“Ehem.”

Soonyoung duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidur Jihoon dengan cangung. Matanya menoleh ke langit-langit kamar rumah sakit, lalu kearah jendela yang tertutup rapat. Televisi yang menggantung diatas sedang menayangkan sebuah sinetron yang entah apa judulnya Soonyoung tidak perduli, namun setidaknya dialog-dialog yang terjadi disana menjadi pengisi kekosongan yang memenuhi ruangan tersebut.

Ditengah-tengah semua itu, ada dua insan yang saat ini termenung dan enggan saling memandang. Yang menahan kata-kata di ujung lidah, dan yang mempunyai segudang tanda tanya.

Soonyoung berdeham untuk kedua kalinya demi mencairkan suasana. Kali ini ia memberanikan diri untuk melirik ke arah Jihoon, yang entah sedari kapan sudah memfokuskan pandangannya pada Soonyoung terlebih dahulu.

“Kenapa ngeliatin?” Tanya Soonyoung panik, namun setengah tertawa.

“Gapapa.”

“Dih, kenapa gak?” Senyum bermekaran menghiasi raut muka mahasiswa tingkat akhir itu.

“Ya kan kita mau ngobrol, gue harus liatin siapa lagi kalau bukan lo?”

Lagi-lagi Soonyoung tersenyum, pipinya yang merah jambu dan gigi hamster nya terpampang nyata di depan Jihoon terbingkai manis di wajahnya.

“Tangan lo kenapa bengkak gitu?” Jihoon meraih telapak tangan Soonyoung yang sedang mengepal keras. “Lo abis nonjok orang?”

“Santuy. Biasa lah pertengkaran remaja.”

“Bisa galak.”

“Hah? Gimana?”

“Oh, engga. Gue keinget waktu itu lo pernah ngamuk di chat. Jujur gue takut, cuma sampe sekarang masih gak kepikiran gimana muka selucu lo bisa galak. Ternyata beneran bisa.”

Soonyoung menggaruk-garuk tengkuknya canggung. “Sakit?”

Mata Jihoon mengikuti arah pandang Soonyoung. “Ini? Infus?” Soonyoung mengangguk. “Sakit kalau gerak.”

“Percaya gak? Gue belom pernah ngerasain rasanya di infus.”

Laki-laki yang terbaring di kasur seketika mendengus. “Terus lo mau nyoba gitu?”

“Engga, gue oversharing aja. Maap kebiasaan.”

Soonyoung tahu Jihoon sedang berusaha keras menyembunyikan tawanya.

“Nyokap lo balik?”

“Engga, lagi cari makan diluar. Gue bilang suruh balik maleman aja soalnya ada temen yang mau dateng.”

“Ooh... good, good.” Soonyoung memalingkan matanya lagi dan kembali tertawa ketika Jihoon masih memfokuskan pandangannya pada Soonyoung. “Kenapa sih kayak gitu banget ngeliatinnya?”

“Ini gue liatnya biasa aja?” Jawab Jihoon santai.

Soonyoung menarik napas dalam-dalam.

Rasanya tidak adil karena Jihoon mengetahui bagaimana perasaanya, sedangkan Soonyoung bahkan hilang arah akan maksud kedatangannya disini. Yang Soonyoung tahu hanyalah ada sesuatu yang mengganjal tentang malam ini, dan apapun itu ia siap menghadapi.

“Soonyoung?”

“Hm?”

“Mikirin apa?”

Mikirin lo asuuu.

“Mikirin makanan rumah sakit. Gak enak pasti.”

Lagi-lagi Jihoon tertawa. “Hambar. Gue kangen nasi Hokben.”

“Anjir BENER. Nasi Hokben for the winner gak sih? Kalo lagi makan berasa lagi tamasya ke Jepang.”

Terus sekarang lu oversharing persoalan nasi... Pinter, Soonyoung...

“Beneran lucu ya ternyata?”

“Apanya Ji?”

“Iya, gue dari tadi tuh kepengen ngomong, tapi gak tau gimana mau mulainya. Seperti kata lo waktu itu, lucu gak kalau gue minta udahan padahal belum ada yang dimulai?”

Soonyoung menelan ludahnya susah payah.

“Kita udahan aja ya, Soonyoung.”

Kerongkongannya serasa membengkak.

“Gue gak akan bisa kasih lo apa-apa.”

“Kita terlalu beda ya, Ji?” Tanya Soonyoung pelan, lembut, hati-hati.

“Anak seumuran lo tuh... harusnya seneng-seneng gak sih? Jalan, makan, nonton film bareng pacar, nugas sama-sama, saling telfonan tiap kangen, kalau lo curhat dia pasti bisa dengerin lo, dan yang pasti orang itu gak posesif ataupun sakit mental.”

“Ji...”

“Gue kayaknya terlalu takut buat nyakitin seseorang karena kepayahan gue sendiri dibanding bilang sayang ke orang itu deh. Karna Soonyoung, sumpah, gue sayang sama lo, dalam bentuk apapun itu. Tapi gue tahu gue akan selalu seperti ini. Gue akan mementingkan pekerjaan diatas apapun, dan gue gak akan bisa memegang tangan lo didepan orang banyak.”

Sekuat-kuatnya gravitasi, Soonyoung tetap merasa tubuhnya sedang dibawa melayang kesana kemari. Bukan karena Jihoon yang memutuskan untuk menyudahi, bukan karena Jihoon mengiyakan statement nya tempo hari tentang segala bentuk perbedaan yang ada pada mereka, tapi karena setelah selama ini hanya ada dalam angan, kata itu akhirnya keluar dari bibir Jihoon.

Jihoon sayang sama gue.

“Ji.” Soonyoung menarik jari-jari Jihoon, meletakannya di depan dadanya, tepat di bagian dimana jantungnya berdetak.

“Kerasa gak?”

Hening.

“Kerasa.”

That's... how you make me feel.

”...How?” Tantang Jihoon.

Hening kembali.

Batshit in love.

Mata Jihoon tersedot oleh lekung pipinya ketika ia tersenyum. Dan Soonyoung suka. Ia suka segalanya tentang Jihoon.

Dan mungkin sekarang ia paham, bahwa perpisahan ini bukan seharusnya jadi satu hal yang menyedihkan. Perpisahan ini adalah sebuah bentuk pembuktian bahwa ia bisa membebaskan diri dan memberikan sesuatu yang hatinya lebih layak dapatkan. Bukan hal yang bekerja satu pihak, namun ada kesamaan prinsip di dalam sana.

Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk memaksakan. Mungkin sebuah cerita tidak harus selalu diakhiri dengan sebuah romansa magis. Mungkin mengikhlaskan dan merelakan akan punya andil lebih besar daripada menghianati diri sendiri dengan segala hal yang dipaksakan.

Thanks karena udah sama-sama mau belajar dalam proses pendewasaan ini.”

Jihoon mengarahkan ibu jarinya ke pipi lelaki yang lebih muda darinya itu dan mengusapnya lembut. “Terima kasih kembali, Soonyoung.”

Kalau ditanya apa yang sekarang sedang Soonyoung rasakan, jawabannya adalah lega. Ia merasa seperti diijinkan meihat cerahnya sinar matahari karena pundaknya sudah tak lagi ditimpa beton besar. Ia merasa seperti dapat terbang bebas karena sangkarnya telah lapuk dimakan waktu.

Soonyoung, di umurnya yang baru menginjak usia dua puluh dua tahun, merasa seperti dapat menaklukan dunia.

Berdiri dari kursinya, Soonyoung mendekati kening Jihoon dan menciumnya lembut. Indikasi kecupan yang baru saja ia layangkan adalah sebuah bentuk kasih sayang, sebuah bentuk apresiasi atas mereka yang sudah bisa berjuang sampai dengan hari ini. Sebuah bentuk rasa syukur bahwa mereka masih dapat melihat eksistensi masing-masing dan mengucapkan kata perpisahan.

“Jangan lama-lama ya Ji sakitnya, banyak yang nunggu lo balik.”

Jihoon menutup matanya diatas kecupan tersebut, dan tersenyum dalam diam. “Iya.”

“Oke.”

Kecupannya semakin dalam, semakin lama, sampai akhirnya Soonyoung kembali ke tempatnya semula. Raut wajahnya yang ceria menandakan bahwa hari ini ia baru mencapai satu titik pendewasaan baru, dimana membahagikan dirinya adalah sebuah prioritas utama.

Tangan Jihoon meraih sesuatu dari laci yang ada di sebelah tempat tidurnya, dan kini di tangan Soonyoung terdapat sebuah flashdisk berwarna putih dan kuning. Ia memandangi benda kecil itu dengan heran sampai Jihoon angkat bicara.

Special privilege.

Dan akhirnya Soonyoung paham.

“Anjing.” Matanya membulat. “Lo gila Ji, sumpah. Yang bener aja?”

“Jangan lo tinggalin di warnet itu flashdisk, nanti satu album leaked semua.” Tegur Jihoon bercanda. “Lo orang pertama yang denger.”

“Gila...”

Masih dipandangi benda kecil itu sampai dengan Soonyoung berdiri di depan pintu dan bersiap untuk berpamitan.

“Oh iya! Akhir bulan ini gue sidang skripsi, lo—” Boundaries Nyong, remember about your boundaries.

“Lo sidang skripsi terus...?”

“Gapapa hehe. Doain aja.”

“Pasti.” Ucap Jihoon mantap.

“Sampe ketemu lagi... someday?

Senyum kembali mengembang di wajah Jihoon. “Looking forward to it.”

“Oke...”

Dan Jihoon pun menghilang dari pandangan bersamaan dengan kaki Soonyoung yang membawanya keluar.

Menjauh, menjauh, dan menjauh.

Untuk meraih apa yang sempat tertunda, dan menghapus jejak Lee Jihoon dari hati dan pikirannya.