Kamar Jihoon, adalah kamar paling tidak menggambarkan musisi yang pernah Soonyoung lihat. Furniture seadanya, lemari yang hanya berisikan kaos satu warna, tempat tidur dengan sprei putih polos, tembok yang bebas akan poster-poster band, dan meja kerja yang ditempati satu buah macbook dan headphone.

Ukuran kamarnya cukup luas, dengan pemandangan langsung pada balkon teduh dan sengaja disulap menjadi lapak berkumpul yang nyaman untuk diduduki. Soonyoung bersandar pada salah satu bantal, dan menjadikan bantal lainnya sebagai tatakan laptop agar posisinya tidak terlalu rendah. Usai menyambungi charger laptopnya pada stop kontak, Soonyoung menyapa Jihoon dengan cengiran.

“Gokil banget ni tempat.”

Anggukan setuju. “Basecamp anak komplek.”

“Lu tinggal disini dari lahir?”

“Iya,” Jihoon melangkah masuk kedalam kamar, suaranya mulai hilang dan samar-samar. “Dulu tiap ada acara musik tujuh belasan suka pada maksa-maksa gue tampil tuh sekomplek.”

“Taunya jadi penyanyi beneran yak, hahaha.”

Jihoon kembali berjalan keluar sambil membawa gitarnya, sembari mengangkat bahunya cuek. “Kebetulan aja.”

“Emang lu dulu kuliahnya jurusan apa, Ji?”

“Hukum.”

Soonyoung tertawa lepas. “Jauh.”

“Banget.” Tangan Jihoon menari-nari santai diatas senar gitarnya, melantunkan nada asal yang menggema di udara. “Tapi lulus kok.”

“Alhamdulillaaah,” Ucap Soonyoung mendramatisir. “Dikirain drop out. Biasanya musisi suka ada aura-aura ngga betah kuliah.”

Jihoon hanya tertawa sambil menggelengkan kepala.

“Lo kenal gue darimana?” Tanya Jihoon tiba-tiba. “Maksudnya, kenapa bisa tau musik gue.”

“Pernah nonton pas acara musik kampus waktu itu.”

Tangan Jihoon seketika menekan senar agar terhenti mengeluarkan suara. “Demi?”

Soonyoung mengangguk. “Nyaris tuh gue ngga dateng, abisan hujan. Males amat becek-becekan ngotorin sepatu. Tapi biasa lah maba, pada caper pengen dateng pertama kali ke acara begituan. Gua dipaksa-paksa anjir ama temen gua, emang dasar paguyuban dajjal people. Terus gue nonton lu sambil keujanan, gue inget banget dah tuh. Gerimis doang sih, tapi kan tetep basah yak, orang sama-sama air. Jadi males tuh gue sebenernya, tapi temen-temen gue pada hapal lagu lu, njir? Masa gua doang yang gatau.”

Mata Jihoon membulat. “Lo kalau ngomong emang suka gak napas gitu, ya?”

Soonyoung mendengus sebelum memunculkan cengiran di wajahnya. “Inimah belum seberapa. Ada dah temen gue namanya Jawir, bacotnya subhanallah... lu pernah liat tukang obat lagi nawarin barang kaga sih? Nah, itu dia.”

Jihoon terkekeh seadanya.

“Kalo keberisikan usir aja ya, Ji.”

“Santai, santai,” Gitar Jihoon melantunkan melodi dengan pelan. Mata dan tangannya terfokus pada senar. “Udah sampe mana skripsinya?”

“Lagi masukin data kuisioner ke SPSS.”

“Kuanti?”

“Betul sekali, kakak.” Soonyoung mengacungkan kedua jempolnya.

“Semangat.”

“Semangat-semangat mulu lu.”

“Semangat lah. Mau lulus gak?” Tanya Jihoon datar.

“Iye, iye.”

Soonyoung melanjutkan kesibukannya dengan skripsi, Jihoon dengan gitarnya.

Setelah setengah jam berlalu dalam keheningan dan obrolan-obrolan kecil yang sambil lalu, pandangan Soonyoung terjatuh pada tangan Jihoon yang berkali-kali membekap tubuhnya erat.

Angin bergemuruh. Guntur saling menyalak. Dan rintik hujanpun turun dengan gemulai.

“Dingin ya, Ji?”

“Iya. Tumbenan nih anginnya.”

“Emang lagi parah tau sekarang.”

Jeda.

Lalu ada Jihoon yang semakin mengecil, berusaha melindungi tubuhnya dari angin-angin nakal.

Jeda.

“Sinian lah.” Ucap Soonyong, melirik tempat kosong disebelahnya untuk bisa Jihoon isi.

Jihoon pun berpindah posisi, mendekatkan dirinya ke tubuh Soonyoung yang entah bagaimana memancarkan hangat sinar mentari.

Sorry.” Katanya berbisik.

Slow aja.” Soonyoung menelan ludahnya dengan paksa. “Lo masuk aja deh mending.”

“Males, sumpek.”

Dehaman dari Soonyoung muncul lagi ketika petir dengan galaknya menyapa, dan tubuh Jihoon sedikit demi sedikit mendekat rapat.

Jihoon bergeser menjauh pelan setelahnya. Soonyoung menahan lengannya untuk pergi.

“Yee sini aja, mau kemana?” Alih-alih menjawab, Jihoon hanya sanggup berdeham.

Jeda.

Yellow diamonds in the light,

Jeda lagi.

And we're standing side by side,

Dan lagi.

As your shadow crosses mine,

Dan lagi.

What it takes to come alive,

Ketika Jihoon akhirnya memberanikan untuk menarik ujung kaos Soonyoung dan mencengramnya acak, memejamkan mata seakan membarikade dirinya dari seluruh dunia, meraih dagu Soonyoung mendekat, dan menenggelamkan suara kecupan dalam riuhnya rintik hujan, Soonyoung pun ikut terlarut.

It's the way I'm feeling I just can't deny,

Perpindahan Jihoon ke pangkuannya mungkin menjadi hal paling magis yang terjadi tengah malam itu. Namun mereka bukan dua insan yang sedang termabukan alkohol, segala sesuatunya yang terjadi detik itu adalah murni karena nafsu. Karena angin yang tadinya menusuk Jihoon berbalik menjadi membakarnya, karena mereka hanyalah dua orang dengan birahi, dan karena keadaan mengijinkan mereka untuk berbuat.

Kepala Soonyoung terlempar kebelakang ketika lidah Jihoon mencapai tengkuk lehernya, dan turun, dan turun,

dan entah.

rasanya seperti dikirim ke surga, bahkan saat tumpukan dosa menari-nari di udara.

Jihoon menggebu, Soonyoung menahannya untuk tidak terburu.

“Santai aja, Ji. Dikejar apaansih? Gue gak kemana-mana.”

Jihoon mendengus. Omongan barusan dianggapnya angin lalu terlihat dari bibir-bibir yang kembali berpadu.

“Kaitin tangan lo deh.”

Soonyoung menurut, meraih telapak tangan Jihoon untuk kemudian mengaitkan jari-jarinya. “Gini?”

Yang diberi pertanyaan segera mengangguk.

“Jangan dilepas.”

“Kenapa?”

“Ngerasa aman aja.”

Soonyoung terkekeh. “Gak dilepas.”

Dan ciuman pun berlanjut hingga napas mereka saling tersengal. Sampai terdengar ketukan di pintu kamar Jihoon pada jam satu pagi. Sampai akhirnya Jihoon bergegas menjauh,

menjauh,

dan menjauh.

“Oit, Ji!”

Jihoon mengangguk, menyembunyikan kepanikannya dengan mempersilahkan tamunya masuk.

“Kan gua bilang juga apa, belum tidur pasti ni anak.” Kata pemuda satu kepada pemuda dua yang mengikuti di belakang. “Si Jabar mau numpang nginep, dikunciin emaknya ni anak gara-gara ngilangin motor.”

“Kenapa bisa ilang?”

“Au, bocah dongo. Tanyain ndiri sono.” Pemuda satu menyalakan rokoknya dengan korek, menyambangi balkon dengan acuh. “Lah ada tamu.”

“Ada.” Jawab Jihoon, hampir terdengar seperti cicitan.

“Widiw, anak komplek mana, ni? Baru liat kayaknya gua.” Pemuda dua ikut memasuki tempat kejadian.

“Bukan anak sini. Fans... biasa aja.”

Kaitin tangan lo deh.

Jangan dilepas.

“CIAAA FANS TAI KUCING. Berak bego lu sekebon.” Pemuda satu memalingkan wajahnya ke arah Soonyoung. “Jangan mau ngidolain ni bocah, dulu sering keluar rumah bugil sarungan doang. Sekarang aja sok edgy, kalo bikin caption Instagram sok-sok bule.”

“Haha kocak.” Soonyoung tersenyum canggung.

Ada yang salah dengan degup jantungnya.

Dengan pori-pori pipinya yang masih merasakan kecupan,

rambutnya yang masih merasakan cengkraman,

jari-jarinya yang kehilangan rasa hangat.

But I've gotta let it go.

Detik itu,

We found love in a hopeless place.

di detik itu,

detik dimana ia tertampar rasa malu, amarah, dan sakit hati pada saat yang bersamaan, Soonyoung mendengar suara napasnya yang perlahan-lahan tercekat.

We found love in a hopeless place.

Mulai bermunculan oh italic dengan segala realisasi memuakannya.

We found love in a hopeless place.

Soonyoung rasa, bukan dengan cara fans kepada idolanya lagi ia bisa memandang Jihoon.

We found love in a hopeless place.

Soonyoung rasa, presensi Jihoon sepenuhnya sudah menjadi sebuah konteks yang berbeda setelah rentetan kejadian tadi.

And yeah,

crap.