write.as

I THINK HE KNOWS

Atra terlonjak kaget saat mendengar ketukan kencang pada kaca mobilnya, di luar sana ia mendapati Marcel dengan wajah begitu kaku tanpa ekspresi.

“Masuk.” ia membuka setengah kaca mobilnya, menyuruh yang di luar untuk masuk melalui sisi sebelah kiri.

“Pindah.” lugas dan tegas, Marcel memberi kode dengan dagunya menyuruh Atra berpindah ke bagian kursi penumpang di sebelah kiri. Tidak ingin berdebat Atra menuruti pinta yang lebih besar.

Setelah melihat Atra berpindah (tanpa keluar mobil) ke kursi di bagian sebelah kiri dan terduduk manis disana, Marcel masuk ke dalam mobil, menutup kaca yang semula terbuka untuk menghindari mata yang mungkin saja menangkap eksistensi mereka.

Tidak ada kata, tubuh Marcel masih setia menghadap serong sehingga bisa melihat Atra dengan jelas. Laki-laki di sampingnya ini — ah bagimana menjelaskan. Cuitan yang Marcel baca di Twitter dan pujian pujian yang beberapa orang berikan untuk Atra membuat ia menelisik dengan detail sosok di sampingnya — tidak diragukan, Atra memang memiliki pesona terpendam dan Marcel sudah menyadarinya sejak dulu — tetapi ia sedikit kesal karena belakangan ini semakin banyak orang yang secara terang-terangan menujukan ketertarikannya pada laki-laki manis di sampingnya.

“Cel..” Atra menyamakan posisi tubuhnya menghadap Marcel tanpa sadar membuat bajunya sedikit tertarik saat ia bergerak; sehingga bahu dan dada yang berwarna seputih susu semakin terkespos. Marcel gagal fokus.

“Lu bukan a-”

“Dateng sama siapa?” potong Marcel membuat Atra bungkam.

Sebenarnya Atra bisa saja dengan gamblang menjawab kalau ia datang dengan Gigi mantan kekasih yang masih ia cintai (mungkin?) tapi lidahnya terasa kelu saat matanya bertemu dengan milik Marcel. Ekspresi Marcel yang seperti sekarang; begitu kaku dan tampak serius seakan bisa menghancurkan apapun, sangat jarang Atra lihat, bahkan tidak pernah. Marcel selalu memiliki gurat tengil dikesehariannya, jadi wajar saja kalau air muka baru di hadapannya membuat Atra sedikit kikuk. Berbohong pun separtinya bukan pilihan yang baik.

“Sama Gigi.” Marcel tahu Gigi, ia sempat memiliki hubungan dengan perempuan itu.

“Dia minta lu jemput?” Atra mengangguk cepat.

“Kenapa?” ia balik bertanya dengan polos (sengaja) pura-pura bego saja.

“Ngapain jemput Gigi? Dia gak bisa naik ojol? Lu kan ada urusan buat ambil proposal.” rentetan pertanyaan Marcel membuat perut Atra tergelitik — aduh, Marcel yang terang-terangan sedang cemburu membuatnya gemas. Semalam Hugo sekarang Gigi.

“Ya gua pengen aja jemput Gigi, udah lama kita gak ngobrol banyak.” kali ini Atra lebih santai, ia jadi penasaran ingin bermain-main dengan Marcel.

“Oh yaudah.” hanya itu respon yang di dapat dan bukan itu yang Atra harapkan.

“Gigi tambah cantik, Cel. Pengen gua cium anjirrrrr mana wangi banget, wanginya masih sama dari waktu kita pacaran.” dasar sialan telinga Marcel sudah merah menahan letupan emosi, dan Atra dengan santai menuangkan minyak panas.

“Terus gua sengaja pake baju putih, Gigi pernah bilang kalo dia suka banget gua pake warna putih.” tawa Atra terdengar renyah diakhir — sedikit jujur ia memang merindukan Gigi.

Pandangan Marcel jatuh pada lekuk tubuh Atra, memang benar, untuk kali ini ia setuju dengan Gigi — Atra jauh lebih manis dengan setelan putih, dan warna terang lainnya. Pikirannya jadi melayang jauh, ditambah dada dan bahu Atra yang saat ini terpampang jelas seperti bentuk undangan untuknya; ada rasa tidak rela karena yang melihat itu bukan hanya dirinya hari ini.

“Gigi bilang gua semakin- ANJRIT.” dengan cepat Marcel menekan tuas di bawah kursi penumpang hingga kursi yang Atra duduki bergeser jauh ke belakang; membuat jarak antara dashboard, mata Atra membola sempurna karena dalam waktu persekian detik Marcel sudah berada di atasnya.

“JANGAN GILA.” sepertinya bermain-main dengan emosi Marcel bukan pilihan bagus.

“Gua setuju sama Gisel, baju putih cocok buat lu.” suara Marcel terdengar berat dan serak; kursi yang menahan beban keduanya sudah dalam posisi tertidur membuat mereka memiliki ruang yang sedikit bebas untuk ‘itu’.

“Cel… Ini masih di kampus.” sekuat tenaga Atra menyadarkan Marcel yang sepertinya tidak berhasil karena pandangan laki-laki di atasnya sudah terkuci pada bibir ranum miliknya.

“Cantik.” Cantik itu untuk perempuan, harusnya Atra kesal bukan malah bersemu saat Marcel memujinya seperti itu!

Ibu jari Marcel mulai berani bergerak menyusuri bibir Atra, menekannya hingga membuat benda kenyal itu sedikit terbuka. Keberani penuh Marcel memasukan jarinya kedalam bibir Atra dan entah setan darimana Atra menerimanya; yang di bawah terpejam, mengemut, menjilat, menghisap ibu jari Marcel hingga menimbulkan suara renyah.

Bulu mata Atra lentik, bibirnya merah seperti buah cherry, proposi wajahnya sempurna, sekarang laki-laki itu terpejam tampak indah dengan jari milik Marcel yang ia hisap begitu dalam. Bagaimana kalau yang Atra manjakan bukan hanya jari tapi ‘adik’ kesayangannya di bawah sama, pasti mulut kecil itu hangat, sumpah; kalau cairan milik Marcel menyembur di mulut Atra bukankah laki-laki itu akan jauh lebih manis? — setan Marcel jadi begitu mendamba.

Atra membuka mata, mendapati Marcel yang menatapnya penuh puja membuat kedua pipinya merona. “Ceeel, ciummm.”

Pinta Atra yang nomor satu — bibir keduanya menempel begitu lembut, perlahan dan sangat dalam, lidah Marcel bermain di dalam rongga milik Atra, mengabsen satu persatu deretan gigi disana, membelit cairan di mulut si manis hingga menciptakan benang saliva setiap keduanya membuat jarak dan kembali berciuman.

“Eumh!!” dengan cepat Atra memukul dada Marcel saat merasa ciuman Marcel semakin rakus dan nafas Atra mulai menipis karena laki-laki di atasnya tidak rela memberi jarak.

“Ceel.” rengeknya saat Marcel menjauhkan ciuman mereka. Dalam hati Marcel bersorak gembira melihat seorang dominan seperti Atra tampak kacau dibawahnya.

“Cantik.” tidak berhenti, ciuman itu turun ke leher, dengan sengaja Marcel menarik kaos Atra hingga beberapa kancing terlepas membuat sang empunya memekik — ingin menyumpahin Marcel tapi laki-laki itu lebih dulu menghisap kulit leher Atra membuatnya lengkuhan kecil lolos dibibirnya — Marcel meninggalkan bekas kemerahan (lagi) kali ini lebih atas membuat orang lain bisa melihatnya.

“Jangan banyak banyaaak.” Marcel menggeleng, sumpah Marcel seperti kesetannya tiap kali mencumbu badannya.

“Shit.”

“Sorryyyy.”

Mata Atra jatuh pada bagian bawah, Marcel menegang saat tidak sengaja dengkul di manis bergesekan dengan gundukan di bawah sana. Kalau boleh jujur Atra sedikit tergoda, apakah milik Marcel lebih besar dari miliknya? Tanpa sadar Atra menggigit bibirnya masih dengan melihat gundukan milik Marcel.

“Mau?” Marcel sadar kemana arah pandangan Atra, yang ditawari juga dengan cepat mengangguk dengan binar polos. SUMPAH ATRA YANG SEPERTI INI MEMBUAT MARCEL GILA.

“Good.” alih-alih membuka celana dan menyodorkan penisnya Marcel malah membelai hangat surai manis di bawahnya memberi kecupan pada wajah Atra. “Tapi gak sekarang, Sayang.”

“Kenapa?” tatapan itu masih sayu, ada kilat penasaran dari sinar Atra.

“Ganti bajunya pake jaket gua, oke?” lagi, Atra mengangguk nurut, toh bajunya sudah tidak terselamatkan.

“Terus lu mau kemanaa?”

“Ada urusan.” dengan cepat Marcel bergerak membuka pintu setelah mengecup bibir Atra, meninggalkan laki-laki manis dengan bekas merah di leher akibat perbuatannya. Atra paham, urusan yang dimaksud Marcel adalah ‘urusan’ itu tapi yang membuatnya terheran, kenapa Marcel tidak meminta bantuannya, padahal Atra bisa kok kalau hanya sekedar mengocok atau menjilat.