Hope for the Hopeless

Pada titik tertentu, Krit hanya meminta untuk diberikan yang terbaik oleh Tuhan meskipun hal tersebut bukan sesuatu yang ia ucap dalam doa selama ini.


Surabaya di bulan Mei pada tahun 2006.

Hari ini adalah pertama kalinya aku memakai seragam putih biru. Benar, aku sekarang akan melanjutkan studiku sebagai seorang pelajar sekolah menengah pertama yang terletak di jantung kota. Ada rasa bangga saat aku berhasil diterima menjadi salah satu peserta didik di sekolah ini. Maklum, orang tuaku termasuk salah satu tipikal asian parents yang sangat terobsesi dengan pendidikan.

“Perkenalkan nama saya Krit. Saya tinggal dan besar di Surabaya. Saya dilahirkan pada bulan April dan umur saya sekarang sebelas tahun.” Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas setelah menyelesaikan sesi perkenalanku di depan kelas. Tidak mendapati satupun siswa yang memperhatikanku. Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Siapa aku? Aku hanyalah seorang anak laki-laki dengan rupa yang tidak bisa dibilang rupawan atau pun kurang enak dipandang mata. Aku tampak biasa saja disandingkan dengan segerombolan siswa yang kutemui tadi pagi sebelum masuk ke ruangan kelas.

“Terima kasih dan silahkan kembali ke tempat dudukmu,” ucap Bu Endang, seorang guru Bahasa Indonesia yang didapuk untuk mengajar mata pelajaran wajib kepada siswa kelas tujuh.

“Kamu yang pakai topi! Silahkan maju ke depan untuk memperkenalkan diri,” panggil Bu Endang kepada seorang siswa yang duduk di bangku paling belakang. Aku tidak bisa melihat dengan jelas raut mukanya tapi satu yang pasti, siswa yang kini berjalan gontai menuju depan ruang sepertinya enggan untuk mengikuti mata pelajaran ketiga ini.

Kepalanya tertunduk, arah pandangnya terfokus kepada kedua sepatu hitam yang tampak masih baru. Ia masih enggan membuka suara hingga Bu Endang membesarkan hatinya melalui dukungan kecil, “Jangan malu! Ayo silahkan perkenalkan dirimu, nak”

“Ehm.. Namaku-” Ia sedikit mengangkat topi biru dongker yang sedari tadi masih betah bertengger di kepalanya. Entah karena topi birunya atau memang siswa yang masih berdiri di depan kelas ini memiliki hal unik yang membuatku memindahkan seluruh atensi kepada sosoknya.

“Namaku…Putthipong.. Panggilannya Billkin.” Riuhnya suasana di dalam kelas membuat suaranya terdengar begitu pelan hingga Bu Endang menyuruhnya untuk mengulang perkenalannya.

“Panggil aja Billkin,” ulangnya singkat. Namanya terdengar unik di telingaku, seperti lirik lagu pop yang sering kudengar di radio – melekat di telinga pendengarnya.

Dalam pengamatan selama sepuluh menit, aku sedikit banyak menyimpulkan bahwa ia merupakan salah satu siswa yang tidak banyak tingkah dan cuek. Terlihat jelas dari caranya berpakaian. Tidak seperti kebanyakan siswa baru yang memakai beberapa pernak-pernik dengan warna mencolok, ia cukup menghias dirinya dengan topi berwarna biru dongker dan jaket berwarna hitam. Selain itu, sedikitnya kalimat yang diucapkan dalam perkenalan di depan kelas menandakan bahwa ia termasuk seseorang yang pendiam dan sedikit misterius.

“Billkin dulu temanku di sekolah dasar,” ucap Pond yang duduk di bangku depanku.

“Oh…” Aku hanya bisa menganggukan kepala mendengar satu informasi penting soal anak laki-laki yang berhasil menarik atensiku karena kemisteriusannya.

“Orang tuanya abis-” Belum sempat Pond melanjutkan ceritanya, terdengar bunyi bel tiga kali yang menandakan jam pelajaran telah berakhir. Para siswa yang dirundung kantuk tampak bersemangat untuk segera beranjak dari kelas dan menikmati waktu istirahat pertamanya.

Aku melihat Billkin masih enggan beranjak dari kursinya, kedua tangannya dilipat di atas meja sebagai tempat dahinya bersandar. Ia tampak lelah.

Langkahku terhenti di tengah jalan saat melihat seorang siswi berambut pendek memberanikan diri untuk berinteraksi dengan Billkin, “Hi Kin! Gak ke kantin?” dan yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya.

Siswi tersebut meninggalkan Billkin dengan raut wajah sedikit kecewa. Bagaimana tidak? Maksud hati ingin mengajaknya berteman tapi sudah ditolak mentah-mentah di awal.

Melihat hal itu, aku mengurungkan niat untuk mengajaknya berbicara. Mungkin tidak hari ini. Pasti akan ada waktu di masa depan dimana Billkin dan suasana hatinya sudah membaik.


“Pond, nanti kamu satu kelompok ya sama aku?” Para siswa, termasuk Pond dan aku, sedang berjalan ke arah ruang praktikum Biologi yang terletak bersebelahan dengan ruang guru.

“Gampang lah! Aku ajak yang lain juga ya? Kan kurang tiga orang lagi?” tanya Pond.

“Boleh banget!” Aku menganggukan kepala, tanda setuju terhadap idenya untuk menambahkan beberapa orang dalam kelompok kami.

Pond mengajak Sky, Nana, dan Paris untuk bergabung dan duduk di sebuah meja praktikum yang telah diberi nomor sesuai dengan undian. Batinku bersyukur karena sedikit diberi kemudahan untuk mendapatkan teman baru dari kerja kelompok ini.

“Ada yang belum mendapatkan kelompok?” tanya Bu Anik, seorang guru Biologi yang bertubuh mungil dan memiliki paras ayu. Pandangan matanya beredar ke seluruh penjuru ruangan. Ia memastikan kembali jika anak didiknya telah dibagi sesuai dengan perintahnya.

Ekor mataku melihat sosok siswa laki-laki yang sedang mengangkat tangannya, “Kamu belum dapet kelompok, nak?” Kedua bola mataku secara otomatis membelakak mengetahui Billkin belum mendapatkan kelompok. Kasihan, batinku.

“Ya sudah! Kamu duduk di kelompok nomor tujuh ya? Yang lain beranggota lima orang saja kecuali kelompok tujuh,” tegas Bu Anik. Tuhan, rencana apa lagi ini? Batinku gusar sekaligus senang mendengar namanya termasuk dalam anggota kelompokku.

“Okay, semuanya sudah duduk berkelompok. Masing-masing ketua kelompok silahkan membagi tugasnya karena dua minggu lagi kita akan praktikum bedah katak.” Bu Anik membagikan selebaran berisikan bahan-bahan praktikum yang harus kami kumpulkan untuk kegiatan dua minggu lagi.

“Pond, nanti yang bawa kataknya siapa?” celetuk Nana.

“Ada gak sih yang jual katak?” sambung Billkin. Baru kali ini aku mendengar ia berbicara dengan jelas. Suaranya kalem.

“Kok sepertinya gak ada ya, Kin?” Aku mencoba untuk mengalihkan atensinya kepadaku. Untuk pertama kalinya, aku ingin seseorang melihatku; menyadari keberadaanku dan tidak menganggapku aneh.

Aku, PP Krit, seorang siswa yang acap kali merasakan sorot mata aneh yang diberikan oleh orang-orang kepadaku. Aku memang tidak memiliki rupa yang menarik seperti kebanyakan remaja seumuranku. Tapi, apakah benar itu yang membuat orang-orang menatapku aneh? Atau kah caraku berpikir yang berbeda dengan mereka? Entah ini hanya perasaanku atau memang benar adanya.

Satu yang pasti, aku merasakan ketakutan yang berlebih ketika harus berada di tengah kerumunan. Rasanya sesak. Seolah oksigen sudah tidak tersedia di muka bumi ini dan telingaku sering mendengar suara-suara aneh setiap aku melangkahkan kaki.

Aku juga ingin menjadi normal.

“Hmm.. Daripada ribet mending kita titip kelompok sebelah aja,” saran yang disampaikan oleh Nana kemudian langsung disetujui oleh sebagian besar anggota kelompok kami.

Ekor mataku menangkap bayangan ujung bibir Billkin yang terangkat di kedua sisinya dan iris matanya sedang fokus menatap sebuah objek yang duduknya berada di sampingku, Nana.

Billkin melihat Nana dengan seutas senyum yang tak pernah ia berikan kepada teman sekelasnya.


Surabaya di bulan Oktober pada tahun 2006.

Menjadi teman sekelas Billkin merupakan sebuah pengalaman unik yang baru saja aku rasakan untuk pertama kalinya. Adalah sebuah anugerah karena setiap harinya aku masih bisa melihat sosoknya dari jauh dan sesekali bertegur sapa walaupun hanya sepatah dua kata yang keluar dari mulutku. Di lain sisi, aku merasa entitasnya membawa kutukan dalam hidupku. Bagaimana tidak? Ada rasa nyeri pada ulu hati yang tidak bisa dijabarkan setiap kali melihatnya tertawa karena lelucon yang dibuat oleh Nana.

“Psst.. Psst.. Kin.. Billkin!” Tanganku terulur ke samping, mencoba memberikan selembar kertas berisi jawaban ulangan Fisika kepadanya.

Sementara usahaku untuk menjadi lebih dekat dengan Billkin hanya sebatas hal ini saja. Cukup dengan memberikan jawaban ujian di saat-saat tertentu. Bukan tanpa sebab, ia termasuk salah satu siswa yang sering mendapatkan remidi karena seringnya memperoleh skor dibawah passing grade. Mungkin dengan cara ini, Billkin bisa sedikit menyadari perhatian yang kuberikan kepadanya dan kami bisa menjadi dekat.

“Terima kasih.. Tapi, aku sudah dapat jawaban dari Nana tadi.” Ia meletakkan selembar kertas dariku ke dalam saku celananya. Aku yang menyadari hal itu, hanya bisa menghembuskan napas panjang dan memberikan seutas senyum untuknya. Aku baik-baik saja adalah kalimat yang keluar dari mulutku berulang kali walaupun kenyataanya aku kembali merasakan nyeri pada ulu hati.

Ada benarnya juga kata peribahasa yang sempat dibahas oleh Bu Endang minggu lalu. Billkin dan aku bagai katak yang hendak memeluk rembulan. Aku seorang katak sementara ia adalah seorang rembulan. Tempat kami berbeda, jarak kami terlalu jauh walaupun kami berada dalam garis pandang yang sama. Untuk bisa masuk ke dalam dunia Billkin adalah sebuah angan yang tidak mungkin dicapai oleh seekor katak buruk rupa sepertiku.

‘Boleh minta waktumu sebentar setelah istirahat pertama? – Nana’

Selembar kertas yang berisikan pesan dari Nana membuatku berpikir keras. Apakah aku melakukan kesalahan kepadanya? Apakah ini ada hubungannya dengan Billkin? Aku menepis kemungkinan jika yang dimaksud oleh Nana adalah Billkin meskipun aku mengetahui mereka sedang dekat.

Dengan sedikit tergesa-gesa, aku segera mengumpulkan lembar ujian di depan ruang kelas dan melarikan diri ke perpustakaan untuk bertemu dengan Nana.

“Maaf ya, udah bikin kamu nunggu lama.” Aku segera duduk di kursi sebelah kanan Nana. Gadis berambut panjang ini hanya tersenyum simpul lalu menghadapkan separuh badannya ke arahku, “Jadi apa yang mau dibicarakan, Na?” ucapku saat ia enggan membuka topik utama dari pertemuan ini.

“Oh itu.. T-tapi kamu janji ya jangan bilang yang lain?” Ia mengulurkan jari kelingkingnya ke arahku. Aku sempat melamun sejenak lalu bergegas mengaitkan jemari kami untuk membuat sebuah pakta.

“Jadi, aku pengen jujur sama kamu soal Billkin.” Bingo! Prediksi yang sempat terbesit dibenakku kini telah berubah menjadi sebuah fakta.

Kemudian Nana bercerita tentang bagaimana ia perlahan-lahan bisa jatuh hati kepada Billkin walaupun sempat ada penolakan dari sisi lelaki bertubuh jangkung itu. Nana tak putus asa. Ia tetap berusaha menyamakan langkahnya dengan Billkin bahkan ketika lelaki tersebut membutuhkan dukungan moral akibat permasalahan pelik yang menimpa keluarganya, Nana tetap disana – disamping Billkin.

Seolah mengetahui isi hatiku, cuaca siang itu tiba-tiba berubah menjadi muram. Awan pekat menyelimuti langit, suara gemuruh petir terdengar lantang. Pertanda hujan akan segera turun. Aku masih di dalam perpustakaan bersama Nana yang enggan menyelesaikan ceritanya. Ia masih bersemangat bercerita tentang Billkin dan sisi-sisi lain yang belum pernah kuketahui.

Dari cerita yang disampaikan oleh Nana, aku semakin yakin jika Billkin bukan tipe manusia sombong yang suka memilah-milah teman. Ia hanyalah seorang lelaki biasa dengan insekuritas yang sama besarnya dengan sebayanya. Billkin butuh waktu untuk mengobati memarnya, untuk bisa membuka diri kepada orang lain termasuk diriku.

Aku bersungguh-sungguh tentang hal itu. Maksudnya, aku benar-benar ingin menjadi teman Billkin; entah sekedar teman biasa atau teman dekat. Seolah ada magnet yang menarik atensiku, aku merasakan sesuatu yang berbeda kepada Billkin di saat pertama kali ia memperkenalkan diri. Rasanya menggelitik. Aku pun tidak bisa mengungkapkan rasanya. Satu hal yang mendefinisikan sosok lelaki yang berulang tahun setiap bulan Oktober ini. Hadirnya adalah kesempurnaan dibalik ketidak sempurnaannya.

“Jadi kalau aku confess ke Billkin gak masalah, kan?” tanya Nana kepadaku. Aku heran kenapa dia harus meminta izin kepadaku. Aku bukan orang penting dalam hidup Billkin, apalagi orang terdekatnya.

“Harusnya gak masalah sih, Na. Kamu mau aku bantuin atau gimana?” Bodoh! Kau menggali lubang kuburmu sendiri, Krit! Bagaimana bisa kau menawarkan bantuan sementara menahan nyeri di ulu hati?

“Terima kasih atas tawarannya. Aku rencananya mau confess ke dia sendiri tanpa bantuan siapapun. Dan kamu disini karena aku gak tahu lagi harus curhat ke siapa? You seemed like a trustworthy person, Krit” jelas Nana panjang lebar.

Berbanding terbalik dengan sanjungan yang diberikan Nana, aku secuil pun tidak pernah merasa sebagai pribadi yang bisa dipercaya. Aku masih sering berbohong kepada diriku sendiri ataupun orang lain. Pertemuan siang ini bersama Nana adalah salah satu contohnya. Aku rela berbohong dan menutupi perasaanku demi memuluskan jalan Nana kepada Billkin. Bukan tanpa sebab, aku yakin jika Nana lebih baik dari manusia sepertiku.

“Good luck! Aku yakin Billkin pasti bahagia jalan sama kamu.” Aku berdiri dari kursi, menepuk bahu Nana dari samping lalu beranjak pergi meninggalkannya.

Karena aku meyakini, hal-hal baik sudah direncanakan sesuai kuasa-Nya dan Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya.


Surabaya di bulan April pada tahun 2007.

Aku kini telah duduk di tingkat akhir sekolah menengah pertama. Artinya, beberapa bulan kedepan akan disibukkan oleh ujian dan bimbingan belajar intensif.

Aku sudah menjelaskan di awal bahwa orang tuaku termasuk salah satu contoh pasangan yang berambisi dalam pencapaian akademis anaknya. Mereka kurang peduli dengan hal-hal lain selain bagaimana cara mendapatkan rangking lima besar selama sekolah.

Jadilah aku. Seorang manusia yang tidak mengetahui cara untuk bersenang-senang dan menikmati masa remajanya.

“Kamu gak bosen baca novel?” tanya Chimon, salah satu teman sekelasku.

Karena orang tuaku tidak memberikan ijin untuk mengambil les musik atau sekedar mengambil ekstrakulikuler olahraga, aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan membaca buku. Entah itu novel, majalah, komik, atau bahkan teka-teki silang yang sering aku beli secara diam-diam di kedai koran langganan Papa.

Walaupun aku tidak pandai dalam bermusik dan olahraga, aku setidaknya masih memiliki pengetahuan dari buku-buku yang sering aku baca untuk tabungan masa depan.

“Jangan kebanyakan baca buku! Nanti gak ada yang naksir kamu loh!” seloroh Chimon. Aku tidak menanggapi omongannya dan memilih fokus melanjutkan petualanganku membaca komik Tin-Tin.

Apakah sebegitu tidak menariknya seseorang yang lebih suka membaca? Apakah diriku termasuk orang yang membosankan? Apakah aku terkesan ambisius karena buku bacaanku? Adalah pertanyaan yang muncul dalam benakku saat itu.

Jika ditelisik ulang, perkataan Chimon ada benarnya juga. Selama kurang lebih dua tahun menimba ilmu di sekolah ini, tidak ada satupun siswa yang pernah dekat denganku. Padahal aku sangat mendambakan indahnya masa remaja dengan cinta monyetnya. Ternyata aku salah. Aku tidak semenarik itu untuk dikenal. Aku sama membosankannya dengan pelajaran Sejarah.

“Chi, kamu tau gak sih kenapa Billkin sering bolos?” tanyaku kepada Chimon yang saat itu sedang asyik membuat sketsa wajah pada buku pelajarannya.

“Ya mana aku tahu?? Kenapa kamu gak tanya langsung ke orangnya?” Ia malah balik bertanya kepadaku.

“Dia mana ada ramah sama aku. Kamu kan teman satu gengnya?” tukasku.

Berbicara mengenai Billkin, ia ditempatkan di kelas yang sama dengan Nana sementara aku masih satu kelas dengan Pond. Hubungan Billkin dengan Nana pun telah resmi. Nana mengutarakan isi hatinya tepat setelah kami menerima hasil rapor kenaikan kelas. Dan setelah itu, semuanya berubah. Nana dan Billkin yang biasanya sering nongkrong bersama, kini semakin menarik diri; mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua daripada berkumpul bersama teman-temannya.

Sikap Nana kepadaku juga sedikit berubah. Ia yang biasanya menjadikanku tempat berkeluh kesah mengenai perkembangan hubungannya dengan Billkin, kini lebih canggung saat berada di sekitarku. Selain itu, ia juga sering tiba-tiba melontarkan kata-kata sindiran untukku. Entah apa maksudnya.

Billkin masih sama. Dingin dan menutup pintu hatinya rapat-rapat. Bahkan setelah meresmikan hubungannya dengan Nana, ia kerap menghindariku dan kami bahkan sudah jarang bertegur sapa.

“Mau sampai kapan kamu simpan semuanya sendiri, Krit?” Pertanyaan dari Pond tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“Maksudnya gimana, Pond?”

“Kamu gak capek nyimpen perasaan buat Bil-“ Mataku membelalak sementara tanganku membungkam mulutnya, meminta Pond untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Semakin runyam jadinya jika ada orang lain yang mendengar hal itu.

Jika kalian berpikir aku menyukai Billkin, prediksi kalian benar. Aku menyukai Billkin sejak pandangan pertama. Hanya saja aku membutuhkan proses yang lama untuk menyadarinya. Pond adalah seseorang yang berjasa akan hal tersebut. Jika bukan Pond yang menyadarkanku terhadap perasaan ini, aku sudah pasti tetap akan membawa rahasia ini sampai ke liang kubur.

“Pond, dia sudah ada pasangan.”

“Kamu itu bukan Superman. Hatimu tidak terbuat dari baja, Krit” Tidak ada yang salah dari kalimat yang disampaikan oleh Pond. Tinggal menunggu waktu sampai aku benar-benar merasa lelah.

“Kalau aku confess ke dia dan mempengaruhi hubungannya sama Nana, gimana?” Karena salah satu alasan untuk tetap menyimpan rasa ini adalah keengganan menjadi tokoh antagonis dalam sebuah narasi, apalagi yang menjadi tokoh utamanya adalah orang terdekatmu.

“Gak mungkin sih.. Billkin itu bukan termasuk orang yang gampang goyah,” tegas Pond.

“Aku pikir-pikir dulu aja deh.” Pond menepuk kedua bahuku dengan tangannya, kepalanya menggeleng tanda tidak menyetujui responku. Seandainya aku bisa memilih kepada siapa hatiku dijatuhkan, aku ingin memilih Pond yang tidak perlu diragukan lagi kebaikannya.


Surabaya di bulan Agustus pada tahun 2007.

Ekor mataku menangkap siluet seorang lelaki yang memiliki tinggi badan seratus tujuh puluhan sedang duduk termenung dalam sebuah kelas kosong. Arti sebuah kiasan ‘curiosity kills the cat’ memang benar adanya dan salah satu contohnya adalah saat ini. Aku dengan entengnya melangkahkan kakiku masuk ke dalam ruangan kelas untuk membayar rasa penasaranku.

Betapa kagetnya diriku ketika melihat Billkin duduk termenung dengan kedua matanya yang sembab, “Billkin, kamu gak papa?”

Ia masih terdiam. Aku tanpa pikir panjang mendudukkan tubuhku di sampingnya – memeluk lengan kirinya dari samping.

“Kin..” Air matanya turun semakin deras. Entah setan mana yang telah merasuki ragaku. Kedua tanganku mendekap kepala Billkin lalu meletakkannya di atas dadaku sambil membelai surai hitamnya, “Billkin.. sudah ya.. cup.. cup..” ucapku mencoba meredakan isak tangisnya.

“Orang tua ku.. Aku benci mereka, Krit” Pernyataannya tentang orang tuanya mengagetkanku. Apa yang sebenarnya terjadi hingga engkau membenci sepasang manusia yang telah merawatmu sejak bayi.

“Billkin, aku tidak memaksamu untuk bercerita. Tetapi jika kamu merasa sudah tidak kuat lagi, aku disini kok buat dengerin kamu.” Hanya itu yang bisa aku tawarkan kepada Billkin, seorang lelaki yang berhasil membuatku terjebak dalam labirin pesonanya.

“Krit, apakah aku termasuk anak durhaka karena menyuruhnya untuk mati saat mengetahui mereka bercerai?” Sebuah fakta yang baru saja aku dengar ini lebih mengejutkan daripada pernyataan bencinya tadi.

“Kin, aku tau kamu sekarang lagi sedih dan marah kepada orang tuamu. Hal itu tidak membuatmu menjadi anak durhaka. Buktinya kamu masih menangisi mereka tapi pernah gak kamu bertanya ke mereka kenapa sampai memutuskan untuk bercerai?” Aku tidak bisa menyalahkan Billkin sepenuhnya karena kata-kata kasar yang telah ia lontarkan kepada orang tuanya.

Aku sangat memahami bagaimana rasanya mengetahui dua orang penting dalam hidupmu memutuskan untuk mengganti statusnya menjadi ‘mantan keluarga’. Karena keluargaku pun tidak utuh.

Orang tuaku memutuskan untuk berpisah saat aku berusia delapan tahun. Aku belum paham benar tentang arti kata cerai hingga nenekku menjelaskan bahwa Mama dan Papa harus tinggal di rumah berbeda sampai waktu yang tidak ditentukan.

Ironisnya, aku baru saja memahami bahwa kedua orang tuaku bukanlah pasangan suami istri resmi dari mulut tetanggaku. Papaku, yang selama ini aku idolakan karena sosoknya yang sempurna bak pahlawan di film laga, memutuskan untuk berpisah dengan Mama karena ia harus kembali ke keluarga asalnya – kepada istri dan anaknya yang diakui oleh hukum.

“Ayahku selingkuh dan punya anak dari orang lain juga. Mereka sering berantem masalah itu juga apalagi setelah orang lain itu menitipkan anaknya ke keluargaku.” Aku takut, sangat takut karena posisiku sebagai anak haram. Dengan mendengar kisah dari Billkin, rasa khawatirku semakin menjadi; membuatku bergidik ngeri membayangkan jika ia mengetahui teman yang ada di hadapannya ini adalah anak hasil menduakan hati. Aku tidak ingin Billkin membenciku karena hal ini.

“Billkin, aku turut prihatin mendengar keadaan keluargamu. Kalau aku boleh tau, apakah hakim sudah memberikan putusan?” Yang dibutuhkan oleh seorang anak kepada orang tuanya dalam kondisi seperti itu adalah sebuah kepastian bahwa perjanjian sakralnya di depan Tuhan masih bisa diselamatkan.

“Keputusannya masih minggu depan.” Masih ada waktu untuk membumbungkan doa setinggi-tingginya agar Tuhan mau berbelas kasih dengan mengubah jalan cerita keluarga Billkin menjadi bahagia.

“Tuhan tidak pernah tidur, Kin. Kita berdoa yang terbaik untuk kedua orang tuamu ya?” Tubuhku tiba-tiba menegang saat merasakan sepasang lengan yang melingkar di pinggangku. Billkin memelukku erat, meletakkan kepalanya di bahu kananku.

Ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhku. Suara degup jantungku pun begitu kencang layaknya seorang penabuh drum yang sedang bersemangat dan semenit itu juga aku melupakan fakta bahwa Billkin telah memiliki seorang kekasih. Aku lupa tentang bagaimana dinginnya sikap Billkin kepadaku, amarah serta sakit hatiku kepada Billkin lenyap karena pelukannya.

Tuhan, jika benar ini adalah sebuah rasa tentang jatuh hati. Bolehkah aku meminta untuk menjadikannya tempatku menetap di masa depan?

“Krit.. Kenapa aku harus jatuh hati kepada Nana dan bukan kamu?” Aku semakin membumbungkan doa kepada Tuhan. Meyakinkan-Nya untuk menjadikan Billkin suratan takdir yang telah digariskan kepadaku meskipun hatinya kini masih singgah di rumah orang lain.

Aku ingin bersikap egois untuk sekali ini saja. Tanpa menjawab pertanyaan darinya, aku mendekatkan wajahku dengan wajah tampannya. Garis pandangku terfokus kepada bibirnya dan sederet gigi putih yang dihiasi oleh kawat. Bisikan-bisikan dalam benakku semakin keras dan menggodaku untuk menempelkan bibirku dengan miliknya. Seperti orang kesetanan, aku mengulurkan kedua tanganku; menarik kepalanya dan mencium bibirnya telak.

Seolah telah terbangun dari mimpi buruk, ia mendorong tubuhku. Bibirnya diusap kasar seperti terkena najis. Aku hanya tersenyum miris melihat ekspresi wajahnya yang dipenuhi dengan amarah dan kekecewaan.

Pertanyaan yang sempat diucapkan oleh Billkin tadi. Dimana hal tersebut menjadi amin paling serius dalam hatiku, hanyalah sebuah pemanis bibir yang semakin membuat parah nyeri di ulu hatiku. Aku sudah kalah sebelum berperang.

Billkin, maafkan aku yang sudah mengambil ciuman pertamamu.


Satu minggu setelah ciuman pertama pada pukul 23.10 WIB.

Brak! Pyar!

Keheningan malam itu dipecahkan oleh suara isak tangis dari wanita paruh baya yang mendapati anak semata wayangnya tergeletak lemas di lantai kamar dengan tangan kiri bersimbah darah dan pecahan kaca yang tercecer dari sebuah meja belajar di sebelahnya.

“Astaga PP! Bangun, nak! PP kenapa jadi gini, nak?”

“Ma… PP gak kuat.. Tangan PP...” Aku merasakan ngilu berat pada tangan kiriku yang mengucurkan cairan merah pekat cukup banyak hingga membanjiri kamar tidurku.

“Nak, kamu kuat. PP pasti bisa bertahan, ya? Tunggu sebentar lagi ambulance datang.” Aku hanya bisa menganggukan kepala untuk menjawab Mama. Energiku tersisa separuh untuk sekedar membuka kedua kelopak mata dan nafasku pun mulai melambat. Rasanya aku ingin berhenti.

Sebelum aku meninjukan tanganku ke sebuah meja belajar yang terbuat dari kaca, aku mendengarkan bisikan itu lagi. Suara-suara aneh yang kerap mengganggu. Ia membuatku kehilangan fokus dan merasakan kekhawatiran berlebih.

‘Tidak ada yang sayang padamu. Lihat! Papamu bahkan tidak mengakuimu sebagai anak kandungnya. Mamamu adalah wanita nakal yang suka merusak hubungan orang lain. Jangan harap Billkin menyukaimu! Dia jijik dengan anak haram buruk rupa sepertimu! Harusnya kau sadar diri, Krit!’ Begitu bengisnya ia membisikkan kalimat itu di telingaku, membuatku kehilangan kendali atas diriku sendiri dan meratapi betapa akuratnya fakta yang disampaikan tersebut.

“Luka yang dialami Krit sangat dalam hingga memutuskan semua saraf dan otot motoriknya. Untungnya, tidak sampai memutus nadinya. Kami memutuskan agar Krimelakukan operasi besar untuk menyambung pergelangan tangannya,” jelas Dokter Bram, begitu bunyi name tag yang menempel di seragam dinasnya. Ia merupakan salah satu dokter ahli bedah Orthopaedics yang bertugas untuk melakukan operasi pada pergelangan tanganku malam ini.

“Kami sudah menjadwalkan Krit untuk melakukan operasi pada pukul 03.00 dan kami memohon maaf sekali bahwa wali dari saudara Krit tidak bisa mendampinginya di ruang bedah,” lanjutnya sembari memastikan darah yang keluar dari pergelangan tanganku tidak lagi banyak.

“Saya mohon.. Selamatkan anak saya, dok. Saya hanya ingin melihat senyum di wajah Krit lagi.” Aku samar-samar mendengar suara memohon dari sosok wanita paling tangguh dalam hidupku. Ia terisak, memohon kepada sosok lelaki berperawakan bongsor dengan rambut hitamnya yang sebagian besar sudah berubah warna karena usia.

“Maafkan Mama ya, nak? Mama masih belum bisa menjadi orangtua yang baik untukmu. Maafkan Mama karena sudah membuat PP menanggung sakit sendirian. Maafkan keegoisan Mama yang ingin tetap menyelamatkanmu, nak” Sebelum kesadaranku diambil alih oleh suntikan sedatif, aku merasakan kehangatan yang tersalur dari genganggam sepasang tangan. Mama sedang menyalurkan semangatnya kepadaku walaupun hatinya kini sudah pasti remuk melihat kondisi anak semata wayangnya yang hampir menemui ajal.

Mama, engkau harusnya tidak menyelamatku malam ini. Biarkan aku pergi agar tidak menjadi aib untukmu. Aku lelah, Ma.


Dua minggu pasca operasi penyambungan tangan di sebuah ruang ICU pada pukul 07.00 WIB.

Sinar matahari pagi ini terlalu terang sehingga membuatku mengerjapkan kelopak mataku untuk menetralisir sinarnya. “Krit…Suster! Tolong! Anak saya sudah sadar.”

Aku belum sempat mengucapkan sepatah kata saat para perawat mengerubungiku untuk memeriksa keadaanku saat itu. Beberapa orang memeriksa selang-selang yang terpasang pada tubuhku dan sisanya sedang memeriksa luka bekas operasi pada tangan kiriku.

“Kondisi tekanan darahnya mulai membaik meskipun pasien sempat kehilangan banyak darah ketika operasi berlangsung” jelas salah seorang perawat kepada Mama.

“Syukurlah! Lalu, bagaimana dengan tangan anak saya?” Kedua bola mata miliki Mama berbinar. Ada rasa syukur yang tak terbendung di dalamnya.

“Untuk masalah itu nanti akan dijelaskan oleh Dokter Bram.” Sepertinya suka cita yang sempat dirasakan oleh wanita yang membesarkanku seorang diri ini harus dihentikan sementara, khawatir jika kegembiraan yang ia rasakan hanya sebuah ilusi sebelum badai yang sebenarnya datang.

“Baik, sus. Terima kasih atas informasinya,” kata Mama kepada suster.

“Krit.. Kamu akhirnya bangun, sayang” Sang Pencipta dengan kemurahan hati-Nya memberiku kesempatan sekali lagi untuk merasakan hangatnya sentuhan tangan Mama.

“Ma, maafin Krit ya?” ucapku hampir berbisik. Bukan tanpa sebab aku meminta maaf kepada Mama. Pertama karena beliau harus menemukanku dalam keadaan sekarat dan kedua karena aku yakin beliau sudah pasti mengetahui rahasia yang telah kusimpan rapat-rapat selama ini.

“Mama sudah maafin kamu walaupun kamu belum sempat memintanya, nak” Mama membelai surai cokelat ku yang entah sudah berapa lama belum tersentuh air sama sekali.

“Mama takut kamu pergi meninggalkan Mama sendirian. Justru Mama yang minta maaf karena tidak pernah ada saat Krit butuh. Mama.. hiks.. Mama rasanya gagal menjadi orangtua untuk Krit.”

Seharusnya aku yang gagal. Aku tidak becus membuat Mama bahagia. Aku juga sudah gagal menjadi seorang anak yang tidak menjadi beban bagi orangtuanya. Aku ini hanya anak haram yang bisanya cuma membuat Mama menangis dalam diam karena gunjingan orang sekitar.

Aku menghela nafas dalam, memenuhi masker oksigen yang menutupi sebagian besar wajahku dengan udara hasil pernapasan. Tangan kananku yang masih normal membalas genggaman Mama, “Krit disini ma..”

Di balik keputusasaanku terhadap dunia, Tuhan ternyata tidak pernah melepaskan genggaman tangan-Nya. Ia masih memberikanku kesempatan untuk tetap disini. Dengan kekuatan-Nya, aku masih menghembuskan napas meski harus dibantu dengan sebuah alat. Masih melanjutkan hidup meskipun mengetahui sebagian anggota tubuhku telah cacat.

“Mama janji.. Setelah kita pulang dari sini, kita liburan dan Mama juga sudah menyiapkan rumah baru untuk kamu.” Lidahku tercekat saat mendengar Mama menyebutkan ‘rumah baru’.

Kata ‘rumah baru’ bagiku adalah sebuah mimpi buruk yang tak berkesudahan. Rumah yang seharusnya menjadi kata benda dari sebuah tempat untuk menetap dalam jangka waktu lama dan kata sifat baru yang menjadi angin surga untuk kami para pendosa – dimana kami ingin memulai hal-hal dari awal. Justru berbanding terbalik dengan arti maknanya.

Bagi seorang wanita yang dilahirkan empat puluh lima tahun silam, rumah baru adalah sosok lelaki baru telah menjadi fatamorgana dalam hatinya yang tak lagi utuh karena digadaikan kepada cinta pertamanya, ayah kandungku. Berbagai macam rumah baru sudah pernah kusinggahi setiap tahunnya. Mulai dari rumah baru yang memiliki aura damai dan tenang hingga gelap dan mengerikan, semua sudah pernah kurasakan.

“Aku disini dulu ya, Ma?” Entah ia memahami perkataanku ini atau tidak. Hanya saja, aku ingin Mama berhenti untuk mencari kehangatan dari lelaki lain yang ujungnya hanya mematahkan harapannya.

Aku mengerti, sangat mengerti jika dibalik sikapnya untuk kerap bergonta-ganti pasangan adalah salah satu cara mengobati lukanya sekaligus usahanya untuk mencari sosok ayah bagiku. Sayang sekali. Aku tidak lagi membutuhkan sosok orangtua lain dalam hidupku. Cukup Mama dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Aku bahagia dengan Mama. Aku sayang Mama dan tidak ingin melihatnya menangis dengan luka memar pada bagian tubuhnya akibat dari perkelahian dengan orang lain.

“Krit mau tinggal sama Nenek sambil recovery.” Rumah nenek memang bukanlah tempat singgah yang aku sukai tetapi paling tidak disana aku tidak perlu mendengarkan perdebatan antara Mama dengan lelaki barunya dimana hal tersebut merupakan pelatuk dari suara-suara jahat dalam kepalaku.

Mama terdiam. Mungkin akhirnya ia sedikit banyak menyadarinya bahwa aku bukan lagi anak lelaki yang bisa ia bawa pergi kesana-kemari dengan menyaksikan pelbagai kejadian yang mengganggu kedamaian jiwanya.

“Nanti Krit akan selalu update apapun ke Mama kok.” Diamnya seorang ibu memiliki arti berbagai macam. Mama terdiam karena ia khawatir aku akan meninggalkan dan melupakannya.


Hari-hari yang kujalani terasa lambat. Hanya duduk termenung di dalam ruang isolasi sembari menunggu para suster atau terkadang dokter yang datang silih berganti untuk memeriksa keadaanku. Tidak ada kerabat ataupun teman yang menjenguk.

“Tekanan darah saudara Krit agak tinggi. Jangan terlalu banyak pikiran ya?” ucap salah satu dokter jaga yang sedang menuliskan sesuatu pada buku catatannya sementara aku menanggapinya dengan senyum kecut.

Overthinking. Anxiety. Stress.

Padahal, keseharianku selama dua bulan belakangan hanyalah makan dan tidur. Tidak banyak interaksi yang kulakukan selain dengan Mama yang setia menungguku siang malam dan para petugas medis.

“Sebelumnya saya ingin berbicara empat mata dengan orangtua saudara Krit, apakah boleh?” Mama pun dengan cekatan beranjak dari kursi lalu berjalan menuju meja jaga para perawat.

“Ada hal penting apa ya dok?” Kekhawatiran Mama tidak bisa disembunyikan dari nada bicaranya.

“Jadi begini bu.. Karena luka akibat goresan kaca yang cukup dalam, tangan kiri Krit tidak bisa kembali seperti semula. Saraf-saraf pada tangannya sudah terputus dan akan membutuhkan beberapa tahun untuk mengembalikanya meskipun tidak senormal tangan kanannya. Selain itu, tangan kirinya juga kehilangan fungsi motoriknya. Bisa disimpulkan bahwa Krit cacat sementara.” Aku melihat perubahan ekspresi yang sangat signifikan pada wajah Mama. Mulanya ia bersemangat, kini berubah menjadi kelabu dan penuh tangis.

“Apa yang harus saya lakukan, dok?” Sejujurnya, aku telah mempersiapkan diri untuk mendapati kondisiku berubah akibat kecelakaan yang disengaja ini. Pilihannya ada dua. Satu, aku benar-benar pergi sesuai dengan keinginanku dan yang kedua adalah aku selamat namun harus melanjutkan hidup dengan kondisi berbeda.

“Buah hati Ibu masih harus tinggal di ruangan ini untuk beberapa waktu kedepan, mungkin sampai ia mampu menggerakkan jari-jari tangannya. Kami juga akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantunya pulih seperti sedia kala.” Setidaknya masih ada secerca harapan untuk diriku menjadi normal meskipun tidak sepenuhnya.

“Sebelumnya kami memohon maaf karena agak lancang. Apakah sekiranya Krit pernah bercerita mengenai masalah pribadinya?” Tidak! Ini bukan saat yang tepat untuk membahas hal tersebut. Aku bahkan sudah sedikit tenang selama dua bulan ini karena tidak mendengar suara-suara aneh yang menggangguku.

Mama hanya menggelengkan kepalanya, “Tidak pernah dok. Sejujurnya, saya jarang memiliki waktu berdua dengan Krit. Apakah ini ada hubungannya dengan lukanya?”

“Kami hanya ingin memberitahukan bahwa ada beberapa guratan bekas luka di bagian tubuh yang lain. Kami tidak bisa menyimpulkan bekas tersebut akibat apa karena sejujurnya hal itu bukan ranah saya untuk menjelaskan. Kami menyarankan agar Krit dan Ibu bisa mendatangi sesi konseling. Saya akan menyarankan beberapa psikiater untuk lebih lanjutnya” jelas dokter yang berkulit sawo matang ini.

Di antara berderet ketakutan yang aku alami, ada ketakutan paling menonjol saat seseorang mengetahui titik terlemah dalam dirimu. Inilah mengapa aku tidak ingin orang lain mengetahui masalah kejiwaan yang kututup rapat-rapat.

Bukan karena aku tidak ingin orang lain menolongku. Bahkan Pond yang sering mengingatkanku untuk segera mencari bantuan profesional, aku tidak mengindahkan sarannya sama sekali. Kenapa? Karena aku tidak cukup percaya diri hal itu akan berhasil untukku. Selama ini, aku merasa baik-baik saja dengan adanya suara-suara yang hanya muncul di saat tertentu. Setidaknya, ia tidak pernah sekalipun menyuruhku berbuat jahat kepada Mama atau orang lain meskipun aku harus mengorbankan kehidupan sosial dan kewarasanku.

“Krit…”

“Iya, ma.. Krit salah karena menyimpan semuanya sendiri.” Nasi sudah menjadi bubur; sepandai-pandai tupai meloncat pasti akan jatuh juga. Sudah lah. Mungkin memang sudah digariskan seperti ini oleh Tuhan.

“Mama gak maksa kamu buat pergi ke konseling. Tapi kalau dirasa kamu sudah gak kuat, Mama akan support dan nemenin kamu.” Tidak ada yang lebih melegakan selain kalimat yang baru saja diucapkan oleh Mama. Sebuah dukungan dari orang yang paling dekat dari kita adalah salah satu doa yang diam-diam sering kulambungkan.

“Boleh Krit mempersiapkan diri dulu? Krit juga pengen homeschooling, Ma” Karena aku sudah tidak memiliki nyali untuk kembali ke sekolah lamaku. Entah topeng macam apa yang harus aku gunakan untuk bertemu Pond, Sky, Nana dan Billkin. Terlebih jika Nana mengetahui aku mencuri ciuman pertama Billkin.

Billkin Puttiphong atau yang sering dipanggil Billkin. Sebuah nama yang selama dua bulan ini kerap muncul tenggelam dalam benakku. Sosoknya yang diam-diam aku harapkan untuk datang sebentar ke bangsal rumah sakit ini atau mungkin sekedar menitipkan salam melalui Pond yang beberapa hari lalu menjengukku. Ternyata nihil. Harapanku yang terlalu melambung terpaksa diturunkan. Entitasnya seperti dua sisi mata uang. Ia adalah bahagiaku yang sempat ku kecap untuk beberapa menit. Namun, ia juga badai tak berkesudahan yang membuat hariku muram. Ah sudahlah! Ini salahku karena terlalu berharap pada makhluk ciptaan Tuhan.

“Boleh, nak.. Boleh banget.. Krit mau pindah sekolah juga gak masalah, mau homeschooling juga akan Mama turutin.” Jika ada predikat orang paling pengecut di dunia, aku lah sosok yang patut mendapatkan gelar tersebut. Berlari dari sebuah masalah karena tak memiliki banyak nyali untuk menghadapinya.

Mungkin untuk masalah hati aku akan menjadi pengecut selamanya. Sayangnya aku tidak ingin menjadi pecundang untuk urusan keluarga, “Mama, boleh Krit jujur gak?”

Mama tersenyum dan menganggukan kepala. Ia mempersilahkan diriku untuk melanjutkan percakapan, “Krit bukannya gak suka Mama bahagia. Tapi selama ini, yang Krit lihat Mama sering nangis. Krit sedih, Ma.. Makanya, Krit ingin Mama berhenti buat cari ‘rumah baru’. Mama itu rumah tetap buat aku dan Krit gak butuh orang lain.”

“Mama.. Hiks.. Mama mau berusaha buat Krit.. Mama sayang Krit, kamu tahu kan?” Karena bagaimanapun kasih sayang orangtua itu nyata namun memiliki bentuk yang berbeda. Mama adalah sosok orangtua yang mencintai buah hatinya secara diam. Ia bukan lah sosok yang suka menggembar-gemborkan kasih sayang dan kebangaannya kepada publik. Cukup ia, Tuhan dan keluarga dekat yang mengetahui betapa besar cintanya.


Surabaya di bulan Maret pada tahun 2008.

Ini adalah bulan kedelapan untuk program penyembuhanku. Aku masih harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mendatangi sesi konseling sekaligus fisioterapi.

“Sampai bertemu tiga minggu lagi dan semoga ujianmu berhasil!” ucap dokter Nining menyemangatiku. Ia adalah psikiater yang membantu sesi konseling sekaligus kini telah menjadi ibu kedua bagiku.

Salah satu dokter bedah di rumah sakit ini pernah menyarankan Mama untuk berkonsultasi kepada beliau. Awalnya memang canggung dan kini Dokter Nining merupakan tempat berkeluh kesah teraman tanpa takut dinilai aneh oleh orang lain. Darinya pula, aku belajar banyak hal. Memaafkan dan mengikhlaskan adalah salah satunya.

Karena sejatinya kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan memaafkan adalah salah satu cara untuk berdamai dengan diri sendiri, keadaan serta orang lain. Dokter Nining pernah berkata jika aku ingin belajar memaafkan maka mulailah dari diri sendiri. Maafkan lah dirimu yang sudah sering membuat luka pada tubuh. Maafkan lah dirimu yang tidak pernah puas akan hasil kerja selama ini. Maafkan lah dirimu yang terlalu keras dan tidak kenal lelah. Maafkan lah dirimu atas kesalahan-kesalahan bodoh yang tidak seharusnya dilakukan lalu peluk lah dirimu erat sembari berkata ‘aku memaafkanmu dan terima kasih sudah bertahan sejauh ini.’

Belajar memaafkan orang lain juga sama susahnya dengan mencoba memaafkan diri sendiri. Terlebih orang lain merupakan sosok yang memiliki cara pandang berbeda-beda dan kita tidak bisa memaksakan kehendak apabila dirasa kurang cocok baginya. Pertemuan oleh orang tertentu di dunia ini adalah garis cerita yang telah dituliskan oleh Tuhan dimana dalam setiap adegannya selalu ada makna tersembunyi yang ingin disampaikan oleh Tuhan.

“Coba kamu tulis sebuah surat untuk Billkin dan dikirimkan ke alamat rumahnya,” kata Dokter Nining kepadaku di suatu sore. Saat itu kami sedang membahas tema cinta pertama dan tanpa malu menceritakan seluruh uneg-uneg mengenai Billkin kepadanya. Termasuk bagaimana aku belum bisa memaafkan diriku sendiri karena sudah lancang mencintainya tanpa permisi dan mengambil ciuman pertamanya.

Dengan bekal semangat yang diberikan oleh Dokter Nining, aku mendasari tulisanku pada secarik kertas merah jambu untuk mengikhlaskan sosoknya yang memang tidak ditakdirkan oleh Tuhan untuk menetap dalam hidupku. Aku perlahan-lahan dan penuh perasaan menuliskan kalimat demi kalimat yang kurangkai khusus. Seolah aku sedang berbicara langsung dengan Billkin.

Dear Billkin,

Apa kabar? Semoga kamu selalu dalam keadaan sehat dan berbahagia.

Kamu pasti kaget kan mendapatkan surat ini. Sama! Aku juga kaget karena memiliki keberanian berlebih untuk mengirimkan secarik kertas merah jambu ini kepadamu. Tujuanku menuliskan surat ini adalah untuk meminta maaf dan mengutarakan perasaanku kepadamu.

Pertama, aku meminta maaf karena sudah lancang menciummu beberapa waktu yang lalu. Maafkan aku yang lebih memilih bersembunyi daripada menghadapi dirimu setelah kejadian itu. Seminggu setelah kejadian itu, aku kehilangan kesadaran karena sebuah kecelakaan. Aku harus dirawat di rumah sakit selama beberapa bulan dan sempat berharap jika kamu datang menjengukku dengan Pond. Tapi ya sudah lah.. Kamu pasti memiliki banyak kesibukan lain.

Kedua, aku ingin mengutarakan perasaanku melalui kata-kata karena sepertinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertemu. Aku juga tidak punya nyali jika harus berpapasan denganmu di jalan. Lucu ya? Bagaimana cinta bisa berubah menjadi hal menakutkan untuk remaja seusia kita.

Billkin, mungkin kamu sudah pernah mendengarnya dari Pond atau Nana. Benar kok. Kamu cinta pertamaku. Kamu adalah sosok misterius yang berhasil menjungkir balikkan duniaku untuk pertama kalinya. Dalam diam pun, aku sering merapalkan namamu agar diaminkan oleh para malaikat. Namun sayang, sepertinya Tuhan memiliki rencana lain untukku.

Aku tidak pernah menyesal memiliki perasaan ini untukmu. Aku terlampau senang akan hadirmu di hidupku sampai-sampai hanya bisa terdiam seribu bahasa jika engkau mendekat.

Billkin, pernyataan cintaku ini bukan sebuah ajakan untuk menjalin hubungan dan aku tidak ingin kamu terbebani akan hal itu. Perasaan ini murni dari diriku tanpa meminta imbalan kepadamu. Tapi, tolong berjanji sama aku satu hal? Aku ingin kamu bahagia dengan orang yang engkau cintai walaupun itu bukan aku. Aku ikhlas.

Selama ini, aku selalu berusaha untuk menjadi sosok sesuai kriteriamu. Ternyata aku salah. Aku seharusnya tidak perlu menjadi orang lain untuk menarik perhatianmu. Cukup menjadi diriku sendiri. Karena sekeras apapun aku berusaha, engkau hanya datang untuk memberikanku sebuah pelajaran. Jadi, ijinkan aku mencintaimu dalam diam dan dengan kesederhanaanku.

Semoga kelak kita bisa duduk di satu meja yang sama sambil bersenda gurau dan mengenang cerita masa remaja. Sampai bertemu di lain waktu dan doa terbaikku akan selalu menyertaimu!

Salam,

Krit

“Aku titip ini ya buat Billkin,” ucapku sembari mengeluarkan sebuah amplop merah jambu kepada Pond.

“Kamu gak mau makan siang dulu sama kita?” Belum saatnya untuk bertemu kembali dengan teman-temanku meskipun sudah terhitung satu tahun kami tidak bersua.

“Terima kasih tapi aku masih ada urusan lain. Good luck ya, Pond!” Aku berjalan menuju gerbang sekolah. Kenangan yang terjadi selama aku menimba ilmu disini akan selalu memiliki tempat khusus di hatiku.

“See you on top, Krit!” nada Pond sedikit berteriak hingga membuat beberapa siswa yang sedang menikmati waktu istirahat pertama menoleh ke arahku. Dan ekor mataku dengan cekatan menangkap sosok familiar, ia berdiri tak jauh di belakang Pond. Aku membalikkan tubuhku. Tersenyum lebar dan melambaikan tangan kepada Pond serta sosok cinta pertama yang berdiri di belakang sahabatku.

Belajar melepaskan dirinya walau inti jiwa tak terima.

fin.


Writer's Notes:

Written for BKPP Universe Fest and based on Prompt First Kiss.

Tulisan ini aku dedikasikan untuk para penyitas kesehatan mental. Terlepas dari apapun yang kalian alami saat ini. Kalian adalah manusia-manusia hebat. Kalian adalah ciptaan sang Maha Esa yang paling tangguh hatinya. Kalian patut mendapatkan cinta. Terima kasih atas perjuangan kalian untuk bertahan hingga detik ini. Terima kasih karena kalian dengan berani memutuskan untuk melanjutkan hidup. Aku menyayangi kalian dengan segala keterbatasan dan kebaikan yang ada. Ingatlah! Tidak ada satu orang pun yang berhak menilai kalian berdasarkan permasalahan yang sedang dihadapi.

Terakhir, aku berterima kasih kepada para penyelenggara, peserta dan pembaca setia #BKPPUniverseFest. Tanpa campur tangan kalian, acara ini tidak akan memiliki makna khusus. Semoga dalam beberapa tahun kedepan, acara ini (termasuk tulisan-tulisan yang kalian buat) bisa menjadi kenangan manis masa muda. Sampai jumpa di lain kesempatan dan jangan berhenti untuk menjadi baik!

chanstergram, 7 March 2021.