Merenungi Jarak.

(i brush the dust off, gain composure for another round

when did my life become a series of countdowns?

i curse the heavens for pulling you away from me

at the same time,

i pray that you'll find everything you seek.)

—;

Kurang lebih satu jam tiga puluh menit jika menggunakan pesawat, lima belas jam jika menggunakan kereta api, dan dipisahkan jarak sejauh delapan ratus lima puluh satu kilometer dari Jakarta,

kota Malang.

Bagi Wonwoo, Kota Malang menyusahkan. Kota Malang terpaut oleh ruang yang terlalu jauh. Kota Malang menjejalkan banyak asumsi di kepalanya. Kota Malang mencipta rindu. Kota Malang mencuri seseorang yang berharga darinya.

Dua puluh empat jam dalam sehari, selalu ada waktu yang tersisih untuk Wonwoo memikirkan jarak. Interpretasi kata-kata lewat pertukaran pesan menjadi satu-satunya cara bagi Wonwoo untuk tahu kabar si dia nun jauh disana.

Wonwoo kurang ahli dalam menyembunyikan emosinya lewat suara. Setiap mereka memutuskan untuk mengadakan sesi panggilan telepon, selalu Wonwoo yang bilang ia rindu. Wonwoo yang bilang ingin mengaitkan jari-jari mereka untuk merasakan hangat, dan Wonwoo yang mendamba presensi Mingyu disampingnya.

“Disana hujan?” Kepada laki-laki muda yang wajahnya muncul di layar handphone Wonwoo bertanya.

Mingyu membalas dengan gelengan. “Engga sih, cuma agak mendung aja. Disana?”

“Hujan.”

“Pantes lo ngeringkuk gitu. AC nya nomor berapa? kecilin gih.”

“Gak gue nyalain.” Wonwoo membenarkan posisi tidurnya untuk jadi lebih tenggelam kedalam bed cover. “Jadi kesini?”

“Kalau jadi kenapa, kalau ngga jadi kenapa?” Tanya Mingyu, senyumnya jahil.

“Kalau jadi yaudah good, ketemu. Mau peluk. Kalau gak jadi paling gue ngambek seminggu.”

Yang di seberang telepon tertawa. “Ngambek seminggu? Bisa lo emang?”

“Bisa-bisa aja. Kenapa gak bisa?”

“Gak bisa, lo kan dikit-dikit rindu. ‘Bonge... kok gak bales chat...’ ‘Bonge... ayo telfonan...’ ‘Bonge main dong kesini...’”

“Ngaco! Kapan gue begitu???”

“Kapan-kapan.”

“Gak lucu.”

Andai aja mereka sekarang bersebelahan, kepala Wonwoo pasti udah kena usap.

“Belum ada kabar lagi ya?” Tanya Wonwoo membuka topik baru yang kalau dipikir-pikir lagi sebetulnya agak sensitif.

“Jangan ditungguin, nanti malah ngga kejadian.”

“Kalau beneran ngga kejadian gimana?”

Gak ada satupun dari mereka yang udah nyiapin jawaban dari pertanyaan barusan. Kata-kata selalu menggantung di ujung mulut tanpa pernah dikeluarkan.

Mutasi pegawai yang seharusnya diumumin sebelum tahun baru kemarin ternyata diundur sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Alhasil mereka ketar-ketir apa masih ada kesempatan untuk Mingyu pindah ke kantor pusat di Jakarta, atau harus tetap menetap di Malang sampai beberapa tahun kedepan. Dan pembahasan ini selalu sensitif untuk mereka karena belum ada yang sukarela untuk mengalah.

Wonwoo yang merasa posisinya di kantor sudah sangat-sangat stabil, dan Mingyu yang merasa performance nya sedang diatas awan. Siklusnya selalu berputar-putar bak lingkaran setan, dan pernikahan mereka tinggal di depan mata.

Sesi mengobati rindu malam itu diakhiri dengan mereka yang buru-buru menyudahi karena sama-sama tahu bahwasanya bertengkar bukan sebuah solusi.

“Bonge, maaf ya...”

“Hm? Untuk?”

“Untuk gue yang banyak nuntut... Gue tau lo capek, tapi gue tetep maksain buat ketemu pas weekend.”

Mingyu selalu bilang kalau dia kurang berkenan untuk membawa Wonwoo ke Malang. Mingyu bilang, lebih baik dia yang berkunjung kesana daripada Wonwoo yang harus kesini. Bukan karena dia malu atau enggan mengenalkan Wonwoo kepada dunianya disini, tapi Mingyu takut tidak bisa melepas. Ia takut menjadi egois dan memenjarakan Wonwoo disana.

“Yang rindu bukan cuma lo kok, jadi sama sekali gak ada bentuk paksaan disini.”

Dan nyatanya memang begitu. Gak ada yang lebih indah dari menghabiskan akhir pekan bersama Mingyu. Apalagi kalau ide-ide gila di kepalanya udah mulai bermunculan.

“Macet gak tadi arah ke bandara?”

“Engga sih, sepi. Penghuni Jakarta masih pada betah liburan kayaknya.”

Tangan Mingyu otomatis mengotak-ngatik music player dengan merdeka dari kursi penumpang. Satu yang terpenting dari berkendara bersama Mingyu adalah playlist nya yang selalu ter-organisir.

“Kemana nih enaknya?”

“Bandung yuk?”

“Mingyu.” Mata Wonwoo langsung melotot. “Lo baru turun dari pesawat Malang-Jakarta, terus sekarang pas udah sampe sini lo ngajak ke Bandung?”

“Won, intinya bukan itu.” Mingyu memiringkan posisi duduknya menghadap Wonwoo. Tangannya bersiap untuk menjabarkan probabilitas satu demi-satu. “Pertama gue lagi gak selera main di sekitaran Jakarta. Kedua gue udah muak nonton bioskop. Ketiga gue males turun dari mobil. Inti dari roadtrip dadakan kita ini adalah ngabisin waktu selama mungkin berdua sama lo.”

“Ngapain di mobil? Itu sih dirumah juga bisa.”

“Beda.”

“Apanya yang beda?”

“Pokoknya beda.”

Helaan napas panjang dari Wonwoo menandakan kalau dia terlalu malas berdebat. “Oke, Bandung.”

The roadtrip surprisingly was okay. Permasalahannya cuma dateng dari Wonwoo yang harus menarik tangannya sendiri tiap kemudi mulai oleng digenggam dengan satu tangan. Jarinya sekarang ada di bibir Mingyu, dikecup dan diusap berkali-kali. Rasanya bukan seperti sedang diperlakukan dengan posesif, tapi lebih kepada bayi ketakutan yang enggan melepas tangan ibunya. Tiga jam terasa tiga puluh menit, dan Wonwoo suka itu. Wonwoo suka apapun yang berhubungan dengan Mingyu.

Bandung ramai. Mungkin ide mereka untuk pergi ke salah satu pilihan destinasi di musim liburan bukan ide yang bagus. Tapi, ya, seperti kata Mingyu, intinya bukan seberapa jauh dan sebetapa ramainya Bandung.

Salah satu channel radio samar-samar memutarkan lagu Bandung dari Fiersa Bersari, dan rasanya seperti diberikan kesempatan untuk mengeksplor Bandung dari bait demi bait.

“Jangan ke lembang ya Gyu, gue liat di Twitter ada yang ngepost disana macet parah.”

“Iya engga, sekitaran Asia Afrika sana aja nanti tinggal nyari cafe yang asik.”

“Persimpangan Naripan Braga situ aja kali ya?”

“Boleh.”

Menyenangkan rasanya memelankan laju mobil untuk melihat Alun-Alun Bandung dan masjid megahnya yang ramai. Rumput yang dipenuhi ratusan pengunjung, juga pedagang yang berada di sisi-sisi jalan membuat sore itu terasa punya maknanya sendiri.

Menurut Wonwoo, liburan bisa dua kali lebih melelahkan dan memboroskan dari bekerja. Liburan selalu penuh dengan keimpulsifan seperti membeli dan mencicipi sesuatu yang sebetulnya bukan esensial, tapi tetap kita lakukan atas nama self-satisfaction atas waktu-waktu yang sudah kita korbankan untuk kegiatan yang sifatnya wajib. Saat dimana alarm di jam lima pagi tidak lagi jadi hal yang menyebalkan, dan teori untuk tidur lima menit lebih lama menjadi tidak relevan. Liburan bisa berarti kesepian dan keramaian diwaktu yang bersamaan. Liburan selalu membawa cerita. Mengati orang-orang menentukan pilihannya adalah hal yang filosofis bagi Wonwoo.

Braga di sore hari selalu jadi tempat yang seakan-akan familiar. Mungkin karena trotoarnya yang ramai, atau pantulan rintik hujan yang jatuh ke aspal, atau penampakan khas Bandung sejauh mata memandang.

Ada sesuatu menarikku kembali pada tempat ini

Mungkin keramahannya, entah cantik parasnya

Menjejaki trotoar Braga, melihat pelukis jalanan

Menggoreskan cerita tentang canda dan tawa

Semoga, semoga Bandung dan Braga bisa memberikan banyak solusi atas masalah yang sedang mereka hadapi.

“Cing, mau dilukis gak lo entar?”

Wonwoo mengernyit. “Cing?”

“Kucing letoy anjir panggilan legendaris masa dilupain sembarangan banget lu.”

Lagi-lagi Wonwoo melotot, seakan-akan menyesali pilihan hidupnya sampai dengan detik ini. “Kenapa ya kemarin gue setuju pas lo ajak nikah.”

Mingyu menyeringai sambil sibuk ngutak-ngatik kameranya. “Gamau? Batal? Oke, fine, kita turutin apa mau om.”

Am-om am-om aja lo, bocah.”

Anaknya tambah nyengir lebar. “Pinggang aman, om? Masih sering encok?”

“Bonge sumpah lo jangan masuk mobil gue abis ini.”

“Yah, baru mau gantian. Om kuat emangnya nanti nyetir balik ke Jakarta sendiri?”

“Kuat. Kalo ada apa-apa lo ini yang rugi ngga jadi nikah.”

“Ciaaa ngacem.” Mingyu langsung pindah untuk duduk disamping Wonwoo dan ngerangkul pundaknya. “Nginep sini aja deh gausah pulang.”

“Nginep dimana? Gue gak ada saudara di Bandung.”

“Ya di hotel. Hotel yang remang-remang, yang biasa buat mesum.”

“Lo aja sana nginep sendiri, sekalian lo rekam lagi main terus lo upload pornhub.”

“Terus ntar lo yang nonton ya?”

“Enggak lah!” Wonwoo ngedorong tangan Mingyu ngejauh. “Udah sana lo balik duduk disitu jangan deket-deket gue.”

“Tuh, katanya rindu, giliran udah ketemu diusir-usir.”

Tangan Wonwoo nahan telapak tangan Mingyu pelan. “Yaudaaah... gue harus ngapain dong?”

Pertanyaan barusan bukannya dijawab malah diketawain. “Canda njir, udah nih lo pandangin muka gue ampe puas.”

Baru Wonwoo mau protes, makanan yang mereka pesen udah keburu dateng. Mingyu langsung pindah ke tempat duduknya semula dan mulai menyantap makanan dengan semangat.

“Sarapan ngga sih tadi dirumah?”

“Engga, langsung cabut. Mama sakit jadi dirumah gak ada apa-apa.”

Air muka Wonwoo langsung berubah panik. “Mama sakit?”

“Cuma demam, lagi sakit gigi.”

“Aku telfon kali ya tanya kabar?”

“Nanti aja maleman, lagi tidur paling jam segini.” Mulut Mingyu sibuk ngunyah kentang goreng. “Enaknya nginep dimana ya?”

“Beneran mau nginep?”

“Nginep aja capek bulak-balik.”

“Mmm Favehotel? Paling deket dari sini. Tapi gak yakin ada yang avail.”

“Yaudah nanti coba dulu aja.” Tangan Mingyu maju untuk ngusap sisa whip cream di pinggir-pinggir bibir Wonwoo. “Lo pernah disana?”

“Pernah pas dinas kantor, terus kita pada extend dan pindah hotel karena dari kantor cuma provide sampai Jumat. Disana selalu rame sih, deket kan aksesnya kemana-mana.”

“Terus waktu itu lo dapet kamar?”

“Dapet, tapi gue harus sekamar sama temen.”

“Sekamar?”

Nada bicara Mingyu waktu bertanya barusan mulai ngebuat Wonwoo khawatir. “Double bed kok...”

“Tapi sekamar?”

“Gak ngapa-ngapain, Mingyu.”

“Tetep aja sekamar, kan?”

Wonwoo tau sekarang pacarnya sedang berusaha sekuat tenaga untuk gak meledak-ledak. Mukanya kelihatan kurang nyaman, tapi Wonwoo selalu menghargai usaha Mingyu untuk gak kumat di depannya.

Semenjak pembahasan hotel barusan, Mingyu jadi pendiem. Sibuk ngunyah, sibuk dengan kameranya, sibuk sendiri. Wonwoo dicuekin tanpa tahu harus apa. Seharusnya Wonwoo kesal karena tingkah Mingyu yang terlalu kekanan-kanakan, tapi dia sudah banyak belajar kalau emosi gak bisa dilawan dengan emosi.

Toh, lagipula, diam-nya Mingyu adalah caranya untuk menepati janji kalau dia gak akan meluapkan kemarahannya pada Wonwoo. Itu caranya menyembuhkan diri.

“Sorry. Takut ya?”

Wonwoo menggeleng. Tulus. “Sekarang udah engga.”

“Ngapain aja waktu itu disini?”

Kalau udah nanya-nanya gitu berarti anaknya udah balik seperti semula dan Wonwoo mulai bernapas lega. Dia cerita tentang betapa bodohnya mereka karena nyasar sewaktu berkunjung Dago Pakar dan masuk ke dalam Goa Jepang. Dan Mingyu mendengarkan. Matanya memandang Wonwoo dan hanya Wonwoo.

Tepat jam sepuluh malam akhirnya mereka cukup kelelahan dan memutuskan untuk mencoba peruntungannya untuk check in yang ternyata mustahil.

“Gimanadong?” Tanya Wonwoo pasrah. Dan kepasrahannya ternyata gak berlangsung lama karena tiba-tiba aja ada yang nepuk pundak Mingyu dari belakang.

“Bonge?”

Dan begitulah akhirnya cerita mereka bisa menginap dirumah teman Mingyu. Kadang Wonwoo bingung bagaimana caranya anak ini bisa punya teman dimanapun sedangkan Wonwoo hanya berkutat dengan Seungcheol, Jeonghan, dan Seokmin.

Dan benar aja, bukan cuma dibawa kerumahnya tapi Wonwoo juga akhirnya mengunjungi tongkrongan beberapa teman Mingyu. Wonwoo bersumpah dia gak akan pernah terbiasa.

Tapi Mingyu, anak itu, begitu bertemu dengan teman-temannya dan memperkenalkan Wonwoo, dia selalu terlihat bangga. Bersemangat. Dan seakan-akan Wonwoo adalah hal berharga untuk dipamerkan.

“Heh Juple, kenalin nih. Calon gua. Cakep ye?”

Pipi Wonwoo semerah kepiting rebus.

“Capek gak?”

“Engga, seru kok main bareng temen-temen kamu. Makasih ya udah dikenalin.”

“Kembali kasih, kak Wonwoo.”

Lengan Mingyu kena cubit tapi dia sama sekali gak perduli. Karena hari ini, terutama untuk malam ini, Bandung memecahkan beberapa rentang jarak yang ada di antara mereka.

—;

(i am happy, I am thankful and I am proud

said with a smile for the cameras at the countdown

bu all these bright lights run together after a while

and our blaze of glory turns ordinary over night.)

Cosmic radiation

Cosmic radiation