“Beasiswa full? Di Singapore?” Mata Seungkwan membulat sempurna, dan Jeonghan tidak tahu ingin mengartikannya sebagai hal baik atau buruk. Namun ia mengangguk dan mengiyakan. “Wow...”

“Kenapa? Gak worth it ya untuk orang setua mas?” Tanya Jeonghan canggung.

“Bukan... Aku gak pernah tahu kalau mas kepingin kuliah?”

Keduanya terdiam, sama-sama paham alasannya.

Masalah finansial selalu menjadi topik yang sensitif diantara mereka. Apalagi di ujung pembahasan, selalu ada Seungkwan yang merasa bersalah karena belum bisa membantu Jeonghan dalam menambah pemasukan.

Dipikir-pikir, segala pendapatan yang Jeonghan punya memang selalu ia dedikasikan untuk Seungkwan dan kebutuhan sehari-hari mereka. Acap kali Seungkwan melihat Jeonghan yang menahan diri untuk mengikuti nalurinya dalam membeli sesuatu, dan hal tersebut jelas membuat Seungkwan selalu dibaluti perasaan bersalah.

Cara Seungkwan membayar Jeonghan adalah dengan selalu menempuh pendidikan dengan sungguh-sungguh, dan berjanji bahwa suatu hari nanti ia akan membalas segala kebaikan yang Jeonghan telah berikan.

Dan Seungkwan kira ini saatnya.

“Mas... Jangan bilang mas ada pikiran buat nolak cuma karena mas gak mau ninggalin aku disini?”

Dari senyum yang terpancar di wajah kakaknya itu, Seungkwan tak perlu repot-repot mencari jawaban.

“Mas tahu kan aku bakalan komentar apa soal masalah ini?”

“Emangnya Kwan bisa...? Mas gak tega ninggalin Kwan sendirian disini...”

Seungkwan tertawa. “Kalau dipikir-pikir ya... selama ini aku juga selalu sendirian tau, mas? Mas sibuk kerja, aku sibuk kuliah. Aku makan dirumah, mas makan di tempat kerja. Gitu-gitu aja. Tapi kita berhasil survived, kan?”

“Tapi ini beda Bocil, mas kan jauh... Bukan yang kalau ada apa-apa bisa langsung nyamperin dari satu tempat ke tempat lain.”

“Gak akan ada apa-apa,” Jawab Seungkwan setenang mungkin. “Aku punya banyak temen. Sol, Bogel, Bang Jawir, bang Jabrik... dan aku juga selama ini belajar bagaimana caranya menjadi seorang pribadi yang mandiri dari mas Jeonghan.”

Jeonghan berani memproklamirkan bahwa dia adalah individu yang tangguh. Ia jarang menangis, karena rasionalnya tak pernah ada yang terselesaikan dari perilaku tersebut. Toh air mata itu tidak akan bisa mewakili sakit yang ia rasakan seumur hidupnya yang bahkan tidak pernah tahu menahu asal usulnya, seperti apa rupa orang tuanya, bagaimana rasanya memiliki keluarga, dan kapan ia akan berhenti menyiksa tubuhnya untuk bekerja sekeras baja.

Yang ia tahu hanyalah caranya menyambung hidup dari pundi-pundi yang terkumpul, lain dari itu tak ada urusan.

Jeonghan tidak punya waktu untuk romansa murahan.

Jeonghan tidak punya waktu untuk menghentikan segala yang telah ia pertahankan sampai dengan saat ini.

“Nanti disana mas sambil kerja part time, terus uang bulanannya bakalan mas transfer Kwan.”

“Iya.”

“Pokoknya kalau ada waktu dan rejeki, mas pasti bakalan sering bulak balik sini.”

“Iya, mas.” Seungkwan tersenyum melihat segala kepanikan yang terpancar di wajah Jeonghan.

“Kamu juga cepet jadian deh sama Sol biar mas tenang kamu ada yang jagain.”

Iy—” Semburat merah jambu mulai bermunculan di pipi adiknya. “Ih mas, apaansih!”

Jeongkan menyeringai, lalu menarik Seungkwan ke pelukannya. “Makasih ya Cil, karena udah jadi seseorang yang dewasa bahkan di umur kamu yang sekarang ini. Mas beruntung banget punya Kwan, dan mas cuma punya Kwan didunia ini.”

Seungkwan terseyum dari balik pundak kakak kesayangannya, dan menggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri. Keduanya tertawa, merasakan kehangatan yang tak pernah hilang diantara mereka berdua tak perduli seberapa jarang mereka bertemu dan bercengkrama, seberapa jarang mereka makan bersama, dan seberapa sulit untuk mereka sama-sama mengungkapkan kegundahan yang ada di dalam hati masing-masing.

“Kwan juga beruntung punya mas Han.”