Lima menit Seungcheol membenturkan dahinya pada stir mobil dan mencengkram seperti hidupnya bergantung pada itu, sebelum akhirnya menancap gas untuk melaju.

Tujuan dikepalanya cukup jelas, ada satu nama yang tercetak nyata disana; terang dan mengintimidasi.

Wonwoo.

Rasa khawatir di dadanya membuncah seakan-akan bisa meledak dalam hitungan detik.

Jarum speedometer nya meningkat bak kuda mengamuk, menerobos segalanya yang bisa ia terobos. Menjadi bodoh itu urusan lain.

Dan Seungcheol rasa itu semua sepadan, jika artinya Wonwoo bisa ada dipelukannya seperti malam ini. Seungcheol rasa itu sepadan, jika artinya menjadi orang yang paling Wonwoo butuhkan.

“Kak... Sakit banget... Gue gak sanggup.”

Seungcheol menyenderkan kepala Wonwoo di pundaknya, dan menggunakan ujung sweaternya untuk mengelap pipinya yang basah.

Banyak yang berubah dari apartemen laki-laki itu semenjak Seungcheol terakhir kali berkunjung kesana. Temboknya sekarang dipenuhi lampu dan sejumlah foto yang terjepit dibawah tali. Ia tidak harus melihat lebih dekat untuk tahu siapa dua insan yang sedang tersenyum bahagia di dalam pigura. Hatinya sudah cukup tersayat perih.

Sorry dek, buat yang kali ini gue gak akan bela lo. Jujur gue marah banget. Banget. Pengen bunuh orang gue rasanya.”

“Iya gue tau gue bego,” Ucap Wonwoo sembari terisak. “Tapi coba sekarang gue tanya, kenapa lo boleh nunggu gue tapi gue gak boleh nunggu Migu? Bukannya sama aja? Sekarang lo juga nyakitin diri lo sendiri karena gue.”

Seketika Seungcheol tertohok dan kehilangan kata-kata. Pembelaan apapun yang ia lontarkan tidak lagi akan menjadi valid.

“Terus lo sekarang maunya gimana? Udahlah, dek... Lo bisa tinggalin dia dan dateng ke gue... As simple as that.”

Alih-alih menjawab, Wonwoo memeluk Seungcheol lebih erat dan menyembunyikan wajahnya di tengkuk laki-laki yang lebih tua itu.

“Mau gak? Dateng ke gue?” Tanya Seungcheol lagi, as soft and considerate as he can be.

Laki-laki di pelukannya masih tak bergeming barang sedikit.

“Lo inget gak kak, waktu lo pertama kali pakai baju pilot dan lo pamerin ke gue seharian...”

Seungcheol terkekeh. “Inget. Dilirik aja engga, lo malah sibuk ngegame.”

Senyum Wonwoo mengembang, dan Seungcheol bisa merasakan tanpa harus melihatnya. “Gue bukannya sibuk main game, tapi emang sengaja ngehindar.”

“Kenapa?”

Because you made me nervous. Bertahun-tahun kita kenal dari mulai mandi bareng sampai ke perhatian-perhatian kecil yang lo kasih ke gue, but that's the first time i've seen you as a man. And i guess i was just panicking karena perasaan gue waktu itu tidak pada tempatnya. Gue maunya ngeliat lo sebagai kakak, gak pernah lebih.”

Was that because of the uniform? Your sudden change of feeling?” Goda Seungcheol.

Fuck you.” Wonwoo meninju pinggang Seungcheol. “But yeah, the uniform sucks. Kenapa lo bisa terlihat sangat charming sih pakai seragam laknat itu?”

Lagi-lagi Seungcheol terkekeh. “Wonwoo... Gue sayang banget sama lo. Sayang banget sampai kadang gue merasa gue gak bisa napas. Gue lumpuh, Won. Lo bikin gue buta. If i wanna be unfair, gue bisa aja diem dan gak berbuat apa-apa karena pada akhirnya lo pasti cuma boleh sama gue. Tapi gue gak bisa, gue maunya semua dateng dari hati lo. Gue gak mau hubungan kita cuma punya pilar dan dasar dari sebuah paksaan.”

Wonwoo menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya mendongak untuk memandang mata Seungcheol. Telunjuknya menyentuh kelopak mata laki-laki itu. “Bulu mata lo panjang banget.”

“Masih panjangan cinta gue buat lo.”

Najis.”

Keduanya terkekeh pelan.

“Sama gue aja, ya? I swear i'll love you right.” Ucap Seungcheol dengan segala keputusasaan yang tersisa di dalam dirinya.

Jari-jari Wonwoo berpindah dari kelopak mata ke lesung pipi Seungcheol, bermain-main disana dengan lembut. “Kak.”

“Apa? Jangan bikin gue deg-degan deh kalau akhirannya gak ngenakin.”

Selama beberapa detik yang Wonwoo lakukan hanyalah mengusap pipi Seungcheol dan memandangnya teduh. Seungcheol sadar segalanya yang menyangkut Wonwoo akan selalu membawanya keatas untuk kemudian terlempar lagi kebawah.

Tapi toh pada akhirnya, ia tak kunjung jera, kan?

Jadi Seungheol pandangi pula Wonwoo dengan segenap jiwa raganya. Wonwoo-nya yang tangguh namun ceroboh, Wonwoo-nya yang terkadang naif, Wonwoo nya yang selalu impulsif dan berujung dengan malapetaka.

There he is, caressing Wonwoo's eyebrows, pinching the tip of his nose, softly kissing his lips, and smiling to show how grateful he is for being in love.

“Udahan nangisnya.”

“Ini udah.” Jawab Wonwoo dengan suara bindengnya. “Makasih, kak. You're really the best thing that ever happened to me.”

Seungcheol mendengus pahit.

“Gue kelarin masalah gue sama Mingyu dulu ya, kak. I... I do really love him. Gak cuma lo disini yang desperate, kak. Tapi gue janji i won't do anything stupid. It's just that... gue percaya dia bisa berubah dan gue tau itu semua butuh waktu.”

“Oke. Tapi lo harus tahu kalau gue juga bisa menjadi jahat kalau itu menyangkut kebaikan lo, Won. Kalau sampai ada apa-apa sama lo, gue gak akan segan-segan untuk ngambil tindakan dan itu gak lagi hanya melibatkan lo dan gue, tapi juga bokap lo. You know what will happen if he gets involved, right?”

All's fair in love and war.

Wonwoo menelan ludahnya dengan paksa. “Oke.”

Tangan Seungheol meraih sisi kepala Wonwoo untuk dia usap, dan Wonwoo memejamkan matanya, merasakan segala afeksi yang laki-laki itu berikan.

“Udah bisa gue tinggal belum?”

“Lo mau kemana?”

“Gue... ada urusan.” Seungcheol sucks at this. He can tell no lies.

Wonwoo memandangnya dengan intens kali ini. Bola matanya menari-nari dengan penuh kecurigaan.

Stay.

Satu kata. Hanya satu kata.

“Sebentar aja... paling lama satu jam. Nanti gue balik lagi. Anggep aja gue lagi keluar beli makanan.”

Wonwoo menggeleng lemah. Pelukannya di lingkar pinggang Seungcheol semakin mengerat. “Gak mau ditinggal.”

Fuck. Fuck. Fuck. Fuck. Fuck...

“Yaudah iya engga.”

Malam ini Seungcheol sadar, bahwa ia tidak bisa selalu mencapai ekspektasi semua orang.

Pada akhirnya ia hanyalah manusia biasa, yang cepat atau lambat akan dihadapkan pada sebuah pilihan. Yang harus meninjau dan menimbang. Yang harus menyakiti satu untuk membahagiakan yang lain.

Seungcheol, dengan segala bentuk kekacauan yang terjadi di dalam otaknya malam ini, sadar bahwa ada harga yang harus ia dibayar untuk setiap dorongan dalam melampaui jawaban orang lain.

Ia punya ego, ia terkadang ingin memaksakan kehendaknya, dan ia adalah seorang pengais validasi.

Seungcheol mengutuk dirinya sendiri selama sisa malam itu, dan memikirkan bagaimana caranya ia bisa menebus dosanya pada Jeonghan.