Last Train Home

Ternyata waktu tidak mampu mengoyahkan prinsip Billkin dan cinta yang baik adalah yang tidak dipaksakan. Inilah waktu yang tepat bagi Krit untuk melepaskannya.

Pusat peradaban negeri Gajah Putih tampak muram hari ini. Ia biasanya diwarnai oleh kemacetan jalan dan teriknya sinar mentari, kini berubah menjadi kelabu pekat – seolah memberikan tanda akan kesedihan yang telah lama ia simpan rapat. Tak lama setelahnya, terdengar gemuruh gaduh dari langit; mengingatkan pengguna jalanan untuk segera mencari tempat aman.

“Krit…”

Diantara sekian banyak suara yang sering keluar-masuk indera pendengaranku, ada satu bahana yang tersimpan rapih dalam memoriku; tak perlu mengetahui pelantunnya pun, aku sudah menghafalnya di luar kepala. Bagaimana ia melafalkan namaku seperti hamba yang memuja Tuhan-Nya adalah candu tersendiri bagiku. Namun sayang, namaku hanya sekedar rangkaian huruf tanpa makna yang sudah terbiasa ia ucapkan dahulunya.

“Billkin?!”

Manusia sejatinya adalah makhluk yang paling palsu dan aku merupakan salah satu contohnya. Nada yang sarat kepalsuan terdengar riang menyapa telinga pemuda berkemeja krem ini, begitu banyak dempul yang menutupi wajah asliku dan aku tidak merasa bersalah sama sekali.

“Apa kabar, Krit? Lo akhirnya balik ke Bangkok?” Lelaki yang lebih muda lima bulan dariku ini menggaruk puncak kepalanya, salah satu kebiasaan lamanya saat sedang grogi. Maklum, kami sudah tidak pernah berkomunikasi lebih dari tiga tahun dan gunung es sudah pasti berdiri kokoh menghalangi kami.

“En..enggak kok, gue cuma lagi ada project aja,” ungkapku sedikit terbata.

“Gue kira lo bakalan stay di Bangkok lagi,” sambungnya. Netraku sontak membulat setelah mendengar untaian kalimat yang terucap dari belah bibirnya. Bagiku, menjadi haram hukumnya apabila berharap dari sesuatu yang telah lama kutinggalkan.

Tuhan memang benar mendengarkan doaku tiga tahun silam. Ia menunjukkan jalan agar aku bisa terbebas dari belenggu cinta pertama dan kini, ia sedang menguji pertahananku; mencoba melihat apakah aku mampu menatap sosoknya tanpa dihantui kenangan masa muda.

“Lo kerja di daerah sini?” tanyaku kepada sosok lelaki yang berulang tahun setiap awal minggu di bulan Oktober ini. Ah! Sial! Aku bahkan masih mengingat hari spesialnya.

“Hahaha… nitip salam sama atasan lo. Namanya Tay, kan?” timpalnya dengan sebuah pertanyaan retorik yang berhasil membuatku berpikir bagaimana sosoknya bisa mengenal orang penting di perusahaanku. Aku tidak segera mengiyakan ucapannya.

“Lo tenang aja, gue cuma teman main golf-nya Tay,” imbuh lelaki bermarga Putthipong yang sedikit membuatku tenang. Paling tidak, kami memiliki garis edar yang berbeda untuk beberapa waktu ke depan.

Lucu, ya? Bagaimana sesuatu yang paling kau eluh-eluhkan berubah menjadi hal yang sangat dibenci, bahkan tidak sudi untuk berada dalam satu atap yang sama. Padahal, kami dulunya sedekat nadi; tidak bisa terpisahkan atau lebih tepatnya aku yang suka membuntuti lelaki berlesung pipi ini kemanapun ia pergi.

Awal mulanya karena bertemu di sebuah tempat bimbingan belajar hingga membuat kami sering menghabiskan waktu bersama. Ia dipupuk oleh perhatian-perhatian kecil di sela-sela kesibukan menimba ilmu, disirami oleh banyaknya waktu yang kami habiskan bersama hingga benih-benih merah jambu itu tumbuh subur dan naasnya ia hanya memilih hatiku sebagai tempat untuk mekar.

Saat itu umur kami masih berusia belasan, kami belum banyak mengalami pahit-manisnya kehidupan apalagi tentang memahami perasaan. Ia masih teguh dengan prinsip bahwa teman akan tetap menjadi teman sampai maut memisahkan dan sekeras apapun usahaku untuk menggeser sedikit cara pandangnya, kami selalu kembali ke titik awal. Nihil. Tidak pernah berhasil.

“Billkin… lo ada jadwal gak selama dua hari kedepan?” Layaknya seorang pemain kasino, aku dengan penuh percaya diri melipat gandakan taruhan kepada dealer; mempertaruhkan kewarasan untuk mendapatkan secuil waktu bersamanya.

“Kenapa?”

“Kalau gue ngajak lo staycation ke Kanchanaburi, mau gak?” ajakku.

Aku sejenak merutuki kebodohanku karena telah melontarkan pertanyaan yang jawabannya sudah terpampang jelas. Manusia tetaplah manusia. Sosoknya akan terus berharap pada satu hal yang mustahil sekalipun.

Kedua netraku tidak bisa meninggalkan sosoknya yang kini sedang menatap sepasang pemuda-pemudi yang tengah berteduh di bawah naungan payung kecil. Pemandangan yang tersaji di hadapan kami menimbulkan secercah harapan – apakah bisa kami menjadi dua insan dengan perasaan yang sama? Membayangkannya saja sudah membuat irama jantungku berubah tak beraturan sementara bibirku terkatup rapat.

Ternyata keputusanku meninggalkan kota kelahiran tiga tahun silam, tidak membuatku bebas atas perasaan merah jambu kepada pria adonis ini dan mengajaknya ke tempat sarat akan kenangan tentang kami adalah taruhan yang paling gila dalam hidup seorang PP Krit.

Kanchanaburi terlihat seperti kotak Pandora. Indah namun menyedihkan. Bayang-bayang malam pertama yang kami habiskan bersama masih melekat kuat dalam benakku. Aku, yang saat itu berada di bawah pengaruh alkohol, melakukan sebuah kesalahan besar yaitu memintanya untuk mengambil pengalaman pertamaku. Aku tidak ingin orang lain yang merenggutnya dan dengan sedikit rayuan, kami menghabiskan indahnya malam di Kanchanaburi dengan penuh gairah. Sayang seribu sayang, harapanku untuk menikmati sinar mentari dalam dekapan orang terkasih harus pupus. Billkin pergi meninggalkanku dengan sepucuk surat yang berisi permintaan maaf karena telah meniduriku. Hawa dingin di Kanchanaburi pada pagi hari berhasil membekukan hatiku dalam hitungan detik.

“Kita udah saling kenal bukan sehari dua hari dan gue rasa lo pasti udah tau jawabannya apa. Perasaan gue ke lo masih sama kayak yang dulu, gak berubah. Gue sedih ngelihat lo ternyata masih punya rasa ke gue.”

Untuk yang kesekian kalinya, pemuda Assaratanakul menolakku dengan alasan yang sama dan untuk kesekian kalinya pula, aku harus kembali berlari mencari suaka. Manusia adalah makhluk yang paling keras kepala. Ia akan tetap melakukan kesalahan yang sama; jatuh pada lubang yang sama seolah keajaiban akan menolong mereka. Namun lihat lah, kenyataan tidak seindah dongeng-dongeng yang sering kita dengarkan. Perasaan itu sama dengan kenyataan, ia tidak bisa dipaksakan apalagi mengemis untuk mendapatkan belas kasihnya.

“Gue paham… So, I guess I’ll see you on around?” pamitku kepada sosok lelaki yang sempat menjadi rumah bagiku. Aku tersenyum simpul ke arahnya dan dengan sedikit tergesa, aku membalikkan badan dan melangkahkan kaki menuju stasiun MRT.

Kisah kami telah usai – menutup lembaran terakhir dengan menerima fakta bahwa kami tidak ditakdirkan untuk bersama. Dengan lapang dada, aku harus menerima kenyataan bahwa ada seseorang yang lebih baik lagi untuk Billkin. Sosok yang akan melengkapi pemuda Putthiphong dan menemaninya hingga ujung usia. Menyakitkan, sangat menyakitkan tetapi mengikhlaskannya adalah pelajaran terbaik untuk membuatku lebih bahagia. Berbahagia meskipun masih tersisa sedikit rasa sakit ketika melihatnya tertawa bersama orang lain dan aku yakin takdir sedang bekerja untuk mempertemukanku dengan seseorang yang membuatku lengkap, meskipun itu bukan Billkin.


chanstergram, 2 October 2021.