“Le, gue bener-bener minta ma—”

Satu pukulan pertama. Lokasinya cukup menyakitkan karena dari pada menyerang pipi, genggaman Hansol jatuh tepat mengenai rahangnya.

“Anjing lo.” Seokmin menyumpah sembari menahan sakit.

Pukulan kedua. Kali ini dekat dengan hidung, dan Seokmin mendongakan kepalanya saat merasakan setitik darah keluar tanpa aba-aba.

Pukulan ketiga terjadi saat Seokmin sedang merasakan dunia berputar di depan matanya. Ia tersungkur tanpa kendali keatas tanah, remuk redam.

Posisi Seokmin mengijinkan Hansol untuk menendang pinggangnya secara terbuka. Bukan sebuah tendangan yang pelan mengingat Seokmin yang meringis kesakitan untuk pertama kali akhirnya berteriak dan melenguh, seluruh badannya terasa nyeri.

“SAKIT BANGSAAAT.”

Hansol mengacak-acak rambutnya frustasi, sudut bibirnya meringis pahit.

Seokmin perlahan-lahan terbangkit saat suara langkah kaki memasuki halaman belakang rumah Hansol. Dari sudut matanya terlihat raut kekhawatiran yang terpancar dari wajah Chan dan Soonyoung, pun Seokmin tahu dua sahabatnya itu tidak akan berbuat apapun untuk membantu. Ia harus melewati ini suka ataupun tidak.

Belum sampai setengah badan terangkat, tendangan Hansol kembali memperkeruh berbagai rasa sakit yang kini sedang menghiasi tubuh Seokmin.

Ia kembali tersungkur, pasrah saat punggungnya menabrak lantai bumi. “Bangsat lo, Le...” Ucapnya lirih.

Hansol ikut menjatuhkan tubuhnya dan mengandangi Seokmin dengan memposisikan kedua lututnya disamping dada sahabatnya itu. Gerakannya lambat dan lemah, wajahnya menampakkan rasa lelah yang sangat memprihatinkan. Hampir seperti dari lubuk hatinya yang terdalam, ia tak ingin melakukan satupun dari ini.

Pukulan yang Hansol layangkan kali ini jatuh dalam ritme bertubi-tubi.

Satu pukulan di bagian kanan.

Satu pukulan di bagian kiri.

Satu pukulan di bagian yang bahkan sudah tak dapat Seokmin rasakan lagi.

Satu pukulan diatas tanah, tepat disamping telinga Seokmin.

“AH BRENGSEEEK.” Teriak Hansol, membuat Chan terlompat diatas anak tangga yang sedang ia duduki, dan Soonyoung menampakan raut wajah kekhawatiran yang bahkan lebih intens daripada sebelumnya.

“TEMEN LO YANG SATU INI,” Hansol dengan seluruh tenaga yang tersisa memuntahkan sumpah serapahnya. “ORANG PALING BIADAB SETELAH BOKAP GUA, YANG PERNAH GUA KENAL.”

Chan menundukan kepalanya sendu, Soonyoung memijat keningnya dalam diam.

“TEMEN LO YANG SATU INI UDAH NYAKITIN NYOKAP GUA TANPA PERNAH SEMPET MINTA MAAF.”

Seokmin menutup kedua matanya dengan lengan, menahan baik rasa sakit dan juga air mata.

“TEMEN LO YANG SATU INI... BERANI-BERANINYA BERDUAAN DI HOTEL JELAS-JELAS BARENG ORANG YANG UDAH PUNYA ISTRI YANG LAGI NUNGGUIN DIRUMAH. PUNYA ANAK YANG BAHKAN SEMPET BILANG KALAU BOKAPNYA ADALAH BEST DAD IN THE WORLD. YANG NGEBUAT ANAKNYA GAK TAU HARUS KASIAN APA BERSYUKUR BOKAPNYA TERKAPAR DIRUMAH SAKIT.”

Oh.

OH.

Mungkin sekarang Seokmin paham apa yang membuat Hansol se-emosi ini. Mungkin hari-hari yang Hansol lewati berdua dengan dad nya di salah satu ruangan rumah sakit membuat mereka akhirnya saling berbicara. Saling membuka diri dan hati. Dan mungkin mau tidak mau pertanyaan sensitif itupun pasti muncul.

Hal apa aja yang udah pernah kalian lakuin berdua?

Lalu Hansol,

Hansol si anak malang yang belum genap dua minggu ditinggal oleh salah satu orang terkasihnya,

Hansol yang mempunyai banyak perasaan terpendam dan tertahan di kerongkongan,

Dan Hansol yang harus bertarung antara kewajiban dan rasa benci,

Pada akhirnya serta merta meledakkan bom.

“Temen lo yang satu ini...” Kata-katanya kali ini kabur, tertutupi oleh napas yang tersengal dan mata yang sayu. “Temen lo yang satu ini...”

“Le, udah Le...” Soonyoung menasehati dari jauh, namun Hansol tetap tidak merubah posisinya.

Dan ketika tenaganya terkumpul kembali, pukulan bertubi-tubi kembali ia layangkan. Kali ini tanpa jeda. Tanpa ampun. Tanpa pandang bulu. Lagi, lagi, dan lagi.

Seokmin diambang kematian.

“Temen lo yang satu ini,” Lanjut Hansol usai menelan ludahnya susah payah dan membuang titik air mata yang tanpa diundang jatuh ke pipi nya. “Temen lo yang satu ini bikin gua benci diri gua sendiri karna udah kayak gimanapun gua coba, gua gapernah bisa benci sama dia.”

Pukulan lagi, tapi kali ini lebih pelan dan kurang bertenaga. Indikasinya hanya untuk meluapkan sisa-sisa kekesalan dan air matanya yang kini meluncur bak air terjun.

“TOLOL BANGET LO SEMUA. LO JAWIR, DAN BOKAP GUA, HARUSNYA ORANG TOLOL KAYAK KALIAN YANG MATI BUKAN NYOKAP GUA. MATI AJA LO SEMUA ANJINGGG.”

Tenaga Hansol yang tidak ada habisnya membuat Seokmin takjub bahkan saat matanya yang membengkak sudah tidak lagi dapat terbuka dengan normal.

Seokmin sering membayangkan bagaimana rasanya menjadi superior dalam sebuah pertarungan. Dari film action yang ia tonton, dari komik yang ia baca, dari poster yang ia lihat. Namun ternyata di dalam kehidupan nyata, bertarung bukan serta-merta hal yang akan secara tak sengaja ia temukan. Seokmin pun bukan tipe orang yang menyukai kekerasan, atau mendekati hal tersebut atas dasar rasa penasaran. Seokmin dan seluruh hidupnya adalah penggambaran dari jalan yang lurus.

Seokmin si anak yang ceria dan berbudi baik,

Seokmin yang tak pernah tega menolak permintaan tolong teman-temannya,

Seokmin yang selalu berusaha mencairkan segala suasana menjadi menyenangkan,

Seokmin seorang pribadi sederhana dan tak pernah mengeluh,

Seokmin yang bahkan tak pernah membayangkan akan merasakan pukulan petama yang datang dari sahabatnya sendiri,

Hancur lebur karena satu kesalahan.

Satu kesalahan yang bahkan tak pernah ia bayangkan dan juga rencanakan.

Mungkin orang tuanya akan tertawa saat mendapatkan kabar duka bahwa anaknya tutup usia karena tak melakukan perlawanan sedikitpun saat dipukuli. Ibunya akan menangis memegangi dada, bapaknya akan terduduk di salah satu bangku kayu reot kesayangannya sembari menunduk, dan kakaknya akan menelepon siapapun yang bisa ia telpon untuk mengkonfirmasi kebenaran.

Lucu memang bagaimana skenario tersebut dapat bermain-main di otaknya dengan jelas seakan-akan Seokmin sudah mengikhlaskan segalanya di detik tersebut. Namun setiap sendi di tubuhnya yang mengilu mengatakan cukup. Tak ada rasa sakit lainnya yang dapat ia tanggung.

Pukulan terus datang tanpa henti, dan Seokmin perlahan-lahan kehilangan kesadarannya.

“Le, udah.” Sebuah suara dan langkah kaki mendekat, dan saat Hansol tidak menggubrisnya sama sekali suara itu kembali meninggi dan menegas. “Le, UDAH.”

Kepalan tangan Hansol kini ada dalam genggaman Soonyoung menjauh dari wajah korbannya. Seokmin perlahan-lahan dibangunkan oleh Chan, yang sangat butuh ekstra usaha dengan tubuhnya yang penuh lebam.

Namun sepertinya Tuhan belum berpihak pada Seokmin karena saat genggaman Soonyoung melemah, pukulan Hansol kembali mengenai rahangnya.

“BULE GOBLOK!” Soonyoung naik pitam. Soonyoung marah besar adalah sebuah peringatan bahwa segala sesuatu yang terjadi hari ini sudah keterlaluan dan melewati batas. “LU BERBUAT BEGINI NYOKAP LU IDUP LAGI JUGA KAGA, YANG ADA MASUK PENJARA LU.”

“DIEM LO ANJING PAKE SEGALA IKUT CAMPUR.”

“LO NGEHE YANG ANJING!”

Satu pukulan untuk Hansol tepat di mata. Hansol tidak melawan, tubuhnya kelewat lelah.

“Emosi si emosi, tapi tau batasan lah. Mau sampe mati lu gebukin itu temen lu? Goblok sumpah.”

“Yang mati nyokap gua Jabrik, nyokap lo kagak. Jangan sok-sok ikut ngerasain apa yang gua rasain.”

“Nyokap lu mati salah Jawir? Dia yang nabrak mobil ortu lu? Dia yang nyetir mobilnya? Salah Jawir dimana, Le? Apa andil Jawir dalam meninggalnya nyokap lu coba gua tanya?”

Hansol diam seribu bahasa, perlahan menundukan kepala dan memukul-mukul kepalanya sembari terisak.

“Nyokap gua udah gaada, lu semua paham gak sih...”

“Cowok yang gua suka hampir bunuh diri gara-gara gua, Le.”

“Gua,” Ucap Seokmin sebisanya, tangan kanannya meraba rusuk seakan-akan dapat mengurangi rasa sakit. “Hampir dibikin mati ama sahabat gua sendiri karna ada main sama bokapnya.”

Hansol tertawa meringis, Soonyoung menggelengkan kepalanya pelan.

Untuk pertama kalinya semenjak mereka berempat ada disitu, keadaan menjadi hening. Seakan-akan mereka mencoba mengintrospeksi segalanya yang telah terjadi, seakan-akan dunia menyedot segala kewarasan yang tersisa, sampai akhirnya Chan angkat bicara.

“Gua ngehamilin cewek gua.”

“LU PUNYA CEWEK?!” Soonyoung.

“HAMIL AS IN ANAK LU? LU NGEWE AMA DIA?” Hansol.

Seokmin batuk sejadi-jadinya sambil mengeluarkan gumpalan darah. “Wong edan.

Tersangka yang sekarang sedang dijatuhi banyak pertanyaan hanya dapat menyeringai polos. “Ngewe lah. Kalo engga lu pikir lewat mana tuh sperma masuk? Udel?”

Hansol dan Soonyoung seketika berdiri dan memukuli Chan sejadi-jadinya. Menoyor kepalanya, menjitak keningnya, menjewer telinganya, meninju kelaminnya. Chan terkapar tak berdaya di sebelah Seokmin sembari terbahak. Tawanya bahkan tak juga henti hingga lima menit berlalu, Hansol dan juga Soonyoung memutuskan untuk ikut berbaring.

Matahari sore itu mulai bersembunyi dibalik awan, memudahkan empat sejoli untuk mengagumi langit yang tampak muram dan menjadi sebuah representasi kegundahan hati mereka masing-masing. Tawa Chan yang bahkan tak kunjung usai membuat ketiga temannya mau tak mau ikut tertular.

Dan mereka tertawa tanpa tujuan yang jelas.

Menertawakan hal yang salah, namun dirasa lebih baik daripada merasakan pukulan demi pukulan yang datang dari sahabat sendiri.

Menertawakan nasib,

dan menertawakan alam semesta.

“Sakit perut gua asu kebanyakan ketawa.” Papar Chan ditengah-tengah tawanya.

“Terus lu gimana itu, Gel? Jangan tawa mulu napa. Mikiiir.”

“Santai bang, da gua mah punya otak ngga kayak lu pada, punten.”

“Bocah dajjal.” Soonyoung kembali menempeleng kepala adiknya itu.

“Gua mau tanggung jawab, tapi tanggung jawab dalam artian pasti ditanggung lah segala biaya yang cewek gua butuhin sampe lahiran. Cewek gua gak mau nikah, gua pun gak mau. Kuliah belom kelar, kerjaan belom punya, mau jadi apa tuh rumah tangga? Ya tapi kita juga gak mau bunuh anak sendiri.”

“Terus jadi nanti abis berojol itu anak lu kemanain?”

“Gua kasih 'A Wonwoo. Biar dia aja yang urus ampe gua mampu urus.”

Soonyoung mengacak-acak rambutnya frustasi. “Semena-mena banget hidup lu Gel, Gel...”

“Kok bisa?” Tanya Hansol tiba-tiba.

“Bisa apaan?”

“Ngewe.”

“Pertanyaan apaansi ini? Unfaedah bangsat gua menolak untuk menjawab.”

“Tapi ini udah keputusan kedua belah pihak kan, Gel?” Kali ini gantian Seokmin yang bertanya. “Maksudnya ini bukan cuma maunya lu.”

“Kaga lah.” Jawab Chan spontan. “Ini gua justru ngikutin apa maunya cewek gua. Ya kecuali soal 'A Wonwoo itu gua yang nyaranin karena dia anak tunggal dan bokap nyokapnya udah tua, gabakal keurus nanti anak gua. Itu juga gua belom bilang sih ke 'A Wonwoo.”

“Gila... Gila... Tepok tangan gua... Ada sembilan nyawa lu.”

“Gausah bacot bang, itu temen lu ada yang nemu om-om di warnet eh gataunya bokap sahabatnya sendiri. Akuin aja kalo lu punya temen emang gaada yang bener.”

Seokmin tersedak, Hansol mengeram, Soonyoung terbahak.

“Goodluck deh yang mau jadi ayah.”

“Jiji bat ngeheee.” Chan mendengus geli. “Tapi thanks.”

“Gel?”

“Napa Le?”

“Tapi lu sayang kan ama cewek lu? Dan lu nanti bakalan sayangin anak lu sebagaimana mestinya seorang ayah menyayangi anaknya?”

Chan mengerti kekhawatiran Hansol. Mereka bertiga mengerti. Selama ini diantara mereka tak pernah ada yang ditutup-tutupi, dan Chan rasa itu yang membuat mereka mengenal satu sama lain lebih dari siapapun.

“Iya Le, gua sayang ama mereka berdua.”

Keempatnya saling memejamkan mata, mencoba mengembalikan segenap energi yang terkuras dari peristiwa sore itu. Awan semakin menggelap, petir saling bergemuruh, namun bagi mereka langit hari itu cerah.

“Bang Jawir.” Ucap Hansol ditengah keheningan.

“Oit.”

Sorry.

Seokmin tersenyum kepada dirinya sendiri. “Sans.”

Sorry ya semuanya.” Ucap Hansol lagi.

“SAAANS.” Mereka bertiga membeo secara bersamaan, menciptakan sebuah senyum yang mengembang di wajah Hansol.

Dan akhirnya hujan turun membasahi bumi.