“Ini harus aku apain?”

Mingyu memalingkan kepalanya ke belakang dan mengamati Wonwoo yang terlihat kaku dengan satu tangan memegang pisau asal, dan satu tangan bertolak di pinggang. Kaos putih kebesaran yang ia kenakan hanya menutupi badannya hingga bagian paha.

“Dikupas. Bisa gak kamu?”

Wonwoo menghela napas panjang. “Oke.”

“Jangan sambil marah-marah gitu dong masaknya.”

“Ini kalo kita delivery daritadi udah nyampe loh makanannya.”

Delivery kan kapan aja bisa, sayang.” Melihat Wonwoo yang tidak merespon guyonannya barusan, Mingyu mendatangi dan merapatkan tubuhnya di belakang lelakinya itu. Pundak kanan Wonwoo ia jadikan tempat untuk menopangkan dagu. “Kalau masaknya sambil dipeluk gini masih sebel gak?”

“Engga.” Jawab Wonwoo singkat.

“Yaudah gih kupas.”

Tangan Wonwoo bergerak mengupas kentang, namun terhenti kembali ketika matanya tertutup saat merasakan bibir Mingyu di lehernya. “Curang.”

“Apanya?”

“Kamu.” Tangan Wonwoo mencengkram rambut Mingyu erat. “You have so much control of me.

Have you been looking at yourself?

“Engga, Gu. It’s always been me who needed you the most. I’m so whipped and screwed.

Disepanjang Wonwoo mengungkapkan kegelisahaanya, tidak ada satu detikpun tangan Mingyu berhenti meraba, dan bibirnya berhenti mengecup.

“Masaknya lanjutin nanti aja ya?” Suara Mingyu ditelinganya terdengar seperti bisikan horor yang muncul dari dalam kegelapan. Tapi di satu waktu, ketakutan dan bulu kuduknya yang sesaat terbangun memompa adrenalin Wonwoo lebih tinggi lagi.

Mingyu mengangkat tubuh Wonwoo seakan-akan dia adalah karung beras yang tak mempunyai massa dan berat. Wonwoo memberontak, yang setelah dipikir-pikir lebih terdengar seperti tawa geli seketika saat Mingyu meletakannya di atas tempat tidur.

“Aku laper tau. Nih denger nih.”

Wonwoo menepuk-nepuk perutnya, dan Mingyu menempelkan telinganya disana lembut. “Mana coba aku denger sini.”

“Tuh keroncongan kan?”

“Aku juga laper. Mau kamu.”

Wonwoo terkekeh pelan. Ia menarik Mingyu untuk berbaring di sebelahnya, dan mengalungkan tangan lelaki itu di pundaknya. Wonwoo berhadapan langsung dengan dada Mingyu sekarang. Dan tepat saat ia mendongak...

Tiga puluh menit. Tiga puluh menit berlalu dan mereka masih sibuk saling melumat. Tiga puluh menit yang diisi dengan mereka yang beradu lidah dan suara napas terengah.

You take that cuddle word very seriously.” Ucap Mingyu ketika ia mulai lelah dan menumpukan dagunya di puncak kepala Wonwoo.

“Menurutku cuddle jauh lebih intimate dibanding having sex.

“Gitu ya?”

Mhm. See, cuddle involves a lot of feeling. Kamu pernah liat orang yang one night stand abis itu langsung cuddle? It must be pretty awkward.

Alright you, cuddle expert.” Kata Mingyu dengan nada meledek.

Wonwoo terkekeh. “Don’t mock me!

“Siapa yang ngeledek? Itu pujian.”

Alright you, flirty expert.

“Hahaha sial dibalikin.” Tangan Mingyu mengusap punggung Wonwoo lembut... kebawah, dan terus kebawah. Boxer yang dikenakan Wonwoo cukup elastis, Mingyu mengambil itu sebagai sebuah keuntungan. “Wanna tell me about your Seungcheol 101?

Wonwoo mendengus. “Gak segawat itu juga kali. Eh bentar—iya deng gawat.”

Mind to share?

Long story short, he doesn’t wanna end us.

“Aku tebak ya,” Boxer Wonwoo kini sudah tidak membungkus area yang seharusnya lagi. “He has feelings for you.

Mhm,” Wonwoo memejamkan mata ketika merasakan jari Mingyu dan cairan dingin yang membalutnya. “Dia bahkan rela nungguin sampe aku putus sama kamu.”

Mingyu terkekeh, tawanya tenggelam di sela-sela rambut Wonwoo. “Berat banget saingan gua.”

“Aku sayangnya sama kamu, Migu.”

Sudut bibir Mingyu terangkat, tapi yang nampak disana hanya kepahitan. “Aku juga sayang Nunu.”

“Tapi...?”

“Tapi apa?”

“Kalimat kamu barusan kayak harus dilanjut dengan tapi.”

Jari-jari Mingyu mulai meraba sebuah lubang, dan Wonwoo terengah pelan. “Gak ada tapinya. It’s good to hear there’s someone out there as nice as Seungcheol loving you that much.

“Tau gak, Gu? Pacaran sama kamu tuh—nggh berasa kayak ada bom waktu nya.”

Lagi, Mingyu terkekeh. Jarinya sekarang bergerak maju dan mundur pelan dibelakang sana. “Can i put another one in?

Wonwoo mengangguk lemah. “Aku tuh gak ngerti sama kak Cheol. I thought he likes Han? Kita udah pernah janji satu sama lain if we ever found the one, then it’s time for us to let each other go.

“Salah satu cara terbaik untuk tahu perasaan seseorang adalah buat dia cemburu.”

It’s not—shit that feels so good—not really Seungcheol-ish.

“Kamu tahu gak siapa yang lebih kasihan? Han. Aku gak tahu gimana jadinya kalau Han sampai ternyata ada rasa ke Cheol.”

“Ohiya... Aku jadi kepikiran kak Han.”

Mingyu menambahkan satu jarinya lagi masuk dan menambah kecepatannya. “Enak?”

Bukannya menjawab, Wonwoo malah meraih bibir Mingyu untuk kembali dilumat dan setelah beberapa detik barulah ia menganggukan kepala bersemangat.

“Segini kecepetan?”

“Terlalu pelan, Gu.”

“Oke.” Mingyu terkekeh, dan lagi-lagi menambah kecepatan tangannya. “Pernah kayak gini gak sama pacar-pacar sebelumnya?”

“Pernah.”

Did i do better?” Wonwoo punya daftar belasan hal yang dibencinya. Datang paling awal sewaktu janjian, terjebak di tengah kemacetan, harga ojek online saat rush hour, dan antrian Xing Fu Tang yang tak pernah ada habisnya. Suara Mingyu berbisik pelan di telinganya akan segera Wonwoo masukkan ke dalam daftar.

So—fuuuck so much better.

Five seconds later, Mingyu got him seeing stars.

Good?

“Capek aku, Gu.” Jawab Wonwoo sembari menenggelamkan wajahnya di tengkuk leher Mingyu. “Dan laper.”

“Yaudah,” Ucap Mingyu sambil tertawa. “Kamu bobo lagi dan aku masak, ya. Nanti kalau udah matang aku bangunin.”

“Boleh?”

“Boleh, Nunu sayang.”

Mingyu mengecup kening Wonwoo sekali lagi sebelum berdiri menuju dapur.