Sedari dulu, selalu menyenangkan bagi Seungcheol saat melihat interaksi Wonwoo dan orang tuanya. Tunangannya itu adalah sosok yang periang, tidak seperti Seungcheol yang kaku. Wonwoo selalu bisa membuat mama terhibur dengan obrolannya, dan membuat papa tertawa dengan guyonannya.

Mama bilang, Wonwoo itu unik. Sejak kecil Wonwoo selalu lebih berkelakuan seperti anaknya dibanding Seungcheol sendiri. Bermanja-manja, minta dimasakkan sesuatu, dan rutin menemani mama untuk berkeliling Pasar Tanah Abang saat beliau ingin mencari bahan menjahit.

Seungcheol ingat bagaimana sewaktu sakit, Wonwoo akan selalu datang kerumahnya dan hanya ingin memakan masakan yang mama buatkan, dan senyuman yang terlukis di wajah mama melalui Wonwoo mungkin jadi salah satu alasan mengapa Seungcheol sangat menyayangi anak itu.

Lalu coba bayangkan betapa mencelos hatinya, acap kali mama menanyakan mengapa Wonwoo sudah tidak sesering dulu berkunjung? Bayangkan betapa dada nya meraung, ketika mama menanyakan mengapa Wonwoo sudah tidak pernah minta dimasakkan sesuatu?

Yang dapat ia lakukan hanyalah tersenyum dan memberi pengertian, pun kata-kata yang ia berikan selalu datang dalam bentuk kebohongan.

Namun hari ini senyum itu kembali terhias di wajah kedua orang tuanya. Ketika Wonwoo menciumi pipi mama dan papa dengan gemas, ketika Wonwoo memberikan sepasang baju batik kembar sebagai sebuah hadiah, dan ketika Wonwoo menceritakan harinya seakan-akan tidak pernah ada jarak sebelumnya diantara mereka.

Kata mama malam itu, calon menantu kesayangannya akhirnya datang.

Kata mama malam itu, mama pasti akan selalu senang ketika ada Wonwoo disini.

Seungcheol duduk di kursinya dengan menahan segenap perasaan yang bercampur akan ketidakmampuannya untuk mewujudkan impian itu. Karena sejujurnya dari lubuk hati terdalam, ia pun tak yakin. Ia tak yakin apakah Mingyu akan dapat meyakinkan orang tua pria yang ia cintai itu nanti di Bandung sana.

Seungcheol merasa seperti denting jarum jam sedang mengejarnya secara perlahan.

“Wonwoo, mama suka sekali batiknya... Terima kasih ya, Nak.”

“Mama aja nih yang suka?” Tanya Wonwoo dengan bibirnya yang sengaja ditekuk demi menarik perhatian. “Papa suka gak?”

“Masa papa tidak suka? Ya sudah pasti suka. Apalagi Wonwoo yang bawakan.”

Lalu mereka bertiga tertawa bersama. Tulus, hangat, dan bahagia.

Seungcheol ingin disedot oleh dunia detik itu juga.

“Dek.” Sapa Seungcheol saat mencuci beberapa gelas kotor di wastafel. Wonwoo menemaninya sambil mengunyah sebuah Apel, sembari membantu menggulung lengan kemeja putih yang Seungcheol kenakan agar tak terkena air ataupun sabun.

“Mmm?”

“Makasih.”

“Sama-sama.”

“Emang lo tahu makasih buat apa?”

“Makasih udah gue gulungin kemeja nya kan?”

Seungcheol menghela napas dan menutup matanya penuh sabar. Lalu dengan tangan yang masih penuh sabun, ia menjitak kening tunangannya.

“KAK!” Protesnya.

Seugcheol hanya tertawa.

By the way, nanti ikut anter mama dan papa ke tempat mereka dinner baru gue anter lo balik ya.”

Okay, bapak Pilot.” Jawab Wonwoo, mulutnya masih sibuk mengunyah dan Seungcheol tersenyum melihatnya.

“Gemesin banget sih? Jadi makin sayang.”

Sekarang gantian Wonwoo yang menyentil kening laki-laki yang lebih tua darinya itu. “Cuci aja deh tuh gelas yang bener.”

So the rest of the evening went okay.

Mereka sampai di tempat yang alamatnya sudah Jeonghan kirimkan, dan masih sempat mengantarkan mama dan papa ke dalam.

Sebelum pergi, mama berpesan. “Wonwoo malam ini menginap saja ya di rumah? Mama ingin sekali Wonwoo menginap, sudah lama kan...”

Dan disaat yang bersamaan, notifikasi handphone Wonwoo berbunyi.

kamu udah siap belum? jadi mau berangkat jam berapa?

Ya ampun.” Wonwoo melenguh.

“Kenapa, dek?”

“Kak, gue harusnya berangkat ke Bandung malam ini.”

Hati Seungcheol seketika gundah.

“Ma, Wonwoo gak bisa nginep malam ini. Maaf ya? Wonwoo harus ke Bandung.”

“Oh iya gak apa... Wonwoo ke Bandung dianter Seungcheol? Sama Seungcheol saja lebih baik.”

Jantung Seungcheol mencelos dari tempatnya.

Wonwoo memelototinya, mencoba mencari pertolongan agar dapat menjawab pertanyaan barusan.

“Bentar ya, ma.” Seungcheol menariknya pelan ke pojok restaurant. “Ke Bandung nya gak bisa besok pagi aja? Turutin maunya mama dulu.”

“Gak bisa. Besok sore tuh Migu ada urusan di Jakarta jadi kalau berangkatnya malam ini lebih banyak waktu buat ngobrol sama ayah.”

Seungcheol menarik napas dalam-dalam. “Ya masa dia gak bisa usahain untuk geser schedule? Jadi kalian besok bisa seharian disana.”

“Kok jadi malah ngeribetin Migu gini sih?”

“Gue minta tolong, Wonwoo.” Ucap Seungcheol dengan penuh kesabaran.

“Gak bisa kak, nanti gue kasih pengertian aja ke nyokap lo, oke? Ya kak, ya?”

Wonwoo menggelitik dagunya. Hal yang selalu ia lakukan saat merayu Seungcheol yang sedang marah. Namun ia sendiri tidak tahu apakah hari ini cara tersebut akan berhasil.

“Gue juga maunya lo stay...” Sama seperti bagaimana gue selalu menetap untuk lo.

“Kak, kalau urusannya gue belum ada janji gue juga pasti lebih milih spend time sama keluarga lo.”

“Tapi kenyataannya lo lebih milih gigolo itu, kan?”

He didn't mean to say it like that.

Tapi entah mengapa ia merasa lega sudah mengucapkannya.

“Kok jadi gini sih bahasan nya?” Suara Wonwoo meninggi, membuat mama dan papa akhirnya menoleh ke arah mereka.

“Gue ada salah ngomong emangnya? Coba tunjuk dimana?”

Wonwoo diam seribu bahasa.

Do you know that you sound so fucking selfish right now?”

“Gue gak selfish.” Jawab Wonwoo sambil menggertakan giginya.

You are. Gue selama ini gak pernah memaksakan lo untuk memilih antara gue dan orang lain, tapi sekarang gue mohon-mohon supaya lo milih orang tua gue. And even if i beg, lo tetep gak melirik itikad baik gue kan, Won? Apa itu namanya kalau bukan selfish?”

Nada bicara Seungcheol yang mulai menajam membuat Wonwoo terpaku di tempatnya berdiri.

“Kak, bisa gak jangan sekarang?”

“Kenapa? Gigolo lo kasihan nungguin, ya?”

“Diliatin orang, Seungcheol!”

“IYA GUE TAHU DILIATIN! Terus kenapa?”

Sekujur tubuh Wonwoo panas dingin.

“Gue kurang apa sih sama lo? Seluruh dunia gue buat lo, Wonwoo. Apa lo gak bisa kasih secuil apresiasi untuk usaha gue? Yang bahkan gue minta buat papa dan mama, bukan buat gue. Gak bisa apa, Dek?”

Wonwoo menunduk, menunduk, dan terus menunduk.

Kelopak matanya panas, telapak tangannya berkeringat.

“Jawab.” Ucap Seungcheol lagi, dingin.

Namun diteriaki pertama kalinya oleh kakak kesayangannya itu, otak Wonwoo otomatis mati fungsi. Lidahnya kelu dan enggan membentuk kata demi kata yang tertimbun di benaknya.

“Coba jawab, kenapa gue harus selalu stay buat lo, tapi lo gak pernah ngelakuin sebaliknya untuk gue?” Cara Seungcheol mengucapkan pertanyaan barusan bahkan tak terdengar seperti Seungcheol yang Wonwoo selama ini kenal. “Karena lo egois, dan gue udah capek ngurusin lo dan segala kemanjaan lo.”

And that's it.

Suara Seungcheol yang berat dan tegas bahkan masih berdengung di telinganya jauh setelah Seungcheol keluar dan pergi dengan mobilnya.

Wonwoo yang berdiri mematung disana bahkan harus dipapah oleh kedua orang tua Seungcheol untuk duduk di kursi karena sekujur tubuhnya gemetar.

Dan lebih daripada itu, ada Yoon Jeonghan yang menyaksikan segala kejadian barusan dari pojok ruangan.