A Moment Called Happiness

Sepenggal kisah tentang sepasang anak manusia yang sedang belajar menjadi orangtua .

Any fool can have a child. That doesn’t make you a father. It’s courage to raise a child that makes you a father.


“Ayah!! Bangun!!” Teriak antusias seorang anak berambut ikal yang sedang melompat-lompat di atas kasur. Sang ayah, yang masih asyik berkelana di alam mimpi, samar-samar mendengar suara semangat dari si kecil. Namun, ia tak kunjung membuka kelopak matanya dan malah menarik si buah hati ke dalam dekapannya.

Kukuruyuk~ wake up, Ayah!” Ia menirukan suara ayam berkokok. Tangan mungilnya mengacak surai hitam milik sang Ayah, kemudian mencubit kedua pipinya gemas.

“Lima menit lagi ya?” Aku semakin mengeratkan pelukan.

“Tapi kan... Ayah sudah janji sama Nino buat main hari ini,” jelas sang Jagoan kecil yang akan merayakan ulang tahun kelimanya di bulan April. Ia memiliki bulan lahir yang sama dengan kesayanganku nomer satu, Krit.

Aku dan Krit memutuskan untuk meresmikan hubungan kami di kantor agama empat tahun yang lalu. Ini adalah tahun ketiga kami menjadi orang tua untuk lelaki kecil yang menjadi alasanku pulang ke rumah tepat waktu.

Saat itu usia kami tergolong muda, pernikahan yang kami jalani pun masih seusia jagung. Namun dengan berbekal nekat dan saling percaya, kami memutuskan untuk mengadopsi seorang balita laki-laki dari salah satu panti asuhan. Kami memberinya nama, Nino yang dalam Bahasa Italia memiliki arti kebaikan dari Tuhan. Sesuai dengan namanya, kami ingin ia tumbuh menjadi lelaki kecil yang penuh semangat dan membawa energi positif serta kebaikan bagi sekelilingnya.

Seaworld kan buka jam sepuluh, sayang” kataku sambil menunjuk jam dinding kamar. Jarum jamnya masih menunjukkan angka enam lebih lima belas, yang artinya masih ada beberapa jam lagi untuk bersiap-siap.

“Nino mau berangkat sekarang, yah. Biar bisa main sama lumba-lumba duluan,” rengeknya. Kami memang sudah merencanakan untuk bertamasya ke Seaworld di akhir pekan sebagai salah satu hadiah ulang tahunnya. Omong-omong, aku suka mendengarkannya bercerita mengenai film petualangan seekor ikan, Finding Nemo yang berulang kali ditonton dan tak pernah bosan.

“Tapi lumba-lumba mau sarapan dulu, Mas Nino” Tampak sosok lelaki bersurai cokelat, berdiri di depan pintu kamar – Krit dengan kaos oblong yang kebesaran dan celana pendek berwarna pink. Dirinya tetap terlihat begitu menawan di pagi hari meskipun kulitnya sama sekali belum dibasuh oleh air.

Selama sepuluh tahun mengenal Krit, aku masih tercengang kagum melihat sisi lain yang tidak pernah ia tunjukkan selama kami masih menjadi sepasang kekasih. Ia yang awalnya memiliki banyak keraguan sebelum kami memutuskan untuk mengadopsi Nino, kini lebih jago dalam mendidik buah hati kami.

Berbeda denganku yang suka mengajak Nino untuk beraktifitas di luar ruangan, suamiku yang pandai memasak ini suka mengajarkan Nino keterampilan yang membutuhkan fokus tinggi. Menyusun puzzle adalah salah satu contohnya. Untungnya, Nino tidak pernah bosan saat diajak bermain oleh Krit.

“Nino mau sarapan telur ceplok, Pa...” Si kecil yang paling takut dengan hewan melata ini berlari ke arah Krit dan memeluk betisnya.

“Okay… Chef Nino, bantuin Papa masak ya?” Sebuah anugerah di setiap pagi untuk bisa menyaksikan interaksi dua entitas penting dalam hidupku. Ada rasa damai dan tentram melihat mereka bisa tertawa. Krit, kini menggendong buah hati kami ke atas pundaknya, mengajaknya keluar menuju dapur untuk membuat sarapan.


“Mas, cepetan mandi gih! Anaknya udah nungguin tuh.” Ia menarik selimut dari tubuhku, membiarkan hawa dingin dari AC menusuk kulitku.

Aku masih belum sepenuhnya tersadar saat Krit mendekatkan wajahnya. Ia mencium bibirku lembut, “Good morning” dan memperlihatkan sederet gigi putihnya. Caranya menyambutku setiap pagi adalah sebuah adiksi yang tak bisa aku lepas.

“Sini aja dulu…” Aku menarik tubuhnya hingga kini posisinya berada diatasku. Aroma khas bunga freesia menguar dari ceruk lehernya, menggodaku untuk memberikan tanda disana.

“Wrong timing, babe” Ah! Panggilan itu. Nama yang selalu berhasil membuat adrenalin terpacu setiap mendengarnya.

“But, it’s always right to do the wrong things” bisikku. Aku melihat semburat merah pada kedua pipinya. Menggemaskan, batinku.

Tanpa kata, aku mengangkat tubuhnya – menggendongnya ke kamar mandi dan memastikan kembali bahwa kamar kami telah terkunci. Adrenalinku semakin terpacu ketika mendapati Krit tanpa sehelai benang menungguku di dalam shower box – netra kami bertemu; saling tenggelam dalam hasrat.

Tanganku dengan penuh keberanian menelusuri keindahan Tuhan yang tak pernah aku dustakan. Wajahnya yang ditandai oleh beberapa tanda lahir, salah satunya di bawah mata kirinya. Kedua kelopak mata yang biasanya menampakkan iris berwarna cokelat madu, kini tertutup rapat seolah menikmati sentuhanku. Jariku tidak berhenti untuk memuja lekuk wajahnya dan dengan perlahan membelai tulang pipinya, lalu hidungnya yang bangir serta bibir tipisnya yang berwarna merah jambu. Aku kembali disihir oleh pesona seorang Krit.

Dua puluh empat jam masih belum cukup untuk memuja keindahan seorang malaikat tanpa sayap yang berada dihadapanku ini. Aku semakin mengila.

Suara desahan membuyarkan keheningan pagi saat tanganku menikmati keindahannya di bawah sana. Aku yang saat itu tengah memainkan kepemilikannya perlahan seolah-olah tersihir dengan raut wajah yang ia suguhkan padaku. Bulu mata lentiknya mengerjap, napasnya masih tak beraturan. Lalu, ia terdiam sejenak – berusaha menetralkan rasa setelah mencapai surga pertamanya.

Garis pandang ku turun menatap bibirnya, kemudian mengangkat dagunya untuk mempertemukan netra kami kembali, dan aku bergerak – melanjutkan petualanganku untuk mencari surga selanjutnya.

Entitasnya adalah sebuah adiksi. Ia akan selalu berhasil memporak-porandakan pertahananku dan menarikku kembali ke dalam lubang hitam tak berujung.


“Papa… Ayah… Kok lama banget?” tanya Nino saat kami berdua menghampirinya di meja makan.

“Hehehe… sarapan yuk, nak?” ujarku mencoba mengalihkan topik. Belum saatnya Nino mengetahui hal yang terjadi di balik pintu kamar kedua orang tuanya.

Krit kemudian meletakkan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi setengah matang di depanku, “Makan yang banyak biar kuat main sama Nino hari ini.” – tentu saja, apalagi setelah mendapatkan asupan kasih sayang dari suamiku tercinta.

“Nanti Nino mau main sama lumba-lumba dulu ya, Ayah? Terus kita kasih makan Uncle Shark, ya?” ujarnya sembari memamerkan kotak bekal berisi sandwich yang telah ia siapkan dengan Krit pagi tadi. Sifat ceriwisnya merupakan turunan karakter yang ia pelajari dari PP – panggilan kesayanganku untuk sang suami.

Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya jika saat itu hak asuh Nino jatuh kepada orangtua kandungnya. Benar, Nino terpaksa dititipkan di panti asuhan sehari setelah dilahirkan ke Bumi karena himpitan ekonomi yang menimpa keluarganya. Namun saat mengetahui kami akan mengadopsinya, mereka kebakaran jenggot – tidak terima jika anak kandungnya harus diasuh oleh orang lain dan sempat meminta kompensasi karena sudah melahirkan Nino hingga melayangkan gugatan kepada kami karena tak mendapatkan jawaban sesuai dengan keinginannya.

Perjuangan kami untuk mendapatkan hak asuh terhadap Nino tidaklah mudah. Oleh karena itu, aku sangat bersyukur ia hadir diantara kami. Aku ingin mengelilinginya dengan hal-hal baik agar ia tumbuh dan mekar seindah bunga matahari.


“Okay, kita sudah sampai!” Krit dan Nino adalah dua hal dalam hidupku yang akan terus kuperjuangkan hingga akhir hayat. Melihat mereka tersenyum bahagia, menyalurkan rasa hangat di dadaku – bangga karena bisa menjadi ayah sekaligus suami untuk dua orang lelaki yang sama bebalnya ketika sakit.

“Papa! Nino mau balon Nemo!” Ia menunjuk sebuah kedai yang menjual pernak-pernik berbau hewan laut.

“Tunggu ya.. Ayah beli tiket dulu setelah itu kita beli balonnya, okay?” Berbeda dengan Krit, aku termasuk tipikal ayah yang selalu berkata 'Iya' terhadap semua permintaan buah hatiku.

Kami mampir sebentar di kedai pernak-pernik untuk membelikan balon Nemo kemudian menggandeng tangan Nino dan berjalan menuju pintu masuk Seaworld.

“Ayah.. Ayah.. Lihat ikannya punya sayap!” pekik Nino saat melihat seekor Stingray yang melintas di depan mata kami.

“Itu namanya Stingray,” jelas Krit kepada lelaki kecil yang bercita-cita menjadi astronot ketika dewasa nanti.

“Look! It’s Uncle Shark, Papa!” nadanya gembira saat mendapati seekor Leopard Shark mendekat ke arah kaca. Nino tak henti-hentinya mengeluarkan suara takjub dan menyebutkan nama-nama ikan yang ia lihat. Entah dari mana ia mengetahui semua namanya, mungkin dari buku ensiklopedi hewan yang pernah kami belikkan untuknya atau mungkin juga dari film-film kartun yang sering ia tonton bersama Krit.

“Ayah, let’s give the lunchbox to Uncle Shark!” Nino menarik tanganku – mengajakku pergi ke wahana selanjutnya dimana pengunjung bisa melihat dan memberi makan ikan hiu dari dekat.

Rencana untuk mengajak Nino travelling dan mencoba hal-hal baru secara langsung merupakan keinginan kami sebelum ia mengenyam pendidikan taman kanak-kanak tahun depan.

Kami tidak ingin mengekang Nino dengan berbagai kegiatan akademik yang sebetulnya belum ia butuhkan di usianya yang masih belum genap lima tahun. Kami ingin Nino menikmati masa kecilnya tanpa beban. Kami berharap ia bisa menikmati serunya bermain di alam sekaligus belajar dari hal-hal yang ia temui di luar sana. Bagi kami kebahagiaan, Nino adalah yang utama dan kami ingin membentuk Nino menjadi pribadi yang penuh cinta.

“Papa, kenapa Uncle Shark ga mau roti buatan Nino?” tanya Nino penasaran saat salah satu petugas memberikan tanda larangan untuk tidak mengeluarkan tangan dari pagar pembatas.

“Karena—” Krit menahan tawa dan menoleh ke arahku; meminta bantuan untuk menjawab, “— Karena hari ini Uncle Shark ngidam makan daging, sayang” jelasku kepada Nino. Geli, bagaimana bisa kami berubah seratus delapan puluh derajat setelah menjadi ayah?

“Setelah ini kita ke rumah si Lumba-Lumba ya, yah?” lanjut Nino yang menyadari kegiatan memberi makan ikan hiu akan segera usai.

Nino kini duduk di atas pundakku. Tangan kiriku menahan tumbuhnya agar tidak terjatuh sementara tangan yang lain mengandeng Krit. Kami berjalan beriringan menuju wahana kolam lumba-lumba.

“Ayah, Nino mau berenang sama lumba-lumba!” serunya begitu kami sampai di depan pintu masuk kolam renang.

“Tapi kan Nino gak bawa baju ganti?” Krit mencoba membujuk Nino untuk tidak masuk ke dalam air. Maklum, Nino terkenal rewel jika sudah kelelahan.

“Tapi Nino pengen.. ya.. ya.. ya.. boleh ya pa?” Ia memohon kepada Krit dengan ekspresi wajah dibuat persis seperti Puss in Boots. Krit tersenyum dan mengangguk, tak bisa menolak permintaan anak semata wayang kami ini.

“Udah gak papa, nanti kalau rewel biar aku yang ngurusin.” Aku mencoba menenangkan Krit dari rasa khawatirnya yang berlebih.

Menjalani hari-hari sebagai orangtua dengan Krit bagaikan mengendarai wahana roller coaster, ia akan bersemangat di saat tertentu namun menjadi uring-uringan saat Nino tidak mendengarkan perkataannya.

Di awal-awal pernikahan kami, Krit pernah membahas jika ia tidak ingin memiliki anak – mungkin karena trauma terhadap masa lalu. Ia selalu berkata bahwa ia hanya akan membawa pengaruh negatif dalam kehidupan sang anak. Ia merasa tidak pantas untuk menjadi sosok panutan, namun kenyataannya ia justru berubah menjadi sosok ayah keren setelah Nino masuk ke dalam kehidupan kami.

“Look Papa! Dolphin kisses Nino!” Krit memotret Nino dengan ponselnya saat mendapati seekor lumba-lumba mendekatkan moncongnya ke pipi si jagoan kecil.

Hampir satu jam, Nino berpetualangan bersama lumba-lumba. Aku segera mengajak Nino untuk membilas tubuhnya dengan air bersih dan berganti pakaian.

Nino mengalungkan tangannya di leher Krit, menyembunyikan wajahnya dan berkata, “Papa… Nino capek” Here is come trouble, batin Krit.


“Hari ini Nino senang banget!” Keceriaannya kembali lagi setelah tidur tiga jam tanpa interupsi.

“Senangnya gimana, sayang?” tanyaku penasaran.

Hal yang paling seru menjadi seorang ayah adalah mendengarkan sang anak bercerita tentang harinya. Rasanya lega bisa mengetahui sang jagoan kecil menjalani hari dengan gembira dan aman.

“Tadi Nino ketemu sama Uncle Shark, terus ada Nemo juga, ada Squidward, ada ikan kelelawar dan berenang sama lumba-lumba.” Dengan penuh ekspresi, ia menceritakan bagaimana serunya berpetualang sehari penuh di Seaworld dan bertemu hewan-hewan laut.

Aku dan Krit mendengarkan celotehan anak tunggalku ini dengan antusias, sesekali menimpalinya dengan beberapa pertanyaan sederhana.

“Nanti kalau Nino sudah besar, kita pergi ke bulan naik pesawat ya?” Mendengar hal itu, aku terharu. Aku menganggukan kepala lalu mencodongkan badanku ke arahnya, membawa Nino ke dalam dekapan.

Kini, tak ada lagi ke khawatiran tentang bagaimana kami harus menjadi sempurna untuk Nino. Karena sejatinya, kami hanya dua entitas ciptaan Tuhan yang tak pernah luput dari kesalahan. Tuhan begitu baik telah memberikan kami kesempatan untuk menjadi orangtua Nino.

Jika bukan karena kenekatan kami saat itu, kehidupan kami sudah pasti berwarna hitam dan putih saat ini. Lelaki kecil yang sangat mengidolakan tokoh fiksi Avengers ini berhasil memberi warna dalam hidup kami, menjadikannya lebih hidup.

Dan kami tak salah memberinya nama Nino, ia hadir layaknya kado terindah yang dikirim oleh Tuhan sebagai penyemangat nomer satu kami untuk menjadi lebih baik.

“Say my name when you’re hurting and I’ll take the demons away.” bisikku kepada Nino. Secuil janji dari kami, Billkin dan Krit sebagai orangtua untuk selalu melindungi Nino, superhero kecilku sampai akhir hayat.

“I love you.. Ayah.. Papa..”


Writer's Notes:

Written for BKPP Universe Fest and based on Prompt Aquarium Date.

Tulisan sederhana ini aku dedikasikan untuk Bapak, sosok atasan; mentor; ayah kedua sekaligus sahabatku di kantor yang baru saja berpulang. Bapak, kau meninggalkan kami dengan segudang kenangan indah yang akan selalu mendapatkan tempat khusus di hati. Beristirahatlah dengan tenang, biar kami yang meneruskan kebaikanmu. Selamat jalan, sahabatku 🖤

Tak ada hentinya kuucapkan terima kasih untuk teman-teman yang telah bersedia untuk ikut serta dalam event kecil-kecilan ini. Terima kasih kepada para pembaca atas apresiasi yang diberikan untuk event kami. Terima kasih juga untuk Cin dan Cher yang sering aku gangguin buat bantuin jadi proofreader.

Last but not least, I do apologise for any mistakes, typos, and similarities between the places or characters. This is solely for entertainment purpose.

Enjoy and do not forget to join the bandwagon by using the hashtag #BKPPUniverseFest!

chanstergram, 21 February 2021.