“Pacarku keren, pacarku ganteng! Tapi bau kecut.” Patricia mencubit hidungnya seraya tangannya menggandeng lengan pacarnya yang masih berkeringat itu sehabis latihan futsal.

“Kecut, katanya. Terus kenapa nempel?” Ledek Leona yang mematahkan cubitan Patricia di hidungnya sendiri. Percakapan pun berlanjut biasa hingga mereka masuk mobil.

“Sayang, pulangnya telat gapapa ya? Kakiku masih kemeng habis main bola.” Keluh Leona, sandaran kursi dimundurkan untuk ruang kaki yang lebih luas. Patricia tidak masalah, malahan kalau dipaksakan yang ada kecelakaan, lagi pula dirinya tidak bisa menyetir kendaraan beroda empat ini.

“Seminggu ini kita baru sekarang, benar-benar berdua, kan? Tadi pagi ke gereja, terus makan siang, sorenya lanjut aku futsal.” Itu cara Leona merajuk, tepukan di pahanya saja sudah cukup membuat Patricia paham, pacarnya ingin afeksi fisik, bermanja dengan hangat tubuhnya.

“Tapi kakak katanya kakinya krammmm. Nanti makin pegel pangku aku.” Badan Patricia bergerak mencium pipi kekasihnya, tetapi tangan Leona lihai, menjadikan ini kesempatan untuk menarik gadisnya ke pangkuannya.

“Kak Leona, ih!” Patricia menggerutu, tapi badannya otomatis menyender ke dekapan si pemuda.

“Mau cium dong.” Di pangkuan Leona ada Patricia dan kedua tangannya sudah melingkar di pinggang gadisnya. Wajahnya ditempelkan di dagu sambil memohon tipis-tipis untuk kecupan di bibir.

“Kan tadi sudah di pipi kak.” Goda Patricia pura-pura tidak tahu. Padahal dirinya tahu betul yang dimau kekasihnya bibirnya yang dilapisi tint merah muda itu sekarang.

“Sayanggg-” Leona baru saja mau merengek kesal. Buru-buru Patricia kecup dia di pipi yang belum disentuhnya.

“Masih salah sayang, yang aku mau tuh-”

“Disini?” Dengan kilat Patricia cium kening lelaki bersurai cokelat itu.

“Bukan, maksud aku-”

“Sini kan?” Lagi-lagi dipotong dan ciuman mendarat di dagu si pemuda, suara gerutu keluar lewat nafas hidungnya.

“Sayang, yang aku mau-”

“Iyaaa, bercanda hehe. Iseng aja, isengin kakak.” Lalu dicumbu juga si pemuda di bibir, senyum tipis terulas di bibir keduanya. Sama-sama puas.

Seperti yang sudah-sudah, pertemuan bibir ini tidak ada maksud yang lebih dari ini. Hanya ciuman inosen di antara kedua kekasih, namun sepertinya susah mengendalikan hasrat jika diberi kesempatan lebih. Leona susah menampik kalau faktanya dada si gadis yang menempel di kain baju futsalnya sangatlah menggoda.

Matanya melirik untuk sesaat, untuk sadar tumpukan lemak milik si gadis yang cukup besar itu pernah dipegangnya, dengan cara sangat tidak senonoh berkali-kali di waktu itu. Dan sepertinya membesar ukurannya. Dibandingkan waktu kemarin, terasa oleh Leona lewat kain futsalnya lipatan garis pakaian dalam yang tersembunyi di balik gaun floral selutut yang dikenakannya hari ini.

Belum lagi perpindahan posisi Patricia yang menempel bibirnya dengan panas ke bibir Leona. Bokongnya yang bergesek dengan paha si pemuda, dan yang terbaru, kulit Leona bergidik sedikit ketika miliknya yang keras dan terbalut celana itu, mendarat di belahan bokong gadis cantiknya.

“Kak Leona!” Jerit Patricia detik milik Leona yang semakin mengeras di belahan panggulnya. Rasa malu, walau mereka sudah melakukannya beberapa kali, tetap sama dan ada.

“Sayang… kayaknya kamu balik ke tempat duduk kamu deh. Aku tunggu ini reda nanti kita langsung jalan, oke?” Leona malu, menutup setengah wajahnya dengan satu tangan.

“Memangnya kamu ga ada kondom di mobil?” Tanya Patricia blak-blakkan. Toh sudah sejauh ini, dan sudah lama juga mereka tidak melakukan ‘itu’. Tidak apa-apa bukan?

“Ngga ada lah, kan kita gak punya rencana… Juga, ini tanggal bahayanya kamu.” Leona geleng-geleng kepala. Frustasi karena hasrat liarnya harus dikontrol untuk kali ini hingga sampai di rumah, biarkan fantasinya akan Patricia yang mengurus permasalahan juniornya untuk nanti malam.

“Kok kamu terus sih yang lebih ingat daripada aku?” Patricia masih terheran-heran dengan ini, dari dulu jauh sebelum mereka melakukan, si lelaki memang sudah perhatian, tiap tanggalannya datang dibelikan stok dan makanan manis, ada juga minuman perisa untuk meredakan sakit. Patricia sendiri waktu awal pacaran tidak menyangka si pemuda adalah tipe yang perhatian, Leona sendiri terkaget-kaget dengan dirinya yang sangat memperhatikan.

“Ya sudah, mau bagaimana lagi.” Leona mendengus nafas kasar, penuh kesal dan kecewa akan nafsunya yang sedang liar-liarnya sekarang merusak momen berdua dengan si kekasih. Kiranya si gadis akan kembali duduk ketika tiba di kursi penumpang, malah menunduk, lutut dilipat, jari menarik karet celana futsal dan pakaian dalam Leona.

“Kamu ngapain-!” Leona terheran-heran, namun tangannya tidak menghentikkan juga. Tertantang untuk melihat langkah selanjutnya yang akan dilakukan gadis cantiknya.

“Mau coba atau tidak? Kali pertama sih, aku tidak yakin juga aku akan langsung lihai.” Tawar Patricia, tapi bibirnya sendiri sudah mengecup ujung milik Leona, merangsang milik si pemuda untuk membesar lebih dari ini.

“... Mau.” Leona meneguk ludah, pikirannya sudah tidak jernih, begitu juga Patricia, dua insan yang dikendalikan oleh nafsu.

Ironis, pagi tadi beribadah, petangnya malah melakukan dosa di parkiran mobil. Untung kaca mobil hitam, sulit ditangkap kamera dan tidak ada orang disekitar yang tersisa. Realita anak muda bermadu kasih biasanya begitu di jaman kian maju ini, memang godaan hasrat jauh lebih licik dibanding pikiran jernih.

Patricia membuka mulutnya, nafasnya terengah-engah, pelan-pelan memasukkan burung yang tidak bisa terbang milik pacarnya itu ke dalam mulutnya semua. Deru nafasnya menyentuh milik kulit Leona yang masih tersisa diluar, tampak ngos-ngosan. Belum lagi milik Leona yang membesar tiba-tiba, mana panjang pula, membuat Patricia tersedak sedikit, air mata hampir jatuh dari ujung sudut matanya.

Jangan salahkan Leona, dirinya juga mau si gadis bisa dengan nyaman ‘memakan’ miliknya, namun apa boleh buat, pemandangan yang dia lihat dari atas ini adalah pemandangan yang belum dia lihat sebelumnya. Patricia duduk di lutut untuknya, bibir memalut punyanya hampir habis sekarang, di kulit ujungnya membekas tanda noda merah muda dari lipstik yang dipakai gadisnya hari ini. Tambahan juga, dada kekasihnya yang dibalut gaun, terlihat dari atas menggelantung dibatasi pakaian dalam.

Leona bingung, tangannya harus dikemanakan. Ini kan pertama kali, namun instingnya berkata untuk menjambak rambut gadis cantiknya. Tapi, nanti bukannya akan sakit? Dia tidak mau menyakiti Patricia. Sentuhan ujung jarinya ragu-ragu, mengelus pucuk kepala si gadis.

“Pat, sayang, semuanya bisa masuk. Pelan-pelan saja, oke?” Leona menenangkan Patricia yang mengangguk pelan dengan suara yang terhimpit milik Leona di mulutnya, setengah menahan tangis. Milik Leona terlalu besar, rahangnya rasanya mau menyerah saja untuk mengakomodasi penis kekasihnya ini yang tidak tahu kapan waktunya untuk berhenti membesar.

Sedikit lagi hampir masuk semuanya, Patricia pun memberanikan diri memaksa yang tersisa masuk dalam sekali hentakan, dua tangannya mencengkram paha si lelaki, ujung milik Leona yang panjang menghantam belakang tenggorokannya, membuatnya hampir menjerit dan menggigit milik kekasih dengan gigi yang tajam. Sosok Patricia yang tidak berdaya, wajah memerah ini benar-benar adalah godaan paling hebat yang pernah Leona lawan untuk mengontrol dirinya. Untuk tidak menjambak rambut si gadis dan menggunakan mulutnya dengan kasar berkali-kali meraup penisnya keluar masuk sampai si kekasih sedikit tercekik.

Patricia pun lanjut mengulum milik Leona, dimulai dengan pelan pelan, rahangnya rasanya sudah capek, tapi Leona masih sekeras ini, belum ada tanda-tanda mau mengeluarkan miliknya. Awalnya pelan-pelan, dan Leona mulai sedikit demi sedikit kehilangan kontrol atas dirinya, tarikan pelan pada rambut Patricia pun dimulai. Mulanya satu, lama-lama jadi tiap lima detik, hingga angka lima berubah menjadi per satu. Mulanya, lembut, lama-lama jadi kasar yang membuat gadis dibawahnya ini hilang nafas sesaat, apalagi tiap kali dia melihat panggul Patricia yang ikut bergerak dan naik turun, mengekspos celana dalamnya. Patricia juga mempercepat interval Leona masuk dan keluar dalam mulutnya, Leona semakin basah dari kulumannya, tangan Patricia juga ikut membantu, membelai kedua bola yang tersisa diluar, menstimulasi si pemuda untuk ejakulasi lebih cepat.

Patricia masih lanjut bekerja dengan bibir merah mudanya yang sudah mewarnai penis Leona, namun si pemuda sudah tahu sebentar lagi dia akan keluar. Rencananya Patricia sih, dia akan melepasnya sesaat sebelum terjadi, lalu membuat si pemuda ejakulasi dengan tangannya. Namun Leona punya rencana lain, dirinya ingin melihat gadis cantiknya minum ‘cairan’ yang keluar dari dirinya dan melihat lekat-lekat wajah si gadis selama dirinya keluar di tenggorokan dengan isi mulutnya penuh, tidak bisa berbicara atau melawan karena saking penuhnya akan dagingnya.

Bukannya bilang mau keluar, satu tangan Leona membelai wajah Patricia dan memegang dagunya agar mata si gadis menatap wajahnya lekat-lekat. Leona mendengus nafas kasar dan tangan lainnya menjambak rambut si gadis kuat-kuat. Tangis bergulir dari sudut mata dan erang isakan hampir keluar membuat rahang terbuka lebih lebar dan disitu Leona menggunakan kesempatan ini untuk menghantam ujung kepalanya ke belakang tenggorokan Patricia sekali lagi, sebelum seluruh cairannya keluar mendadak bagai ombak jatuh tepat di tenggorokan si gadis dengan deras dan kasar. Leona mengerang hingga semuanya keluar mengisi faring gadis cantiknya hingga penuh.

“Telan ya, jangan dimuntahkan.” Intonasinya mungkin sedikit lembut, namun Patricia tahu itu adalah permintaan, lebih tepatnya titah yang harus dikabulkan. Patricia mengangguk pelan semampunya sebelum Leona menarik miliknya keluar dan melihat genangan cairannya ditelan dalam-dalam oleh Patricia yang memejamkan mata sambil bergidik, susah meneguk karena kekentalan larutan Leona.

Patricia sempat terengah-engah, kehabisan nafas, rahangnya lelah, namun komplen langsung dikeluarkan,

“Peju kamu ga enak, pahit. Kalau kamu mau aku makan lagi, kamu harus makan banyak buah dulu biar manis.” Leona tidak tahu harus tertawa apa tersinggung melihat kritik brutal gadisnya, memilih opsi untuk berterima kasih saja mau ‘dirawat’ gadis cantiknya.

“Makasih ya, sayang.” Suara Leona penuh afeksi, sudah siap menyetir sepertinya. Akan berbahaya jika ini dilanjut lebih jauh di suasana parkiran mobil yang berbahaya untuk mereka berdua ini.

Patricia bangkit duduk , Leona kira mau kembali ke posisinya semula di kursi penumpang, duduk manis. Malah merangkak kembali ke pangkuannya, lalu dicium bibirnya panas, sambil merasakan sisa air mani dirinya yang bercampur saliva milik si gadis. Ditarik tangan Leona untuk pergi ke bawah gaunnya, dan diletakkan tepat di bawah bibir bawahnya untuk ditangkup telapak tangannya.

“Basah karena kamu, tanggung jawab dong.” Bisik Patricia memutuskan ciuman mereka. Aduh, burung Leona sesaat langsung tegang kembali. Basah betul penuh liur bibir bawah si gadis dan ini semua karena dirinya. Tetapi mana mungkin melakukannya lagi, rahang gadisnya sudah kelewat lelah, dan tidak ada pengaman sama sekali. Mungkin harap saja frustasinya akan ikut keluar lagi saat melihat jarinya menyelinap di dalam lubang kekasihnya.

“Ya sudah, sini aku bantu.” Leona baru saja mau dengan jarinya menyingkap celana dalam si gadis ke samping untuk masuk. Tetapi, malah ditahan oleh Patricia sendiri.

“Gak mau, aku maunya masuk.”

“Kan kamu tahu, gaada kondom. Mau nunggu, kita ke minimarket yang dekat terus mampir hotel dekat sini? Atau mau lidahku saja?” Tawar Leona, tentu saja akal sehatnya tipis-tipis masih jalan. Namun tidak dengan si gadis yang sepertinya sudah dibutakan total oleh hawa nafsu.

“Nggak, maunya sekarang. Juga peju kamu lebih enak di dalam, hangat.” Wajah Leona langsung memerah mendengar bagian akhir dari rayuan gadisnya yang kepala batu itu. Masih keras kepala sepertinya, Leona bohong kalau dirinya tidak mengeras dan mau buru-buru menidurkan gadis cantiknya di kursi belakang secara terlentang. Namun dirinya tahu lebih baik daripada itu.

“Pat, kamu tahu konsekuensinya kan? Nanti, kemungkinannya kamu hamil anak aku lho.”

“Ya sudah, tinggal kamu nikahin aku aja. Emangnya kakak gak mau nikah sama aku?” Dan baru sekarang akal sehat Leona benar-benar hilang, sudah dirampas oleh nafsu yang membludak mendengar rajukan keras kepala Patricia.

“Kamu yang bilang ya, jangan nyesel kalau tiga bulan lagi kita nikah mendadak.” Leona menggurutu. Ditampar tiba-tiba pantat Patricia hingga bergetar hebat kedua daging di panggulnya itu menyebabkan Patricia menjerit.

“Ke belakang, sekarang. Buka kakimu lebar-lebar.” Titah Leona yang langsung dituruti gadis berambut hitam pendek ini. Leona langsung menyusul, menanggalkan celananya yang sudah ditarik setengah jalan oleh Patricia tadi.

Si gadis langsung diterkam tanpa basa basi terjadi, miliknya dalam satu tarikan mengisi vagina si gadis, menyentuh ujung rahim, bagian terdalam dirinya. Teriak parau keluar dari bibir Patricia yang terkaget dengan Leona yang sama sekali tidak menunggu. Untung saja kali ini lebih mudah masuknya dibanding kali pertama karena dia sudah terlalu basah. Cairannya membantu milik Leona masuk dengan lebih mulus, walau tetap saja sakit rasanya karena sempit dan miliknya yang menghimpit dinding Patricia dengan sangat ketat. Eluhan karena nikmat dikeluarkan tiap detik Leona bergerak keluar masuk vagina Patricia.

“Kak Leona,” racau Patricia berkali-kali memanggil nama si pemuda. Tangannya menggantungkan diri di leher lelakinya, sedangkan tangan Leona menggerayangi sekujur tubuhnya terutama dadanya. Meremas kedua gundukan miliknya yang kian besar dibawah sentuhannya, membuat si gadis kian bergairah, menggerakkan pinggulnya untuk bertemu si pemuda di dalam lebih dekat lagi.

Dirasa oleh si pemuda, gadisnya sudah mau keluar, jarinya pun pindah dari melucuti ujung dada Patricia ke klitoris miliknya. Diraba-raba ujung jarinya disana hingga Patricia menangis, memberitahu apa yang akan terjadi.

“Kak, aku mau keluar!” Klimaks pun menghampiri si gadis saat itu juga, meneriakkan nama kekasihnya sambil kukunya memberi tanda di punggung yang dipegang erat itu. Leona merasa dirinya juga sudah hampir batasnya saat ombak itu menghantam Patricia dan membaluri penisnya dengan cairan miliknya.

“Ini mau kamu ya, kamu yang mau aku keluar di dalam.” Leona ingatkan sekali lagi. Patricia setengah mengangguk masih keenakan, setengah sadar tidak sadar.

“Kamu yang mau pejuku yang banyak dalam kamu kan? Supaya punya anakku, nikah sama aku kan?!” Hardik Leona lagi yang dibalas eluhan Patricia, sebelum dirinya menghentakkan pinggangnya sekali lagi, penetrasi di ujung uterus Patricia. Walau si gadis masih mengerang, belum selesai dari klimaksnya yang panjang karena gesekkan dari Leona. Yang akhirnya, malah membentuk klimaks lain, hingga cairannya keluar bagai ombak setelah ombak itu, terus menerus mengucur membasahi dinding dalamnya, membaluti kemaluan Leona.

Leona masih terengah-engah sambil keluar memperhatikan wajah gadisnya yang keenakan tidur di kursi mobil ini. Apa iya dia yang merusak si gadis yang awalnya tidak tahu apa-apa ini? Atau si gadis dengan lekuk tubuhnya, (tidak lakukan apa-apa, cuma hasrat natural ketika dipandangi itu masih ada) menggodanya hingga jatuh ke dosa-dosa ini bersama-sama untuk pertama kalinya juga? Mereka lebih liar, dari percintaan remaja biasa hingga ke dua anak muda di awal kepala dua yang melakukan hubungan suami istri di parkir lapangan futsal. Ah, tapi ini bukan waktunya memikirkan itu, malah terbesit di dirinya pikiran yang lebih liar lagi.

“Apa lebih baik kamu beneran hamil ya, biar aku keluar di dalam tiap hari?” Giliran Leona yang meracau tidak jelas lagi ketika klimaks mereka berdua berakhir. Wajahnya mendekati milik si gadis dengan tatapan yang sangat berbahaya.

“Mau, asal itu Kak Leona.” Balas Patricia dengan nalar yang setengah sinting sehabis bercinta.

“Mau juga, asal itu kamu seorang, cuma Patricia.” Balas Leona yang kedengarannya manis dan mencumbu bibir si gadis itu lagi, kaki si gadis membalut dua pinggangnya. Oh, sepertinya sesi bercinta belum selesai juga hari ini.