Membiasakan diri, mungkin adalah sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan keseharian Jisoo saat ini.

Terbiasa bangun tanpa siapapun di sisi nya, terbiasa menyiapkan bajunya, terbiasa bermodar-mandir di dapur yang sunyi, terbiasa berdiskusi dengan dirinya sendiri, dan segala hal lainnya yang dulu dapat ia lakukan bersama.

Terkadang Jisoo terbaring di tempat tidur memandangi langit-langit kamar sambil mendengar sayup melodi yang terputar dari kamar anaknya. Malam itu terasa menyedihkan. Tak hanya malam itu saja, namun juga malam-malam setelahnya.

Biasanya selalu ada Lea dengan bunyi mixer nya, Lea dengan tutorial Yoga Class nya, Lea dengan antusiasmenya saat membicarakan How I Meet Your Mother, Lea dengan sendoknya yang ia bawa ke kamar hanya agar Jisoo mencicip masakannya, dan Lea yang selalu menyatukan ia dan Hansol.

Sekarang rasanya semua sepi dan menyedihkan, dan terkadang ia berharap kesunyian ini segera berakhir.

Tak perduli seberapa kalipun ia dan Hansol mencoba untuk berinteraksi, ada hal yang selalu mengganjal diantara mereka. Jisoo terus mencoba dan mencoba agar hubungan Hansol dan dia membaik, namun nampaknya kepergian ibu dari anaknya itu terlalu meninggalkan bekas dihati masing-masing.

Terlebih lagi, perbuatan memalukan yang telah Jisoo perbuat.

Jisoo masih ingat waktu itu di hari ulang tahun anaknya, dimana seluruh dunianya terasa timpang tindih. Tak ada yang membenci dirinya lebih dari siapapun. Kalau memaafkan dirinya sendiri saja sulit, bagaimana ia memohon ampun dari orang lain?

Ia dan Hansol berbicara malam itu setelah semua temanya pulang. Namun daripada berbicara, rasanya lebih seperti sedang dihakimi. Dan lebih daripada apapun, Jisoo pantas mendapatkannya.

Kata Hansol pada saat itu, Jisoo adalah makhluk paling menjijikan yang pernah ia kenal.

Kata Hansol pada saat itu, ia tak sudi lagi menyebut Jisoo seorang ayah.

Dan terakhir Hansol mengatakan, ia tarik kata-katanya kembali ketika menyebut Jisoo sebagai ayah terbaik di dunia.

Namun sejatinya segala yang telah menjadi bubur tak akan bisa kembali menjadi nasi.

Keluarganya yang sempurna, keluarga yang selalu ia banggakan, jatuh ke palung dunia paling dalam. Hari-hari Jisoo tidak pernah sama lagi. Segalanya dirundung oleh perasaan bersalah dan keinginan untuk memperbaiki.

Namun siapa sangka, waktunya hanya sebentar?

Terkadang Jisoo terlalu kewalahan saat menyalahkan keadaan. Rasa penasarannya pada waktu itu, kegembiraanya pada saat merasakan hal baru, waktu yang ia sisihkan untuk yang lain daripada keluarganya, dan kesempatannya untuk meminta maaf.

Semenjak saat itu, ia melihat segalanya sebagai karma.

Kepergian Lea adalah opsi terbaik yang dipilihkan Tuhan untuknya. Istrinya pasti sekarang sedang berbahagia di sisiNya, dan ia disini menanggung rasa malu dan sakit secara bersamaan. Tanggung jawab nya sebagai orang tua, suami, menantu, dan manusia. Tuhan mengambil nyawa istri nya bukan karena Ia tak menyayangi Lea, melainkan membenci Jisoo.

Ini adalah hukuman yang jatuh dalam bentuk lain, dan rasanya seperti ditekan oleh ribuan beton yang terhempas tepat di jantungnya.

Hansol kini menjauh, istri nya pergi dan tak kembali, dan hidupnya tak pernah sama lagi.

Semangatnya untuk sembuh dan bertahan hidup hanyalah janjinya pada Lea untuk menjadikan Hansol kebangganya. Teman-temannya pun selalu berkunjung selama masa penyembuhan. Jisoo tahu mereka mempunyai urusannya masing-masing, namun hal tersebut tak pernah menghalangi mereka untuk datang.

Malam itu Jisoo menumpahkan segala yang mengganjal di dada. Mereka disana untuk saling menguatkan, dan Jisoo merasa ia masih mempunyai sedikit banyak waktu untuk menghargai dan memperbaiki.

Dad?

“Yea—oh my God what the hell happened to your face?

Anaknya itu meringis sembari tersenyum, berjalan perlahan ke samping tempat tidurnya. “Kinda got into a fight.”

Son, that's not good, okay?

I know, i'm sorry.” Hansol menyentuh lebam di pipi nya. “Listen, i wanna talk to you about something.”

Napas Jisoo seketika tercekat. Ini pertama kalinya Hansol mau menatap matanya saat berbicara. Selama ini selalu punggung dingin yang ia berikan, tak perduli seberapa sakit Jisoo. Hari ini menjadi yang pertama kali mereka berbicara, setelah waktu yang sangat lama.

Go ahead.”

I'm sorry i haven't been a good son this past few weeks. I guess i kinda blame you for mom's death? And i wish it was you instead. I really wish it was you. That's why i've been avoiding you. I wanna do bad things to you but in the end you're still my father for twenty two years and it's not easy to erase you from my life.” Hansol menarik napasnya dalam. “I just... truth hurts but really, i only have you now.

Ada indikasi putus asa yang terdengar disana. Jisoo paham anaknya sebetulnya tak mau memaafkan, namun limitasi opsi yang mereka punya membatasinya untuk memilih jalan yang mereka ingini. Hansol benar, sekarang mereka hanya mempunyai satu sama lain, dan saat ini terserah mereka bagaimana akan menyikapinya.

You have to know that i am so proud of you.” Satu bulir air mata membasai pipi Jisoo. “And i would do everything to make it up to you.

Okay.” Jawab Hansol pelan. “You promise, right?

Swear on your mother's grave.” Tangan Jisoo meraih lengan Hansol, dan membawanya ke udara. “Bro claps?”

Hansol tersenyum, begitupun Jisoo.

Tangan mereka melakukan gerakan yang selalu mereka buat saat bermain-main dulu, dan rasanya seperti menemukan cahaya kembali di dalam lorong yang gelap. Silau, namun sedikit demi sedikit terlihat pemandangan bukit nun jauh disana.

Someone's wanna to talk to you.

Jisoo mengangkat alisnya. “Okay?

Please just—don't do anything besides talking.

Dan begitu kepala itu muncul di balik pintu, Jisoo mengerti. Seketika jantungnya berdebar atas sesuatu yang tak ia mengerti. Mungkin karena sudah lama sejak terakhir ia melihat wajah tersebut, atau simply karena Jisoo tak tahu harus berbuat apa.

Namun akhirnya Seokmin duduk di sampingnya. Jisoo tersenyum, sekedar karena merasakan semua hal kecuali rasa sayang. Di matanya, bocah yang ada di depannya kini hanya sekedar sahabat yang anaknya sayangi, dan Jisoo akan menghormati batasan yang ada di antara mereka.

Lebam yang ada di pipi Seokmin mendakan suatu kejelasan yang tersirat bahwa dua sejoli itu telah menyelesaikan urusannya, dan kini giliran Jisoo yang menutup.

Namun Seokmin hanya mengucapkan beberapa kalimat hari itu. Jisoo bahkan tak sempat membalas, karena terlalu tersedot dengan ketulusan dan kesungguhan yang ada di matanya.

Hari itu, Seokmin berkata,

“Saya bakalan jagain Hansol, om. Saya gak akan jauh dari dia. Bahkan dimanapun nantinya saya berada, saya akan tetep jagain Hansol. Saya akan ngelakuin apa aja buat mastiin dia gak pernah kenapa-napa. Ini janji saya untuk tante Lea, jadi om jangan khawatir.”

Seokmin keluar setelah mengatakan itu, meninggalkan Jisoo yang termenung di atas tempat tidurnya dan merasakan bahwa secara perlahan, hidupnya kembali ke tempatnya semula.