholder. Mereka menolak semua ekspektasi dan bertindak berdasarkan keinginan mereka, “Apa yang ingin saya lakukan hari ini?”

Dari uraian di atas, tendensi yang mana yang sesuai dengan kamu? Jika kamu masih ragu-ragu menentukannya, kamu bisa mengisi kuisnya di sini. Saya sendiri adalah seorang Questioner.

Questioner

Selain keempat tendensi tersebut, Rubin mengakategorikan kita berdasarkan cara kita me-manage waktu, seberapa cepat kita bekerja, perilaku berbelanja, sikap kita terhadap tujuan, simplicity, sikap, familiarity dan preferensi kita dalam membangun habit.

4 Hal Dasar Dalam Membangun Habit

Setelah mengenal seperti apa tendensi kita, Rubin memberitahukan 4 hal dasar dalam membangun habit yang diperlukan untuk mencapai tujuan kita. Di buku ini, Rubin menyebutnya sebagai Pillars of Habit.

1. Monitoring Misalnya saat kamu ingin mengontrol keuangan kamu. Dengan memonitor pengeluaran kamu secara akurat, kamu lebih mudah untuk mencapai tujuan kamu. Sebaga contoh, saya memonitor kalori harian saya melalui aplikasi Lifesum, aktivitas dan siklus tidur melalui aplikasi Mi Fit dan gelang Mi Band dan kedisiplinan saya melalui habit tracker di bullet journal saya.

2. Foundation Ada 4 fondasi dasar yang harus dibenahi terlebih dahulu yang akan menunjang habit-habit lainnya, yaitu: * pola tidur yang baik * makan dan minum yang sehat * rutin berolahraga, dan * merapikan sekitar Jika keempat hal di atas sudah bisa dilaksanakan dengan baik, maka membangun habit lain akan terasa lebih mudah. Bagi seorang ibu seperti saya, yang paling susah dilakukan adalah memiliki pola tidur yang baik. Oleh karena itu, saya memakai sleep tracker untuk memonitor pola tidur saya dan sedang berusaha untuk tidur paling tidak 7 jam per hari.

3. Scheduling Dengan membuat jadwal untuk kegiatan tertentu di waktu yang spesifik, membangun habit akan jauh lebih mudah. Misalnya, setiap sore jam 16.30, saya selalu mengajak anak saya main di luar rumah, entah bermain gelembung, mengamati lingkungan sekitar (anak saya suka mencari ladybug 😊), melukis, dll. Saya sudah lakukan ini selama lebuh dari 6 bulan dan sekarang tiap sore saya sudah tidak perlu lagi memutuskan “Sore ini mau ngajak anak saya ngapain ya?” Aktivitas ini seperti sudah berjalan secara otomatis. Akan tetapi, seorang Rebel akan sulit untuk melakukan strategi ini.

4. Accountability Secara harfiah berarti keadaan untuk dipertanggungjawabkan. Karena accountability melibatkan pihak eksternal untuk mengingatkan saat kita tidak menjalankan habit kita, strategi ini akan mudah untuk para Obliger. Sebelum membaca buku ini, ternyata saya sudah melakukan strategi ini. Saya ikut grup kecil di Facebook yang bertujuan untuk saling mengingatkan antar anggotanya untuk selalu stick pada jadwal olahraga kami.

Best friends grow together

Kapan waktu terbaik untuk memulai?

Jawaban singkatnya adalah SEKARANG. Selain itu, dari dalam diri juga harus ditumbuhkan keinginan untuk berubah. Mulai dari hal-hal kecil, one step at a time.

Keinginan, kemudahan dan alasan

Dalam menjalankan habit, pastinya at some point ada saja rintangan, rasa malas dan godaan. Di buku ini, Rubin juga menjelaskan banyak strategi untuk mengatasinya. Saya tidak akan menyebutkan semuanya karena nanti tulisan saya bisa jadi panjaaang banget. Saya akan menulis beberapa saja yang menurut saya paling mudah saya terapkan (p.s. saya adalah Questioner).

Strategy of abstinence a.k.a. mending enggak usah sekalian. Misalnya saat diet. Dari pada menyimpan sekotak camilan di kulkas yang—rencananya—mau dimakan sedikit demi sedikit saat cheat meals tetapiujung-ujungnya malah over eating, mending dari awal tidak perlu membeli camilan sekalian.

Strategy of inconvenience, dengan memanfaatkan kerepotan. Misalnya saat ingin menghindari keinginan untuk berbelanja online setiap ada sale, logout lah dari semua e-commerce dan hapus autofill peramban kamu.

Review Buku Better Than Before

Saya menyukai diksi Rubin karena sangat mudah dipahami bahkan oleh saya yang bukan native speaker Bahasa Inggris. Hanya saja banyak bagian yang terasa sangat dipaksakan dan tidak perlu untuk dituliskan, seperti saat Rubin berkali-kali menceritakan tentang pengalam diet rendah karbo-nya. Beberapa dialog antara Rubin dengan teman, saudara perempuan dan kliennya juga mencitrakan bahwa Rubin itu orangnya ngeselin dan suka memaksakan keinginannya kepada orang lain.

Review Better Than Before

Di bab awal, Rubin mengkategorikan jenis-jenis kepribadian manusia berdasarkan beberapa hal (seperti yang saya tulis di atas) namun klasifikasi ini kurang elaborasi serta kurang dieksplor di bab-bab selanjutnya. Meskipun demikian, saya belajar banyak dari buku ini dan beberapa tips dan strategi dalam membangun habit yang dia paparkan sangat berguna bagi saya.

Saya merekomendasikan buku ini kepada orang-orang yang kesulitan dalam membangun dan mempertahankan habit yang baik. Saya menganjurkan buku ini untuk dibaca secara skimming.

“We can only build our habits only on the foundation of our own nature.“— Gretchen Rubin

Nilai: ★★★☆☆ _______________

Judul: Better Than Before: Mastering the Habits of Our Everyday Lives Penulis: Gretchen Rubin Jumlah halaman: 298 halaman Bahasa: Inggris ISBN: 0385348614

:: end ::

Saya pertama kali tahu tentang menstrual cup atau cangkir menstruasi (?) saat melihat kampanye Loon Cup di Kickstarter. Kira-kira seperti inilah reaksi saya saat melihatnya,

Shocked What? Corong kaya gini dimasukin ke vagina? Masokis macam apa yang menemukan benda kaya gini?

Setelah membaca semua keterangan tentang Loon Cup di laman tersebut serta membaca laman Wikipedia tentang menstrual cup, saya baru tahu kalau ternyata menstrual cup terbuat dari silikon medical grade yang lentur, yang dapat dilipat sebelum dimasukkan ke vagina untuk menampung darah menstruasi.

Cara melipat _menstrual cup_ Cara melipat menstrual cup

Menstrual cup ternyata sudah ditemukan pada tahun 1930-an. Pada tahun 1932, menstrual cup yang berbentuk seperti corong dipatenkan dengan sebutan vaginal receptacle. Pada tahun 1970-an, Tassaway meluncurkan menstrual cup untuk pasar Amerika Serikat, sayangnya produk ini gagal di pasaran. Awalnya, menstrual cup dibuat dari latex dan baru pada tahun 2001 menstrual cup silikon pertama kali diperkenalkan oleh Mooncup.

Tassaway Iklan menstrual cup Tassaway

Alasan saya beralih ke menstrual cup

Menstruasi selalu menjadi momok mengerikan bagi saya; pangkal paha dan bokong saya lecet dan perih, kram perut, sakit pinggang, jerawat, emosi susah dikendalikan dan nafsu makan yang, hhh, udah kaya babi – apa saja dimakan. Di antara yang lain, lecet-lecet lah yang membuat saya hampir tidak fungsional lagi karena duduk pun jadi nggak enak :( Sampai pada cycle menstruasi saya yang lalu, saya akhirnya berpikir “Bodo amat lah, pokoknya aku mau pakai cup aja.”

1. Nyaman

Awalnya saya tidak percaya bahwa memakai menstrual cup akan terasa nyaman apalagi saat memakainya. Ternyata setelah membuktikannya sendiri, saya jadi tahu kalau memakai menstrual cup itu seperti enggak pakai apa-apa. Vulva juga enggak terasa lembab-lembab gimana gitu. Bahkan, kadang saya lupa kalau saya sedang mens.

2. Aman dan Tidak Menimbulkan Iritasi

Menstrual cup terbuat dari silikon medical grade dan tidak mengandung pemutih (klorin) yang pada jumlah tertentu, pada sebagian orang akan menimbulkan iritasi dan gatal-gatal. Selain itu, bagi pemilik kulit sensitif seperti saya, tidak akan lagi muncul lecet-lecet akibat gesekan pembalut.

3. Irit

Harga sebuah menstrual cup di Indonesia adalah Rp 75.000 – Rp. 800.000. Kok mahal? Eits, tunggu dulu, jika dirawat dengan benar, menstrual cup dapat bertahan selama 5-10 tahun.

4. Anti bocor (tembus)

Saat menstrual cup sudah dimasukkan ke vagina and sits safely up there, lipatan akan terbuka dan mulai menampung darah menstruasi. Menstrual cup juga tidak akan bergeser atau terlepas. Bahkan saya tetap bisa berolahraga HIIT tanpa khawatir tembus.

5. Tidak repot

Karena menstrual cup bisa menampung darah hingga 10-12 jam (untuk flow normal), berbeda dengan pembalut, saya tidak harus terlalu sering mengosongkannya. Saat mengosongkannya pun saya hanya perlu mengambilnya, membilas dengan air bersih atau wipes yang tidak mengandung alkohol dan pewangi atau mencucinya dengan sabun yang mild serta juga tidak mengandung alkohol dan pewangi.

6. Ramah lingkungan

Karena menstrual cup bisa digunakan kembali berkali-kali, bahkan untuk 5-10 tahun, saya tidak perlu membeli banyak pembalut atau tampon sekali pakai yang sampahnya susah banget untuk diurai oleh alam.

“Saya juga mau dong beralih ke menstrual cup

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum kamu membeli menstrual cup.

1. Ukuran

Biasanya, ukuran menstrual cup ada 2, yaitu S dan L. Beberapa merk menyarankan memilih ukuran berdasarkan umur dan apakah pernah melahirkan per vaginam atau secara cesar. Ada juga merk yang bilang bahwa kedua hal tersebut tidak penting karena kekuatan otot pelvis tiap wanita berbeda. Untuk saya pribadi, saya memilih dengan mengisi kuis ini.

2. Harga

Karena harganya juga tidak murah, sebaiknya sesuaikan dengan budget kamu. Akan tetapi, tetap pilih dengan bijak karena cup ini akan kamu gunakan di genitalia kamu. Jika kamu kerasa menstrual cup branded seperti Ruby cup, Lena cup, Yuuki, Moon cup, Diva cup, dll harganya terlalu mahal setelah masuk ke Indonesia, kamu bisa membelinya melalui jasa titip di situs seperti Airfrov.

3. Untuk kamu yang menggunakan IUD

Sebaiknya konsultasikan dengan dokter obsgyn dulu. Pastikan letak IUD kamu tidak bermasalah dan pastikan benang IUD kamu tidak terlalu panjang. Walaupun sangat jarang terjadi, saya pernah baca di forum online, ada wanita yang IUD-nya ikut terlepas saat dia melepaskan menstrual cup-nya.

:: end ::

Well, technically, this is my second post. My real first post was just a test post to see how this blogging platform works. I deleted it just a few minutes ago then write type this very post down.

I like writing as much as I like reading. When I made a blog, however, I just got so fed up about its design and its aesthetic aspect that I, then, forgot to actually post some writings of mine. Oh, the irony. That's why in the past few weeks I invested my time to search for a minimalist blogging platform.

Back then, I wrote in Blogger (I shut it down, I mean my blog, of course, not Blogger), Posterous (they shut the website down just a month after I signed up), Tumblr (it's blocked in my country, while I can use a VPN service, I still decided to leave the community), WordPress.org (it needs a lot of work—I shut mine because I got frustrated cause my site won't load as fast as the speed of light), WordPress.com (it loads fast but it still requires fairly much amount of work and I easily got distracted by its many features). And to be honest, I cringe so hard when I read my old posts. I may die from embarrassment.

At first, I want to use Svbtle but it doesn't have a free plan. I only write occasionally so I don't really want to use paid blogging platform. Then I remember that I signed up to Postach.io a few years ago and I never really posted anything on this platform.

Blogging with Postach.io is very simple; I just have to connect my Evernote account, make a notebook then sync it to Postach.io. Its interface is very clean and minimal. Its features are just enough for blogging. It doesn't have a lot of settings just like Wordpress has. It is definitely not suitable for a professional blogger but it suits me perfectly. Now I can only focus on writing rather than setting the blog and its appearance.

At least that's what I thought until I looked at the page...

Postach.io's Apex theme Postach.io's Apex Theme

My preferred theme is so messed up! I couldn't reach any customer service and got it fixed. I also couldn't access the CSS editor because it's only available to the premium user. Then I decided to give them a shout in Twitter and luckily I found out about this platform instead.

Write.as is waaay more minimalist than Postach.io (no hard feeling guys). Its interface is clutter-free. Adding images and formatting texts are also very easy. The provided tutorials are very helpful.

Anyway, I write this blog because I miss writing and blogging. I also want to sharpen my writing skill, broaden my vocabulary and de-clutter my mind. In the near future, I also want to review some books I've read or movies I've watched or maybe about how I raise my daughter.

Should I go to my LinkedIn profile and list “mommy blogger” to my resume now?

#blogging